Guru MODIIS Idola Generasi Emas, seperti apa?

Penulis : Burhan Nudin

Dosen PAI- FIAI UII dan Kepala Pusat P3I Prodi PAI

 

Guru dalam tradisi Jawa merupakan akronim dari digugu lan ditiru (orang yang dipercaya dan diikuti), bukan hanya bertanggung jawab mengajar mata pelajaran yang menjadi tugasnya, melainkan lebih dari itu juga mendidik moral, etika, integritas, dan karakter. Martin Luther King Jr menyatakan, “Intelegence plus character; that is the true goal of education.” lebih dari itu adalah salah satu bagian penting dalam menentukan keberhasilan pendidikan (Husodo, 2015).

Tugas dan tanggungjawab guru tak sekedar memberikan informasi dan sejumlah mata pelajaran di depan peserta didik. Tugas terberat guru adalah membantu peserta didik mewujudkan impian-impiannya di masa depan. Dalam rangka menyiapkan bangkitnya generasi emas Indonesia tahun 2045, diperlukan pembangunan pendidikan dalam perspektif masa depan (Peta Jalan GEI, Kemdibud, 2017). Oleh sebab itu, peran guru tidak hanya sebagai pembimbing akademik tetapi juga harus mampu membekali mindset inovatif. Sehingga, anak didik bisa selalu siap untuk melakukan perubahan yang responsip dimanapun dan kapanpun.

Keteladanan yang mengesankan sepanjang kehidupan harus dimiliki oleh pendidik. Guru harus berusaha menjadi sumber inspirasi, role model, dan membuat catatan sejarah yang akan terus dikenang, baik ucapan, tindakan, dan nasehat-nasehat bijaknya oleh peserta didik sepanjang masa.

Peningkatan kualifikasi dan proses sertifikasi, ternyata belum cukup untuk mengantarkan seseorang menjadi pendidik atau guru idola yang ideal. Belum lagi tantangan yang harus dihadapi guru terkait dengan pelbagai perubahan yang sangat dinamis dan variasinya cukup kompleks.

Pergeseran peran pendidik yang tadinya dominan sebagai aktor pendidikan, kini mulai tergantikan oleh media digital yang bisa melayani kebutuhan peserta didik dengan cepat, canggih, dan tidak tergantung waktu dan tempat. Oleh karena itu, untuk menjawab tantangan kekinian dan sekaligus mengantisipasi tuntutan-tuntutan yang futuristik, kehadiran sosok Guru MODIIS (Moderat, Inovatif, dan Inspiratif) sangat diidolakan ‎‎(kemenag.go.id, 2020)‎.

Moderat

Direktorat Jenderal Pendididikan Islam selama ini melakukan pelbagai upaya untuk melatih para guru menjadi agen Moderasi Beragama yang akan mengantarkan pemahaman secara kritis, reflektif, terbuka dan toleran melalui pengembangan ranah kognisi, afeksi, dan motorik. Hal itu diwujudkan dengan pengembangan nilai-nilai keagamaan Islam yang moderat sebagai aktualisasi visi Islam rahmatan lil alamin (ISRA).

Peran guru menempati posisi sentral yang sangat penting dan strategis dalam menanamkan pemahaman moderat. Dalam konteks itu, guru yang mengerti falsafah pendidikan dan tidak berpandangan tunggal dalam keberagamaan dapat memainkan peran penting dalam membina anak didik.

Landscape guru yang moderat adalah guru yang mampu memberikan pemahaman yang tidak tunggal dan tidak bersifat doktriner sehingga tidak mudah menganggap pandangan pihak lain menyimpang. Sebagai sosok panutan, menjunjung perdamaian dan menghargai perbedaan. Dialog dan diskusi menjadi jembatan penghubung sebagai persemaian Moderasi Beragama yang dilakukan oleh guru. Dialog dan diskusi yang dilakukan oleh guru tidak bersifat memaksa tapi sebagai bahan untuk memperkaya pengetahuan. Hal ini diwujudkan sebagai evaluasi agar para siswa tidak teracuni dan tak terobsesi oleh yang terbenar (the only truth) dan kuasa (power). Atmosfer pembelajaran juga sangat menjunjung toleransi. Guru adalah narasumber yang moderat yang menjadi delegasi untuk menguatkan ikhtiar pembumian Moderasi Beragama. Dengan kata lain, guru adalah perwujudan dari persemaian suatu sistem yang mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap karena menjadi bagian peletak dasar pengertian dan konsep moral dalam diri siswa.

Pengarusutamaan Pendidikan Islam yang moderat dapat dilakukan guru dengan dua jalur, yaitu: 1) moderasi wacana, dan 2) moderasi perilaku. Moderasi wacana menjadi strategi dalam penguatan sikap moderat mulai pemikiran dan ideologi dengan menampilkan sikap tawasuth dalam perjuangan menyebarkan syiar Islam, terbuka terhadap ajaran, ideologi, kepercayaan, dan lain sebagainya. Sementara moderasi perilaku menjadi strategi dalam penguatan sikap moderat yang ditindaklanjuti dengan perilaku toleran terhadap pihak lain yang berbeda pandangan.

Inovatif

Tujuan pembelajaran hakikatnya adalah untuk menyiapkan peserta didik sebagai bekal kehidupan dan menghadapi tantangan masa depan. Tentu orientasi pembelajaran harus mampu membaca dinamika perubahan yang sudah, sedang dan akan terjadi di dunia. Tanpa pemahaman seperti ini, maka yang dilakukan guru akan sia-sia karena peserta didik hanya mampu menceritakan apa yang diajarkan oleh guru tetapi bekal pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa dari guru tidak mampu merespon tantangan yang ada. Bukan hanya sekedar berfikir reaktif tetapi lebih jauh harus yang bersifat proaktif dan futuristik.

Anak didik perlu dilatih berfikir dan bertindak reaktif yang mampu merespon isu dan peristiwa kekinian. Banyak peristiwa yang terjadi hari ini tidak pernah kita duga dan fikirkan sebelumnya sehingga banyak diantara kita termasuk anak-anak didik kita yang gugup dan gagap meresponnya. Adanya Covid-19 yang melanda kita saat ini, dunia pendidikan sangat merasakan dampaknya. Lembaga pendidikan yang banyak memamerkan keindahan dan kemegahan bangunan fisik selama ini sangat terasa tidak ada maknanya ketika tidak ada pembelajaran tatap muka.

Mereka yang selama ini telah memulai dengan belajar on-line (daring) menjadi pilihan yang tepat. Akhirnya kita juga bisa menyimpulkan, dalam kondisi seperti sekarang ini yang terpenting diperhatikan adalah unsur pengajar, yang belajar dan yang diajarkan. Waktu belajar bisa dilaksanakan kapan saja dan tempat untuk belajar bisa dilaksanakan di mana saja.

Guru harus bekerja lebih keras lagi dan mencoba berfikir futuristik kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pasca Covid-19 ini agar dunia pendidikan tidak gugup dan gagap seperti selama ini. Budaya-budaya inovasi dan membangun kreativitas adalah solusinya.

Kebanggaan terhadap ranking raport atau Indeks Prestasi bukan menjadi prioritas utama, meski ini masih dibutuhkan. Lebih dari itu, memunculkan insan pendidikan yang inovatif dan kreatif sangat penting untuk menjawab tantangan-tantangan kehidupan di masa depan.

Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk sesama, bukan yang IPnya 4 atau yang selalu ranking satu. Hari ini kita bisa bertanya kemana keberadaan mereka dan dimana kiprahnya. Padahal dulu di kelas atau ketika mereka diwisuda mendapatkan banyak ucapan selamat, karangan bunga dan dipuja-puja. Bukan itu tidak penting dan tidak berguna, tetapi kalau hanya berhenti di situ saja, ini hanya akan menjadi cerita dan nostalgia. Itu sebenarnya awal yang baik dan jika mindset inovatif itu terus bisa dijaga maka akan banyak karya-karya dan temuan yang bermakna.

Para pendidik, di samping terus memelihara potensinya terutama menjaga mindset inovatif, mereka juga berkewajiban menanamkan mindset inovatif kepada para peserta didik. Dalam benak peserta didik, harus betul-betul tertanamkan mental ingin berubah, melakukan hal-hal yang pertama, yang terbaik dan berbeda. Kesan selama ini yang hanya berlomba-lomba mengejar ranking dan pencapaian Indek Prestasi (IP) tertinggi harus dibarengi dengan perubahan. Anda sudah berada pada posisi yang tepat namun Anda akan tergilas jika diam di tempat.

Inspiratif

Hingga menyelesaikan jenjang pendidikan Strata Satu (S1), sudah berapa banyak guru yang sudah bertemu dengan kita dan memberikan sejumlah mata pelajaran masing-masing. Setiap guru yang hadir di depan kelas selalu mengatakan bahwa pelajaran yang diampunya penting. Semua peserta didik wajib memperhatikan dan diminta untuk menyimak dengan sungguh-sungguh. Bahkan ada yang setengah mengancam dan menakuti manakala kita tidak bisa menguasai pelajaran yang diberikan. Semua guru hampir melakukan hal sama.

Ekspektasi para pendidik seperti ini sebenarnya tidak adil karena kemampuan gurunya sendiri juga hanya satu bidang sementara anak didik diminta dan dituntut menguasai semuanya. Layanan yang diberikan kepada peserta didik semestinya layanan yang beragam yang mampu melayani keragaman kecerdasan. Karena kita ketahui dan sadar bahwa pada akhirnya kelak, anak didik kita akan optimal perannya sesuai dengan optimalisasi kecerdasan yang dimiliki.

Masing-masing kita beda tetapi semua kita pasti memiliki kenangan dari salah satu mereka. Kita pasti ingat terhadap guru atau dosen kita sewaktu duduk dibangku Sekolah Dasar, Menengah atau Perguruan Tinggi. Pada setiap tingkatan tersebut pasti ada salah salah dari para guru tersebut yang tetap terus kita kenang dan sulit untuk dilupakan meskipun kita sudah tidak ingat lagi materi pelajaran apa yang pernah disampaikan. Itulah guru idola, pujaan, dan inspiratif.

Banyak di antara kita hari ini melakukan pelabagi aktivitas, model dan ragam kegiatan karena inspirasi dari guru-guru kita. Ada yang terkesan dengan ucapan-ucapannya, prilaku kesehariannya, cara mengajar dan lain-lain. Bahkan dalam pelbagai kesempatan kita sering sebut-sebut namanya dan yang pasti kita wajib mendoakannya. Pancaran keikhlasan yang tertangkap oleh setiap anak didik inilah yang menjadikan kata-kata yang keluar, tindakan-tindakan dipertontonkan dan do’a-do’a mereka mampu menembus jiwa peserta didik dan dijadikan panutan, motivasi, mindset inovatif dan gerakan-gerakan perubahan sepanjang zaman. Inilah namanya inspirasi.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *