Puasa Sepanjang Hayat
Penulis : M. Mizan Habibi
Kepala Pusat Studi Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Islam dan Dosen PAI-FIAI UII
Puasa nyatanya tidak hanya menahan lapar dan dahaga. Kalau kita dalam kondisi tidak lapar dan tidak dahaga, dihadapan wajah ada es teler dan batagor, lalu kita tergoda dan menyantapnya di jam 12 siang karena tak tahan mencium aromanya, maka sia-sialah pertahanan diri dari semenjak subuh hingga bedug tiba. Niat puasanya batal seketika.
Sejatinya, puasa juga tentang pertahanan diri dari gempuran godaan, pengendalian diri dari hawa nafsu, dan peperangan melawan aroma sate klathak dan sejenisnya. Puasa semacam dengan sekuat tenaga dan fikiran untuk mengatakan ‘tidak’, padahal kita mampu menggapainya. Juga layaknya pernyataan ‘jangan’, karena tahu kalau itu negatif dan berbahaya. Termasuk sikap menarik nafas, lalu mbatin ‘nanti dulu’, saat waktunya tiba.
Ragam kesadaran tersebut di atas merupakan bagian dari cara menyeimbangkan hidup. Kalau hidup kadang-kadang perlu ngegas, perlu optimis, serta semangat menggapai sesuatu, maka puasa merupakan regulasi diri untuk ngerem. Manajemen untuk menahan diri.
Ngegas dan menahan diri sama-sama pentingnya. Ngegas adalah bukti semangat aktif menunaikan segala aktivitas baik. Sebagaimana rajin sholat, menabung, mancing, main bola, nraktir teman, dan Dan menahan diri adalah strategi untuk mengerti batas agar tidak bablas. Makan itu baik, namun kalau tiba-tiba makan seperti Tanboykun, meledaklah perut kita.
***
Puasa, secara syariat memang menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkannya, dari waktu shubuh tiba hingga maghrib senja. Namun hakikatnya, puasa tidak hanya sekedar menahan diri dari lapar, dahaga, ngudud, dan kawan-kawannya itu, namun dibaliknya ada semacam latihan untuk kuat dan menyala mengendalikan diri dari segala sesuatu yang berdampak negatif bagi diri kita, sepanjang hari dan sepanjang hayat.
Oleh karenanya, puasa merupakan ikhtiar mengendalikan amarah dengan senyuman, egoisme dengan kebersamaan, apatisme dengan kepedulian, sombong dengan kerendahan hati, rasa benci dengan kasih sayang, berlebih-lebihan dengan secukupnya, dan sikap merendahkan dengan menyemai rasa hormat. Termasuk pengendalian terhadap perilaku koruptif, laku menguasai sesuatu yang bukan haknya.
Proses pengendalian diri sebagai subtansi dari puasa membutuhkan latihan dan pembiasaan. Tidak ujug-ujug. Tidak pula mak bedunduk. Tidak tiba-tiba. Melalui proses keduanya, pengendalian diri berpotensi tumbuh menjadi bagian dari diri seutuhnya. Mengkristal dan lekat.
Selain dalam surat Al-Baqarah ayat 183, Allah berpesan pula tentang puasa dalam Surat Maryam ayat 26:
فَكُلِيْ وَاشْرَبِيْ وَقَرِّيْ عَيْنًاۚ فَاِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ اَحَدًاۙ فَقُوْلِيْٓ اِنِّيْ نَذَرْتُ لِلرَّحْمٰنِ صَوْمًا فَلَنْ اُكَلِّمَ الْيَوْمَ اِنْسِيًّاۚ
“Makan, minum, dan bersukacitalah engkau. Jika engkau melihat seseorang, katakanlah, ‘Sesungguhnya aku telah bernazar puasa (bicara) untuk Tuhan Yang Maha Pengasih. Oleh karena itu, aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini”.
Dalam sejarah, Maryam pernah difitnah. Karena melahirkan bayi laki-laki, yang kelak Bernama Isa, tanpa seorang suami. Lalu, Allah memberikan pentujuk kepadanya untuk tidak perlu risau dan tidak perlu merespon fitnah dan segala tuduhan. Puasa untuk tidak berbicara sebagaimana pesan ayat di atas, menggambarkan bahwa hakikat puasa adalah ilmu nahan, tryout ngontrol, dan bisa jadi melatih ke-waspada-an.
***
Bisa jadi, sebagai bentuk ikhtiar ruhaniyah, salah satu kewajiban yang harus dilakukan pemimpin negeri ini, di level manapun, adalah menjalankan puasa. Rutin. Minimal senin-kemis. Agar dirinya terlatih untuk mengendalikan diri. Sehingga resisten dari godaan seenaknya sendiri, korupsi, dan mengoplos pertamax dengan minyak kasturi.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!