Ekonomi Kebahagiaan dan Ekonomi Islam
Ekonomi Kebahagiaan dan Ekonomi Islam
Rakhmawati, S.Stat, M.A.
Belum banyak yang mengetahui bahwa tanggal 20 Maret telah ditetapkan sebagai International Happiness Day oleh PBB sejak tahun 2012. Semua orang pasti setuju bahwa kebahagiaan merupakan hal utama yang ingin diraih. Dengan mengukur kebahagiaan, negara dapat terhindar dari “happiness traps”. Happiness traps telah terjadi di US dimana Produk Nasional Bruto terus meningkat namun kebahagiaan stagnan bahkan menurun (Beseiso, 2016). Pertumbuhan ekonomi memang menentukan tingkat kemajuan suatu bangsa, namun pemerintah perlu memperhatikan hal lain dalam usaha menyejahterakan rakyatnya. Sejahtera dalam arti yang sesungguhnya, bahagia, sejahtera lahir dan batin.
Dunia dikejutkan di pertengahan tahun 2017 dengan berita bunuh diri seorang vokalis grup band ternama Linkin Park. Ini membuktikan bahwa ketenaran dan uang yang berlimpah tidak dapat membeli kebahagiaan. Tentu saja hal ini tidak membuat uang menjadi unsur yang tidak penting dalam menentukan kebahagiaan. Angka bunuh diri tertinggi di tahun 2017 terdapat di negara Lithuania. Faktor utama dari tingginya angka bunuh diri di negara tersebut adalah adanya krisis ekonomi, pengangguran, dan multiplier effect lainnya.
Di tahap awal, manusia memerlukan materi untuk mendapatkan kenyamanan dan memenuhi kebutuhan dasar. Setelah kebutuhan dasar terpenuhi, pentingnya uang dalam memenuhi kebahagiaan semakin menurun perannya. Suatu penelitian menyebutkan terdapat keterkaitan antara pendapatan dengan kebahagiaan di negara-negara berkembang namun tidak untuk negara maju.
Ekonomi kebahagiaan menyoroti variabel kebahagiaan sebagai tujuan utama manusia. Ekonomi kebahagiaan mengkombinasikan teknik para ekonom dan psikolog dalam mempelajari kesejahteraan. Studi oleh Easterlin (1974) tercatat sebagai pionir di bidang ini. Berdasarkan analisis data cross section negara-negara di dunia, disimpulkan bahwa peningkatan pendapatan tidak diikuti dengan peningkatan kebahagiaan. Fenomena ini disebut sebagai Easterlin Paradox. Easterlin Paradox kebanyakan terjadi di negara-negara maju. Setiap negara memiliki tantangan untuk mewujudkan kesejahteraan. Produk Domestik Bruto (PDB) telah menjadi tolak ukur kemajuan perekonomian suatu negara selama puluhan tahun. Namun demikian, para ekonom telah menekankan sejak diperkenalkannya PDB di tahun 1930-an untuk tidak menjadikan PDB indikator kesejahteraan secara umum. Tingginya pertumbuhan PDB dalam jangka panjang tidak memberikan solusi bagi masalah kemiskinan karena PDB memberikan gambaran aktivitas perekonomian namun tidak dapat mengukur economic well-being (Costanza, Hart, Talberth, & Posner, 2009). Sejak tahun 1970-an, ukuran kesejahteraan untuk melengkapi PDB mulai digunakan. antara lain Indeks Pembangungan Manusia, Green GDP, Index of Social Progress, dan Index Well-Being (termasuk di dalamnya kebahagiaan). Ekonom Islam juga telah mengembangkan index well-being dengan didasarkan pada nilai-nilai Islam seperti Islamic Human Development Index (Hendrieanto, 2009) dan Islamic index of Wellbeing (Batchelor, 2006).
Sebagai negara yang menempati peringkat atas dalam hal kebahagiaan, Bhutan memiliki GDP yang sangat rendah dibandingkan negara-negara lain. Hal ini menjadi salah satu motivasi negara Bhutan untuk menjadikan kebahagiaan sebagai isu penting di tingkat global. Bhutan merupakan negara yang pertama kali melakukan pengukuran kebahagiaan secara nasional dengan ukuran yang disebut Gross National Happiness (GNH) di tahun 1972. GNH Bhutan dikenal secara internasional setelah munculnya tulisan “Gross National Happiness is more important than the Gross Domestic Product” di Financial Times pada tahun 1986. Bank Dunia merilis World Happiness Report pertama kali pada tahun 2012. Di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) menyusun indeks kebahagiaan mulai tahun 2014 berdasarkan Survey Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK). Berbagai survey di tingkat nasional maupun global telah memasukkan pertanyaan mengenai kebahagiaan dengan konsep self-reported happiness. Sebutlah survey World Values Survey (WVS), General Values Survey (GVS), dan Indonesian Family Life Survey (IFLS).
Kebahagiaan sangat berperan dalam menciptakan masyarakat yang baik dan merupakan summum bonum menurut Aristoteles. Kebahagiaan sangat berhubungan dengan konsep utilitas dalam ekonomi dan dapat menjadi proksi bagi utilitas yang seringkali tidak dapat diukur secara eksplisit. Jika dapat diukur secara akurat, atau paling tidak mendekati, kebahagiaan adalah variabel alami bagi ekonom untuk dimodelkan karena maksimisasi utilitas adalah ide sentral dalam ekonomi.
Ada beberapa teori dalam ekonomi kebahagiaan mengenai faktor seseorang dapat bahagia. Studi empiris pun telah banyak dilakukan untuk mengetahui signifikansi hal-hal yang dianggap berperan dalam menciptakan kebahagiaan.
Sumber kebahagiaan setiap orang pasti berbeda satu dengan lainnya. ada yang bahagia karena uang melimpah, kekuasaan, ketenaran, dan lain sebagainya. Pertanyaannya, apakah kebahagiaan yang bersumber dari hal duniawi tersebut akan stabil, akan terus membuat bahagia?
Ekonomi Kebahagiaan dalam Islam
Berbeda dengan Ekonomi Konvensional, perihal kebahagiaan telah mendapat posisi yang penting dalam Ekonomi Islam serta memiliki nilai moral dan filosofis yang dalam (Abde & Salih, 2015). Dalam Ekonomi Islam terdapat konsep Falah yang merupakan tujuan hidup. Falah berasal dari kata aflaha-yuflihu. Falah merupakan kebahagiaan dunia dan akhirat (Misanam, Suseno, & Hendrieanto, 2012). Menurut Akram Khan dalam bukunya An Introduction to Islamic Economics, “Its verbal form aflah,, yuflihu means: to thrive; to become happy; to have good luck or success; to be successful.”
Mungkin bisa kita katakan bahwa Ekonomi Islam telah memiliki bahasan mengenai Ekonomi Kebahagiaan dengan konsep Falah-nya. Khan (1994) menyebutkan tiga unsur falah yang masing-masing dapat dipilah menjadi aspek makro dan mikro (Khan, 1994).
Tabel 1 Aspek Mikro dan Aspek Makro dalam Falah
Unsur Falah | Aspek Mikro | Aspek Makro |
Kelangsungan Hidup (biologi, ekonomi, sosial, politk) | · Kesehatan, kebebasan keturunan, dsb
· Kepemilikan faktor produksi · Persaudaraan dan harmoni hubungan sosial · Kebebabasn dalam partisipasi politik |
· Keseimbangan ekologi dan lingkungan
· Pengelolaan sumber daya alam · Penyediaan kesempatan berusaha untuk semua penduduk · Kebersamaan sosial, ketiadaan konflik antarkelompok |
Kebebasan berkeinginan | · Terbebas dari kemiskinan
· Kemandirian hidup |
· Penyediaaan sumber daya untuk seluruh penduduk dan untuk generasi yang akan datang |
Kekuatan dan harga diri | · Harga diri
· Kemerdekaan, perlindungan terhadap hidup dan kehormatan |
· Kekuatan ekonomi dan kebebasan dari utang
· Kekuatan milier |
Sumber: Khan (1994)
Studi empiris ekonomi kebahagiaan telah banyak dilakukan baik di negara Barat maupun negara Timur. Faktor yang diteliti-pun bermacam-macam meliputi aspek ekonomi, kesehatan, hubungan interpersonal, dan politik. Helliwell, Layard, & Sachs (2017) menganalisis perbedaan kebahagiaan antar negara dan disimpulkan bahwa GDP per kapita, dukungan sosial, kesehatan, kebebasan menentukan pilihan, kemurahan hati, persepsi terhadap korupsi, serta positive dan negative affect adalah faktor yang mempengaruhi kebahagiaan. Positive affect merupakan perasaan kebahagiaan, tawa, dan kesenangan. Sedangkan negative affect adalah kekhawatiran, kesedihan, dan kemarahan. Lane (2017) menganalisis arah hubungan perilaku interpersonal dan perilaku individu terhadap kebahagiaan. Hasilnya terdapat dampak kausal yang positif antara trust terhadap kebahagiaan jangka pendek maupun jangka panjang. Bixter (2015) menggunakan data General Social Survey 2012 dan World Values Survey 2005 dan mengonfirmasi studi sebelumnya yang mengatakan bahwa kebahagiaan berkorelasi positif dengan political conservatism dan religiusitas. Ott (2011) melakukan analisis terhadap 130 negara mengenai Good Governance dan kebahagiaan. Good governance meningkatkan level kebahagiaan dan kesetaraan kebahagiaan. Salah satu aspek good governance adalah efektivitas pemerintahan yang dapat diukur dengan kualitas pelayanan publik. Menurut Frey & Stutzer (2000), faktor kebahagiaan dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu (1) faktor kepribadian dan demografi, (2) faktor makro dan mikro, dan (3) kondisi institusi atau konstitusi di perekonomian dan masyarakat.
Jika kita lihat, variabel-variabel yang digunakan dalam studi tersebut dapat dikawinkan dengan unsur-unsur falah. Namun demikian, sepertinya belum ada studi empiris mengenai faktor kebahagiaan/falah dalam literatur Ekonomi Islam. Studi yang paling mendekati dengan Ekonomi Kebahagiaan adalah yang berkaitan dengan perhitungan Index wellbeing. Batchelor (2016) misalnya, studi ini menghitung index yang disebut sebagai IIW (Islamic Index of Well-being) negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Faktor apa yang signifikan terhadap wellbeing belum menjadi cakupan studinya. Beseiso (2016) menjelaskan dalam tataran konsep, mengenai peran keuangan dan perbankan syariah memiliki dalam ekonomi kebahagiaan, bagaimana agar Bank Sentral memiliki peran efektif dalam pencapaian human wellbeing (kebahagiaan).
Penutup
Penilaian kesejahteraan dalam arti sesungguhnya, yakni sejahtera lahir dan batin/kebahagiaan perlu dijadikan isu penting agar tidak terjebak dalam unsur materi/uang semata. Piramida kebahagiaan yang terdiri atas tujuh belas tujuan Sustainable Development Goal (SDG) dan unsur-unsur falah dapat dijadikan pijakan dalam menentukan variabel-variabel yang perlu dilibatkan.