Kau bilang Tuhan sangat dekat, kau sendiri memanggil-manggil-Nya dengan pengeras suara setiap saat…” (Gus Mus)

Kalau Tuhan lebih dekat dari urat nadi, lalu siapa yang lebih dekat dengan kita selain Dia? Antara Tuhan dan manusia bertemu dalam kebersatuan yang begitu erat dan lekat. Sayangnya, kita sebagai hamba-Nya seringkali lupa akan kehadiran-Nya, yang bersatu dalam “tubuh” kita. Singkat kata, Tuhan hanya terasa ketika kita mengunjungi rumah ibadah. Sementara ketika kita berada di luar “tempat mulia” itu, aura ketuhanan seolah mulai sirna.

Read more

اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِى هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

“Serulah (manusia) kepada jal an Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. Al-Nahl [16]: 125)

Salah satu kebiasaan yang ada di daerah penulis yang terryata sangat melekat dan sulit ditinggalkan adalah ‘ngopi’. Sepet rasanya sehari tanpa si hitam nikmat itu. Paling tidak, satu cangkir kopi satu hari sekali. Itu memang kebutuhan saya, bukan untuk jantan-jantanan, lanang-lanangan. Kalau jantan-jantanan berarti cuma macak jantan, artinya dia betina.

Read more

يَـأَيُّهَاالَّذِيْنَ ءَامَنُوْكُوْنُوْ قَوَّامِيْنَ لِلّهِ شُهَدَآءَ بِالْقِسْطِ وَلاَيَجْرِمَنَّكُمْ شَنَئَانُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُوْا اعْدِلُوْا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَالتَّقُوْا اللهِ إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allāh, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil-lah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allāh, sungguh, Allāh Maha Teliti apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Mâidah [5]: 8)

Golongan pertama, sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam, yang akan mendapat pertolongan Allâh adalah pemimpin yang adil (imâmun ‘âdilun). Tidak main-main. Pertolongan yang dimaksudkan diberikan langsung oleh Allâh. Dimana pertolongan tersebut datang di saat tidak ada lagi pertolongan kecuali pertolongan dari-Nya. Hal ini mengingatkan kita betapa susahnya mencari pemimpin yang adil (dan merakyat) di negeri ini.

Read more

Hidup ibarat balon yang ditiup, kemudian terbang, lalu meletus dan jatuh. Tidak  apa-apa. Jika tidak jatuh, kita tidak akan merasakan sakit dan tidak akan tau bagaimana rasanya berjuang untuk bangun dan belajar berjalan lagi. Memang yang dimaksud hidup berwarna itu ya seperti itu. Jatuh, sakit, berusaha bangun dan belajar berjalan lagi. Rasanya keren kan, jika hidup kita warna-warni? Mulai dari gelap sampai terang, ada semua dan bisa dirasakan. Itu baru nikmat dan berkah. Subhân Allâh! Kenapa nikmat dan berkah? Karena jika terus-menerus terang, kemudian tiba-tiba Allâh memberi setitik warna gelap dalam hidup kita, kita akan kaget dan bingung bagaimana cara menghadapinya. Ternyata kegelapanpun bisa membawa hikmah, nikmat, dan berkah kan? Baiknya Allâh sama kita, sampai-sampai kegelapan bisa jadi berkah. SubhânAllâh That’s why ada sisi positif dan negatif.

Ibarat gelap dan terang, sakit dan sehat, sedih dan gembira, nyatanya memang mereka saling melengkapi. Tetapi mungkin kita saja yang sering lupa dengan negatif ketika kita sedang dalam suasana terlalu positif. Semacam terlalu bahagia. Ujung-ujungnya saat kita dihadapkan pada sesuatu yang tidak kita harapkan, kita sering merasa terlalu sedih. Nah, ketika kita terlalu sedih, kita masih terbayang-bayang saat kita merasakan kebahagiaan yang berlebihan itu. Akibatnya mempersulit diri untuk bangkit. Jika sudah mulai sulit bangkit sendiri, gimana dong? Sebenernya simple. Ingat saja, “Aku bisa jatuh dengan mudahnya. Mengapa aku harus kesulitan ketika hendak bangkit?” Kata-kata itu mungkin terkesan meremehkan tetapi berbalut motivasi agar kita percaya bahwa kita bisa bangkit. Nyatanya banyak pelajaran dalam hidup dari perkara simple.

Read more

Bagaimana jika suatu ketika kita harus terjebak dalam kemacetan panjang? Sementara jadwal keberangkatan pesawat atau kereta sudah semakin dekat. Atau kalau tidak, kita ingin segera sampai ke tempat tujuan lalu merebahkan badan untuk beristirahat. Namun sayangnya, kondisi jalan sama sekali tidak bersahabat. Mungkin, dalam kondisi demikian banyak diantara kita yang kemudian mengumpat. Itu dilakukan sebagai pelampiasan dari akumulai kejenuhan menyaksikan kerumunan ‘besi berjalan’ dengan sangat lambat.

Suatu malam, penulis (saya) menaiki taksi dari Ciputat (Ponpes Darussunnah) menuju Stasiun Pasar Senin, Jakarta. Perbincangan ringan antara penulis dan sopir taksi malam itu, berlangsung hangat. Kondisi Jakarta yang luar biasa macet membuat penulis berkomentar. “Kalau begini kondisinya pasti banyak yang stres ya, Pak?” komentar penulis dengan nada bertanya. “Iya, Dik. Tapi kalau saya –yang penting– menikmati saja,” balasnya, sekaligus menjawab kegundahan penulis. Iya, memang benar pak sopir yang mengaku berasal dari Banjarnegara tadi. Bagaimanapun kondisinya kalau dinikmati akan mengusir segenap kejenuhan. Bagaimana dengan sahabat pembaca?

Read more

I was blues, Because I had no shoes, Until off on the street, I meet man without feet.

Ketika penulis memaparkan materi tentang “Syukur Tiada Akhir” di sebuah stasiun radio, datang sebuah pertanyaan yang menarik untuk dibahas. Pertanyaan via SMS itu bertutur tentang betapa mudahnya bersyukur dengan mengucapkan hamdalah (alhamdulillâh). Namun sayangnya, hal itu menjadi terasa sulit ketika harus diterapkan dalam kehidupan nyata. Penulis sadar dan memahami kegelisahan yang diutarakan sang penanya. Dan itu pula yang masih sering kita, termasuk penulis, rasakan.

Menanggapi pertanyaan tersebut, penulis mencoba untuk bersikap diplomatis. Tidak terburu-buru menghakiminya, dengan menganggapnya sebagai kesalahan, karena hanya bisa bersyukur dengan ucapan saja. Tetapi juga tidak semata-mata membenarkannya. Pasalnya, mengucapkan perkataan yang baik itu sebenarnya akan berpengaruh terhadap kinerja anggota tubuh. Ketika ucapan “hamdalah” itu muncul, maka tubuh akan merespon positif. Selanjutnya, jika yang bersangkutan mencoba untuk merenunginya, akan sangat mudah diikuti dengan tindakan nyata. Read more

Yusuf berkata: “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS Yusuf [12]: 33)

Prolog

Pemuda adalah sosok yang sangat potensial. Maka, tidak salah jika bung Karno mengungkapkan  bahwa jika ia diberikan sepuluh orang pemuda, maka akan digoncangkan dunia ini. Ungkapan ini menjadi barometer bahwa pemuda memang sosok yang perlu diperhatikan. Pemuda layaknya bibit yang perlu dijaga sehingga nantinya jika besar akan menghasilkan buah yang banyak dan bermanfaat bagi orang banyak. Pemuda juga menjadi penerus tongkat estafet orang-orang yang telah mendahuluinya. Dengan demikian, pemuda perlu dibina dan digodok segala potensi yang ada pada dirinya.

Read more

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperlihatkan apa yang telah diperbuatnya dihari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. al-Hasyr [59]: 18).

Sebuah kalimat singkat yaitu “Yesterday is history”. Sebuah kisah yang telah terukirkan didalam diri setiap manusia pastilah hal-hal yang telah terjadi sebelum hari ini. Sebagian manusia juga akan mengatakan, “Wah, ko’ sudah hari minggu lagi?”. Kalimat tersebut juga tidak akan disadari akan terbercik dalam lisan kita. Karena, dengan berjalannya waktu yang belum digunakan oleh manusia untuk melakukan hal-hal kebaikan.

Read more

وَمِن كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Dan segala sesuatu Kami Ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah).” (Q.S. al-Dzariyât [51]: 49)

Realitas sosial selalu menghadirkan keberadaan (eksistensi) yang terdiri dari dua hal yang berbeda. Misalnya, kemiskinan yang selalu saja dihadapkan dengan kekayaan. Hal ini karena secara literal-kebahasaan lawan dari kata miskin, yang paling tepat, adalah kaya. Oleh karena itu, miskin dan kaya adalah sebuah “oposisi”, yang secara struktural sebenarnya berhubungan erat. Dalam hal ini, eksistensi sesuatu menjadi semakin jelas manakala eksistensi sesuatu yang lain tidak menampakkan dirinya. Kemiskinan menjadi sebuah pembicaraan yang hangat dan fenomenal karena dirasa sangat menyentuh realitas kehidupan. Namun, sebenarnya aspek lain yang mengakibatkan perbincangan ini adalah inferioritas kekayaan yang tidak begitu menonjol, atau memang sengaja tidak ditampakkan. Read more

Maksiat yang membawa pelakunya pada perasaan hina dan butuh (mendekatkan diri) pada Allah lebih baik daripada ketaatan yang menimbulkan rasa keagungan diri dan disertai kesombongan. (Ibn Athaillâh)

Kuncinya adalah Hati

Semestinya merupakan hal yang wajar bila seorang Muslim merasakan ketenangan saat telah menunaikan ketaatan dan merasakan ketakutan setelah melakukan kemaksiatan. Dalam ranah dhahir, secara kasat mata, ketaatan adalah mutlak sebuah kabaikan. Sementara kemaksiatan –sekecil apapun bentuknya- tetaplah kesalahan. Namun, struktur bangunan amal seseorang tidaklah terjadi berkat kontribusi aktivitas jasmani saja. Amal tidaklah terwujud tanpa ada campur tangan rohani yang biasa dikenal dan diwakili oleh hati. Dalam hadits Nabi unsur terakhir justru disebut sebagai tolak ukur baik buruknya aktivitas jasmani seseorang. “Ingatlah bahwa dalam jasad itu ada sekerat daging, jika ia baik, baiklah jasad seluruhnya, dan jika ia rusak, maka rusaklah jasadnya seluruhnya. Ingatlah, ia adalah hati (al-qalbu)“. (HR. Bukhari dan Muslim).

Read more