Transfer of Character in Digital Era

Penulis : Syaifulloh Yusuf

Dosen PAI-FIAI UII

 

                Berbicara karakter, tentu tidak lepas dari makna akhlak. Akhlak tidak hanya yang baik, “akhlakul madzmumah” juga menggunakan kata “akhlak”, namun akhlak buruk. Begitu pula karakter, pasti ada karakter baik dan karakter buruk. Dimana letak karakter seseorang dan pada posisi apa karakter tersebut ditempatkan?

Namun, terkadang manusia sangat lupa bahwa penilai dirinya adalah orang lain. Manusia lupa bahwa dirinya memiliki karakter yang tidak disadari ada padanya. Ia merasa karakter dirinya sudah baik, padahal orang lain memandang secara umum karakternya buruk. Sebaliknya, seseorang memandang orang lain memiliki karakter buruk, padahal karakter orang tersebut baik. Hal ini mendekati pengqiasan seperti firman Allah SWT dalam Q.S Al-Baqarah: 216, bahwa bisa saja kita membenci sesuatu, padahal itu baik bagi kita, dan bisa saja kita menyukai sesuatu padahal itu buruk bagi kita.

Karakter lebih identik dengan sebuah kebiasaan. Kebiasaan baik dapat dikatakan sebagai karakter baik, sebaliknya karakter buruk selalu identik dengan kebiasaan seseorang dalam hal keburukannya. Saya pribadi dapat melihat pembagian karakter dapat dikategorikan menjadi dua hal, pertama, soft character dan kedua, hard character. Soft Character merupakan sebuah kebiasaan yang dilakukan seseorang tanpa membutuhkan perangkat keras yang terlihat, seperti jujur, bohong, amanah, khiyanah, tanggungjawab, dan seterusnya. Namun, hard character merupakan kebiasaan yang dilakukan harus dengan kerja keras yang terlihat, seperti kreatif, kerja keras, disiplin, gemar membaca, peduli sosial, peduli lingkungan, dan lain lain.

Transfer of Character in Digital Era merupakan sebuah terobosan yang sekaligus menjadi tantangan dan peluang. Bagaimana tidak, jika teknologi canggih terus bergulir di hadapan kita dengan segala macam perubahannya, maka apakah character tidak berubah? Tidak mungkin (untuk tidak mengatakan mustahil). Pasti karakter akan berubah mengikuti zaman teknologi yang semakin pesat perubahannya. Sebagai umat beragama, tentu memiliki keyakinan pada agamanya masing-masing bahwa setiap agama mempertahankan nilai-nilai religiusnya. Artinya bahwa nilai-nilai karakter religius harus dijaga sebaik mungkin agar tidak tergerus dengan canggihnya teknologi yang melupakan manusia.

Jika saya ditanya, “apakah tidak penting adanya teknologi”? jawaban saya tentu penting, bahkan saya jawab sangat penting sekali. Tanpa adanya teknologi canggih, ibarat Tuhan melihat hambaNya tidak memiliki potensi untuk berkembang dan maju. Namun, jika perkembangan teknologi terus maju, maka Tuhan pun melihat bahwa hambaNya menuju sebuah kemajuan yang terang benderang. Bagaimana keefektifan transfer of character in digital era ini dapat dilakukan? Pasti dengan memegang prinsip keimanan yang kuat dengan keislaman yang dilakukan sehari-hari secara taat. Tidak tergiur dengan teknologi yang membuat lupa, namun memanfaatkan teknologi untuk membuat karakter baik pada dirinya.

Saya ambil contoh kecil saja yang harus dilirik setiap saat oleh semua orang, yakni sebuah silaturrahmi. Hal ini merupakan kegiatan penting yang harus dilakukan setiap orang untuk mempererat persaudaraan. Uniknya, silaturrahmi dilakukan (saat ini) tidak langsung berkunjung ke rumah-rumah. Namun, media komunikasi melalui handphone dilakukan dengan adanya teknologi canggih. Ada dua perspektif dalam contoh kecil ini, pertama, seseorang akan tetap menjaga silaturrahminya melalui alir telekomunikasi handphone dan sejenisnya. Kedua, tidak melakukan silaturrahmi dengan alasan bahwa silaturrahmi seharusnya dilakukan langsung dengan datang ke rumahnya. Bukan menyalahkan salahsatu perspektif diantaranya, namun tetap perspektif pertama yang lebih baik dilakukan.

Contoh kedua, mungkin saya visualisasikan sebagai bahan diskusi akademik. Bagaimana transfer of knowledge in digital era bagi millenial era (anak zaman now) dan old era (orang dulu) dengan objek karakter kemandirian? Ini sering sekali didiskusikan baik persamaannya maupun perbedaannya. Tentu lebih banyak perbedaan daripada persamaan yang ada sejak teknologi berkembang pesat. Manusia dulu (old era tahun 1980 an hingga 2000 an) kemandirian dicontohkan dengan mencari ilmu secara sungguh-sungguh mulai dari berangkat sendiri, memasak sendiri, jalan kaki sendiri, pulangpun sendiri, dan memecahkan persoalan-persoalan sendiri. Sekarang? (bukan untuk merendahkan), namun memiliki perbedaan terbalik, berangkat diantarkan orangtua, memasak (tinggal pesan), pergi diantar kendaraan, persoalan dikembalikan kepada orangtua, dan tanggungjawab kemandirian dirinya ada pada orang lain.

Singkat kata, tidak ada zaman yang lebih baik, dan begitu juga sebaliknya. Untuk mengakhiri tulisan singkat ini, teringat Qur’an Surat Al-Qashash: 77, bahwa hidup itu penuh keseimbangan, antara dunia dan akhirat, keduanya dibungkus dengan syukur dan kebahagiaan. Pada tulisan transfer of character in digital era ini, saya hanya ingin memberikan oleh-oleh bagi para pembaca untuk menerapkan sikap “MANDIRI” dalam setiap keadaan. Satu saja oleh-oleh dari saya untuk dilakukan, namun istiqomahlah untuk melakukannya. InsyaAllah semua dapat meraih karakter yang baik dengan segala macam tantangannya. Semoga!

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *