Mengapa Klitih Semakin Ngawur?

 

Penulis : Kurniawan Dwi Saputra

Dosen PAI-FIAI UII

Ketika SD, hampir setiap hari saya nglitih. Sepulang sekolah, bersama gank anak-anak laki-laki di sekolah, saya bergerombol menyusuri satu-satunya jalan desa, kemudian menyelinap di sungai-sungai, atau ke kebun-kebun tetangga untuk mencari ikan, menjerat burung, atau sekedar latihan berenang. Akan tetapi, kecuali jika mencuri rambutan adalah kriminal, kami tidak melakukan tindak kejahatan apapun. Klitih kami ketika itu bermakna kegiatan mengisi waktu kosong lepas jam sekolah.

Karena itu, saya terkejut ketika belakangan ini di Jogja, makna klitih berubah menjadi menyeramkan: kegiatan mengisi waktu luang yang dilakukan pelajar dengan melakukan tindak kekerasan. Mula-mula klitih ditujukan hanya kepada anak-anak sekolah lain yang dianggap lawan. Pelaku klitih adalah anggota gank sekolah yang ingin menunjukkan eksistensi dirinya melalui tindak kekerasan yang ia lakukan terhadap anggota gank musuh. 

Akhir-akhir ini, korban klitih semakin acak, dari mahasiswa pendatang, pengendara ojol, hingga masyarakat umum. Bertambah ngawurnya fenomena klitih ini sangat mengganggu citra Jogja sebagai kota pelajar dan destinasi wisata yang berhati nyaman. Apakah kiranya yang menyebabkan klitih semakin ngawur? Menurut saya, setidaknya ada empat hal yang menyebabkan semakin marak dan acaknya pola klitih dewasa ini.

  1. Kesuntukan #dirumahaja

Merebaknya Pandemi Covid-19 menyebabkan perubahan pola hidup umat manusia. Kebijakan pemerintah untuk membatasi kegiatan massal untuk mencegah penularan Covid-19 membuat banyak kegiatan dilakukan di rumah, termasuk bekerja dan belajar. Di satu sisi, hal ini memungkinkan orang-orang memiliki waktu dan perhatian lebih untuk keluarga. Akan tetapi, ternyata kebijakan darurat #dirumahaja memiliki dampak buruk.

Terlalu lama di rumah membuat orang suntuk. Bagi mereka yang mata pencahariannya harus dilakukan di luar rumah, berdiam diri di dalam rumah membuat mereka tertekan oleh pikiran tentang bagaimana dapat menghasilkan uang. Bagi yang bisa bekerja dari rumah, mereka stres dengan tuntutan beban pekerjaan yang harus dibagi dengan tanggungjawab mengatur rumah dan menjadi orang tua. Sebagai akibat, kekerasan terhadap anak meningkat selama pandemi ini. Data SIMFONI PPA Kementrian Perberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat terjadinya 5.679 kekerasan terhadap anak dari 1 Januari sampai 23 September 2020. Menurut dr. Soeroyo Mahfudz, dosen FK UII, kekerasan terhadap anak biasanya akan membuat anak tertutup, mudah marah dan cenderung kasar.

Semakin maraknya kekerasan dari orang tua, membuat anak-anak melampiaskan emosinya dengan berkumpul bersama gank mereka, baik secara virtual maupun pertemuan langsung di tempat dan waktu yang tak terpantau. Pertemuan ini dapat terjadi kapan saja. Inilah yang menjawab pertanyaan mengapa klitih akhir-akhir ini tidak hanya terjadi pada akhir pekan. Berdasarkan keterangan mantan pelaku di podcast mojok.com, klitih dahulu dilakukan pada hari Jumat dan Sabtu karena pada hari-hari itu mereka dapat menandai musuh dari seragam sekolahnya yang berbeda dari hari-hari lain.

  1. Pembelajaran Daring

Selain kekerasan yang meningkat di rumah karena suntuk #dirumahaja, pembelajaran daring juga turut berperan mengubah pola klitih menjadi lebih ngawur. Seperti disebutkan di atas bahwa klitih mula-mula mengincar korban pelajar sekolah musuh dengan mengidentifikasi seragam yang dikenakan. Masih menurut keterangan mantan pelaku di podcast mojok.com, sekolah-sekolah di Jogja kebanyakan memiliki seragam khusus yang berbeda dari sekolah lain di hari Jum’at dan Sabtu. Ini membuat pelaku klitih dapat mengidentifikasi korbannya dengan mudah. Masalahnya adalah, jika sekolah dilaksanakan secara daring, tentu tidak ada yang pakai seragam. Sementara itu, aktivitas gank sekolah dan rutinitas regenerasi terus berjalan di masa Pandemi. Karena itulah pelaku klitih kemudian menyasar korban-korban yang random.

  1. Mabar

Apakah bermain game online dengan konten kekerasan dapat memicu orang untuk melakukan kekerasan? Jawaban pertanyaan ini memang masih menjadi perdebatan. Dikutip dalam Kompas (2017), penelitian Dr Gregor Szycik dari Hannover Medical School menunjukkan bahwa tidak ada pengaruhnya antara bermain game-game seperti Call of Duty dan Counterstrike terhadap perilaku agresif seseorang. Akan tetapi, Dr Gregor Szycik juga menggarisbawahi bahwa penelitian itu dilakukan kepada orang dewasa dan bahkan meminta orang tua untuk menjaga anak-anak dari bermain game kekerasan hingga usia dewasa.

Sebaliknya, penelitian dari American Psychological Association (APA), menegaskan bahwa bermain game dengan konten kekerasan dapat meningkatkan pikiran, perasaan dan tindak kekerasan seseorang (Anderson, 2000). Sementara itu, lembaga Kontra Terorisme PBB, menjelaskan juga bahwa terorisme memanfaatkan ruang-ruang interaksi dalam video games online untuk merekrut, melakukan radikalisasi dan menyebarkan propaganda mereka. Bahkan salah satu video propaganda dari ISIS adalah editan dari video Grand Theft Auto yang disisipi pesan propaganda berikut: “your games which are producing from you, we do the same action in the battlefields!” (Rose, 2014).

  • Surplus-enjoyment

Dari video-video wawancara dengan mantan pelaku klitih yang saya saksikan, mereka semua sama-sama mempertanyakan dan tak habis pikir mengapa sekarang klitih berkembang menjadi lebih acak dan beringas. Selain hal-ihwal yang saya paparkan di atas, ada satu hal menurut saya perlu kita camkan dari jawaban mantan pelaku klitih yang ditahan di rutan anak Gunung Kidul berikut:

Wah aku kudu nglitih, kudu iso nyabet. Harus bisa lebih berani dari dia.”

Pernyataan tersebut, jika dibaca secara psikoanalisis Lacanian mencerminkan logika surplus-enjoyment, yaitu hasrat untuk terus menerus mendapatkan yang lebih dari sebelumnya. Jika seniornya hanya menggunakan tongkat kasti, juniornya ingin lebih hebat dengan memakai tongkat besi. Jika senior hanya melukai, junior ingin lebih sadis lagi. Seperti pepatah kuno di dunia pendidikan yang agaknya perlu kita cermati lagi, “guru kencing berdiri, murid kencing berlari.”

Hasrat yang tidak terkontrol itu kemudian menempatkan pelaku klitih ke dalam posisi yang disebut oleh Hannah Arendt sebagai banalitas kekerasan, bahwa pelaku klitih tidak menyadari kejahatannya, karena mereka tidak dapat menempatkan diri mereka untuk berpikir dari sudut pandang orang lain. Semoga ke depannya, kita semua, pemerintah dan masyarakat Yogyakarta dapat mengatasi masalah klitih ini hingga ke akar-akarnya.

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *