Khairu Ummah Sebagai Prestasi

Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah yang mungkar dan beriman kepada Allah. (Q.S. Ali Imran [3]: 110)

Saat menyaksikan tayangan di televisi dan panggung-panggung hiburan lainnya, dimana banyak ditampilkan beragam acara yang mengandung kemaksiatan dan gaya hidup bebas, kita layak bertanya, adakah ini hiburan kaum muslim? Hiburan kita ternyata tidak kalah buruknya dengan hiburan Hollywood. Atau tatkala kita membaca berbagai tindak kejahatan di media cetak, kadangkala kita bertanya-tanya, adakah ini sebuah masyarakat muslim? Mereka saling bertengkar bahkan saling bunuh hanya karena hal-hal sepele. Belum lagi tindak  pemerkosaan dan kekerasan terhadap perempuan, apakah kita tengah berada di tengah masyarakat Islam?

Kegelisahan atas identitas umat ini, tidak hanya karena hilangnya etika dan akhlak sebuah bangsa dalam hal-hal yang nampak kecil, bahkan dalam urusan besar pun tidak jarang kita bertanya kembali: inikah potret sebuah bangsa dan negeri yang mayoritas penduduknya kaum muslim? Negeri di mana korupsi dan beragam manipulasi menjadi tradisi hingga melebihi keburukan negeri-negeri yang tidak mengenal Islam. Pertanyaan-pertanyaan yang mengusik identitas diri kita sebagai sebuah bangsa, masyarakat dan umat pun terus bermunculan, manakala kita menyaksikan nasib bangsa yang terus terpuruk. Sebuah negeri yang kaya raya dengan limpahan sumberdaya alamnya, tetapi hidup sebagai bangsa yang miskin dan melarat.

Tatkala kita membaca ayat diatas, maka kita akan menemukan pernyataan yang digambarkan Allah SWT dalam Alquran sebagai idealita umat terbaik namun dengan realita yang sungguh berbeda. Dari hal-hal yang kecil hingga yang besar, hampir semuanya menampakkan ironi. Islam yang kita anut, mengajarkan kebersihan diri dan kesucian jiwa dalam melaksanakah ibadah, namun kita hidup jauh dari nilai-nilai kebersihan, baik lahir maupun batin. Tidak ada rasa salah, tatkala kita membuang sampah sembarangan. Tidak ada risih menyaksikan kesemrawutan lingkungan, tempat kerja, dan rumah tempat kita tinggal. Kita terbiasa hidup kotor dan semrawut, padahal Islam tidak menyukainya.

Kondisi tersebut menjadi paradoks yang mengusik kesadaran kita sebagai muslim, bagaimana mungkin umat yang sedemikian terpuruknya ini dapat disebut sebagai khairu ummah? Sebaik-baik umat yang dihadirkan ke tengah manusia, untuk memimpin dan memakmurkan dunia. Padahal kita melihat, jangankan untuk memimpin bangsa lain, untuk dapat tegak mandiri di atas kemampuan sendiri pun masih sulit. Jangankan memakmurkan kehidupan umat manusia, dirinya pun dibelit kesengsaraan dan penderitaan yang tiada berujung.
Adakah ayat Allah di atas harus direvisi? Ditafsir ulang karena telah kehilangan konteksnya pada saat ini? Ataukah ayat tersebut telah di-mansukh oleh realita umat sendiri? Sama sekali tidak! Ayat Allah di atas, justru menegaskan kembali tentang jati diri umat ini sebagai khairu ummah. Ayat ini juga hendak memotivasi kita untuk untuk maju dan berprestasi agar menjadi umat terbaik di bumi ini.

Karakteristik Khairu Ummah

Ayat di atas mengungkapkan bahwa umat Islam adalah umat terbaik di antara umat-umat lainnya. Sebelum membahas konsep khairu ummah ini, akan dijabarkan pengertian ummah. Quraish Shihab, dalam Wawasan al-Qur’an (1998), menyatakan kata “ummah” terambil dari kata “amma-yaummu” yang berarti menuju, mampu, dan meneladani. Dari kata yang sama lahir kata “um” yang berarti ibu dan “imâm” yang berarti pemimpin, karena keduanya menjadi teladan, tumpuan pandangan, dan harapan anggota masyarakat. 
Seorang pakar bahasa Alquran yang bernama ar-Raghib al-Asfahani dalam al-Mufradât fi Gahrîb al-Qur’ân sebagaimana dinukil Quraish Shibab, mendefinisikan ummah sebagai kelompok manusia yang dihimpun oleh sesuatu, seperti agama, waktu, dan tempat yang sama, baik terhimpun secara terpaksa maupun suka rela.

Lebih jauh Quraish Shihab menuturkan bahwa “ummah” mengandung arti gerak dinamis, arah, waktu, jalan yang jelas, serta gaya dan cara hidup (way of life). Jika kata “ummah” dan “Islam” digabung, maka ia berarti himpunan manusia yang tidak disatukan oleh tanah air (nasionalisme) atau keturunan (suku), melainkan disatukan oleh keyakinan, yaitu agama Islam. Sejatinya, makna umat Islam ini tidak hanya dimaknai sebagai sesuatu yang statis, yakni kesatuan agama saja, tapi juga dinamis. Dalam arti, menjadikan Islam sebagai cara hidup, cara meraih tujuan, dan tujuan hidup. Dari sinilah kemudian intelektual asal Iran Ali Syariati mengistewakan kata “ummah” dari kata “nation” (bangsa) atau qabilah (suku). Ia mendefinisikan “ummah” sebagai himpunan manusiawi yang seluruh anggotanya bersama-sama menuju satu arah, bahu-membahu, dan bergerak secara dinamis di bawah kepemimpinan bersama.

Khairu ummah bisa menjadi prestasi gemilang bagi umat Islam sebagaimana tergambar dalam ayat Allah diatas, apabila karakteristik khairu ummah terpenuhi. Setidaknya ada tiga karakteristik yang harus dipenuhi yaitu amar ma’ruf, nahi mungkar dan beriman kepada Allah.

Amar Ma’ruf

Pertama, senantiasa menyuruh kepada yang ma’ruf. Ma’ruf ialah nilai-nilai kebaikan yang bersumber dari Alqur’an dan sunnah. Ma’ruf, tolok ukurnya adalah syari’ah. Baik dan buruk, benar dan salah, harus merujuk kepada nilai-nilai Ilahi. Menyuruh kepada yang ma’ruf, menegakkan nilai-nilai Ilahi dalam kehidupan, itulah salah satu karakteristik khairu ummah.

Anjuran berbuat baik tidak hanya untuk sesama Muslim, tapi juga non-Muslim. Meskipun berbeda agama, tidak ada larangan dalam Islam menyuruh non-Muslim berbuat baik. Begitu juga anjuran untuk mencegah kemungkaran. Siapa pun, baik Muslim atau non-Muslim, jika ia melakukan kezaliman, baik terhadap diri sendiri maupun masyarakat, harus dicegah sesuai dengan kemampuan. Inilah syarat pertama yang harus terpenuhi jika umat Islam ingin tampil sebagai umat terbaik.

Nahi Mungkar

Kedua, selalu berupaya mencegah kemungkaran. Mungkar, sesuatu yang asing, bertentangan dan ditolak oleh syari’ah. Segala sikap, perilaku dan nilai yang tidak selaras dengan nilai-nilai Islam. Nahi mungkar dan amar ma’ruf, adalah dua hal yang senafas, karena tidaklah mungkin menyeru kepada kebaikan tanpa diiringi dengan usaha mencegah kemungkaran.

Amar ma’ruf dan nahi mungkar, adalah pagar yang melindungi bangunan Islam, demikian syaikh Sa’id Hawwa menggambarkan posisinya dalam bangunan keutuhan Islam. Jika umat Islam sudah beramar ma’ruf dan bernahi mungkar dengan benar serta nilai-nilai Islam memancar dalam tingkah laku dan perbuatan mereka karena menjadikan Islam sebagai konsep hidup, maka insya Allah umat Islam akan menjadi khairu ummah.

Beriman Kepada Allah SWT

Dan semua itu, dibingkai dan dilandasi dengan keimanan kepada Allah. Ini menjadi karakteristik ketiga khairu ummah. Landasan inilah yang mengikat aktifitas amar ma’ruf nahi mungkar. Tanpa iman, seruan kepada kebaikan adalah hampa dan tanpa nilai. Bilapun memiliki nilai, sangatlah rendah dan dangkal, karena seruan itu berlandaskan pada nilai-nilai duniawi dan materi. Begitupula apabila nahi mungkar tidak diikat oleh keimanan, ia bisa menjadi ajang balas dendam, pelampiasan kebencian dan kedengkian. Menghapus kedzaliman harus dengan keadilan. Kedzaliman tidak bisa lenyap dengan kedzaliman.

Umat Islam akan tampil sebagai umat terbaik, jika keimanan kepada Allah tidak hanya terjelma dalam bentuk ritual semata, tapi juga menjadi konsep hidup, baik hubungan individual maupun sosial mulai dari lingkup keluarga sampai masyarakat, baik lokal, regional maupun internasional. Konsep yang diajarkan Islam dalam hidup bersama adalah berbuat baik terhadap orang lain, bukan menyakiti. “… Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu,” (QS. al-Qashash [28]: 77).

Itulah tiga karakteristik khairu ummah. Apabila kita melihat ketidaksesuaian realita umat dengan kondisi ideal tersebut, saatnya kita bertanya, sudahkah ketiga kondisi itu menjadi karakter diri, keluarga dan masyarakat kita? Saatnya kita memperbaiki diri dan menyeru sesama. Ashlih nafsaka wad’u ghairaka!

Fathurrahman al Katitanji, Santri PPUII, Mahasiswa FIAI ’04, Ketua LDF JAF FIAI UII 2006-2007, Dewan Kehormatan Kodisia

Artikel ini pernah dipublikasikan dalam Buletin Al-Rasikh terbita Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam (DPPAI) Universitas Islam Indonesia (UII) Edisi 7 Desember 2007. Artikel ini dapat diakses dari link ini.

Unduh Artikel