Bekerja dapat dimaknai sebagai bagian aktifitas manusia yang paling banyak menyita waktu lak-laki, selain berdagang. Dari 24 jam jatah hidup manusia dalam 1 hari, berapa banyak yang dimanfaatkan untuk kepentingan bekerja, untuk keluarga dan istirahat? Jika sehari menggunakan 8 jam jatah hidup sehari yang diberikan Allah. Apakah sudah bemakna ibadah? Seharusnya bekerja sejatinya adalah ibadah.

Meskipun saat ini pemahaman kerja masih dianggap sebagai sarana mencari penghasilan, namun juga ada yang menganggap cara menjemput rezeki. Selain itu ada juga yang berprinsip bekerja sebagai beribadah di dunia. Dampak perbedaan pemahaman ini, menjadikan perilaku dalam bekerja.

Bagi seorang laki-laki muslim, bekerja sejatinya bisa menghapus dosa. Hal tersebut sesuai sabda Rasulullah.

“Barangsiapa yang di waktu sore merasa capek (lelah) lantaran pekerjaan kedua tangannya (mencari nafkah) maka di saat itu diampuni dosa baginya.” (HR. Thabrani).

Tentu lelah dalam bekerja diniati sebagai jalan ibadah, sehingga niat ikhlas, jujur dan amanah juga mendukung nilai manfaat dalam bekerja

 

Bekerja amanah, merupakah perintah Allah sesuai firman-NYa dalam Al Qur’an surah Al-Ahzab ayat 72 yang artinya:
“Sesungguhnya kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat). Lalu dipikullah amanah itu oleh manusia. Sungguh manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh”.

Dari sisi makna etimologi amanah dari bahasa Arab dalam bentuk mashdar dari amina amanatan yang berarti jujur, dan dalam hal ini juga sifat perbuatan yang dapat dipercaya. Dari makna bahasa Indonesia amanah berarti pesan, perintah. Sehingga ketika bekerja yang amanah  bisa dimaknai dengan berbagai sudut pandang, salah satunya dari Ahmad Musthafa Al-Maraghi yang memaknai amanah sebagai sesuatu yang harus dipelihara dan dijaga agar sampai kepada yang berhak memilikinya.

Menggapai Ridho Allah
Bekerja tidak serta merta tentang penghasilan, gaji, dan jabatan. Dalam Islam bekerja adalah cara beribadah kepada Allah dan lautan kebaikan untuk keluarganya.  Keyakinan akan rezeki dari Allah adalah landasan semangat dalam bekerja layaknya seekor burung yang terbang menjemput rezeki tanpa sedikitpun berprasangka buruk kepada Allah.

Semangat ini sesuai dengan sabda Rasulullah,
Dari Umar Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kalau kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, maka niscaya Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana Allah memberi rezeki kepada burung; ia pergi pagi hari dalam keadaan perutnya kosong, lalu pulang pada sore hari dalam keadaan kenyang”. [HR Tirmidzi, no. 2344; Ahmad (I/30); Ibnu Majah, no. 4164]

Lelah dalam bekerja bagi seorang pria, resiko dalam bekerja dan semangat untuk menjalani karena Allah, akan menjadikan Allah senang, sehingga bekerja bagian dari menjaga hubungan manusia dengan Allah. Dapat menjadi pedoman bersama atas sabda Rasulullah,
“Sesungguhnya Allah Ta’ala senang melihat hamba-Nya bersusah-payah (lelah) dalam mencari rezeki yang halal.” (HR. Ad-Dailami).

Bekerja secara ikhlas meraih ridho Allah. Ikhlas dalam hal ini maknanya mengutamakan kepentingan kolektif tempatnya bekerja, misal instansi perguruan tinggi seperti UII, maka kepentingan UII menjadi utama di atas kepentingan pribadi.  Misal menjadi Pegawai Negeri Sipil Republik Indonesia, maka kebaikan instansi pemerintah dan negara menjadi utama. Sehingga keikhlasan dalam bekerja mendorong kemajuan dan kebaikan tempat bekerja. Ikhlas mengesampingkan urusan pribadi, sehingga jika diterapkan maka negara ini jauh dari korupsi, perebutan jabatan dan bangsa akan menjadi lebih baik.

Penulis: Joko Wahyudi

Dalan perspektif Islam, bekerja merupakan ibadah. Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin memandang bekerja bukan hanya sebagai aktivitas duniawi, tetapi juga sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT. Aspek duniawinya, bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Aspek akhiratnya, bekerja sebagai bentuk representasi ibadah yaitu ketika meraih pendapatan yang halala thayiban, maka kadarnya setara dengan berjihad di jalan Allah dalam rangka melaksanakan rukun Islam.  Bekerja selama tidak menghalangi dan melalaikan kewajiban lain kepada Allah akan bernilai ibadah dan mendapat pahala dari Allah.

Disiplin merupakan hal yang penting dalam bekerja, selain merupakan bagian dari etos kerja Islami, disiplin juga cerminan dari ajaran Rasulullah. Disiplin dalam bekerja menurut perspektif Islam bukan hanya tentang produktivitas atau keuntungan material semata, tetapi juga berkaitan erat dengan nilai-nilai spiritual, etika, dan tanggung jawab sebagai hamba Allah SWT.
Menggabungkan disiplin dalam ibadah dan bekerja, menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, memperbaiki kualitas diri, dan memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Disiplin dalam bekerja dapat juga bermakna melaksanakan ibadah dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an:

وَقُلِ اعْمَلُوْا فَسَيَرَى اللّٰهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُوْلُهٗ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ وَسَتُرَدُّوْنَ اِلٰى عٰلِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَۚ

“Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu.” (At-Taubah: 105)

Beberapa alasan seseorang harus disiplin dalam bekerja menurut pandangan Islam diantaranya:


Pertama
, Amanah dan Tanggung Jawab.
Islam mengajarkan bahwa setiap pekerjaan adalah amanah yang harus dijaga dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Disiplin dalam bekerja merupakan wujud dari menjaga amanah tersebut. Rasulullah SAW bersabda:

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedua : Ihsan (Berbuat yang Terbaik)
Konsep Ihsan dalam Islam mengajarkan untuk melakukan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya. Dalam konteks pekerjaan, disiplin merupakan salah satu cara untuk mencapai kualitas kerja terbaik. Allah SWT berfirman:

۞ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.” (An-Nahl: 90)

Ketiga : Manajemen Waktu
Islam sangat menekankan pentingnya memanfaatkan waktu dengan baik. Disiplin dalam bekerja membantu seseorang mengelola waktunya secara efektif. Allah SWT berfirman:

وَالْعَصْرِۙ ۝١

اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ ۝٢

اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ۝٣

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh.” (Al-‘Asr: 1-3)

Keempat : Profesionalisme

Islam mendorong umatnya untuk bekerja secara profesional. Disiplin adalah salah satu ciri profesionalisme. Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya Allah mencintai jika seseorang melakukan suatu pekerjaan yang dilakukannya dengan itqan (tepat, terarah, dan tuntas).” (HR. Thabrani)


Kelima : Berkah dan Rezeki
Disiplin dalam bekerja dapat membuka pintu berkah dan rezeki. Islam mengajarkan bahwa rezeki datang dari Allah, namun manusia harus berusaha dengan sungguh-sungguh. Allah SWT berfirman:

وَاَنْ لَّيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعٰىۙ ۝٣٩

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (An-Najm: 39)

Keenam : Keteladanan
Disiplin dalam bekerja dapat menjadi teladan bagi orang lain, terutama bagi sesama Muslim. Ini sejalan dengan ajaran Islam untuk saling menasihati dalam kebaikan.

Dalam perspektif Islam, seseorang yang disiplin dalam bekerja akan menerima berbagai kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat. Berikut diantara kebaikan-kebaikan tersebut:

Pertama : Pahala dan Ridha Allah SWT
Bekerja dengan disiplin menjadi bagian ibadah, sehingga yang melakukannya akan mendapatkan pahala, selain itu melaksanakan pekerjaan dengan baik merupakan bentuk ketaatan kepada Allah SWT.

Kedua : Keberkahan dalam Rezeki
Islam mengajarkan disiplin dan kerja keras dapat membuka pintu rezeki. Keberkahan yang didapakan tidak hanya dalam bentuk materi, tapi juga ketenangan dan kepuasan batin.

Ketiga : Peningkatan Kualitas Diri
Disiplin juga membantu seseorang mengembangkan karakter positif seperti kejujuran, tanggung jawab, dan ketekunan. Hal ini sejalan dengan konsep tazkiyatun nafs (penyucian diri) dalam Islam.

Keempat : Kesuksesan Duniawi
Disiplin kerja juga mengarahkan seseorang pada prestasi dan kemajuan dalam karir, baik berupa promosi, peningkatan penghasilan, atau pengakuan profesional.

Kelima : Ketenangan Hati
Dengan melakukan pekerjaan secara disiplin dan sebaik-baiknya memberikan rasa puas dan ketenangan. Ketenangan ini merupakan nikmat tersendiri dalam pandangan Islam.

Keenam : Menjadi Teladan
Melakukan disiplin kerja yang baik dapat menjadi contoh bagi orang lain, terutama keluarga dan rekan kerja. Menjadi teladan dalam kebaikan memiliki nilai tinggi dalam Islam.

Ketujuh : Keseimbangan Hidup
Disiplin dalam bekerja membantu menciptakan keseimbangan antara kerja, ibadah, dan kehidupan pribadi. Islam mengajarkan pentingnya keseimbangan dalam semua aspek kehidupan.

Kedelapan : Terhindar dari Sifat Malas
Disiplin dalam bekerja membantu menjauhkan diri dari sifat malas yang dicela dalam Islam. Rasulullah SAW sering berdoa memohon perlindungan dari sifat malas.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam perspektif Islam, disiplin dalam bekerja tidak hanya membawa keuntungan material, tetapi juga spiritual dan sosial. Hal ini mencerminkan ajaran Islam yang komprehensif, mencakup kesejahteraan dunia dan akhirat.

Penulis : Edu Shinta Dewi, S.Ak. Tendik FIAI UII

Kematian adalah suatu kenyataan yang pasti dihadapi oleh setiap makhluk hidup, tanpa bisa menebak kapan terjadinya. Sebagai seorang muslim, selalu diajarkan untuk memaknai kematian bukan hanya sebagai akhir dari kehidupan di dunia, tetapi juga sebagai pintu gerbang menuju kehidupan yang lebih abadi di akherat. Melalui Al-Qur’an dan hadits, Islam memberikan panduan bagaimana seharusnya memandang kematian dan apa yang bisa dipelajari darinya.

Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,“Renungkanlah wahai manusia, (sebenarnya) kamu akan dapati dirimu dalam bahaya, karena kematian tidak ada batas waktu yang kita ketahui, terkadang seorang manusia keluar dari rumahnya dan tidak kembali kepadanya (karena mati), terkadang manusia duduk di atas kursi kantornya dan tidak bisa bangun lagi (karena mati), terkadang seorang manusia tidur di atas kasurnya, akan tetapi dia malah dibawa dari kasurnya ke tempat pemandian mayatnya (karena mati). Hal ini merupakan sebuah perkara yang mewajibkan kita untuk menggunakan sebaiknya kesempatan umur, dengan taubat kepada Allah Azza wa Jalla. Dan sudah sepantasnya manusia selalu merasa dirinya bertaubat, kembali, menghadap kepada Allah, sehingga datang ajalnya dan dia dalam sebaik-baiknya keadaan yang diinginkan.” (Lihat Majmu’ fatawa wa Rasa-il Ibnu Utsaimin, 8/474).

Dalam Islam, kematian adalah ketetapan Allah yang tidak bisa ditolak atau dihindari. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.” (QS. Al-Ankabut: 57).

Ayat ini menegaskan bahwa kematian adalah kepastian yang akan dialami oleh setiap makhluk. Tidak ada yang bisa menolak atau menghindarinya. Dengan menyadari hal ini, seorang Muslim seharusnya selalu bersiap diri dan menjalani kehidupan di dunia ini dengan penuh kesadaran bahwa segala sesuatu yang dimiliki hanyalah titipan sementara.

Kematian juga merupakan pengingat yang kuat bagi kita untuk selalu berbuat kebaikan. Rasulullah SAW bersabda:

“Orang yang cerdas adalah orang yang mengendalikan dirinya dan bekerja untuk kehidupan setelah mati.” (HR. Tirmidzi).

Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang bijak adalah mereka yang menyadari bahwa kehidupan dunia ini hanya sementara, dan kehidupan yang abadi adalah di akhirat. Oleh karena itu, mereka akan selalu berusaha untuk memperbanyak amal shaleh, karena hanya amal kebaikan yang akan menjadi bekal di alam kubur dan akhirat kelak.

Kematian mengingatkan kita akan hakikat kehidupan yang sesungguhnya. Hidup di dunia ini hanyalah perjalanan singkat menuju kehidupan yang lebih kekal. Rasulullah SAW bersabda:

“Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau seorang pengembara.” (HR. Bukhari).

Hadits ini mengajarkan kita untuk tidak terlalu terikat dengan kehidupan dunia, karena dunia ini bukanlah tujuan akhir. Seorang Muslim seharusnya selalu menyadari bahwa kehidupan dunia ini sementara dan tujuan hidup yang sejati adalah mencapai kebahagiaan di akhirat.

Dengan menyadari bahwa kematian bisa datang kapan saja, seorang Muslim seharusnya lebih rajin dalam beribadah dan selalu mengingat Allah dalam setiap langkah hidupnya. Salah satu cara untuk mengingat Allah adalah dengan selalu mengingat kematian. Rasulullah SAW bersabda:

“Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan (kematian).” (HR. Tirmidzi).

Dengan mengingat kematian, hati akan menjadi lebih lembut dan jiwa akan terhindar dari kesombongan dan cinta dunia yang berlebihan. Kita akan lebih fokus pada tujuan hidup yang sesungguhnya, yaitu mencari ridha Allah dan mempersiapkan bekal untuk kehidupan setelah mati.

Bagi seorang Muslim yang beriman dan beramal shaleh, kematian bukanlah sesuatu yang ditakuti, tetapi justru dinantikan sebagai awal dari kehidupan yang lebih baik. Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami ialah Allah,’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.'” (QS. Fussilat: 30).

Ayat ini memberikan harapan bagi setiap Muslim yang menjalani hidup dengan penuh keimanan dan ketaatan kepada Allah, bahwa kematian adalah pintu menuju surga, tempat dimana segala kebahagiaan yang abadi menanti.

 Kematian adalah bagian dari kehidupan yang harus kita terima dengan penuh kesadaran dan keikhlasan. Sebagai seorang Muslim, memaknai kematian dengan benar akan membuat kita lebih bijak dalam menjalani hidup. Kita akan lebih fokus pada tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu mencari ridha Allah dan mempersiapkan bekal untuk kehidupan setelah mati. Semoga kita semua termasuk orang-orang yang selalu siap menghadapi kematian dengan penuh keimanan dan amal shaleh. Amin.

Penulis : Tutias Ekawati, Tendik FIAI UII

Tantangan perguruan tinggi menuju world class university, disikapi Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) dengan memperluas kerjasama dengan berbagai institusi dalam dan luar negeri. Salah satunya, FIAI UII sepakati kerjasama dengan Academy of Contemporary Islamic Studies (ACIS) Universiti Teknologi MARA (UiTM) Malaysia, Jumat 31 Mei 2024 di Gedung KHA Wahid Hasyim FIAI UII Jalan Kaliurang km 14.4 Sleman.

Nota kerjasama ditandatangani kedua belah pihak, dari FIAI UII oleh Dekan, Dr. Drs. Asmuni, MA dari ACIS Malaysia oleh Prof. Dr S. Salahudin Suyurno. Kesepakatan kerjasama fokus pada pengembangan keilmuan ekonomi Islam, hukum Islam dan dan pendidikan agama Islam. Dalam implementasinya, antara lain diselenggarakan short course di FIAI UII dan UiTM Malaysia, dibarengi pertukaran khasanah budaya Indonesia dan Malaysia.

Dekan FIAI UII, Dr. Drs. Asmuni MA dalam sambutan pembuka acara, terus mendukung kerjasama UII dan UiTM Malaysia,
“Universitas Teknologi MARA merupakan perguruan tinggi yang cukup ternama di Malaysia, sudah puluhan tahun berkiprah, banyak memiliki nilai kesamaan dengan UII di Indonesia, sehingga kerjasama akan terus dijaga untuk kemajuan bersama UII dan UiTM,” sambut Dr. Asmuni

Setelah sesi penandatanganan nota kerjasama, diselenggarakan short course dengan menghadirkan narasumber dari kedua belah pihak. Dari ACIS UiTM Malaysia narasumber Prof. Dr S. Salahudin Suyurno dan Dr. Mardhiyyah Sahri, dari FIA UII Fitri Eka Aliyanti, SHI., MA, serta narasumber praktisi tamu Noor Aslan, SE., MM, Direktur Utama BPRS Amal Bhakti Mulia, dipandu oleh moderator M. Nurul Ikhsan Saleh, S.Pd.I., M.Ed

Penyelenggaraan short course di FIAI UII ini merupakan bagian dari kesepakatan kerjasama kedua belah pihak dalam bidang pengajaran, dengan tujuan memperluas wawasan dan khasanah atas isu-isu terkait Islam di Indonesia dan Malaysia. Rencananya short course juga akan diselenggarakan di UiTM Malaysia, pada tanggal 7 Juni 2024.

Pada hari kedua kunjungan kerjasama di Indonesia, delegasi ACIS Malaysia, termasuk belasan mahasiswanya, berkunjung ke beberap lokasi wisata bersejarah di Yogyakarta, juga menikmati masakan Gudeg dan Bakpia Pathok.

Rizqi Anfanni Fahmi, SEI., M.S.I selaku penanggung jawab kerjasama FIAI UII dan ACIS Malaysia mengungkapkan tujuan diadakannya kerjasama ini.

”Kerjasama FIAI UII dan ACIS UiTM Malaysia sebagai wujud rekognisi internasional untuk menunjang proses pencapaian Catur Dharma dosen FIAI UII, juga upaya pencapaian sasaran mutu fakultas. Tentu juga untuk menambah jejaring mahasiswa kedua belah pihak, termasuk dengan pertukaran budaya di tingkat mahasiswa. Ada nilai tambah juga terkait upaya untuk meningkatkan silaturahmi dan mobilitas mahasiswa dari kedua perguruan tinggi. Terakhir, sebagai upaya mengkaji nilai dari kultur Indonesia dan Malaysia,” kata Rizqi Anfanni, Dosen FIAI UII yang saat ini juga sedang menempuh studi program doktor pada salah satu perguruan tinggi di Sumatra Selatan. (IPK)

Pada tahun 2024, bersamaan dengan momentum Hari Ulang Tahun ke-79 Republik Indonesia, dengan semangat kemerdekaan, menjadi penting merenungkan peran strategis mahasiswa sebagai agen perubahan atau agent of change, terutama di Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (FIAI UII). Sesungguhnya, peran mahasiswa memiliki potensi besar untuk membawa perubahan positif menjadikan kondisi masyarakat lebih baik, terutama dalam upaya membangun bangsa yang berlandaskan nilai-nilai Islam.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)

Dari ayat di atas jelas sekali, bahwa perubahan harus dimulai dari diri kita sendiri. Sebagai mahasiswa, dapat mengawali perubahan dengan memperbaiki diri dalam aspek spiritual, moral, dan intelektual. Saat ini, mahasiswa harus menjadi teladan dalam sikap dan perilaku sehari-hari, sehingga dapat menginspirasi orang lain untuk mengikuti jejak kebaikan pendahulu, dan membangun kebaikan di masa mendatang. Mahasiswa sangat potensial membawa arah bangsa menjadi semakin baik.

Di FIAI UII, kita mempelajari ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ilmu ini bukan hanya untuk dipahami, tetapi juga untuk diamalkan dan disebarkan di tengah masyarakat. Seperti dalam firman Allah SWT:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)

Mahasiswa dituntut untuk menjaga integritas dalam keilmuan, artinya menggunakan ilmu yang diperoleh untuk memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi masyarakat, selalu berlandaskan prinsip-prinsip Islam, dan tidak tergoda oleh kepentingan pribadi semata, tapi untuk kebaikan masyarakat, keluarga, agama dan bangsa.

Mahasiswa sebagai agen perubahan harus terlibat aktif dalam kegiatan sosial dan dakwah di masyarakat. Menguatkan pengaruh agar elemen masyarakat menyeru kepada kebaikan, setidaknya diawali dari pemahaman dan niat.
Seperti firman Allah:
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)

Mahasiswa bersosial dan terus berdakwah merupakan bagian penting dalam proses perubahan masyarakat. Sebagai agen perubahan menuju kebaikan, mahasiswa dapat berkontribusi melalui organisasi kemahasiswaan, komunitas dakwah, atau kegiatan sosial lainnya yang bertujuan untuk memberikan manfaat bagi masyarakat luas.

Memahami dan Menghargai Keberagaman
Indonesia adalah negara kaya dengan potensi keberagaman suku, budaya, maupun agama, karena itu mahasiswa muslim harus terus menerus memperbaiki kualitas diri serta menjadi teladan dalam upaya bersama menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Mengembangkan diri dengan berbagai kompetensi baik hardskill maupun softskill untuk mendukung niat baik, dan implementasi, sehingga berdakwah tidak semata tatap muka mungkin juga dengan dukungan media dan digitalisasi. Semata agar bisa menjangkau kelompok masyarakat di seluruh penjuru Indonesia. Akhirnya bisa meningkatkan ukhuwah islamiyah, saling mengenal meski diawali dari sarana digital.
Allah SWT berfirman:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Dari ayat di atas, menjadi dorongan bagi umat Islam, juga untuk mahasiswa agar terus memahami dan menghargai keberagaman ini. Kondisi keberagaman Indonesia dapat dijadikan sebagai sarana untuk saling memperluas kekuatan serta makin mengenal, memahami, dan bekerja sama demi kemajuan untuk tanggungjawab bersama menjadikan Indonesia yang luas ini semakin baik.

Menjaga Spiritualitas dan Ketakwaan
Apapun upaya perubahan harus didasari dengan menjaga hubungan baik dengan Allah. Baik selalu menjalankan perintahnya, dan menjauhi segala larangannya. Inilah wujud ketakwaan sebagai fondasi utama. Menjadi agen perubahan yang Islami, sehingga mendapatkan manfaat dunia dan akhirat.
Allah SWT berfirman:

وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا
“Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar.” (QS. At-Talaq: 2)

Dengan bertakwa, kita akan selalu berada di jalan yang benar dan mendapatkan pertolongan dari Allah dalam setiap usaha yang kita lakukan. Harapannya selalu mendapat solusi kebaikan dari Allah, termasuk saat menemukan hambatan dalam bersosial dan berdakwah.
Kesimpulan
Menjadi mahasiswa FIAI UII bukan hanya tentang menuntut ilmu, tetapi juga tentang mengambil peran aktif sebagai agen perubahan yang membawa kebaikan bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan bangsa. Dengan berpegang pada nilai-nilai Islam, mahasiswa dapat berkontribusi dalam membangun Indonesia yang lebih baik, adil, dan sejahtera. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita dalam setiap langkah menuju perubahan yang positif. Amin ya Rabbal Alamin.

Penulis: Prayitna Kuswidianta, Tendik FIAI

SLEMAN,- Dalam upaya mendorong peningkatan karir dosen, Jurusan Studi Islam (JSI), Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI), Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan Workshop Peningkatan Karir Dosen: Mempersiapkan Kenaikan Jabatan Fungsional dengan Optimal. Workshop bekerjasama dengan FORKOM PTKIS Kopertais III DIY dilaksanakan di Gedung KHA Wahid Hasyim, Kampus Terpadu UII, Jalan Kaliurang km 14.4 Sleman, Jumat 17 Mei 2024.

Workshop Peningkatan Karir Dosen diikuti oleh 113 peserta terdiri dari dosen FIAI UII dan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS) di DIY, baik hadir secara luring maupun menggunakan media daring.

”Sesungguhnya diskusi-diskusi, kalau saya lihat tadi, mencari sisi mana kekurangan yang bisa disempurnakan. Sehingga pada periode ini, dalam kepemimpinan Bapak Dr. Nur Kholis UII strateginya akan memperbanyak silaturahmi ke Kopertais III DIY.  Mengundang dalam banyak kegiatan, silaturahminya juga banyak. Sehingga menyelesaikan permasalahan bisa enjoy, saya kira ini semangat yang luar biasa,” kata Dr. Asmuni.

Dr Asmuni melengkapi, bahwa semangat saat ini adalah semangat perjuangan, karena ini tentang ilmu keagamaan yang unsur dunianya tidak terlalu dominan, tapi akheratnya yang penting.

JSI FIAI UII sebagai penyelenggara workshop melalui ketuanya menegaskan tujuan kegiatan ini sebagai upaya peningkatan karir dosen menuju jabatan akademik guru besar.
”Jurusan Studi Islam UII dalam upaya meningkatkan jabatan fungsional dosen perguruan tinggi Islam swasta untuk meraih jabatan akademik guru besar,” kata Dr. Anton Priyo Nugroho, S.E.,M.M, Ketua Jurusan Studi Islam UII.

Workhop Peningkatan Karir di FIAI UII ini, hadirkan 2 narasumber. Narasumber pertama Dr. Andi Prastowo, S.Pd.I., M.Pd.I, saat ini sebagai Sekretaris Tim Penilai Karya Ilmiah Kopertais Wilayah III Yogyakarta. Narasumber kedua, Dr. Moh. Soehadha, S. Sos. M. Hum saat ini sebagai Sekretaris Kopertais Wilayah III Yogyakarta.

“Pengembangan karir dosen sebenarnya tidak hanya baik untuk personelnya tapi juga  untuk institusinya. Kalau jadi dosen tidak bisa hanya untuk mengejar status, karena tugas dosen tidak hanya mengajar tapi keilmuwan. Bedanya dosen dan guru, ya karena dosen ada kata pendidik dan ilmuwan, dan keilmuwannya itu yang membedakan dengan guru.  Kalau hanya pendidik, dikasih jadwal ngajar ya selesai,” kata Dr. Andi Prastowo.

Dr Andi menambahkan dari alasan di atas, aspek karir menjadi penting bagi dosen. Jika dilihat dari komponen untuk kenaikan jabatan, ada pendidikan, penelitian, BKM dan  penunjang. Untuk menjadikan akredikasi peguruan tinggi Islam bepredikat unggul, seharusnya dosen didorong dari jabatan akademik lektor ke lektor kepala.

“Kalaupun sendiri sudah ya bareng-bareng. Saya kira PTKIS sudah bekolaborasi, jangan  bergerak sendiri. Saya masih melihat dosen PTKIS itu penulisnya sendiri-sendiri, penulis artikel sendiri. Jangan sendiri-sendiri, baiknya kerjasama karena kalau sendiri, daya ungkitnya kurang,” jelas Dr. Andi

Menurutnya, ada fenomena bahwa di satu sisi produktifitas itu persoalan personal, di satu sisi juga persoalan kelembagaan. Sehingga perlu ada simbiosis mutualis antara dosen dengan institusi. Dosen produktif, institusi juga mensupport, Kopertais memfasilitasi. Kenaikan jabatan akademik dosen berkorelasi dengan peningkatan level akreditasi program studi.

Narasumber kedua, Dr. Moh. Soehadha, S. Sos. M. Hum yang saat ini menjabat sebagai Sekretaris Kopertais Wilayah III Yogyakarta, mengapresiasi adanya rapat kerja Forkom PTKIS DIY dan workshop karir dosen yang diselenggarakan bekerjasama dengan Jurusan Studi Islam UII.

”Saya sangat mengapresiasi adanya kegiatan hari ini, dan mohon hasil rapat kerja dan rumusan workshop Forkom PTKIS DIY ini dikirim juga ke Kopertais Wilayah III DIY, untuk dapat dijadikan bahan pertimbangan,” ujarnya di akhir acara workshop. (IPK)

SLEMAN,- Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) yang menuntaskan bulan Syawal 2024/1445 H dengan mengadakan acara Halal Bihalal FIAI UII, dihadiri oleh dosen dan tenaga kependidikan dengan segenap keluarganya.

Halal Bihalal FIAI diselenggarakan di lantai V, Gedung KHA Wahid Hasyim Kampus Terpadu UII, Jalan Kaliurang km. 14.4 Sleman, Minggu 5 Mei 2024. Kegiatan silaturahmi untuk sivitas akademika FIAI ini bertema Syawalan Tuntas, Kinerja Totalitas diisi dengan kajian keagamaan oleh Ustadz Ahmad Zubaidi S.Pd. M.Pd, yang juga dosen program studi Pendidikan Agama Islam UII.

Halal Bihalal dibuka oleh Dekan FAII UII, Dr. Drs Asmuni MA sekaligus memberikan sambutan pembuka yang menyinggung rencana strategis fakultas.
”UII membutuhkan dosen, tenaga kependidikan dan pemangku amanah struktural yang tangguh, komitmen dan loyal, karena tema rencana strategis itu integratif, inovatif dan kompetitif. Kompetitif pada nilai-nilai Islam dan mondial. Rencana strategis ini jika dikorelasikan dengan visi yang menetapkan tahun 2030, FIAI UII sudah menjadi rujukan, minimal di Asia Tenggara dalam bidang studi Islam,” ungkap Asmuni.

Setelah acara sambutan dilanjutkan dengan penyerahan penghargaaan atas keberhasilan dosen yang meraih gelar profesor dan doktor pada tahun 2024. Gelar profesor diraih oleh Prof. Dr. Drs. Tamyiz Mukharrom, MA, serta gelar doktor berhasil diraih oleh Dr. Dra. Sri Haningsih, M.Ag. Disambung sesi penyerahan penghargaan untuk dosen dan tenaga kependidikan yang akan beribadah Haji ke Tanah Suci pada tahun 2024 ini.

Berjabat tangan dalam acara Halal Bihalal FIAI UII 5 Mei 2024 (foto:IPK)

Pada acara inti kajian, Ustadz Ahmad Zubaidi sampaikan bahwa silaturahmi halal bihalal bisa mencegah kebangkrutan dunia dan akherat.

“Sekali berjabat tangan saling memaafkan, maka dosa akan runtuh. Sering saya katakan Allah itu akan menghapus 2 catatan manusia ketika mampu meminta maaf kepada sesama manusia. Bahkan ketika Allah berfirman dalam Al Quran, wa’fu’anna waghfirlana warhamna maka sejatinya ketika kita melakukan dosa itu pasti ada 2 catatan, pertama catatan dosa, kedua catatan hukumannya. Nah kalau ighfirlana maka Allah akan mengampuni atau menghapus dosa kita saja, tapi kalau wa’fu’anna maka Allah akan menghapus catatan dosa dan hukumannya,” kata Ustadz Zubaidi.

Ustadz Zubaidi menambahkan untuk mendapat penghapusan 2 catatan di atas, sebaiknya bersama-sama saling memaafkan sesama manusia. Suatu ketika Rasulullah pun pernah bertanya kepada para tentang siapa manusia yang bangkrut? Kemudian para sahabat menjawab bahwa orang yang bangkrut adalah yang tidak memiliki harta benda sama sekali. Kemudian Rasulullah menjawab bahwa orang yang bangkrut bukanlah yang tidak memiliki harta benda sama sekali tapi orang yang rajin sholat, sedekah, zakat, puasa tetapi masih memiliki kesalahan kepada temannya yang tidak mau memaafkan. Akhirnya ketika di akherat, Allah mengangkat pahala sholatnya, pahala zakatnya, pahala sedekahnya, pahala puasa untuk diberikan kepada orang-orang yang tersakiti.
”Oleh karena itu bapak ibu, mari kita saling memaafkan agar tidak bangkrut dunia akherat. Sehingga inti dari acara halal bihalal adalah silaturahmi. Silaturahmi bisa memperpanjang umur. Ketika kita sekarang para pegawai dan keluarganya hadir saling memaafkan di halal bihalal ini, semoga semua dipanjangkan umurnya,” kata Ustadz Zubaidi.

Kehidupan modern yang serba cepat  bisa berdampak pada kebaikan dan tekanan, sehingga  memperhatikan kesehatan mental menjadi sangat penting. Tantangan sehari-hari, baik yang bersifat pribadi maupun sosial, seringkali memicu stres dan kecemasan. Banyak individu mencari cara untuk mengelola kesehatan mental mereka melalui berbagai metode, baik yang bersifat klinis maupun spiritual. Dalam Islam, kesejahteraan jiwa tidak hanya melibatkan perawatan fisik dan psikologis, tetapi juga penekanan pada aspek spiritual yang mendalam. Prinsip-prinsip seperti tawakal, sabar, dan syukur memberikan landasan yang kokoh untuk mengelola stres, menghadapi kesulitan, dan membangun ketenangan batin.

Konsep tawakal mengajarkan kita untuk berusaha semaksimal mungkin dalam setiap usaha dan menyerahkan hasil akhirnya kepada Allah. Dengan berusaha secara maksimal, kita menggunakan semua kemampuan dan sumber daya yang kita miliki. Namun, setelah usaha dilakukan, tawakal mengajarkan kita untuk percaya bahwa hasil akhir berada di tangan Allah, yang menentukan apa yang terbaik bagi kita. Keyakinan ini membantu mengurangi kecemasan karena kita tidak lagi tertekan oleh ketidakpastian hasil. Sebaliknya, kita merasa lebih tenang karena percaya bahwa segala sesuatu sudah ditentukan oleh kebijaksanaan Allah. Dengan demikian, tawakal mengurangi beban psikologis, meningkatkan keikhlasan, dan memberikan ketenteraman batin dengan memahami bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah bagian dari rencana-Nya yang lebih besar.

Kesabaran, dalam pandangan Islam, melibatkan kemampuan untuk tetap tenang dan stabil ketika menghadapi berbagai cobaan. Al-Qur’an menekankan bahwa kesabaran adalah sifat mulia yang sangat dihargai dan dapat menjadi sumber kekuatan besar. Kesabaran membantu seseorang tetap fokus dan tidak menyerah dalam menghadapi tantangan hidup. Dalam Surah Al-Baqarah [2:153], Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”.

Rasa syukur juga memiliki peranan penting dalam menjaga keseimbangan emosional. Ketika seseorang secara aktif menghargai dan mengakui nikmat serta rahmat yang diberikan oleh Allah, mereka cenderung mengalami penurunan dalam perasaan ketidakpuasan dan stres. Hal ini karena sikap syukur membantu memusatkan perhatian pada apa yang sudah dimiliki, bukan pada kekurangan atau kesulitan yang ada. Dengan menghargai nikmat, seseorang dapat mengubah pola pikir dan emosi mereka secara positif.

Praktik ibadah pendorong spiritual  seperti shalat, doa, puasa, membaca Al-Qur’an, dan dzikir juga berkontribusi besar terhadap kesehatan mental. Shalat bukan hanya bentuk ibadah, tetapi juga kesempatan untuk refleksi pribadi yang menciptakan ruang untuk ketenangan batin dan kedamaian spiritual. Setiap kali kita melaksanakan shalat, kita berhenti sejenak dari aktivitas sehari-hari dan mengarahkan perhatian kita sepenuhnya kepada Allah. Momen ini memberikan kesempatan untuk introspeksi, merenungkan makna hidup, serta hubungan kita dengan Allah dan sesama. Dengan melaksanakan shalat secara konsisten, kita dapat meraih ketenangan di tengah kesulitan, mengurangi stres, menyusun kembali fokus, dan mendapatkan energi baru untuk menghadapi berbagai tantangan hidup.

Doa adalah bentuk ketergantungan dan pengharapan kepada Allah, yang menunjukkan kedekatan dan hubungan spiritual antara hamba dan Penciptanya. Melalui doa, seseorang mengungkapkan kebutuhan, keinginan, dan masalah mereka kepada Allah, yang pada gilirannya memperkuat ikatan dengan-Nya. Ketika seseorang berdoa, mereka merasa didukung dan diperhatikan oleh Allah, yang meningkatkan kepercayaan diri dan memberikan rasa aman. Doa juga membantu mencapai ketenangan hati dengan mengekspresikan perasaan, kecemasan, serta meminta petunjuk dan bimbingan dari Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surah Al-Baqarah [2:186], “Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran”.

Puasa, baik yang dilakukan di bulan Ramadhan maupun puasa sunah, memiliki banyak manfaat bagi kesehatan mental dan spiritual. Selain sebagai ibadah, puasa mengajarkan pengendalian diri dan disiplin melalui penahanan diri dari makan dan minum sepanjang hari. Dari sudut pandang psikologis, puasa dapat membantu mengurangi stres dan meningkatkan rasa percaya diri saat seseorang berhasil menyelesaikannya. Hal ini juga mendorong sikap bersyukur dan empati, yang memperbaiki hubungan sosial dan keseimbangan emosional.

Selain itu, membaca dan merenungkan Al-Qur’an memberikan panduan berharga serta ketenangan hati. Al-Qur’an mengandung hikmah dan nasihat yang relevan untuk berbagai situasi hidup, memberikan motivasi dan inspirasi dalam menghadapi tantangan. Sebagaimana dijelaskan dalam Surah Al-Isra [17:82], “Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang mukmin, sedangkan bagi orang-orang zalim (Al-Qur’an itu) hanya akan menambah kerugian”.

Dzikir, yang merupakan praktik menyebut nama Allah secara terus-menerus, juga memberikan manfaat besar. Aktivitas ini sangat efektif untuk menenangkan jiwa, mengurangi kecemasan, dan memperkuat hubungan spiritual dengan Allah. Dengan melakukan dzikir secara rutin, seseorang dapat merasakan kedekatan yang lebih besar dengan Allah dan lebih siap dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. Dalam Surah Ar-Ra’d [13:28], Allah berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram”.

Dalam menghadapi kompleksitas dan tantangan kehidupan modern, prinsip-prinsip Islam menyediakan kerangka kerja komprehensif untuk menjaga kesejahteraan jiwa. Dengan mengintegrasikan ajaran tentang tawakal, sabar, syukur, serta praktik-praktik spiritual seperti shalat, doa, puasa, membaca Al-Qur’an, dan dzikir, individu dapat membangun ketahanan mental dan emosional yang kuat. Pendekatan ini tidak hanya membantu mengatasi stres dan kecemasan tetapi juga memfasilitasi pencapaian keseimbangan batin yang lebih mendalam. Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini dalam kehidupan sehari-hari, seseorang dapat memperoleh ketenangan batin dan kesejahteraan yang lebih baik di tengah dinamika kehidupan yang penuh tantangan.

Penulis: Siti Rofiah, S.Ak, Tendik FIAI UII

SLEMAN,- Koordinatorat Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (Kopertais) merupakan kepanjangan tangan dari Kementerian Agama Republik Indonesia, melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Islam memberikan mandat dalam hal pembinaan, pengawasan kepada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta. Untuk perguruan tinggi Islam swasta di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), menjadi bagian dari wilayah kerja KOPERTAIS Wilayah III.

Sebanyak 16 perguruan tinggi Islam di bawah naungan Kopertais Wilayah III DIY, memiliki forum komunikasi yaitu Forkom PTKIS Kopertais III DIY kependekan dari Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta, Kopertais Wilayah III DIY. Tahun 2024, Forkom PTKIS Kopertais III DIY, mengadakan rapat kerja sekaligus syawalan di Hotel Kukup Indah, Pantai Kukup Gunung Kidul DIY, Sabtu, 27 April 2024.
Rapat Kerja dengan tema Collaboration, Care, Share and Solution juga memiliki agenda pemilihan ketua Forkom PTKIS Kopertais III DIY masa bakti 2024-2027. Akhirnya terpilih sebagai ketua yaitu Dr. Nur Kholis S.Ag. SEI, M. SH.Ec yang saat ini juga menjabat sebagai Wakil Dekan Bidang Sumber Daya, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia.

Rapat kerja, selain menuntaskan proses pemilihan Ketua Forkom PTKIS Kopertais III DIY, juga meneguhkan komitmen bersama untuk terus berkolaborasi memajukan PTKIS di wilayah DIY.

Di tempat terpisah, ketua terpilih Dr. Nur Kholis menyambut baik atas lahirnya komitmen bersama tersebut.
“Insya Allah, 17 Mei 2024 di FIAI akan diselenggarakan rapat tim inti untuk mempertegas pola kerjasama antar anggota Forkom PTKIS Kopertais III DIY. Ada semangat untuk saling bekerjasama, yang besar membantu yang kecil untuk peningkatan kualitas,” ungkap Dr. Nur Kholis.

Imbuhnya, ke depan Forkom PTKIS Kopertais III DIY memiliki beberapa agenda pengembangan, antara lain untuk ranah dosen akan dipikirkan agar jabatan fungsional di masing-masing kampus lancar. Selain itu mendorong kepatuhan terhadap amanat undang-undang termasuk tunjangan dari sertifikasi dosen. Bersama-sama mengurai sumbatan, hambatan dan kendala bagi dosen PTKIS, agar proses pengembangan karir dosen makin lancar.
”Menjadikan Forkom PTKIS DIY bagian dari jembatan aspirasi antara perguruan tinggi Islam dengan Kopertais Wilayah III DIY,” tegas Dr. Nur Kholis. (IPK)