Learning Through Pandemic: Belajar Kembali Hakikat Pendidikan dari Pembelajaran Online.

Penulis : Kurniawan Dwi Saputra

Dosen PAI- FIAI UII – Kepala MEC Prodi PAI

 

Pembelajaran daring yang terpaksa dilangsungkan akibat Pandemi Covid-19 ini memiliki banyak masalah. Kita semua tahu. Siapapun Anda: pelajar, wali murid, hingga guru atau dosen pasti merasakannya. Ironisnya, di antara masalah utama dalam pembelajaran daring ini adalah semakin banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan dan harus diatur dengan baik demi berlangsungnya sebuah proses pembelajaran. Too many things to learn, too little time to think.

Tentu saja, Anda kini tidak perlu ke sekolah atau kampus untuk belajar. Anda cukup duduk manis di dalam rumah dan menyalakan laptop atau handphone. Anda juga bisa belajar sembari ngopi atau ngemil. Mengasyikkan bukan? Akan tetapi, di balik itu semua, ada lebih banyak hal untuk diatur agar kita dapat belajar dengan baik.

Bagi pelajar, terutama yang tinggal di daerah terpencil, pembelajaran daring jauh lebih menyulitkan daripada pembelajaran tatap muka. Anda harus mencari tempat dengan sinyal yang baik dan stabil. Bagi mereka, hal itu berarti harus keluar dari rumah, pergi ke tempat saudara, tetangga atau ke warnet. Untuk beberapa orang, seperti di kampung kelahiran saya di pelosok Bengkulu, itu berarti harus naik turun bukit untuk mencari daerah yang terjangkau jaringan. Contoh riilnya adalah apa yang dialami Idim, mahasiswa IPB, yang harus berjalan kaki kurang lebih 30 menit untuk mencapai lokasi yang terjangkau sinyal (Kasih, 2020).

Tapi, pelajar dengan jaringan internet yang baik pun belum tentu dapat belajar dengan tenang. Sebagian orang tua menganggap keberadaan anak mereka di rumah adalah sama seperti liburan. Jadi, mereka dituntut untuk membantu tugas-tugas rumah tangga selayaknya hari-hari libur sekolah. Tugas itu terkadang terlihat sepele namun sangat tidak bisa dilakukan berbarengan dengan kegiatan pembelajaran, misalnya mengasuh adik.

Bagi banyak wali murid, pembelajaran daring artinya mereka diminta untuk melakukan tugas orang tua yang mereka pikir sudah dialihkan kepada para guru/dosen dengan membayar SPP: mengajar anak-anak dan membimbing mereka mengerjakan tugas. Masalahnya, tidak semua materi pembelajaran dapat mereka jelaskan. Bagi sebagian wali murid yang lain, pembelajaran daring adalah pemborosan. Di tengah perekonomian yang tidak jelas akibat pandemi, mereka tetap harus membayar biaya sekolah/kuliah sementara anak-anak mereka terlantar di rumah, kebanyakan hanya nonton film korea atau main game. Selain itu, kebutuhan untuk biaya listrik dan internet juga meningkat. Apalagi bila anak-anak mereka harus tetap membayar biaya kos karena barang-barangnya belum diangkut.

Bagi guru atau dosen, pembelajaran daring sebenarnya juga semakin menyibukkan. Mereka harus mengajar sembari diganggu anak-anak yang merengek. Pembelajaran pun kehilangan nuansa mengasyikkannya karena tak ada interaksi yang hangat. Yang ada di hadapan mereka adalah layar-layar hitam, anak-anak jarang on camera. Itu seperti orang schizhoprenia yang berbincang dengan dirinya yang lain. Tugas-tugas anak didik yang biasanya dapat dikoreksi dengan cepat kini harus diperhatikan dengan njelimet; butuh waktu yang sangat banyak. Bayangkan jika Anda mengajar lima kelas dengan murid 40 orang perkelas dan masing-masing membuat video berdurasi 5 menit! Anda membutuhkan waktu 1000 menit atau 16 jam lebih untuk mengoreksi satu tugas. Jika menggunakan aplikasi yang sistematis seperti google form atau mentimeter pun, butuh waktu untuk mempersiapkannya.

Dari masalah-masalah di atas, pandemi sebenarnya mengajarkan kita kembali tentang makna pendidikan. Di antaranya adalah sebagai berikut: pertama, bahwa pendidikan adalah hak setiap anak bangsa, karena itu pemerintah perlu menyediakan akses dan fasilitas yang baik bagi setiap anak bangsa di seluruh penjuru negri. Kedua, para pelajar perlu memahami bahwa pendidikan adalah bukan hanya tentang materi kognitif, melainkan juga sikap efektif dan psikomotorik. Karena itu, penting untuk dicamkan bahwa sikap hormat dan komunikatif kepada guru harus tetap ditunjukkan meski dalam pembelajaran daring. Ketiga, para wali murid perlu menyadari bahwa bagaimanapun pendidikan anak-anak pertama-tama berada dalam tanggungjawab orang tua. Maka, kita tidak bisa mengalihkan pendidikan mereka, terutama dalam hal moralitas, kepada siapapun meskipun telah membayar mahal. Keempat, para guru dan dosen perlu menerima bahwa tanggungjawab mendidik tidak bisa disederhanakan, misalnya dengan sekadar memberi murid tugas. Karena itu, beban kerja yang semakin berat tersebut harus diterima dengan benar, dengan kesungguhan memperbaiki media dan metode pembelajaran, dan dengan kesediaan untuk lebih menerima kekurangan murid melalui sikap memahami dan komunikatif.

Wallahu ta’ala a’lam.

 

Referensi

Kasih, Ayunda Pininta. 2020. Perjuangan Mahasiswa IPB Naik Turun Bukit untuk “Kuliah Online”. www.kompas.comhttps://www.kompas.com/edu/read/2020/04/08/140000671/perjuangan-mahasiswa-ipb-naik-turun-bukit-untuk-kuliah-online-?page=all Diakses pada 30 Agustus 2021.

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *