Haramkah Merayakan Tahun Baru?

“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran dan bertakwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.

(Q.S al-Maidah [05]: 2)

Fakta telah berbicara bahwa banyak pemuda muslim saat ini yang kerap-kali merayakan tahun baru Masehi dengan perayaan yang identik dengan maksiat, begadang semalam suntuk di pinggir pantai, foya-foya, mabuk-mabukan, bahkan tidak sedikit yang melakukan perbuatan zina. Seandainya ini terus kita biarkan, berarti kita telah membiarkan setan tertawa terbahak-bahak melihat anak Adam bermaksiat secara masal. Mengapa kita tidak mengisi hari-harinya dengan berzikir, membaca al-Qur’an, shalawatan, mengadakan pengajian, dan amal kebajikan lainnya yang sekiranya lebih bermanfaat untuk kita? Inilah problem sosial dan krisis iman yang banyak dihadapi pemuda-pemudi saat ini.

Pertanyaan yang cukup menarik sekarang adalah apakah benar perayaan tahun baru masehi itu diharamkan? Jikalau demikian, alangkah naifnya manusia yang merayakan sesuatu yang pada hakekatnya memang diharamkan dengan perbuatan maksiat? Ibaratkan memupuk dosa dalam api neraka? Sudah tahu ada duri di depan mata, tapi malah diinjak seakan-akan tidak akan terjadi apa-apa.

Melihat Hakekat dalam Sejarah

Sebelum membahas lebih jauh tentang hukum perayaan menyambut tahun baru, mari kita simak terlebih dahulu sejarah penetapan tanggal 1 Januari sebagai pertanda tahun baru. Bila melihat sejarahnya, penetapan 1 Januari sebagai pertanda tahun baru bermula pada abad 46 sebelum masehi (SM). Ketika itu kaisar Julius Caisar membuat kelender matahari, kelender yang dinilai lebih akurat ketimbang kalender-kalender lain yang pernah dibuat sebelumnya.

Sebelum Caesar membuat kalender Matahari, pada abad 153 SM, Janus seorang pendongeng di Roma yang menetapkan awal mula tahun. Dengan dua wajahnya, Janus mampu melihat kejadian di masa lalu dan masa depan. Dialah yang menjadi simbol kuno resolusi (sebuah pencapaian) tahun baru. Bangsa Roma berharap dengan dimulainya tahun yang baru, kesalahan-kesalahan di masa lalu dapat dimaafkan. Sebagai penebus dosa, tahun baru juga ditandai dengan tukar kado.Setelah menyimak sejarahnya, marilah kita lihat dalil-dalil dari Kitabullah, as-Sunnah dan atsar-atsar yang shahih yang melarang untuk menyerupai orang-orang kafir di dalam hal yang menjadi ciri dan kekhususan mereka.

Menyerupai Orang Kafir?

Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa tahun baru masehi awalnya merupakan suatu ritual bangsa Roma dan bahkan dianggap sebagai penebus dosa. Tahun baru merupakan suatu hari yang datang kembali dan terulang, yang diagung-agungkan oleh orang-orang kafir atau sebutan bagi tempat orang-orang kafir dalam menyelenggarakan perkumpulan keagamaan. Jadi, setiap perbuatan yang mereka ada-adakan di tempat-tempat atau waktu-waktu seperti ini maka itu termasuk hari besar mereka. Karenanya, larangannya bukan hanya terhadap hari-hari besar yang khusus buat mereka saja, akan tetapi setiap waktu dan tempat yang mereka agungkan yang sesungguhnya tidak ada landasannya di dalam agama Islam, demikian pula, perbuatan-perbuatan yang mereka adakan di dalamnya juga termasuk ke dalam hal itu. Ditambah lagi dengan hari-hari sebelum dan sesudahnya yang nilai religiusnya bagi mereka sama saja sebagaimana yang disinggung oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah. Diantara ayat yang menyebutkan secara khusus larangan menyerupai hari-hari besar mereka adalah firmanNya: “Dan orang-orang yang tidak menyaksikan az-zûr”.(QS al-Furqân[25]: 72).

Ayat ini berkaitan dengan salah satu sifat para hamba Allah yang beriman. Sekelompok ulama seperti Ibnu Sirin, Mujahid dan Ar-Rabi’ bin Anas menafsirkan kata “Az-Zûra” (di dalam ayat tersebut) sebagai hari-hari besar orang kafir. Dalam hadits yang shahih dari Anas bin Malik r.a dia berkata, saat Rasulullah s.a.w datang ke Madinah, mereka memiliki dua hari besar untuk bermain-main. Lalu beliau bertanya, “Dua hari untuk apa ini?”. Mereka menjawab,”Dua hari dimana kami sering bermain-main di masa jahiliyah”. Lantas beliau bersabda, “Artinya: sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian untuk keduanya dua hari yang lebih baik dari keduanya: Idul Adha dan Idul Fitri”.

Demikian pula terdapat hadits yang shahih dari Tsabit bin Adh-Dhahhak r.a. bahwasanya dia berkata, “Seorang laki-laki telah bernadzar pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyembelih onta sebagai qurban di Buwanah. Lalu dia mendatangi Rasulullah s.a.w sembari berkata, “Sesungguhnya aku telah bernazar untuk menyembelih onta sebagai qurban di Buwanah. Lalu Nabi s.a.w bertanya, “Apakah di dalamnya terdapat salah satu dari berhala-berhala Jahiliyyah yang disembah? Mereka menjawab, “Tidak”. Nabi bertanya lagi, “Apakah di dalamnya terdapat salah satu dari hari-hari besar mereka?”. Mereka menjawab, “Tidak”. Rasulullah sa..w bersabda, “Tepatilah nadzarmu karena tidak perlu menepati nadzar di dalam berbuat maksiat kepada Allah dan di dalam hal yang tidak dipunyai (tidak mampu dilakukan) oleh manusia”.

Umar bin Al-Khaththtab r.a. berkata, “Janganlah kalian mengunjungi kaum musyrikin di gereja-gereja (rumah-rumah ibadah) mereka pada hari besar mereka karena sesungguhnya kemurkaan Allah akan turun atas mereka”. Dia berkata lagi, “Hindarilah musuh-musuh Allah pada momentum hari-hari besar mereka”. Abdullah bin Amr bin Al-Ash ra. dia berkata, “Barangsiapa yang berdiam di negeri-negeri orang asing, lalu membuat tahun baru dan festival seperti mereka serta menyerupai mereka hingga dia mati dalam kondisi demikian, maka kelak dia akan dikumpulkan pada hari kiamat bersama mereka”.

Berdasarkan paparan yang telah dikemukakan di atas, maka tidak boleh hukumnya seorang muslim yang beriman kepada Allah sebagai Rabb dan Islam sebagai agama serta Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, mengadakan perayaan-perayaan hari-hari besar yang tidak ada landasannya dalam agama Islam, termasuk diantaranya pesta ‘Tahun Baru’, apalagi bila dimeriahkan dengan sajian-sajian maksiat. Serta tidak boleh hadir pada acaranya, berpartisipasi dan membantu dalam pelaksanaannya dalam bentuk apapun karena hal itu termasuk dosa dan melampaui aturan-aturan Allah sedangkan Allah sendiri telah berfirman dari potongan ayat muqodimah diatas, “Dan janganlah bertolong-tolongan di atas berbuat dosa dan melampaui batas, bertakwalah kepada Allah karena sesungguhnya Allah amat pedih siksaanNya” (QS. al-Maidah[05]: 2).

Rasulullah SAW bersabda: من تشبه بقوم فهو منهم “Siapa yang menyerupai pekerjaan suatu kaum (agama tertentu), maka dia termasuk bagian dari mereka.” Namun sangat disayangkan masih banyak di antara kaum muslimin yang meniru-niru perayaan mereka. Bahkan ada yang ikut merayakan hari raya mereka. Diantaranya ada yang memberikan ucapan selamat atau ikut meramaikannya dengan pelbagai acara seperti meniup terompet pada malam tahun baru dan yang semisalnya.

Menciptakan Perubahan dan Sejarah Baru

Sulit dipungkiri bahwa kebanyakan orang-orang merayakan malam tahun baru dengan minum khamar, tertawa dan hura-hura, konvoi keliling kota, bahkan tidak sedikit yang berzina, bergadang semalam suntuk menghabiskan waktu dengan sia-sia. Padahal Allah SWT telah menjadikan malam untuk berisitrahat (QS al-Naba’[78]: 9-10), bukan untuk melek sepanjang malam, kecuali bila ada anjuran untuk shalat malam (QS al-Isrâ’[17]: 79).

Kebiasaan yang sudah menjamur nan menyesatkan inilah yang perlu kita ubah. Kita bisa menghabiskan hari dan malamnya dengan kegiatan-kegiatan islami, mengadakan pengajian, berdiskusi, atau mungkin mengundang penceramah untuk memberikan siraman rohani, atau mengadakan kegiatan sosial lainnya seperti menyantuni panti asuhan dan lain sebagainya. Kita ubah sesuatu yang buruk menjadi baik, hitam menjadi putih, bau busuk menjadi harum semerbak, keruh menjadi jernih, dan maksiat menjadi pahala. Kita isi dengan segala sesuatu yang positif. Namun dengan catatan bahwa kita mengadakan kegiatan tersebut bukan atas dasar niat untuk merayakan tahun baru seperti halnya orang kafir. Rasulullah SAW bersabda: “sesungguhnya segala amal tergantung pada niatnya dan seseorang akan dibalas sesuai dengan yang diniatkan”(HR Bukhari-Muslim).

Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa merayakan tahun baru Masehi adalah haram hukumnya, apalagi bila mengisinya dengan amal yang sia-sia dan penuh maksiat yang menyesatkan. Namun ada pendapat yang membolehkan untuk melakukan hal-hal positif di dalamnya, seperti halnya mengadakan pengajian dengan syarat tidak disertai dengan niat untuk merayakan tahun baru tersebut namun hanya untuk mengharap ridho Allah SWT.

Wallahu ‘alam bi ash-showab

Arjun Thohuri, Jurusan Tarbiyah FIAI UII dan Santri PONPES UII, Angkatan 2008.

Artikel ini dipublikasikan di Al-Rasikh Lembar Jumat Masjid Ulil Albab terbitan terbitan Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam (DPPAI) Universitas Islam Indonesia (UII). Artikel ini dapat diakses dari http://alrasikh.uii.ac.id/2009/12/29/haramkah-merayakan-tahun-baru/.

Unduh Artikel