SLEMAN. Kompetisi olah raga dalam rangka Milad ke-81 Universitas Islam Indonesia (UII) mengetengahkan beberapa perlombaan cabang olah raga, salah satunya cabang sepak bola. Kompetisi sepak bola diikuti oleh seluruh fakultas dan rektorat I UII, bertanding sepanjang bulan Juni hingga Juli 2024. Pada laga final olahraga sepakbola yang diselenggarakan Rabu 3 Juli 2024, Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) berhasil meraih Juara II, setelah melawan Fakultas Kedokteran.

Laga final olah raga sepak bola diselenggarakan di Lapangan Sepak Bola Kampus  Terpadu UII, Jalan Kaliurang km. 14.5 Sleman. Hadir dalam laga final, Dekan FIAI Dr. Drs. Asmuni MA,  serta Wakil Dekan Bidang Sumber Daya Dr. Nur Kholis, SEI., M.Sh.Ec, juga Wakil Dekan Bidang Keagamaan, Kemahasiswaan dan Alumni (KKA) Dr. Muhammad Roy Purwanto, S.Ag., M.Ag .

”Kami pimpinan fakultas cukup bangga dengan torehan prestasi Tim Sepak Bola FIAI UII, lama sekali tidak bisa masuk 3 besar, bahkan mungkin baru kali ini, mendapat juara II. Selamat dan sukses. Namun memang di beberapa lini perlu evaluasi agar tahun berikutnya bisa juara pertama,” apresiasi Wakil Dekan KKA, Dr M Roy Purwanto.

Imbuhnya, perlu peningkatan frekuensi latihan yang rutin untuk bisa meningkatkan prestasi. Pada keikutsertaan kompetisi sepak bola pada Milad ke-81 UII, Tim FIAI UII hanya melakukan persiapan dengan latihan tidak lebih dari 5 kali. Selain itu, dari semi final ke final dirasa tidak ada jeda waktu. Semi final dilakukan kemaren sore, hari ini sudah harus ikut dalam laga final. Kondisi pemain sudah lelah pada laga sebelumnya.

Ungkapan Dr. M Roy Purwanto diamini oleh Burhan Nudin, S.Pd.I., M.Pd.I, dosen FIAI UII yang juga menonton pertandingan.
“Perlu perbaikan dalam lini organisasi antar pemain, harus ditingkatkan latihan agar memahami karakter antar pemain dalam satu tim,” kata Burhan.

Dr. Muhammad Roy Purwanto, S.Ag., M.Ag (peci merah)  mendampingi Tim Sepak Bola FIAI UII pada laga final Milad ke-82 UII (foto: IPK)

Sebelum memasuki laga final, FIAI UII berhasil memenangkan pertandingan penyisihan melawan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) dengan skor 4-2, serta  pada laga semi final melawan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) dengan skor 1-0.

Ungkapan apresiasi juga datang dari Dr. Drs. Ahmad Darmadji, M.Pd, dosen FIAI UII.
“Luar biasa ini, Tim Sepak Bola FIAI UII bisa masuk final di Milad UII. Ikut senang makanya saya datang untuk mensupport,” ungkap Dr. Ahmad Darmadji. Selain itu, ungkapan suka cita juga mengalir di Whatsapp Group FIAI UII, salah satunya dari Dr. Siti Achiria, SE., MM.

“Alhamdulillahirobbil’alamiin. Selamat Tim FIAI, semoga berkah. Amin. Nuwun sewu, melihat potensi dan semangat atlet-atlet serta supporter FIAI, nderek sekedar usul, bagaimana kalau ada latihan rutin untuk cabang olahraga yag dipertandingkan dalam Milad UII,” ungkap Dr. Siti Achiria dalam chatnya. (IPK)


Dalam upaya meningkatkan peran di masyarakat, Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) menyiapkan serangkaian kegiatan akademik dan penulisan buku. Salah satunya, kegiatan berupa focus group discussion Manajemen Bencana dari Perspektif Islam Sesi III dengan mengusung tema “Kepribadian Tangguh Bencana dari Perspektif Turast” , Rabu, 26 Juni 2024, di ruang sidang Dekanat FIAI, Gedung KHA Wahid Hasyim, Kampus Terpadu UII Jalan Kaliurang km 14,4 Sleman.

Focus Group Discussion (FGD) menghadirkan 2 narasumber pemantik. Pertama, Dr. H. Sus Budiharto, S.Psi., M.Si., Psikolog, Dosen Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII. Kedua, Lukman, S.Ag., M.Pd. Dosen FIAI UII. Kegiatan FGD ini rencananya akan dijadikan materi buku Fikih Kebencanaan Perspektif Fuqaha UII, seperti disampaikan Dekan FIAI UII saat membuka acara.

“Penyintas biasanya akan memasuki beberapa fase. Fase pertama biasanya spontan, kaget kurang lebih selama 1 minggu. Fase kedua merasa selamat, menjadi pemberani, heroik dan berani menyelamatkan yang lain. Kita pernah merasakan ini tahun 2006 bencana gempa bumi Yogya. Fase ketiga adalah harmoni, biasanya penyintas ini membangun relasi, karena menerima janji-janji bantuan dari banyak pihak. Dari pemerintah sekian, dari daerah lain sekain, dan lain sebagainya dan harmoni, biasanya membangun relasi dengan siapapun, apalagi relawan hadir di lokasi bencana. Pada fase ini, paska bencana gempa bumi Lombok tahun 2018 welcome terhadap siapapun, juga saat bencana gempa bumi Yogya tahun 2006,” kata Dr. Asmuni , Dekan FIAI UII.

Namun Dr. Asmuni juga melengkapi, bahwa ada fase keempat, yaitu fase penuh kekecewaan, ternyata bantuan yang diberikan tidak mampu mengembalikan keadaan seperti semula. Apalagi sadar ketika para relawan sudah meninggalkan lokasi bencana, tinggalah penyintas dalam kesendirian dan sadar bantuan yang dijanjikan dahulu tidak sampai memulihkan semuanya. Rumah bersifat sementara, kamar mandi dan sekolah serba sementara. Fase kecewa bisa saja selama 2 bulan hingga 2 tahun, tapi ada fase rekonstruksi yang cukup lama membutuhkan bantuan secara material, juga bantuan secara pendampingan spiritual, tapi sentuhan secara psikologis dari pakar dan ahlinya tidak bisa diabaikan. Tentunya para psikolog memahami cara mengelola hati perasaan para penyintas.
”Nah diskusi kali ini menghadirkan narusumber multidisplin. Luarannya nanti berupa buku berjudul Fikih Bencana Perspektif Fuqaha UII. Nah fuqaha UII tidak hanya FIAI karena melibatkan fakultas lain,” ungkap Dr. Asmuni yang pada bencana gempa bumi Yogya tahun 2006 dan bencana gempa bumi Lombok tahun 2018 terlibat langsung menjadi relawan.

Selepas sambutan, dilanjutkan sesi diskusi menghadirkan 2 narasumber pemantik dari internal UII, yaitu Dr. H. Sus Budiharto, S.Psi., M.Si., Psikolog, dosen Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) serta Lukman, S.Ag., M.Pd., dosen Fakultas Ilmu Agama Islam. Dipandu fasilitator Sofwan Hadikusuma, Lc., ME, dosen FIAI.

Dalam paparan awal, narasumber pertama Lukman, S.Ag, M.Pd memantik dengan siklus manusia menghadapi bencana.
”Sebagai relawan bencana kita mendampibgi bukan saja saat bencana tapi juga sampai akhir, sehingga ketahanan terhadap bencana semakin baik. Ada siklus manusia saat menghadapi bencana, dimulai dari sabar, merasa perlu taubat, ada yang mengeluh. Bagi yang sabar, Allah menjanjikan akan mendapatkan rahmat. Ada yang taubat, merasa sadar bahwa dosanya memang banyak. Tapi juga ada yang mengeluh. Nah pentingnya deteksi dini itu ada di sini, apakah penyintas itu sabar, taubat atau mengeluh,” jelas Lukman M.Pd.

Menurut Lukman M.Pd, penemuan terhadap kategorisasi ini penting terutama bagi tim reaksi cepat dan tanggap darurat, karena bisa memperlakukan sesuai yang ada pada dirinya. Kalau mereka sudah sabar lalu diberi nasehat terus, bisa saja justru akan mengeluh. Sebaiknya orang yang sudah sabar, diajak berpartisipasi untuk tanggap bencana dan mitigasi. Kemudian orang yang taubat, ditingkatkan untuk menjadi sabar.

“Kategorisasi terhadap kondisi spiritual manusia itu penting, karena kalau kita memberikan suatu nasehat, ibarat pasien sakit perut, diberi obat sakit lutut. Selain pendampingan recovery fisik juga recovery mental bahkan menjadi lebih baik lagi. Jadi bencana kita jadikan salah satu titik point bagaimana untuk meningkatkan pendidikan spiritualitas. Ada yang kemudian bangkit, normal, putus asa ada yang sadar memperbaiki diri ada juga yang tersesat,” kata Lukman M.Pd

Pada sesi yang sama, narasumber pemantik kedua, Dr. H. Sus Budiharto, S.Psi., M.Si., Psikolog, mencoba mengangkat aspek optimalisasi HERO menghadapi bencana. Hero merupakan kependekan dari harapan, efikasi, resiliensi dan optimisme.

“Di lapangan, semua perspektif terhadap bencana alam itu paling tepat kalau dimaknai sebagai ujian. Sangat tidak nyaman bagi penyintas kalau dimaknai sebagai peringatan dan azab. Ketika disampaikan misal ini sebagai sebuah peringatan, bapak ibu. Ternyata itu sangat menyakitkan,” kata Dr. Sus Budiharto.

Imbuhnya, pemaknaan yang paling mudah diterima menjadikan bencana sebagai ujian, sebagaimana mahasiswa menempuh ujian untuk lulus, jadi orang-orang yang menempuh ujian itu orang yang rajin.

“Catatan saya sebagai psikolog adalah jangan sampai penyintas diberitahu bahwa mereka mengeluh, meskipun kenyataannya mengeluh. Maunya mereka itu tetap disanjung sebagai orang yang sabar. Jadi meski mengeluh baiknya dianggap sabar. Sehingga perlu hati-hati ketika kita pendamping melakukan deteksi dini.” ujarnya.

Sus Budiharto melengkapi bahwa perlu diantisipasi ada kecenderungan relawan psikolog mudah melakukan judgement, menilai orang lain rendah, sedang atau tinggi. Untuk yang melakukan judgment rendah berlaku teori populer yaitu Self Fulfilling Prophecy misal hanya dari melihat, lalu terlanjur menganggap orang itu mengeluh, maka akan terdorong untuk menganggap orang itu lebih rendah. Hal itu akan berdampak akan lebih banyak mengkritik orang tersebut. Ini catatan saat bencana.

Selain itu, perlu juga memahami simpati dan empati terkait budaya setempat. Untuk memahami para penyintas yang diperlukan adalah empati, tidak hanya simpati.
”Saya orangnya selau berusaha menunjukan ekspresi tersenyum, baik senang sedih terus berusaha senyum. Tapi ini ternyata bisa tidak cocok. Ada sebuah kisah seorang relawan sedang mendengarkan cerita seorang ibu di suatu lokasi bencana gempa besar, untuk menunjukkan kesan tertentu, relawan ini berusaha tersenyum. Rupanya itu menyinggung perasaan ibu tersebut, dan menegur relawan bahwasanya jangan tersenyum karena ibu tersebut sedang bercerita sedih,” ungkap Sus Budiharto.

Kegiatan FGD diikuti oleh dosen FIAI dan FPSB, bertujuan untuk memecahkan masalah saat ini. Ketua Panitia FGD Manajemen Bencana dari Perspektif Islam Sesi III, Kurniawan Dwi Saputra, Lc., M.Hum memperjelas arah kegiatan FGD ini,
”FGD Manajemen Bencana dari Perspektif Islam Sesi III ini bertujuan untuk mengelaborasi turats sebagai perspektif untuk pemecahan permasalahan kemanusiaan kontemporer,” jelasnya. (IPK)

Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang tak henti-hentinya telah memberikan nikmat iman, islam kepada kita sampai saat ini. Sholawat serta salam selalu junjungan Nabi Muhammad SAW, beserta seluruh keluarga dan sahabatnya.

Sudah semestinya sebagai umat Islam kita selalu di ingatkan dan di arahkan untuk “amar ma’ruf nahi mungkar” perintah berbuat baik dan mencegah kepada hal yang buruk. Kalimat pertama yaitu “amar ma’ruf” yang artinya sebuah perintah yang dilakukan mengajak orang untuk melakukan ha-hal yang baik, dengan memulai berbuat kebaikan dari diri sendiri setelah itu kita melanjutkan dengan “nahi mungkar” yang artinya melarang pada hal-hal yang buruk, dengan kita memberikan contoh hal yang baik terlebih dahulu akan lebih bisa diterima oleh jamaah. Dalam agama islam perintah untuk mengajak berbuat baik lebih sering dikenal dengan sebutan Dakwah/ nasihat, seperti yang sudah dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW dan juga sudah ditegaskan diperintahkan oleh Allah SWT.

Hal ini sudah tertulis dalam Al Quran Surat An Nahl:125;

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

Artinya ; “ Serulah ( manusia ) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yag baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia ( pula ) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk ”.

Berdakwah adalah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil manusia untuk beriman dan taat kepada Allah SWT sesuai dengan akidah, akhlak dan syariat islam secara sadar dan tulus ikhlas. Dakwah memainkan peran kunci dalam membentuk citra islam. Sebab, banyak orang mengenal ajaran islam dalam kegiatan pemberdayaan umat melalui aktivitas para da’i, baik melalui dakwah lisan maupun dakwah yang langsung melibatkan masyarakat. Namun, di Indonesia, fenomena dakwah masih di dominasi oleh dakwah lisan yang biasanya dilakukan dalam acara-acara formal keagamaan atau pengajian. Tujuan utama dari dakwah adalah mencari kebahagian di dunia dan akhirat. Banyak macam cara kegiatan dakwah kita agar di terima oleh orang lain yang menjadi audiens kita. Maka dari itu kita harus merencanakan dan mengkonsep  dakwah dengan baik agar berhasil. Dakwah dengan baik berarti mengajak orang lain menuju kebaikan melalui pendekatan yang bijak, penuh hikmah, dan sesuai dengan ajaran Islam. Di tengah ke anekaragaman bangsa, suku, budaya, dan adat istiadat kegiatan dakwah perlu kita konsep secara kebhinekaan yang harmonis saling menghormati dan menjunjung tinggi toleransi serta tidak saling menyakiti dan menghakimi keyakinan dan kepercayaan orang lain.  Dengan konsep dakwah yang baik tersebut akan menciptakan suasana yang indah dan penuh kasih sayang dan dapat menumbuhkan rasa aman tenteram dan damai dalam menjalankan ibadah sesuai syariah Islam.

Berikut adalah beberapa langkah untuk berdakwah secara efektif :

  • Sebelum berdakwah niatkan hati kita hanya untuk mencari ridha Allah SWT, bukan untuk popularitas atau tujuan pribadi lainnya.
  • Kuasai ilmu agama secara mendalam, termasuk Al-Qur’an, hadits, fiqih, dan syariah. Dengan pengetahuan yang luas, dakwah dapat disampaikan secara benar dan sesuai dengan ajaran Islam.
  • Pahamilah madzhab dan latar belakang yang dianut oleh mayoritas jamaah untuk memudahkan penerimaan dakwah. Hindari perdebatan tentang perbedaan madzhab yang dapat memicu perpecahan.
  • Pahami karakter, kebutuhan, dan tingkat pemahaman jamaah agar dakwah bisa disesuaikan dengan kondisi mereka. Pastikan materi disiapkan dengan baik agar mudah dipahami dan sesuai dengan kebutuhan jamaah yang relevan dengan konteks saat ini.

Dalam penyampaian dakwah harus mengedepankan sikap toleransi, bijaksana, lemah lembut dan menghargai, hindari kekerasan, paksaan, atau celaan. Adapun cara ini sudah diperintahkan kepada nabi Muhammad SAW dan tertulis dalam surat Al Imron ayat : 159;

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِك…… آل الآية

Artinya; “ Maka berkat rahmat Allah engkau ( Nabi Muhammad ) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu ”.

Adapun metode seperti ayat diatas sudah di praktikkan oleh da’i pendahulu dalam berdakwah yang sudah dikenal semua orang yaitu para Wali Songo, para wali ini adalah seorang da’i yang menyampaikan dakwah nya dengan mengkolaborasi tradisi, dan juga kesenian yang dilakukan masyarakat pada umumnya. Beliau para wali tersebut mengubah tradisi dan seni menjadi amal ibadah, yang awalnya dilarang oleh syariah Islam kemudian diubah menjadi Ibadah yang sesuai dengan syariah Islam. Sebagai contoh adalah budaya sesajen yang lengkap dengan bunga dan do’a kepada leluhur kemudian di ubah sesajen dengan hal yang bisa di konsumsi oleh peserta dan doa yang dibaca di ubah dengan doa kepada Allah SWT. Dalam berdakwah alangkah baiknya menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan contoh yang relevan. Sampaikan nasihat dengan kasih sayang dan hindari sikap menghakimi. Ketika ada jamaah yang bertanya maka jawab dan jelaskan dengan sopan, Jika ada perbedaan pendapat, sampaikan dengan cara yang baik dan hindari perdebatan yang memicu perpecahan. Sebagai Penyampai Dakwah kita harus menjadi teladan yang baik dengan cara menunjukkan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari agar menjadi contoh bagi jamaah.

Dengan perkembangan zaman dan teknologi, kegiatan dakwah saat ini banyak inovasi dalam berdakwah seperti ceramah, tulisan, video, atau media sosial untuk menyampaikan dakwah. Sehingga memudahkan kita untuk terus konsisten dan istiqomah dalam berdakwah. Dengan tidak mudah putus asa, selalu belajar dan memperbaiki diri agar dakwah semakin berkualitas. Pastikan dakwah yang disampaikan sesuai dengan syariat Islam dan akhlak yang baik. Kemudian ajak jamaah untuk bertindak dan melakukan perubahan.

Penulis: Taufiq Hidayanto, Tendik FIAI UII

Bekerja dapat dimaknai sebagai bagian aktifitas manusia yang paling banyak menyita waktu lak-laki, selain berdagang. Dari 24 jam jatah hidup manusia dalam 1 hari, berapa banyak yang dimanfaatkan untuk kepentingan bekerja, untuk keluarga dan istirahat? Jika sehari menggunakan 8 jam jatah hidup sehari yang diberikan Allah. Apakah sudah bemakna ibadah? Seharusnya bekerja sejatinya adalah ibadah.

Meskipun saat ini pemahaman kerja masih dianggap sebagai sarana mencari penghasilan, namun juga ada yang menganggap cara menjemput rezeki. Selain itu ada juga yang berprinsip bekerja sebagai beribadah di dunia. Dampak perbedaan pemahaman ini, menjadikan perilaku dalam bekerja.

Bagi seorang laki-laki muslim, bekerja sejatinya bisa menghapus dosa. Hal tersebut sesuai sabda Rasulullah.

“Barangsiapa yang di waktu sore merasa capek (lelah) lantaran pekerjaan kedua tangannya (mencari nafkah) maka di saat itu diampuni dosa baginya.” (HR. Thabrani).

Tentu lelah dalam bekerja diniati sebagai jalan ibadah, sehingga niat ikhlas, jujur dan amanah juga mendukung nilai manfaat dalam bekerja

 

Bekerja amanah, merupakah perintah Allah sesuai firman-NYa dalam Al Qur’an surah Al-Ahzab ayat 72 yang artinya:
“Sesungguhnya kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat). Lalu dipikullah amanah itu oleh manusia. Sungguh manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh”.

Dari sisi makna etimologi amanah dari bahasa Arab dalam bentuk mashdar dari amina amanatan yang berarti jujur, dan dalam hal ini juga sifat perbuatan yang dapat dipercaya. Dari makna bahasa Indonesia amanah berarti pesan, perintah. Sehingga ketika bekerja yang amanah  bisa dimaknai dengan berbagai sudut pandang, salah satunya dari Ahmad Musthafa Al-Maraghi yang memaknai amanah sebagai sesuatu yang harus dipelihara dan dijaga agar sampai kepada yang berhak memilikinya.

Menggapai Ridho Allah
Bekerja tidak serta merta tentang penghasilan, gaji, dan jabatan. Dalam Islam bekerja adalah cara beribadah kepada Allah dan lautan kebaikan untuk keluarganya.  Keyakinan akan rezeki dari Allah adalah landasan semangat dalam bekerja layaknya seekor burung yang terbang menjemput rezeki tanpa sedikitpun berprasangka buruk kepada Allah.

Semangat ini sesuai dengan sabda Rasulullah,
Dari Umar Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kalau kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, maka niscaya Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana Allah memberi rezeki kepada burung; ia pergi pagi hari dalam keadaan perutnya kosong, lalu pulang pada sore hari dalam keadaan kenyang”. [HR Tirmidzi, no. 2344; Ahmad (I/30); Ibnu Majah, no. 4164]

Lelah dalam bekerja bagi seorang pria, resiko dalam bekerja dan semangat untuk menjalani karena Allah, akan menjadikan Allah senang, sehingga bekerja bagian dari menjaga hubungan manusia dengan Allah. Dapat menjadi pedoman bersama atas sabda Rasulullah,
“Sesungguhnya Allah Ta’ala senang melihat hamba-Nya bersusah-payah (lelah) dalam mencari rezeki yang halal.” (HR. Ad-Dailami).

Bekerja secara ikhlas meraih ridho Allah. Ikhlas dalam hal ini maknanya mengutamakan kepentingan kolektif tempatnya bekerja, misal instansi perguruan tinggi seperti UII, maka kepentingan UII menjadi utama di atas kepentingan pribadi.  Misal menjadi Pegawai Negeri Sipil Republik Indonesia, maka kebaikan instansi pemerintah dan negara menjadi utama. Sehingga keikhlasan dalam bekerja mendorong kemajuan dan kebaikan tempat bekerja. Ikhlas mengesampingkan urusan pribadi, sehingga jika diterapkan maka negara ini jauh dari korupsi, perebutan jabatan dan bangsa akan menjadi lebih baik.

Penulis: Joko Wahyudi

Dalan perspektif Islam, bekerja merupakan ibadah. Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin memandang bekerja bukan hanya sebagai aktivitas duniawi, tetapi juga sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT. Aspek duniawinya, bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Aspek akhiratnya, bekerja sebagai bentuk representasi ibadah yaitu ketika meraih pendapatan yang halala thayiban, maka kadarnya setara dengan berjihad di jalan Allah dalam rangka melaksanakan rukun Islam.  Bekerja selama tidak menghalangi dan melalaikan kewajiban lain kepada Allah akan bernilai ibadah dan mendapat pahala dari Allah.

Disiplin merupakan hal yang penting dalam bekerja, selain merupakan bagian dari etos kerja Islami, disiplin juga cerminan dari ajaran Rasulullah. Disiplin dalam bekerja menurut perspektif Islam bukan hanya tentang produktivitas atau keuntungan material semata, tetapi juga berkaitan erat dengan nilai-nilai spiritual, etika, dan tanggung jawab sebagai hamba Allah SWT.
Menggabungkan disiplin dalam ibadah dan bekerja, menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, memperbaiki kualitas diri, dan memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Disiplin dalam bekerja dapat juga bermakna melaksanakan ibadah dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an:

وَقُلِ اعْمَلُوْا فَسَيَرَى اللّٰهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُوْلُهٗ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ وَسَتُرَدُّوْنَ اِلٰى عٰلِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَۚ

“Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu.” (At-Taubah: 105)

Beberapa alasan seseorang harus disiplin dalam bekerja menurut pandangan Islam diantaranya:


Pertama
, Amanah dan Tanggung Jawab.
Islam mengajarkan bahwa setiap pekerjaan adalah amanah yang harus dijaga dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Disiplin dalam bekerja merupakan wujud dari menjaga amanah tersebut. Rasulullah SAW bersabda:

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedua : Ihsan (Berbuat yang Terbaik)
Konsep Ihsan dalam Islam mengajarkan untuk melakukan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya. Dalam konteks pekerjaan, disiplin merupakan salah satu cara untuk mencapai kualitas kerja terbaik. Allah SWT berfirman:

۞ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.” (An-Nahl: 90)

Ketiga : Manajemen Waktu
Islam sangat menekankan pentingnya memanfaatkan waktu dengan baik. Disiplin dalam bekerja membantu seseorang mengelola waktunya secara efektif. Allah SWT berfirman:

وَالْعَصْرِۙ ۝١

اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ ۝٢

اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ۝٣

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh.” (Al-‘Asr: 1-3)

Keempat : Profesionalisme

Islam mendorong umatnya untuk bekerja secara profesional. Disiplin adalah salah satu ciri profesionalisme. Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya Allah mencintai jika seseorang melakukan suatu pekerjaan yang dilakukannya dengan itqan (tepat, terarah, dan tuntas).” (HR. Thabrani)


Kelima : Berkah dan Rezeki
Disiplin dalam bekerja dapat membuka pintu berkah dan rezeki. Islam mengajarkan bahwa rezeki datang dari Allah, namun manusia harus berusaha dengan sungguh-sungguh. Allah SWT berfirman:

وَاَنْ لَّيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعٰىۙ ۝٣٩

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (An-Najm: 39)

Keenam : Keteladanan
Disiplin dalam bekerja dapat menjadi teladan bagi orang lain, terutama bagi sesama Muslim. Ini sejalan dengan ajaran Islam untuk saling menasihati dalam kebaikan.

Dalam perspektif Islam, seseorang yang disiplin dalam bekerja akan menerima berbagai kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat. Berikut diantara kebaikan-kebaikan tersebut:

Pertama : Pahala dan Ridha Allah SWT
Bekerja dengan disiplin menjadi bagian ibadah, sehingga yang melakukannya akan mendapatkan pahala, selain itu melaksanakan pekerjaan dengan baik merupakan bentuk ketaatan kepada Allah SWT.

Kedua : Keberkahan dalam Rezeki
Islam mengajarkan disiplin dan kerja keras dapat membuka pintu rezeki. Keberkahan yang didapakan tidak hanya dalam bentuk materi, tapi juga ketenangan dan kepuasan batin.

Ketiga : Peningkatan Kualitas Diri
Disiplin juga membantu seseorang mengembangkan karakter positif seperti kejujuran, tanggung jawab, dan ketekunan. Hal ini sejalan dengan konsep tazkiyatun nafs (penyucian diri) dalam Islam.

Keempat : Kesuksesan Duniawi
Disiplin kerja juga mengarahkan seseorang pada prestasi dan kemajuan dalam karir, baik berupa promosi, peningkatan penghasilan, atau pengakuan profesional.

Kelima : Ketenangan Hati
Dengan melakukan pekerjaan secara disiplin dan sebaik-baiknya memberikan rasa puas dan ketenangan. Ketenangan ini merupakan nikmat tersendiri dalam pandangan Islam.

Keenam : Menjadi Teladan
Melakukan disiplin kerja yang baik dapat menjadi contoh bagi orang lain, terutama keluarga dan rekan kerja. Menjadi teladan dalam kebaikan memiliki nilai tinggi dalam Islam.

Ketujuh : Keseimbangan Hidup
Disiplin dalam bekerja membantu menciptakan keseimbangan antara kerja, ibadah, dan kehidupan pribadi. Islam mengajarkan pentingnya keseimbangan dalam semua aspek kehidupan.

Kedelapan : Terhindar dari Sifat Malas
Disiplin dalam bekerja membantu menjauhkan diri dari sifat malas yang dicela dalam Islam. Rasulullah SAW sering berdoa memohon perlindungan dari sifat malas.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam perspektif Islam, disiplin dalam bekerja tidak hanya membawa keuntungan material, tetapi juga spiritual dan sosial. Hal ini mencerminkan ajaran Islam yang komprehensif, mencakup kesejahteraan dunia dan akhirat.

Penulis : Edu Shinta Dewi, S.Ak. Tendik FIAI UII

Kematian adalah suatu kenyataan yang pasti dihadapi oleh setiap makhluk hidup, tanpa bisa menebak kapan terjadinya. Sebagai seorang muslim, selalu diajarkan untuk memaknai kematian bukan hanya sebagai akhir dari kehidupan di dunia, tetapi juga sebagai pintu gerbang menuju kehidupan yang lebih abadi di akherat. Melalui Al-Qur’an dan hadits, Islam memberikan panduan bagaimana seharusnya memandang kematian dan apa yang bisa dipelajari darinya.

Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,“Renungkanlah wahai manusia, (sebenarnya) kamu akan dapati dirimu dalam bahaya, karena kematian tidak ada batas waktu yang kita ketahui, terkadang seorang manusia keluar dari rumahnya dan tidak kembali kepadanya (karena mati), terkadang manusia duduk di atas kursi kantornya dan tidak bisa bangun lagi (karena mati), terkadang seorang manusia tidur di atas kasurnya, akan tetapi dia malah dibawa dari kasurnya ke tempat pemandian mayatnya (karena mati). Hal ini merupakan sebuah perkara yang mewajibkan kita untuk menggunakan sebaiknya kesempatan umur, dengan taubat kepada Allah Azza wa Jalla. Dan sudah sepantasnya manusia selalu merasa dirinya bertaubat, kembali, menghadap kepada Allah, sehingga datang ajalnya dan dia dalam sebaik-baiknya keadaan yang diinginkan.” (Lihat Majmu’ fatawa wa Rasa-il Ibnu Utsaimin, 8/474).

Dalam Islam, kematian adalah ketetapan Allah yang tidak bisa ditolak atau dihindari. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.” (QS. Al-Ankabut: 57).

Ayat ini menegaskan bahwa kematian adalah kepastian yang akan dialami oleh setiap makhluk. Tidak ada yang bisa menolak atau menghindarinya. Dengan menyadari hal ini, seorang Muslim seharusnya selalu bersiap diri dan menjalani kehidupan di dunia ini dengan penuh kesadaran bahwa segala sesuatu yang dimiliki hanyalah titipan sementara.

Kematian juga merupakan pengingat yang kuat bagi kita untuk selalu berbuat kebaikan. Rasulullah SAW bersabda:

“Orang yang cerdas adalah orang yang mengendalikan dirinya dan bekerja untuk kehidupan setelah mati.” (HR. Tirmidzi).

Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang bijak adalah mereka yang menyadari bahwa kehidupan dunia ini hanya sementara, dan kehidupan yang abadi adalah di akhirat. Oleh karena itu, mereka akan selalu berusaha untuk memperbanyak amal shaleh, karena hanya amal kebaikan yang akan menjadi bekal di alam kubur dan akhirat kelak.

Kematian mengingatkan kita akan hakikat kehidupan yang sesungguhnya. Hidup di dunia ini hanyalah perjalanan singkat menuju kehidupan yang lebih kekal. Rasulullah SAW bersabda:

“Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau seorang pengembara.” (HR. Bukhari).

Hadits ini mengajarkan kita untuk tidak terlalu terikat dengan kehidupan dunia, karena dunia ini bukanlah tujuan akhir. Seorang Muslim seharusnya selalu menyadari bahwa kehidupan dunia ini sementara dan tujuan hidup yang sejati adalah mencapai kebahagiaan di akhirat.

Dengan menyadari bahwa kematian bisa datang kapan saja, seorang Muslim seharusnya lebih rajin dalam beribadah dan selalu mengingat Allah dalam setiap langkah hidupnya. Salah satu cara untuk mengingat Allah adalah dengan selalu mengingat kematian. Rasulullah SAW bersabda:

“Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan (kematian).” (HR. Tirmidzi).

Dengan mengingat kematian, hati akan menjadi lebih lembut dan jiwa akan terhindar dari kesombongan dan cinta dunia yang berlebihan. Kita akan lebih fokus pada tujuan hidup yang sesungguhnya, yaitu mencari ridha Allah dan mempersiapkan bekal untuk kehidupan setelah mati.

Bagi seorang Muslim yang beriman dan beramal shaleh, kematian bukanlah sesuatu yang ditakuti, tetapi justru dinantikan sebagai awal dari kehidupan yang lebih baik. Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami ialah Allah,’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.'” (QS. Fussilat: 30).

Ayat ini memberikan harapan bagi setiap Muslim yang menjalani hidup dengan penuh keimanan dan ketaatan kepada Allah, bahwa kematian adalah pintu menuju surga, tempat dimana segala kebahagiaan yang abadi menanti.

 Kematian adalah bagian dari kehidupan yang harus kita terima dengan penuh kesadaran dan keikhlasan. Sebagai seorang Muslim, memaknai kematian dengan benar akan membuat kita lebih bijak dalam menjalani hidup. Kita akan lebih fokus pada tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu mencari ridha Allah dan mempersiapkan bekal untuk kehidupan setelah mati. Semoga kita semua termasuk orang-orang yang selalu siap menghadapi kematian dengan penuh keimanan dan amal shaleh. Amin.

Penulis : Tutias Ekawati, Tendik FIAI UII

Tantangan perguruan tinggi menuju world class university, disikapi Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) dengan memperluas kerjasama dengan berbagai institusi dalam dan luar negeri. Salah satunya, FIAI UII sepakati kerjasama dengan Academy of Contemporary Islamic Studies (ACIS) Universiti Teknologi MARA (UiTM) Malaysia, Jumat 31 Mei 2024 di Gedung KHA Wahid Hasyim FIAI UII Jalan Kaliurang km 14.4 Sleman.

Nota kerjasama ditandatangani kedua belah pihak, dari FIAI UII oleh Dekan, Dr. Drs. Asmuni, MA dari ACIS Malaysia oleh Prof. Dr S. Salahudin Suyurno. Kesepakatan kerjasama fokus pada pengembangan keilmuan ekonomi Islam, hukum Islam dan dan pendidikan agama Islam. Dalam implementasinya, antara lain diselenggarakan short course di FIAI UII dan UiTM Malaysia, dibarengi pertukaran khasanah budaya Indonesia dan Malaysia.

Dekan FIAI UII, Dr. Drs. Asmuni MA dalam sambutan pembuka acara, terus mendukung kerjasama UII dan UiTM Malaysia,
“Universitas Teknologi MARA merupakan perguruan tinggi yang cukup ternama di Malaysia, sudah puluhan tahun berkiprah, banyak memiliki nilai kesamaan dengan UII di Indonesia, sehingga kerjasama akan terus dijaga untuk kemajuan bersama UII dan UiTM,” sambut Dr. Asmuni

Setelah sesi penandatanganan nota kerjasama, diselenggarakan short course dengan menghadirkan narasumber dari kedua belah pihak. Dari ACIS UiTM Malaysia narasumber Prof. Dr S. Salahudin Suyurno dan Dr. Mardhiyyah Sahri, dari FIA UII Fitri Eka Aliyanti, SHI., MA, serta narasumber praktisi tamu Noor Aslan, SE., MM, Direktur Utama BPRS Amal Bhakti Mulia, dipandu oleh moderator M. Nurul Ikhsan Saleh, S.Pd.I., M.Ed

Penyelenggaraan short course di FIAI UII ini merupakan bagian dari kesepakatan kerjasama kedua belah pihak dalam bidang pengajaran, dengan tujuan memperluas wawasan dan khasanah atas isu-isu terkait Islam di Indonesia dan Malaysia. Rencananya short course juga akan diselenggarakan di UiTM Malaysia, pada tanggal 7 Juni 2024.

Pada hari kedua kunjungan kerjasama di Indonesia, delegasi ACIS Malaysia, termasuk belasan mahasiswanya, berkunjung ke beberap lokasi wisata bersejarah di Yogyakarta, juga menikmati masakan Gudeg dan Bakpia Pathok.

Rizqi Anfanni Fahmi, SEI., M.S.I selaku penanggung jawab kerjasama FIAI UII dan ACIS Malaysia mengungkapkan tujuan diadakannya kerjasama ini.

”Kerjasama FIAI UII dan ACIS UiTM Malaysia sebagai wujud rekognisi internasional untuk menunjang proses pencapaian Catur Dharma dosen FIAI UII, juga upaya pencapaian sasaran mutu fakultas. Tentu juga untuk menambah jejaring mahasiswa kedua belah pihak, termasuk dengan pertukaran budaya di tingkat mahasiswa. Ada nilai tambah juga terkait upaya untuk meningkatkan silaturahmi dan mobilitas mahasiswa dari kedua perguruan tinggi. Terakhir, sebagai upaya mengkaji nilai dari kultur Indonesia dan Malaysia,” kata Rizqi Anfanni, Dosen FIAI UII yang saat ini juga sedang menempuh studi program doktor pada salah satu perguruan tinggi di Sumatra Selatan. (IPK)

Pada tahun 2024, bersamaan dengan momentum Hari Ulang Tahun ke-79 Republik Indonesia, dengan semangat kemerdekaan, menjadi penting merenungkan peran strategis mahasiswa sebagai agen perubahan atau agent of change, terutama di Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (FIAI UII). Sesungguhnya, peran mahasiswa memiliki potensi besar untuk membawa perubahan positif menjadikan kondisi masyarakat lebih baik, terutama dalam upaya membangun bangsa yang berlandaskan nilai-nilai Islam.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)

Dari ayat di atas jelas sekali, bahwa perubahan harus dimulai dari diri kita sendiri. Sebagai mahasiswa, dapat mengawali perubahan dengan memperbaiki diri dalam aspek spiritual, moral, dan intelektual. Saat ini, mahasiswa harus menjadi teladan dalam sikap dan perilaku sehari-hari, sehingga dapat menginspirasi orang lain untuk mengikuti jejak kebaikan pendahulu, dan membangun kebaikan di masa mendatang. Mahasiswa sangat potensial membawa arah bangsa menjadi semakin baik.

Di FIAI UII, kita mempelajari ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ilmu ini bukan hanya untuk dipahami, tetapi juga untuk diamalkan dan disebarkan di tengah masyarakat. Seperti dalam firman Allah SWT:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)

Mahasiswa dituntut untuk menjaga integritas dalam keilmuan, artinya menggunakan ilmu yang diperoleh untuk memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi masyarakat, selalu berlandaskan prinsip-prinsip Islam, dan tidak tergoda oleh kepentingan pribadi semata, tapi untuk kebaikan masyarakat, keluarga, agama dan bangsa.

Mahasiswa sebagai agen perubahan harus terlibat aktif dalam kegiatan sosial dan dakwah di masyarakat. Menguatkan pengaruh agar elemen masyarakat menyeru kepada kebaikan, setidaknya diawali dari pemahaman dan niat.
Seperti firman Allah:
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)

Mahasiswa bersosial dan terus berdakwah merupakan bagian penting dalam proses perubahan masyarakat. Sebagai agen perubahan menuju kebaikan, mahasiswa dapat berkontribusi melalui organisasi kemahasiswaan, komunitas dakwah, atau kegiatan sosial lainnya yang bertujuan untuk memberikan manfaat bagi masyarakat luas.

Memahami dan Menghargai Keberagaman
Indonesia adalah negara kaya dengan potensi keberagaman suku, budaya, maupun agama, karena itu mahasiswa muslim harus terus menerus memperbaiki kualitas diri serta menjadi teladan dalam upaya bersama menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Mengembangkan diri dengan berbagai kompetensi baik hardskill maupun softskill untuk mendukung niat baik, dan implementasi, sehingga berdakwah tidak semata tatap muka mungkin juga dengan dukungan media dan digitalisasi. Semata agar bisa menjangkau kelompok masyarakat di seluruh penjuru Indonesia. Akhirnya bisa meningkatkan ukhuwah islamiyah, saling mengenal meski diawali dari sarana digital.
Allah SWT berfirman:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Dari ayat di atas, menjadi dorongan bagi umat Islam, juga untuk mahasiswa agar terus memahami dan menghargai keberagaman ini. Kondisi keberagaman Indonesia dapat dijadikan sebagai sarana untuk saling memperluas kekuatan serta makin mengenal, memahami, dan bekerja sama demi kemajuan untuk tanggungjawab bersama menjadikan Indonesia yang luas ini semakin baik.

Menjaga Spiritualitas dan Ketakwaan
Apapun upaya perubahan harus didasari dengan menjaga hubungan baik dengan Allah. Baik selalu menjalankan perintahnya, dan menjauhi segala larangannya. Inilah wujud ketakwaan sebagai fondasi utama. Menjadi agen perubahan yang Islami, sehingga mendapatkan manfaat dunia dan akhirat.
Allah SWT berfirman:

وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا
“Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar.” (QS. At-Talaq: 2)

Dengan bertakwa, kita akan selalu berada di jalan yang benar dan mendapatkan pertolongan dari Allah dalam setiap usaha yang kita lakukan. Harapannya selalu mendapat solusi kebaikan dari Allah, termasuk saat menemukan hambatan dalam bersosial dan berdakwah.
Kesimpulan
Menjadi mahasiswa FIAI UII bukan hanya tentang menuntut ilmu, tetapi juga tentang mengambil peran aktif sebagai agen perubahan yang membawa kebaikan bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan bangsa. Dengan berpegang pada nilai-nilai Islam, mahasiswa dapat berkontribusi dalam membangun Indonesia yang lebih baik, adil, dan sejahtera. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita dalam setiap langkah menuju perubahan yang positif. Amin ya Rabbal Alamin.

Penulis: Prayitna Kuswidianta, Tendik FIAI

SLEMAN,- Dalam upaya mendorong peningkatan karir dosen, Jurusan Studi Islam (JSI), Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI), Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan Workshop Peningkatan Karir Dosen: Mempersiapkan Kenaikan Jabatan Fungsional dengan Optimal. Workshop bekerjasama dengan FORKOM PTKIS Kopertais III DIY dilaksanakan di Gedung KHA Wahid Hasyim, Kampus Terpadu UII, Jalan Kaliurang km 14.4 Sleman, Jumat 17 Mei 2024.

Workshop Peningkatan Karir Dosen diikuti oleh 113 peserta terdiri dari dosen FIAI UII dan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS) di DIY, baik hadir secara luring maupun menggunakan media daring.

”Sesungguhnya diskusi-diskusi, kalau saya lihat tadi, mencari sisi mana kekurangan yang bisa disempurnakan. Sehingga pada periode ini, dalam kepemimpinan Bapak Dr. Nur Kholis UII strateginya akan memperbanyak silaturahmi ke Kopertais III DIY.  Mengundang dalam banyak kegiatan, silaturahminya juga banyak. Sehingga menyelesaikan permasalahan bisa enjoy, saya kira ini semangat yang luar biasa,” kata Dr. Asmuni.

Dr Asmuni melengkapi, bahwa semangat saat ini adalah semangat perjuangan, karena ini tentang ilmu keagamaan yang unsur dunianya tidak terlalu dominan, tapi akheratnya yang penting.

JSI FIAI UII sebagai penyelenggara workshop melalui ketuanya menegaskan tujuan kegiatan ini sebagai upaya peningkatan karir dosen menuju jabatan akademik guru besar.
”Jurusan Studi Islam UII dalam upaya meningkatkan jabatan fungsional dosen perguruan tinggi Islam swasta untuk meraih jabatan akademik guru besar,” kata Dr. Anton Priyo Nugroho, S.E.,M.M, Ketua Jurusan Studi Islam UII.

Workhop Peningkatan Karir di FIAI UII ini, hadirkan 2 narasumber. Narasumber pertama Dr. Andi Prastowo, S.Pd.I., M.Pd.I, saat ini sebagai Sekretaris Tim Penilai Karya Ilmiah Kopertais Wilayah III Yogyakarta. Narasumber kedua, Dr. Moh. Soehadha, S. Sos. M. Hum saat ini sebagai Sekretaris Kopertais Wilayah III Yogyakarta.

“Pengembangan karir dosen sebenarnya tidak hanya baik untuk personelnya tapi juga  untuk institusinya. Kalau jadi dosen tidak bisa hanya untuk mengejar status, karena tugas dosen tidak hanya mengajar tapi keilmuwan. Bedanya dosen dan guru, ya karena dosen ada kata pendidik dan ilmuwan, dan keilmuwannya itu yang membedakan dengan guru.  Kalau hanya pendidik, dikasih jadwal ngajar ya selesai,” kata Dr. Andi Prastowo.

Dr Andi menambahkan dari alasan di atas, aspek karir menjadi penting bagi dosen. Jika dilihat dari komponen untuk kenaikan jabatan, ada pendidikan, penelitian, BKM dan  penunjang. Untuk menjadikan akredikasi peguruan tinggi Islam bepredikat unggul, seharusnya dosen didorong dari jabatan akademik lektor ke lektor kepala.

“Kalaupun sendiri sudah ya bareng-bareng. Saya kira PTKIS sudah bekolaborasi, jangan  bergerak sendiri. Saya masih melihat dosen PTKIS itu penulisnya sendiri-sendiri, penulis artikel sendiri. Jangan sendiri-sendiri, baiknya kerjasama karena kalau sendiri, daya ungkitnya kurang,” jelas Dr. Andi

Menurutnya, ada fenomena bahwa di satu sisi produktifitas itu persoalan personal, di satu sisi juga persoalan kelembagaan. Sehingga perlu ada simbiosis mutualis antara dosen dengan institusi. Dosen produktif, institusi juga mensupport, Kopertais memfasilitasi. Kenaikan jabatan akademik dosen berkorelasi dengan peningkatan level akreditasi program studi.

Narasumber kedua, Dr. Moh. Soehadha, S. Sos. M. Hum yang saat ini menjabat sebagai Sekretaris Kopertais Wilayah III Yogyakarta, mengapresiasi adanya rapat kerja Forkom PTKIS DIY dan workshop karir dosen yang diselenggarakan bekerjasama dengan Jurusan Studi Islam UII.

”Saya sangat mengapresiasi adanya kegiatan hari ini, dan mohon hasil rapat kerja dan rumusan workshop Forkom PTKIS DIY ini dikirim juga ke Kopertais Wilayah III DIY, untuk dapat dijadikan bahan pertimbangan,” ujarnya di akhir acara workshop. (IPK)