Antum : Penggunaan Sehari-harinya dalam Kajian Transformasi Nahwu

Penulis : Ahmad Zubaidi

Dosen PAI- FIAI UII

 

Fenomena Ana dan Antum

Dalam akhir-akhir ini, tak jarang kita mendengarkan orang lain atau bahkan diri kita sendiri bebicara dengan seseorang dalam bercakap-cakap menggunakan kata berbahasa Arab yakni yang paling dominan adalah Ana dan Antum, mengesampingkan tujuan instrinsik pembawaan pembicaraan itu sendiri (bisa jadi karena pergaulan, kebiasaan, pembiasaan, atau bahkan ideologi). Beberapa orang mungkin menganggap ana dan antum adalah hal yang biasa dan wajar digunakan untuk bercakap-cakap tetapi sebagian yang lain menganggap aneh, mungkin karena belum terbiasa dengan bahasa Arab. Secara lebih dalam penggunaan 2 (dua) kata tersebut hanyalah untuk merubah bahasa Indonesia itu sendiri ‘saya’ dan ‘kamu’ menjadi bahasa Arab yakni ‘ana’ dan ‘antum’. Banyak orang ketika sedang bercakap-cakap, ia mencampurkan antara penggunaan bahasa Arab dengan bahasa Indonesia yakni penggunaan 2 (dua) kata di atas berbahasa Arab kemudian dilanjutkan dengan pembicaraan bahasa Indonesia dalam meneruskan percakapannya.

In Theory

Dalam teori ilmu Nahwu yang kita pelajari sudah terlalu jelas bahwa antum adalah kata ganti orang atau dalam bahasa Arab biasa disebut dengan isim dhomir yang bermakna ‘kalian’ atau bisa kita maknai dengan ‘kamu dalam jumlah orang lebih dari 2 (dua) orang’. Dalam menggunakan tunggalnya yang bermakna ‘kamu dalam jumlah 1 (satu) orang’ menggunakan anta. Bahkan di negara Arab sendiri akan menjadi hal yang ‘lucu’ ketika misalnya fulan berbicara dengan fulan menggunakan kata ganti orang ‘antum’ dalam melakukan percakapan. Begitu juga dalam kita memanggil Alloh SWT misalnya dalam berdoa, sudah sangat jelas Nabi memberikan do’a yang diucapkan oleh Khadijah ketika itu ‘Allohumma anta as-Salam wa minka as-Salam…..’ dengan arti ya Alloh engkau adalah Dzat yang Maha Penyelaman dan dariMu juga sebuah keselamatan… tidak ada disana memakai ‘Allohumma antum as-Salam… serta dalam menyampaikan salam kepada Nabi Muhammad SAW memakai ‘Assalamualaika ya Ayyuhan Nabi’ bukan ‘Assalamualaikum ya Ayyuhan Nabi’. Bahasa Arab itu bersifat egaliter dan menghargai kesederajatan dalam menggunakan kata ganti orang. Sehingga kata ganti anta (kamu laki-laki 1) akan berlaku untuk semua pelaku tunggal, sedangkan antum (kalian >2 laki-laki) adalah untuk pelaku jamak.

In Fact

Sedangkan yang terjadi pada kita di negara Indonesia, banyak yang menggunakan kata antum untuk diposisikan pada orang laki-laki 1 (satu) dengan dalih sebagai penghormatan kepada mukhotob/orang yang sedang diajak berbicara. Memang, dalam bahasa Jawa di Masyarakat Indonesia sangat kental sekali dengan unggah-ungguh/sopan santun bahkan dalam memakai bahasa yang digunakan dalam percakapan misalnya ‘kowe’ adalah bahasa kasar yang kemudian diganti dengan ‘jenengan’ untuk merubah menjadi bahasa yang lebih halus atau sebagai penghormatan kepada yang sedang diajak berbicara. Di negara kita, banyak sekali yang memposisikan antum itu sebagai ‘jenengan’ dan anta sebagai ‘kowe’.  Jadi seakan-akan dalam klausul bahasa Arab pun ada stratifikasi penghormatan dalam memakai kata ganti orang dalam sebuah percakapan, padahal sebenarnya sesuai dengan pembahasan in theory di atas. Secara tidak langsung, hal ini termasuk transformasi nahwu dalam penerapan teorinya di kehidupan sehari-hari. Jika sedikit melihat pada aspek hermeneutika-budaya sebagaimana yang telah di ungkapkan oleh Fazlur Rahman dalam teorinya hermeneutika kontekstual bahwa transformasi tersebut dapat dilakukan sebagai jawaban terhadap kasus baru berdasarkan nilai ideal-moral yang ada dalam masyarakat maka yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut.

Pertama, boleh digunakan sebagai dasar kultur yang sudah ada di masyarakat Indonesia sebagai jawaban nilai ideal-moral yang hanya ada pada kasus di Indonesia sendiri. Jika dalam penggunaannya di negara Arab maka, harus memakai kata ganti yang sesuai dan apa adanya tidak lantas menyamakan hal tersebut dengan budaya yang ada di Arab.

Kedua, adanya kesadaran belajar lebih dalam memahami konteks tersebut (dalam hal ini adalah bahasa Arab) serta memahami adanya kesalahan yang ada pada konteks kata ganti orang yang digunakan, tetapi mengarahkannya kepada konsep ideal-moral masyarakat Indonesia saja.

Ketiga, adanya saling sepemahaman (sama perspektif) dalam menggunakan kata ganti orang dengan tujuan sebagai penghormatan tersebut. Antara mutakallim (orang yang berbicara) dengan mukhotob (orang yang sedang diajak berbicara/lawan bicara) sudah mengetahui kaidah ideal-moral transformasi tujuan penggunaannya dalam melakukan percakapan.

Keempat, tidak menggunakan dengan tujuan lain yang menjadikannya sebagai kaidah baku, tetapi hanya sebagai pembiasaan dalam persamaan pembawaan kultur yang ada di Indonesia saja.

So,

Lebih bijak dalam menggunakan kaidah tersebut akan lebih memberikan makna yang berarti bagi orang yang berbicara maupun orang yang sedang diajak bicara/lawan bicara.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *