Belakangan ini, pemberitaan mengenai pro dan kontra Kebijakan Gubernur Jawa Barat (KDM) hampir memenuhi layar televisi. Salah satu kebijakan yang menjadi sorotan adalah pengiriman sekelompok anak yang dianggap “nakal” ke barak militer untuk dibina. Tujuannya agar mereka menjadi lebih disiplin, patuh terhadap aturan, dan diharapkan dapat kembali ke rumah sebagai pribadi yang lebih baik. Banyak pihak memuji langkah ini dan menilainya sebagai solusi yang tepat.

Namun, di sela-sela kabar itu, hati saya bertanya: Apakah benar masalah ini hanya soal disiplin? Atau mungkin, masalah sebenarnya justru berakar dari lemahnya pendidikan akhlak sejak mereka kecil?

Bayangkan sejenak. Seandainya sejak balita, anak-anak kita sudah dikenalkan kepada Allah. Seandainya mereka sudah diajarkan adab, akhlak, rasa cinta, tanggung jawab, dan rasa Syukur, apakah mereka akan tumbuh menjadi pribadi pembangkang? Menurut saya tidak.

Anak yang terbiasa bersyukur sejak kecil akan merasa cukup dengan apa yang dimilikinya. Mereka tidak akan mudah iri ketika melihat orang lain lebih punya segalanya. Mereka tidak gampang marah ketika keinginannya tak terpenuhi. Dan yang paling penting, mereka tidak mudah dikendalikan oleh ajakan yang menjerumuskan.

Rasa syukur mengubah cara pandang seorang anak terhadap hidup. Mereka melihat dari sisi positif, bukan terus-menerus merasa kurang. Dan mereka mampu belajar menerima dengan lapang dada, berusaha dengan tekun, dan menghargai apa yang ada di hadapannya.

Sayangnya, banyak dari kita sebagai orang tua lupa bahwa kunci utama pendidikan anak justru terletak pada diri kita sendiri. Kita sering fokus pada perilaku anak yang “harus berubah”, padahal perubahan itu dimulai dari teladan yang kita berikan. Parenting bukan soal memaksa anak untuk menjadi baik, tapi soal bagaimana kita lebih dulu menjadi pribadi yang baik.

Anak-anak adalah peniru ulung. Mereka menyerap apa yang mereka lihat lebih dalam daripada apa yang mereka dengar. Jika di rumah mereka melihat orang tua yang sering mengeluh, mudah marah, dan jarang bersyukur, lambat laun mereka akan meniru pola itu. Namun, jika mereka melihat rumah yang penuh doa, kata-kata baik, dan rasa syukur, nilai itu akan melekat erat di hati mereka.

Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an: “Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu” (QS. Ibrahim: 7). Janji ini tidak hanya berlaku untuk harta, tetapi juga untuk kebahagiaan keluarga, ketenangan hati, dan keberkahan dalam mendidik anak.

Mengirim anak ke barak militer mungkin bisa membuat mereka patuh untuk sementara waktu. Namun, disiplin yang lahir karena takut hukuman tidak akan bertahan lama. Begitu mereka kembali ke lingkungan yang sama tanpa pondasi akhlak, perilaku lama bisa muncul kembali. Sebaliknya, jika nilai akhlak sudah tertanam di hati mereka, aturan akan mereka patuhi bukan karena takut, tapi karena sadar itu adalah hal yang benar.

Mendidik akhlak memang bukan pekerjaan sehari dua hari. Ini adalah perjalanan panjang yang membutuhkan kesabaran, keteladanan, dan doa yang tak putus. Hasilnya tidak instan, tapi bekalnya akan dibawa anak sepanjang hidupnya.

Jadi, jika kita ingin melihat anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang baik, tenang, dan penuh rasa hormat, mulailah dari rumah. Bangun lingkungan yang penuh syukur. Ucapkan terima kasih atas nikmat kecil setiap hari. Jadilah teladan dalam kesabaran, kejujuran, dan tanggung jawab.

Karena sejatinya, generasi yang kuat tidak lahir dari hukuman, melainkan dari cinta yang dibalut dengan adab dan syukur. Dan itu, hanya bisa dimulai dari kita sebagai orang tuanya.

Penulis: Mufti Dedy Wirawan, S.Kom. (Tendik FIAI UII)

Pendahuluan

Di era digital saat ini, kita menyaksikan perkembangan teknologi Artficial Intelligence (AI) yang begitu

pesat. Chatbot yang mampu berkomunikasi layaknya manusia, sistem pengenalan wajah yang semakin

akurat, hingga asisten virtual yang dapat membantu berbagai tugas sehari-hari telah menjadi bagian dari

kehidupan kita.

Namun di balik kemajuan teknologi yang menakjubkan ini, umat Muslim perlu menjaga keseimbangan

antara pemanfaatan teknologi dan keteguhan iman. Tantangan terbesar yang dihadapi adalah bagaimana

tetap mempertahankan kesadaran spiritual di tengah arus digitalisasi yang kian deras.

Dengan pemahaman yang tepat, teknologi AI dapat menjadi alat yang mendukung peningkatan kualitas

ibadah dan pemahaman agama, bukan malah menjauhkan kita dari nilai-nilai keislaman yang

fundamental.

 

Pemahaman Iman dalam Konteks Teknologi AI

Iman dalam Islam merupakan keyakinan yang tertanam dalam hat, diucapkan dengan lisan, dan

dibuktkan melalui perbuatan. Di era digital, makna iman tetap sama namun menghadapi tantangan yang

berbeda. Kehadiran kecerdasan buatan telah mengubah cara kita berinteraksi, belajar, dan menjalani

kehidupan sehari-hari.

Refleksi Spiritual di Era Digital

  • Menjaga kekhusyukan ibadah tanpa gangguan notfikasi
  • Meluangkan waktu untuk tadabbur Al-Qur’an
  • Menerapkan nilai-nilai Islam dalam penggunaan teknologi

Kesadaran spiritual menjadi benteng pentng menghadapi arus teknologi AI. Umat Muslim perlu

menyeimbangkan penggunaan teknologi dengan praktk keagamaan. Ketka AI menawarkan kemudahan,

kita perlu tetap menjaga connecton dengan Allah Swt. melalui:

  • Membatasi waktu penggunaan gadget
  • Memprioritaskan ibadah di atas kesibukan digital
  • Menggunakan AI sebagai alat bantu, bukan penggant pemahaman agama

Ketergantungan berlebihan pada dunia digital dapat mengikis kesadaran rohani. Pentng bagi kita untuk membangun digital mindfulness – kesadaran penuh dalam menggunakan teknologi tanpa mengorbankan nilai-nilai keimanan.

 Penulis: Wahyudi Kusumo Nugroho, S.Kom (Tendik FIAI UII)

Etika dan moral menjadi salah satu tantangan yang dihadapi pelaku usaha di tengah kondisi ekonomi saat ini dan kompetitor yang bersaing dalam profitabilitas. Bahkan dengan kondisi terpuruk, pelaku usaha dihadapkan pada pilihan tetap berpegang pada sifat Qur’ani agar memperoleh berkah dari Allah Swt. atau hanya menargetkan untung tanpa mempertahankan etika dan moral dalam berbisnis.

Praktik dakwah dalam kegiatan berbisnis tidak bisa hanya dengan menunggu kedatangan pemuka agama ataupun seseorang karyawan menjadi ustadz ataupun ustadzah. Dakwah bisa dimulai dari diri sendiri atau yang disebut dengan dakwah nafsiyah untuk sarana instropeksi agar bisa memperbaiki diri dan menjadi pribadi berkualitas yang Islami (Rostilawati, 2019:22). Rasulullah saw. sebagai pebisnis dapat dijadikan motivasi dengan prinsipnya yang berpegang teguh pada kejujuran, sifat amanah yang dapat bertanggung jawab dengan profesinya dan menjaga kepercayaan dari konsumen, menjauhi gharar yakni transaksi tidak jelas objek, kepemilikan misalnya menjual barang curian, barang yang belum ada wujudnya, tidak melakukan al-ghab (penipuan), ihtikar (menimbun barang), dan tadlis (menipu dengan menyembunyikan kecacatan).

Penerapan dakwah dalam berbisnis dapat diaplikasikan tidak hanya pada individu pekerja saja yang menjadi sumber daya manusia yang menjalankan operasional dengan penguatan etika bisnis dan moral, namun juga dapat diwujudkan penerapan dakwah dalam sektor bisnis yang digeluti. Seperti kebijakan manajemen kantor melaksanakan program kajian rutin sebagai pembinaan spiritual untuk karyawan, meluangkan sedikit waktu untuk karyawan mengaji bersama sebelum memulai kegiatan. Adapun CSR yang disesuaikan dengan praktik keislaman untuk mengikat hubungan baik antara karyawan, pemilik usaha, kostumer, lembaga umum, masyarakat di lingkungan domisili usaha. Contohnya kegiatan amal, pengajian akbar, program pengecekan kesehatan di hari nasional yang bekerjasama dengan lembaga kesehatan. Pada hari besar keagamaan misalnya turut andil penyembelihan hewan Qurban, program penyuluhan dan pemberdayaan dalam mengelolaan limbah sampah. Hal-hal tersebut sekiranya dapat menjadi salah satu solusi dalam berbagai masalah kekinian di tengah masyarakat. Dampak positif yang secara tidak langsung dapat diperoleh yaitu munculnya ide bisnis baru untuk warga sekitar. Dengan begitu tujuan dari dakwah membawa hal kebaikan di lingkungannya dengan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat sekitarnya.

Kebijakan itu membutuhkan anggaran khusus ataupun sumber dana di luar target profit atau yang dirumuskan usaha dagang atau pebisnis.Hal ini menjadi tantangan yang dapat mendorong tim lebih bersemangat dalam bekerja meningkatkan omset agar mendapatkan keberkahan dari Allah Swt. Saat karyawan merasa profesi yang dijalani memiliki makna dalam kehidupan sehari hari, diharapkan akan tetap loyal untuk bekerja di unit usaha dagang tersebut. Dakwah pun bisa terserap dalam produk yang dihasilkan oleh badan usaha. Upaya mengedepankan produk bersertifikat halal, pemasaran produk dengan desain produk yang   realpic, sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang ambigu pada produk yang diiklankan. Tips dan trik saat iklanpun dapat dikemas dengan konten iklan di media yang memaparkan sumber bahan baku produk dari sumber yang baik. Sehingga akan menarik minat konsumen karena awareness keamanan, kesehatan yang didapatkan dari kemajuan informasi dan teknologi. Bukan berarti semua produk barang dan jasa harus dihasilkan dan diiklankan dengan branding yang islami tetapi dengan cara yang baikpun tanpa menyinggung produk lain sudah menjadi nilai positif dalam beriklan.

Dengan upaya dakwah yang disisipkan dalam kegiatan operasionalnya diharapkan dapat menuntun pekerja dan pelaku usaha untuk menjalankan etika bisnis Islam dengan baik sesuai ajaran Islam. Moral karyawan dan pelaku usaha di dalamnya akan mengikuti tuntunan agama sehingga dapat mendatangkan keuntungan materiil dan ridha Allah Swt. dalam menjalankan usaha, bahagia di dunia dan akhirat. Aamin

Penulis: Ary Purnama (Tendik FIAI UII)

Referensi:
Fausiah, Najim Nur, https://www.icdx.co.id/news-detail/publication/apa-itu-gharar-bagaimana-hukumnya-dalam-islam (2024).

Rostilawati, (2019). Dakwah dalam Pembinaan Akhlak Pedagang Ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Lappa Kabupaten Sinjai, 22.

Dr. Asmuni, MA. Dekan Fakultas Ilmu Agama Islam UII (foto: IPK)

Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) selenggarakan Sosialisasi dan Pelatihan ProADM untuk pimpinan fakultas, prodi dan tenaga kependidikan. ProADM adalah sistem informasi adminisrasi akademik yang dikembangkan oleh FIAI UII, dan dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas layanan akademik, sehingga mahasiswa bisa melakukan aktivitas akademis dari manapun menggunakan perangkat yang terakses internet.  Sosialisasi dan pelatihan diselenggarakan di Laboratorium Komputer Gedung KHA Wahid Hasyim FIAI UII, Jumat 6 Desember 2024, dihadiri dekan, wakil dekan, ketua program studi dan tenaga kependidikan.

Dr. Asmuni, MA dalam sambutan pembukaan pelatihan dan sosialiasi kemukakan tentang paradigma pelayanan kekinian.
“Semua lembaga, baik yang bergerak bidang jasa atau bidang lainnya, berusaha merubah paradigma pelayanan dari tatap muka menjadi layanan melalui online. Namun ternyata dalam melayani secara online butuh skill tinggi. Bedakan skill dengan ilmu. Untuk itu sebagai aktor pelayanan akademik tentu harus meningkatkan kualitas pelayanan kita, agar pelanggan menjadi puas. Salah satunya kemampuan mengoperasikan aplikasi-aplikasi yang digunakan. Untuk itu marilah kita satukan pesepsi, untuk meningkatkan pelayanan, melalui sosialisasi dan pelatihan kali ini. Tegas bahwa melayani dengan baik adalah salah satu bentuk dari ibadah,” kata Dr. Asmuni.

Apa yang diutarakan Dekan FIAI, mendapatkan gayung sambut dari Prayitna Kuswidianta, Kepala Divisi Administrasi Akademik dan Teknologi Informasi.
“Sosialisasi ProAdm FIAI UII kali ini diselenggarakan untuk ketua program studi dan tenaga kependidikan. Pelatihan pemanfaatan ProADM juga menjaring masukan untuk pengembangan yang selama ini mendorong proses akademis program sarjana, nantinya hingga program magister dan doktor secara menyeluruh,” kata Kuswidianta.

ProADM dikembangkan menilik pada kebutuan FIAI UII untuk menyiapkan proses transformasi dari pola administrasi konvensional menuju digital.  Kesadaran stakeholder akan manfaat dan ProADM, sebagai bentuk upaya peningkatan berkelanjutan, sehingga perlu sosialisasi dan pelatihan secara estafet. Selain pada pelatihan kali ini, sudah diagendakan pelatihan berkelanjutan  seluruh SDM FIAI UII yang bersentuhan dengan proses bisnis lingkup akademik.  Upaya pelatihan berkelanjutan ini, menurut  Wakil Dekan Bidang Sumber Daya FIAI UII,  Dr. H. Nur Kholis, S.Ag, S.E.I., M.Sh.Ec sebagai bentuk upaya transformasi.

“Transformasi digital di lingkungan FIAI terus dilakukan, di antaranya digitalisasi proses akademik dengan sistem informasi ProADM yang sudah diberlakukan, dan terus dilengkapi dan disempurnakan untuk mengakomodasi berbagai perkembangan. Diharapkan dengan Transformasi digital ini semakin meningkatkan kualitas proses akademik yang dilaksanakan sehingga membahagiakan semua stakeholder,” kata  Dr. Nur Kholis. (IPK)

 

Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Narkotika Kelas IIA Yogyakarta bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar acara Wisuda Santri Pesantren At-Tawwabin, Rabu (4/12/2024). Pesantren At-Tawwabin merupakan program internal lapas yang menempati area sisi utara, diselenggarakan sebagai bentuk peningkatan kualitas warga binaan dalam memahami agama secara keilmuan dan penerapan dalam sendi kehidupan.

Wisuda santri diikuti oleh 37 warga binaan Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta, sebagai tanda kelulusan dalam mengikuti program terstruktur dan termonitor, dengan pola pendidikan dan penilaian dari FIAI UII. Hadir dalam acara, Porman Siregar SH. MH, selaku Kepala Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta, Sidik Pramono, S.Ag., M.Si., selaku Kepala Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Sleman dan Dr Asmuni, Dekan FIAI UII, disaksikan seluruh peserta wisuda dan keluarga dari Warga Binaan Pemasyarakatan.

Dalam sambutannya, Kepala Lapas, Porman Siregar, menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada seluruh santri yang telah menyelesaikan program pendidikan pesantren dengan baik. “Wisuda ini bukan sekadar akhir dari proses pembelajaran, tetapi awal dari perjalanan spiritual yang lebih bermakna,” ungkapnya.

Kepala Kemenag Sleman, Sidiq Pramono, turut memberikan sambutan dengan menekankan pentingnya pendidikan agama sebagai bekal utama dalam menjalani kehidupan yang lebih baik. “Proses pendidikan di Pesantren At-Tawwabin ini merupakan langkah penting dalam membentuk karakter para Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP),” ujarnya.

Dekan FIAI UII, Dr Asmuni juga memberikan pesan inspiratif kepada para wisudawan. Ia berharap ilmu agama yang diperoleh selama di pesantren dapat menjadi landasan untuk membangun masa depan yang lebih baik. “Jangan pernah berhenti belajar dan berbuat baik, karena perubahan selalu dimulai dari diri sendiri. Harus tetap percaya diri menjadi pendakwah di tengah masyarakat, dan ketika sudah menjadi penceramah sampaikan saja ilmu agama ini diperoleh dari lapas. Untuk itu apa yang FIAI UII lakukan, mudah-mudahan bermanfaat. Sinergi FIAI UII dengan Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta, justru mampu melahirkan santri-santri yang unggul. Kami tidak mengharap uang, karena ada orang yang banyak amalnya, gagal masuk surga karena kurang ikhlas. Namun ada orang yang sedikit amalnya tapi berhasil masuk surga karena ikhlasnya,” kata Dr Asmuni.

Dari 55 santri, 37 dinyatakan lulus dan berhak mengikuti wisuda secara tatap muka juga melalui layanan TV daring. Serangkaian acara dalam wisuda, juga diisi dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an, hadroh dan kajian tafsir kitab kuning yang disampaikan oleh salah satu peserta wisuda, dalam bentuk ceramah agama. Warga binaan pemasyarakatan pun mampu percaya diri memberikan materi agama kepada hadirin. (IPK)

Short course Penulisan Berbasis Artificial Intelligence (AI) untuk mahasiswa FIAI UII (foto: FIAI)

Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan short course Penulisan Berbasis Artificial Intelligence (AI), diikuti lebih dari 90 peserta, terdiri dari mahasiswa UII dan perguruan tinggi dalam naungan Koordinatorat Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (Kopertais) Wilayah 3 Daerah Istimewa Yogyakarta.

Short course diselenggarakan di lantai III Gedung KHA Wahid Hasyim FIAI UII Senin dan Selasa, 25-26 November 202. Ketua Panitia kegiatan Ahmad Zubaidi, S.Pd., M.Pd menegaskan bahwa selain paparan materi juga ditingkatkan dengan praktik dan pengecekan plagiasi di Turnitin.

“Dari sisi praktik langsung dengan AI, akan diberikan hadiah untuk tulisan terbaik. Semata memotivasi peserta, meski dari mahasiswa luar UII, tetap kita berikan dukungan dalam menjalin sinergitas yang baik. Untuk memajukan karya tulis di tingkat mahasiswa, hal ini perlu dilakukan sekuat mungkin demi terjaganya integritas dalam penulisan” kata Ahmad.

Selain itu, Ahmad Zubaidi menambahkan bahwa hasil tulisan terbaik dari peserta akan dibantu untuk dimuat di media massa online, jurnal dan media sosial.  Harapannya menjadi contoh bagi masyarakat umum, tentang pemanfaatan AI. Klasifikasi tulisan yang diharapkan menonjol dari peserta berupa opini, cerita motivasi dan karya akademis lainnya.

Setelah hari pertama hadirkan 2 narasumber, pada hari kedua juga bersama 2 narasumber. Hari kedua, diawali paparan Ahmad Ali Azim, S. Pd. I., M. Pd yang merupakan pendiri media dan penerbit Dawuh Guru serta penulis opini pada beberapa media massa ternama.  Disambung paparan narasumber kedua, Yuli Andriansyah, SE., MSI dosen Prodi Ekonomi Islam UII, juga sebagai Editor In Chief Jurnal Millah FIAI UII.

”Menembus media massa nasional, bisa dimulai dengan menggempur dengan tulisan opini ke media lokal. Hal ini karena redaktur media massa akan melakukan cek popularitas nama penulis opini di media online, misal di Google Cendekia, jurnal dan media massa lain. Sehingga nama kita harusnya dikenal dulu secara online,” kata Ali Azim

Tandasnya, sudah saatnya generasi sekarang memanfaatkan teknologi, seperti AI. Namun jangan menggantungkan sepenuhnya dari hasil kerja AI. Sebagian saja, atau dalam upaya untuk mencari ide dan gagasan. Kalau tidak beradaptasi dengan AI bisa makin ketinggalan zaman.

”Saya pernah meramu data, informasi, berita dan sejarah menjadi sebuah bagian dari buku hasil kerja AI. Memang tidak semua perguruan tinggi bisa menerima AI. Ada yang mendorong, ada yang menghindari mahasiswanya menggunakan AI. Namun bagi saya pribadi, AI akan membantu dalam hal kecepatan menyelesaikan penulisan. AI itu pintar, beda pilot meski sama-sama mencari informasi yang sama, hasilnya tetap beda. Sehingga ketika dicek di alat pendeteks plagiasi, cenderung aman, namun ya saat ini, entah nantinya,” kata Ali Azim.

Sesi kedua, Yuli Andriansyah, SE., MSI  yang saat ini juga masih menempuh studi doktor, menjelaskan arti penting AI.
“Artificial Intelligence memiliki peluang untuk membantu umat manusia, termasuk para peserta didik di perguruan tinggi. Sejumlah Lembaga dunia dan pemerintah Indonesia telah membuat petunjuk yang dapat menjadi panduan agar penggunaan AI dapat memberikan manfaat dan tetap sesuai dengan etika. Sudah selayaknya dunia kampus memanfaatkan AI untuk mengakselerasi capaian pendidikan tinggi sembari tetap menjaga etika dan integritas akademik,” kata Yuli

Imbuhnya, kejujuran bagi pengguna AI juga perlu diperhatikan. Bukan berarti ketika sebuah karya yang tidak terdeteksi sebagai hasil kerja AI, lalu mengabaikan aspek transparansi. Transparansi dalam hal ini menyebutkan bahwa karya tulis tersebut juga didapatkan dari perangkat AI.
”Dalam pemanfaatan AI yang menganut mazhab kejujuran. Sekiranya memang dihasilkan dari hasil AI, tetap disebutkan. Meskipun tidak terdeteksi perangkat detektor AI. Bahkan karya tulis yang dihasilkan dari AI tetap perlu sentuhan editing, untuk menyesuaikan gaya penulisan. Intinya etika dan karakter tetap harus benar-benar dijaga dalam dunia pendidikan,” tegas Yuli Andriansyah.

Dalam sesi simulasi, Yuli Andriansyah mencoba memberikan contoh pemanfaatan AI untuk memudahkan mahasiswa menyelesaikan skripsi dan karya ilmiah. Simulasi memberikan gambaran pola penggunaan AI yang benar dan etis, serta penggunaan AI yang bersifat mengelabuhi karena tidak akan dideteksi sebagai karya dari AI. Namun dalam paparan penutupan, Yuli memastikan yang hadir tetap harus berpegang teguh pada etika, ketika memanfaatkan AI.

Sebelum short course ditutup, Ahmad Zubaidi membagikan hadiah senilai 1 juta rupiah kepada peserta yang mampu menjawab 10 pertanyaan mengenai materi yang disampaikan oleh 4 narasumber selama 2 hari. (IPK)

Short course Penulisan Berbasis Artificial Intelligence di FIAI UII (foto: FIAI)

Artificial Intelligence (AI) menjadi topik utama berbagai forum diskusi pada kampus di Indonesia. Terutama karena kemajuan teknologi berbasis AI dapat dimanfaatkan untuk memudahkan mahasiswa yang sedang menempuh studi. Begitu juga dengan Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan short course Penulisan Berbasis Artificial Intelligence (AI) untuk mahasiswa, Senin dan Selasa, 25-26 November 2024. Selain diikuti mahasiswa UII, short course penulisan juga diikuti mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang tergabung dalam Koordinatorat Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (Kopertais) Wilayah 3 Daerah Istimewa Yogyakarta.

Short course penulisan diselenggarakan di lantai III Gedung KHA Wahid Hasyim FIAI UII, dihadiri juga oleh Wakil Dekan Bidang Keagamaan, Kemahasiswaan dan Alumni,  Dr. Muhammad Roy Purwanto, S.Ag., M.Ag sekaligus sebagai pembuka acara.
”AI itu cerdas, perintah yang sama bisa memberikan hasil yang berbeda, termasuk dalam tulisan. AI dapat dimanfaatkan untuk berbagai bidang, selain menulis untuk opini, media massa juga tentu karya ilmiah. Jangan sampai ketinggalan dengan teknologi AI, ketika mahasiswa yang lain sudah mahir dengan AI, maka yang hadir di sini harus bisa segera beradaptasi dengan kemajuan AI.  Kita harus ingat, apa kata Imam Al-Ghazali, yaitu kalau kamu bukan anak ulama besar, bukan pula anak seorang raja, maka menulislah,” kata Muhammad Roy.

Menurut Muhammad Roy, dengan karya tulis akan  dapat memberikan dampak positif kepada masyarakat. Meski penulisnya telah tiadapun, nanti puluhan bahkan ratusan tahun jejak penulis akan tetap dikenang generasi-generasi setelahnya.
Tambahnya, dengan workshop selama 2 hari ini, diharapkan peserta dapat menulis dengan teknologi AI untuk kepentingan penulisan artikel, opini, cerpen di berbagai media. Tentu bisa dikembangkan untuk karya tulis ilmiah dan buku.

Hari pertama short course, FIAI UII hadirkan 2 narasumber. Pertama, Hendrik, S.T., M.Eng dosen dan penggiat AI dari FTI UII. Kedua, Muhammad Luthfi Hamdani, S.M., M.M dosen Politeknik Akbara Surakarta sekaligus penulis cerpen dan pemilik penerbitan buku.

Pada hari kedua, 2 narasumber  dari internal UII dan eksternal. Narasumber pertama, Ahmad Ali Azim, S. Pd. I., M. Pd. pendiri media dan penerbit Dawuh Guru. Narasumber kedua, Yuli Andriansyah, SE., MSI dosen Prodi Ekonomi Islam UII, juga sebagai Editor In Chief Jurnal Millah FIAI UII.

Narasumber perdana, mengawali shortcourse yakni Hendrik, S.T., M.Eng FTI dosen Prodi Informatika UII, yang merupakan penggiat AI untuk berbagai kemanfaatanHendrik mengangkat materi The Role of Artificial Intelligence in Writing.
Artificial Intelligence sebenarnya sudah ada sejak lama. Adalah John Mc Carthy menciptakan istilah Artificial Intelligence pada tahun 1950-an.Tentu saja, AI dimaksudkan untuk ramah, dan menavigasi dunia yang dibangun untuk manusia,” kata Hendrik yang sedang menempuh studi doktor ini.

Menurut Hendrik, AI bisa dimanfaatkan untuk beberapa kepentingan, karena perannya begitu nyata. Pertama, brainstorming and idea generation. Bahwa setiap orang bisa memanfaatkan AI karena  handal dalam proses data dalam jumlah besar, juga  untuk meraih ide-ide baru yang mungkin belum terpikirkan selama ini. Kedua, writing assistant yaitu untuk meningkatkan kulitas penulisan, memperbaiki salah tulis dan tata bahasa, utamanya agar sesuai dengan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan). Ketiga, Literature Finder and Reference Tracker , untuk membantu menelusuri sitasi, keterkaitan sumber penulisan dan kejelasan rujukan referensi. Keempat, data processor and analyst, memudahkan proses pengolahan data dan analisis, misal di SPSS ada kesulitan proses input seperti preparasi, tapi dengan AI dari file Microsoft Excell pun bisa nemukan solusi.

“Bahkan ada yang menggunakan AI sebagai teman curhat. Setiap saat chat dengan AI ketika ada masalah hidupnya,” kata Hendrik untuk memecahkan suasana.

Narasumber kedua di hari pertama, Muhammad Luthfi Hamdani, S.M., M.M  mengawali paparan dengan dasar pemahama tentang cerita pendek (cerpen), sebelum membahas pemanfaatnya AI.

“Cerpen itu hanya menggambarkan kisah pendek, konflik singkat. Beda dengan novel yang melibatkan banyak konflik dan tokoh, dengan kisah yang tidak pendek lagi.  Cerpen jadikan sebagai pendidikan karakter dalam karya sastra, bentuk metafor tidak bersifat menggurui. Orang tidak suka digurui dan didekte,” kata Muhammad Luthfi.

Muhammad Luthfi tambahkan kalau dalam menulis cerpen bisa berangkat dari value dan pesan moral yang akan diangkat. Apa kondisi dari sekitar penulis yang akan ditulis. Kemudian, valuenya justru dari tokoh-tokoh dengan karakter yang diangkat menjadi sebuah cerita bermakna.  Sehingga cerpen bisa dikembangkan dari masalah hidup nyata.

“Cerpen yang paling penting ada gaya cerita, itu menjadi penting di beberapa media cetak ternama saat ini. AI dapat membantu dalam brainstrormingnya, plotingnya dan seting juga ide. Namun sebaiknya memang tetap menjaga gaya khas penulisnya. Jangan seluruhnya dari AI. Ini bukan saya katakan menolak AI, tapi jangan menaruh seluruh tulisan bergantung dari AI,” kata Muhammad Luthfi. (IPK)