Dakwah Profesi dan Dai Profesional

 

 

Penulis : Ahmad Zubaidi

PENDAHULUAN

Dunia maya kini dihebohkan dengan berita-berita yang menjadikan masyarakat Indonesia sedikit kaget dengan apa yang sudah dilihatnya. Berita tersebut membeberkan tentang dai-dai yang sudah membuming lewat dunia maya ternyata memberikan statement yang kurang tepat dalam ceramahnya. Sekejap sudah menjadi viral dan menyebar di seluruh masyarakat Indonesia. Seperti yang dikatakan Tomberg bahwa memang media sosial (dunia maya) dianggap sebagai wadah yang memiliki kekuatan diskursif dalam masyarakat. Seperti yang diliput di bangkitmedia.com disebutkan disana dai yang sudah terkenal dikalangan masyarakat – sebutlah dai A – salah membedakan antara lafazh kâfir dan kuffâr yang menyatakan berbeda dalam maknanya. Padahal jika dalam ilmu bahasa Arab itu jelas sama dalam maknanya akan tetapi berbeda hanya dalam bentuk tunggal-jamaknya. Juga yang diliput dalam islami.co yang menyatakan ada dai yang salah meyebutkan ayat al-Quran dan dikatakan disana memanipulasi masyarakat. Dikatakan disana dia menyuruh membuka al-Quran Surat al-Isra ayat 176 padahal al-Isra itu ayatnya sampai 111, dan yang dibacapula ternyata surat al-A’raf 176. Serta ayat tersebut digunakan sebagai pembenaran mengolok pendukung partai tertentu dalam pemilihan presiden dan wakil presiden lalu dan ayat nya sengaja dipotong walau ayat itu kurang bermakna dengan ayat yang dipotongnya. Masih dari bangkitmedia.com juga menyebutkan seorang dai yang salah men-tashrîf  kalimat bahasa Arab ‘Kafir’ disebutkan bahwa dalam video dai tersebut menyatakan kafaro-yukaffiru-kufron yang mana dalam bahasa Arab jika lafazh ‘Kafir’ itu jika di tashrîf dengan benar menjadi kafaro-yakfuru-kufron. Seperti yang diliputnya bahwa dai tersebut tidak salah ucap, akan tetapi benar-benar tidak faham tashrîf, karena menurutnya terbukti pada 2017 lalu dai tersebut nge-tweet dengan konten yang sama dan keliru.

Tampaknya masyarakat harus semakin selektif dalam memilih dan memilah dai yang memang keilmuan – akademis dan praktis – terakui dan teruji secara ilmiah. Bagaimana dia menafsirkan al-Quran dan al-Hadits jika keilmuan yang dimiliki – khususnya bahasa Arab – tidak dikuasai yang hanya megandalkan terjemahan yang mana ia tidak menggunakan keilmuannya dalam menganalisis terjemahan yang ia dapatkan. Bahkan ada seorang dari golongan tâbi’în bernama Mujâhid pernah mengatakan bahwa :

لا يحل لأحد يؤمن بالله واليوم الآخر أن يتكلم في كتاب الله إذا لم يكن عالما بلغات العرب

“Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Alloh dan hari akhir berbicara tentang Kitâbullâh (al-Quran) sedangkan ia tidak mengetahui ilmu-ilmu bahasa Arab”. Maka dari qoul tâbi’în diatas ekstrem sekali bagi seorang dai jika tidak mengetahui ilmu-ilmu bahasa Arab dan ia menyampaikan ayat al-Quran atau Hadits. Memang karena sangat pentingnya ilmu bahasa Arab sampai Alloh SWT berfirman dalam Q.S. Yusuf [12] : 2

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Quran dalam bahasa Arab supaya kalian mau menelaah isinya dengan belajar bahasa Arab (berfikir)”. Sehingga Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengenai ayat diatas menjelaskan bahwa memang karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling fasih, jelas, luas, dan paling banyak pengungkapan makna yang dapat menenangkan jiwa hingga Ibnu Taimiyyah mengatakan maka tidak ada jalan lain dalam memahami dan mengetahui ajaran Islam kecuali dengan bahasa Arab sampai dalam Iqtidhâ’ Shirâth al-Mustaqîm beliau mengatakan bahwa hukum mempelajarinya adalah wajib. Didukung juga oleh Syaikh al-Imâm Abû Abdullâh Muhammad bin Idrîs al-Syâfi’iy dalam kitabnya al-Risâlah (1/48) mengatakan:

فعلى كل مسلم أن يتعلم من لسان العرب ما بلغه جهده حتى يشهد به أن لا إله إلا الله وأن محمد عبده ورسوله ويتلوا به كتاب الله

“Maka wajib atas setiap muslim untuk mempelajari Bahasa Arab sekuat kemampuannya. Sehingga dia bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Alloh SWT dan Muhammad SAW adalah hamba dan utusanNya, serta dengannya (bahasa Arab) dia dapat membaca kitab Alloh SWT (al-Quran)”. Maka dalam teorinya, dai lah yang seharusnya bukan hanya hukum wajib lagi bahkan wajib mugholladhoh baginya untuk menguasai bahasa Arab dalam menyampaikan dakwahnya (dalam hal ini ayat al-Quran dan al-Hadits). Maka dai yang menyampaikan dakwah dengan fakta diatas perlu sedikit dikulas mengenai keilmuan yang diampunya. Sebagai ḫusnu al-zhan kita meyakini bahwa para dai tadi lupa atau sedikit lalai dari keilmuan apa yang telah disampaikan.

Tapi terlepas dari itu, sudah merupakan hal yang wajib bagi dai untuk menyampaikan dengan keilmuan yang sangat mumpuni, jika belum maka sudah kewajiban baginya untuk selalu belajar menuntut keilmuan yang akan disampaikan dalam berdakwah, tidak hanya bahasa arab tapi juga keilmuan yang lain semisal fiqh, tauhid, akhlaq, tasawwuf, dan lain sebagainya. Maka keilmuan keislaman yang terbagi menjadi 3 seperti yang disampaikan Malik Madani, Tauhid, Syariat, dan Akhlaq yang mencakup sangat luas sekali perspektifnya sudah seharusnya dimiliki oleh para dai. Selain hal diatas juga pada tahun 2013 terjadi isu seorang dai yang memasang tarif, bahkan dikatakan di liputan6.com bahwa jama’ah memberi dai tersebut uang 6 (enam) juta rupiah ditolak dengan kekurangan 4 (empat) juta rupiah dengan total 10 (sepuluh) juta rupiah. Maka dari sini mulai timbul sebuah pertanyaan, apakah dai yang menyampaikan dengan tanpa didasari ilmu yang mumpuni itu sebagai amalnya yang penuh keikhlasan atau sebagai media profesi, transfer ideology, pamor, atau yang lainnya ? kita tidak tahu pasti bahwa semua itu dilakukan atas dasar apa. Sedikit meminjam apa yang dikatakan Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya bahwa Rasulullah SAW bersabda “bacalah al-Quran dan janganlah kalian makan dari itu (al-Quran) dan jangan juga kalian memperbanyak kekayaan dari itu” (HR. Imam Ahmad dan Imam al-Baihaqy dalam Syu’ab al-Îmân) dalam konteks dakwah memang semuanya adalah untuk menyambung dakwah Nabi SAW dan untuk mencari ridho Alloh SWT bukan untuk yang lain (dalam teorinya). Tetapi menurut madzâhib al-arba’ah dalam menyikapi hal ini berbeda-beda dan itu adalah sebuah rahmah.

Maka dari sana kita akan melihat apakah dakwah itu hanya sebatas hubungannya dengan manusia atau hubungannya dengan Alloh, dalam artian output dari dakwah tersebut bisa dilihat dari tujuan dan hubungannya dalam berdakwah. Ataukah dijadikan menjadi satu hubungannya dengan manusia sekaligus hubungannya kepada Alloh SWT. Sehingga menarik kepada saya untuk berbicara mengenai dakwah sebagai profesi, dan dai professional atau bahkan sekaligus dakwah dai professional sebagai profesi.

 

DAKWAH SEBAGAI PROFESI ?

Sudah kita ketahui bersama bahwa setiap dai yang menyampaikan dakwahnya pada akhirnya dia pasti akan diberi semacam amplop yang berisi uang dengan nominal tertentu. Tetapi ada juga yang tidak diberi karena itu sudah menjadi menjadi ketetapan dia dakwah dalam majlis tertentu. Tak jarang dari semua dai yang ada menolaknya, rata-rata semua menerima dengan ikhlas apa yang telah ada dalam isi amplop tersebut tanpa mengetahui dan disebut dengan jelas berapa nominal yang ada di dalamnya. Sehingga dapat dibayangkan jika dalam sebulan para dai tersebut berdakwah dengan jumlah tertentu, maka sudah satu kali gaji pokok (setara gaji pegawai) yang ia terima. Lantas, apakah dia menjadikan sebagai gaji nya dalam sebulan itu atau bagaimana ia men-tashâruf-kan apa yang telah terima itu, kita tidak tau persis akan hal tersebut. Sebelum beranjak jauh membahas tentang gaji dai, sedikit uraian mengenai beberapa pendapat madzâhib al-arba’ah mengenai boleh tidaknya menerima upah dakwah kita.

Sebenarnya ulama telah sepakat atas ke bolehan mengambil jatah dari bait al-mâl sebagai upah atas pengajaran Al-Qur’an, atau juga pengajaran ilmu syariah lainnya seperti hadits, tafsir, fiqih dan yang lainnya. Upah yang diambil dari bait al-mâl itu sejatinya bukan pembayaran atas ilmu tersebut, melainkan sebagai bentuk tolong menolong dalam ketaatan (ibadah), dan itu tidak merubah nilai ibadah pengajaran tersebut. Begitu juga, ulama sependapat bahwa mengambil upah atas pengajaran ilmu-ilmu umum seperti kedokteran, matematika, geografi, kimia dan lainnya itu dibolehkan kalau itu dari bait al-mâl. Akan tetapi ulama berbeda pendapat dalam hal seorang guru yang mengambil upah mengajar dari si penuntut ilmu itu sendiri.

Dalam hal tersebut ulama terpecah menjadi beberapa kelompok pandangan, Pertama, ulama-ulama klasik dari kalangan madzhab Hanafi berpendapat bahwa upah dari murid atas pengajaran al-Quran dan ilmu lainnya tidak diperbolehkan, dan ini juga menjadi pendapat yang masyhur di kalangan Hanabilah. Sedangkan dalil yang menjadikan pijakan mereka adalah firman Alloh Q.S. Hûd [11] : 9

وَيَا قَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالًا ۖ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ

“Dan (dia berkata), ‘Wahai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku”  Asy-Syinqithi berkata, “Pelajaran yang bisa diambil dari ayat tersebut adalah wajib bagi ulama dan lainnya sebagai pengikut para rasul untuk bersungguh-sungguh mengajarkan ilmu yang dimiliki  dengan  gratis  tanpa  (menyaratkan)  upah  tertentu.  Mengajarkan  Al-Qur’an  tidak  pantas  dengan  (menyaratkan) upah tertentu, begitu juga mengajarkan akidah serta masalah halal dan haram (fikih).” Ubay  bin  Ka’ab a berkata,  “Saya  pernah  mengajarkan Al-Qur’an  kepada  seseorang  lalu  dia  menghadiahkan sebuah  busur  kepadaku.  Kemudian  aku  pun  menceritakan peristiwa hal tersebut kepada Nabi SAW. Maka beliau bersabda, ‘Jika  kamu  mengambilnya  maka  kamu  telah  mengambil busur dari api nereka’.” Ubay  melanjutkan,  “Lalu  saya  pun mengembalikannya.” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi)

Kedua, Madzhab Maliki berpendapat bahwa boleh mengambil upah atas pengajaran al-Quran, akan tetapi untuk ilmu lain, upah yang diambil dari situ hukumnya makrûh. Dalil  mereka  adalah  hadits  Abdullah  bin  Abbas r.a yang menceritakan  bahwa  salah seorang  sahabat  pernah  me-ruqyah seseorang  yang  terkena  sengatan  binatang  dengan  surat  Al-Fatihah  dengan  imbalan  seekor  kambing.  Sahabat lainnya mengingkari perbuatannya tersebut lalu mengadukan kepada  Rasulullah SAW.  Kemudian  Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ

“Sungguh, sesuatu yang lebih berhak kalian ambil sebagai upah adalah Kitabullah (Al-Qur’an).” (HR. Bukhari)

Ketiga, Madzhab Syafi’i membolehkan mengambil upah untuk pengajaran al-Quran, tapi untuk ilmu lain, madzhab ini tidak membolehkan kecuali memang di pengajar sudah ditentukan dan materinya yang akan diajarkan juga sudah ditetapkan sebelumnya. Mereka berpandangan bahwa mempelajari suatu bidang ilmu itu hukumnya Fardhu kifayah, yaitu kewajiban yang jika salah seorang mengerjakan maka gugur kewajibannya untuk yang lain. Karena itu Fardhu Kifayah, maka mengajarkannya pun mempunyai hukum yang sama. Karena ini sebuah kewajiban yang dibebankan untuk semuanya, maka tidak perlu adanya pengambilan upah dalam hal ini. Kalau ada upah, maka hilang nilai kewajibannya. Berbeda jika halnya si pengajar sudah ditetapkan kepada si ustadz Fulan untuk mengajatkan materi ilmu tertentu. Maka akad yang terjadi menjadi akad Ijaroh yang dibolehkan mengambil upah di dalamnya.

Keempat, Madzhab Hambali berpandangan bahwa boleh mengambil upah atas pengajaran al-Quran dan juga ilmu lainnya. Al-Wadhi’ bin ‘Atha` berkata, “Ada tiga orang guru yang mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anak Madinah. Umar pun memberikan gaji kepada mereka sebesar 15 (dirham) setiap bulan.”

Dari urain masing-masing kelompok atas apa yang mereka pegang dalam hal kebolehan atau tidaknya mengambil upah dalam mengajarkan Al-Quran atau juga ilmu lain. Bisa ditarik kesimpulan bahwa keduany punya tujuan mulia, yaitu memotivasi agar umat tetap dekat dengan ilmu. Agar ilmu bisa didapat yang kemudian berbuah kemajuan peradaban serta intelektualitas umat Islam, sekelompok ulama mengharamkan pengambilan upah atas sebuah pengajaran. Karena itu sama saja dengan menahan ilmu dan menyembunyikannya sehingga orang lain sulit untuk mengaksesnya. Akan tetapi di sisi lain ada kesejahteraan para dai dan guru yang seakan terabaikan dengan tidak adanya imbalan yang mereka dapat. Bagaimanapun mereka juga punya keluarga yang kebutuhannya harus terpenuhi. Kalau mereka dibiarkan begitu saja, jangan salahkan nantinya para generasi selanjutnya tidak bisa mengakses ilmu, terlebih lagi ilmu syariah karena para dai sibuk dengan urusan dapur mereka masing-masing, bukan dengan mengajar. Dan itu disebabkan karena mereka tidak mendapatkan upah apa-apa dari ilmu yang mereka ajarkan. Dan kejadian seperti itu bukan sekedar ispan jempol belaka. Kita sudah melihat dengan mata kepala kita sendiri bagaimana seorang dai yang terpinggirkan dan meninggalkan aktifitasnya sebagai dai yang mengajarkan ilmu agama karena kebutuhan yang mendesaknya untuk meninggalkan dunia keilmuan.

Masing-masing harus tahu diri dan sadar. Para penuntut ilmu yang diajar juga harus sadar bahwa dai mereka punya kebutuhan dunia yang harus terpenuhi. Pun sang dai juga sadar diri untuk tidak menjadikan dakwah layaknya bisnis property dengan ekspektasi keuntungan berlimpah jika dapat panggilan. Jangan akhirnya malah malah melupakan niat awal dakwah, yaitu pertanggungjawaban atas ilmu yang didapat untuk diamalkan dan diajarkan kepada mereka yang tidak mengetahui. Dai punya kewajiban mencerdaskan umat, bukan memeras umat. Baiknya sang guru atau ustadz tidak menentukan bayarannya, tapi jika diberikan tak perlu menolak. Jangan pula memasang tariff tinggi sehingga orang yang ingin berguru menjadi antipasti akhirnya. Nabi Muhammad SAW bersabda:

مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أَلْجَمَهُ اللَّهُ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa yang ditanya mengenai suatu ilmu lalu ia menyembunyikannya, niscaya ia akan dipecut oleh Allah swt di hari kiamat nanti dengan tali pecut dari neraka” (HR Abu Daud, Turmudzi dan Ibnu Majah). Dan tidak ada proses penyembunyian ilmu yang paling sarkas kecuali dengan menetapkan harga dakwah setinggi langit.

 

DAI PROFESIONAL

Dalam kajian terkait yang telah dibahas diatas, selayaknya bagi para dai untuk berdakwah secara profesional, boleh menerima upah ataupun imbalan yang diberikan kepada dai baik dari lembaga (sudah dijadwalkan) atau dari jamaahnya itu sendiri seperti yang telah dijelaskan diatas. Tetapi yang perlu digaris bawahi adalah kata ‘profesional’ dari dai itu sendiri. Profesional lebih mengacu pada kerja yang didasarkan pada pengetahuan (knowledge), keahlian (skill) dan pengalaman (experience). Ukuran profesioanal ada pada kemampuan bekerja (workability). Jika melihat aspek profesionalitas dai dari apa yang telah dikatakan Enjang, maka seorang dai dikatakan profesional jika memiliki aspek berikut :

Pengetahuan, seorang dai harus memiliki lebih pengetahuan dibandingkan dengan yang lain. Karena kemungkinannya untuk mengetahui lebih dulu dari apa yang telah dipelajarinya untuk di dakwahkan kepada masyarakat. Tentunya disana banyak sekali ilmu yang harus dikuasai oleh seorag dai dalam mengatasi segala hal yang ada di masyarakat. Tentunya seperti apa yang telah disampaikan diatas (pendahuluan) banyak sekali macam-macam fan ilmu yang harus dikuasai. Pertama menurut penulis adalah ilmu bahasa Arab, dengan ilmu ini seorang dai akan bisa dengan leluasa menguasai teks-teks Arab yang mana semua sumber Islam berasal dari teks Arab yakni al-Quran dan al-Sunnah, seperti yang sudah disinggung di awal, bagaimana seorang dai dapat menyampaikan ayat-ayat Nya dan haditsnya jika ia sendiri tidak mampu untuk memahami dengan ilmu yang telah ia dapatkan. Mengandalkan terjemahan adalah derajat yang paling rendah bagi seorang dai. Ia tidak mengetahui ilmu bahasa Arab, maka ia tidak akan bisa menganalisis teks terjemahan yang ia dakwahkan apakah itu benar atau salah. Kedua adalah ilmu Akhlaq, hal ini sangat penting sekali bagi seorang dai untuk berdakwah dihadapan masyarakat, secara tidak langsung perkataan, tingkah laku, dan etika (kesopanan) seorang dai akan menjadi sebuah sorotan bagi masyarakat. Bertentangan sekali rasanya jika seorang dai menyampaikan dakwah tentang shodaqoh misalnya, tapi ia sendiri enggan untuk bershodaqoh, bahkan tidak hanya masyarakat yang mengecam dai seperti ini, Alloh SWT pun berfirman dalam Q.S. al-Shaf [61] : 2-3

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ  (3)

Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”

Yang keempat adalah ilmu Syari’at, baik yang mahdhoh maupun ghoiru mahdhoh seorang dai harus menguasainya, walaupun yang didakwahkan bukan mengenai syariat itu sendiri. Secara tidak lansung masyarakat akan menilai seberapa besar keimanan dan ketaqwaan seorang dai tersebut kepada Alloh SWT, sehingga ia berani untuk berdakwah selalu mengajak masyarakat untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Alloh SWT. Serta segala ilmu yang menyangkut pada syariat agama Islam secara benar untuk disampaikan.

Keahlian, dalam hal ini seorang dai harus pandai dalam dunia public speaking, bagaimana ia menjadi figur didepan orang banyak yang fokus hanya kepadanya untuk mendengarkan apa yang ia sampaikan. Pemilihan materi disini pun juga harus pandai dengan apa yang dihadapinya (masyarakat), serta juga harus pandai untuk menguasai panggung serta audiens, jika para pendengar sudah mulai agak bosan dengan apa yang ia sampaikan maka keharusan dia untuk membuat metode ceramah yang lain, metode ceramah juga sangat penting untuk disusun sedemikian rupa agar dakwah yang disampaikan bisa mengena di hati masyarakat. Bahkan walau hanya dengan materi yang sangat sedikit dan tidak begitu berkualitas tetapi metode dakwah nya bagus, maka pesan dari dakwah tersebut akan lebih tersampaikan daripada materi yang banyak tetapi metode dakwah nya kurang bagus, sehingga ada maqâlah mengatakan:

الطريقة أهمّ من المادّة

“Metode itu Lebih Penting daripada Materi” sehingga metode dakwah yang cermat, asyik, menyenangkan atau yang lainnya dengan materi sedikit itu lebih baik daripada metode dakwah yang membosankan dengan materi yang sangat banyak. Begitu juga keahliannya dalam berbicara yang tidak pernah menyinggung perasaan para masyarakat, menyejukkan, tidak membuat bingung, tidak mengadu domba, tidak membikin masalah diatas masalah, tidak membuat masyarakat takut, tidak mengkerdilkan Islam, tidak saling mengejek, tidak menyinggung adat dan budaya, dan tidak berkata kotor/ tidak sesuai pada tempatnya.

Pengalaman, sangat penting sekali bagi seorang dai untuk mendapatkan pengalaman dari manapun ia peroleh. Sedikit pengalaman yang perlu digaris bawahi bahwasanya pengalaman itu tidak semuanya baik. Ada disana pengalaman yang kurang baik atau bahkan buruk. Maka dari yang baik itu terus kita tingkatkan dan dari yang buruk itu kita evaluasi dan diperbaiki sebaik mungkin agar tidak terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan itu terjadi kembali. Dari belajarlah pemahaman akan bertambah dan kesalahan diperbaiki sehingga kemampuan dalam berdakwah semakin meningkat. Belajar melalui membaca, baik yang tersurat maupun tersirat dari pengalaman itu sendiri. Seorang dai tidak boleh berhenti mencoba hal baru dan berdialog dengan orang lain. Sikap open minded sangat penting bagi seorang dai. Juga termasuk menerima segala kritik dan saran apapun. Kebanyakan dai tidak mau menerima kritik dan saran dari para jama’ahnya, karena ia merasa dirinya sudah terlalu menguasai segalanya, jadi kritik dan saran itu hanya diabaikan saja tidak diragukannya. Sehingga ia tidak mengalami kemajuan dalam dakwahnya tetapi hanya sebagai ukuran ia disebut sebagai dai saja.

Selain hal diatas, sedikit mengutip dari Bincang Syariah, seorang dai selain memiliki kemampuan diatas juga harus memiliki Aqidah yang benar, menganut akidah yang salah akan berdampak pada hasil dakwahnya yang cenderung mudah berkhianat dalam menukil teks-teks yang ada, serta dalam berdakwah Tidak dikuasai oleh hawa nafsu, orang yang dikuasai hawa nafsu menjadikan dirinya berhasrat untuk mencari pembenaran atas pemikirannya.

 

BER-DAI PROFESIONAL SEBAGAI PROFESI

Pastinya para pembaca sudah bisa mengira sendiri jawaban atas apa yang akan ditulis dalam bab terakhir ini, menjadi dai yang profesional sekaligus sebagai profesi itu pilihan atau keharusan atau bahkan kesalahan. Sudah jelas bahwa seorang dai itu harus profesional, tetapi apakah lantas dengan profesionalisme seorang dai tersebut bisa dijadikan sebagai profesi ? sebelumnya mari kita pinjam sedikit tentang usulan sertifikasi dai oleh Kementerian Agama RI yang kembali mngemuka setelah muncul polemik 200 penceramah yang dirilis oleh Kemenag juga. Kompetensi yang akan disertifikasi adalah antara lain komptensi agama, jam terbang, dan komitmen kebangsaannya. Sedikit jika ketahui permasalahan dari kemenag untuk mensertifikasi dai ini adalah karena banyak dai yang menyimpang dari apa yang didakwahkannya menurutnya maka dibuatlah 200 dai yang dirilis yang sekarang berujung pada sertifikasi dai. Begitu antusias pemerintah Indonesia terhadap dai-dai yang ada di Indonesia. Bahkan sampai penetuan honor dai itu akan dipersiapkan dan dibeberkan kepada masyarakat oleh Kemenag. mumnya, masyarakat memberi honor atas ceramah yang dilakukan dilakukan oleh dai atau daiyah, tetapi tidak ada standar. Ada etika di kalangan para dai untuk tidak menentukan tarif karena hal ini dianggap mencederai nilai dakwah yang mereka lakukan. Dan honor yang mereka terima biasanya digunakan untuk mengembangkan lembaga pendidikan yang dikelolanya. Rata-rata dai memiliki lembaga pendidikan seperti pesantren atau sekolah yang tentunya membutuhkan biaya operasional besar agar bisa berjalan dengan baik. Sampai segitunya Kemenag memperhatikan dai-dai yang ada di Indonesia, sehingga tidak sedikit dari mereka yang menganggap itu sebagai ladang profesi mereka karena nantinya sudah ada SK dan keterangan gaji bagi para dai yang ada di Indonesia.

Tetapi bukan berati semua orang akan bisa mendaftarkan dirinya untuk menjadi dai, harus ada kriteria yang harus ia miliki (profesinalitas dai) yang telah disebutkan diatas. Para dai juga akan di golongkan sebagai golongan berapa gaji yang akan diterima disesuaikan dengan tempat tinggal menuju tempat dakwahnya. Karena Kemenag juga menilai dari segi profesionalitas dai masih banyak yang belum memenuhi standar. Banyak juga ditemukan dai yang profesionalitasnya hanya untuk afiliasi publik saja. Ada pula dai yang berafiliasi dengan partai politik tertentu, yang akhirnya tidak bisa berpikir dengan jernih atas berbagai persoalan bangsa. Dai pendukung partai oposisi menjadikan panggungnya sebagai sarana untuk menghujat pemerintah sementara yang pro dengan kakuasaan memberi legitimasi atas tindakan-tindakan pemerintah. Dai sebagai penuntun masyarakat seharusnya menyampaikan kebenaran jika yang dilakuan pemerintah memang benar dan menyampaikan kritik jika yang dilakukan pemerintah memang patut untuk dikoreksi. Maka sudah seharusnya dai adalah seorang yang berdiri diatas semua golongan serta moderat.

Sehingga untuk menjadi dai yang profesional dan bergaji adalah pilihan seorang untuk mendakwahkan kepada masyarakat dengan garis bawah bahwa dakwah itu adalah untuk mengajak manusia selalu meningkatkan keimanan dan ketaqwaannya kepada Alloh SWT, serta berbuat yang lebih baik. Tidakpun digaji, seorang dai tersebut pasti akan digaji oleh Alloh SWT diakhirat, jika apa yang telah disampaikan itu juga dilaksanakannya. Sehingga sampai Kemenag membuat daftar honor dai yang ada di Indonesia, itulah juga bukti pahala dari Alloh SWT di dunia. Menjadi Dai Profesional, Adalah Profesi yang di Gaji Oleh Alloh SWT di Dunia dan Akhirat

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *