Surah Al Fatihah merupakan inti dari ajaran Islam yang mencakup keimanan, tauhid, dan janji-janji Allah, serta berisi kabar gembira bagi seluruh umat Islam yang beriman. Surah ini dianggap sangat penting, sehingga menjadi salah satu surah yang utama. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda kepadaku, “Maukah kamu aku ajarkan sebuah surah, surah paling agung dalam Al-Qur’an setelah kita keluar dari masjid?” Kemudian Rasulullah berjalan sambil menggandengku. Ketika kami hampir keluar, aku mengingatkan, “Wahai Rasulullah, Anda tadi bersabda akan mengajarkan sebuah surah paling agung dalam Al-Qur’an.” Maka Rasulullah bersabda, “Surah itu adalah Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, yaitu Surah Al Fatihah, yang merupakan as-Sab’ul Matsani atau tujuh ayat yang sering diulang-ulang dalam shalat, dan surah Al Qur’an yang dikaruniakan kepadaku.” (Hadis riwayat Bukhari)..

Turunnya Surah Al Fatihah membawa banyak manfaat bagi umat manusia, tetapi menjadi musibah bagi iblis dan bala tentaranya, yang membuat mereka tak berdaya. Jadi, peristiwa penting apa yang terjadi saat Surah Al Fatihah diturunkan hingga menyebabkan iblis menjadi tak berdaya?

Surah Al Fatihah adalah surah yang sangat istimewa. Surah ini diturunkan langsung dari Arasy oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Peristiwa turunnya Al Fatihah diabadikan oleh Al-Imam Al-Hakim dalam kitabnya Al-Mustadrak, di mana Rasulullah SAW bersabda:

“Berimanlah kamu kepada kitab Taurat, Zabur, Injil, dan apa saja yang dibawa oleh para nabi dari Tuhan mereka. Kitab Al Qur’an dan segala keterangan di dalamnya akan memberi kelapangan kepadamu. Sesungguhnya ayat-ayat suci yang terkandung dalam Al Qur’an adalah pemberi syafaat yang tidak dapat berbicara tetapi nyata membawa kebenaran, dan Surah Al Fatihah diberikan kepadaku langsung dari Arasy.”

Selain itu, Surah Al Fatihah dikenal sebagai As-Sab’ul Matsani, yaitu tujuh ayat yang diulang-ulang. Surah ini juga dikenal mampu menyembuhkan berbagai jenis penyakit, seperti yang telah dibuktikan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauzi dalam kitabnya Ad-Da’u wa-Dawa’.

Keistimewaan Surah Al Fatihah ini juga menyebabkan iblis menjadi tak berdaya. Dalam kitab Abwabul Faraj karya Sayyid Muhammad Alwi, diceritakan bahwa ketika Surah Al Fatihah diturunkan, iblis terbaring lemah dan tak berdaya, dengan rasa sakit yang melebihi sakit gigi.

Melihat pemimpin mereka tak berdaya, para tentara iblis pun bingung dan bertanya-tanya. Iblis kemudian berkata, “Kalian tidak perlu menjengukku atau mendatangkan obat atau dokter. Ini bukan sakit fisik. Sesungguhnya aku sakit karena turunnya sebuah surah yang jika dibacakan, pasti manusia akan selamat dari neraka. Surah itu bisa menjadi tameng bagi mereka dan menghalangi kita, para iblis, untuk menjerumuskan umat manusia ke dalam neraka.” Begitulah yang dikatakan oleh iblis..

Surah Al Fatihah ini dipisahkan dari Al Quran, Allah  ketika menganugerahi Al Quran itu Allah sendirikan Al Fatihah makanya  Rasulullah bersabda.

“Aku diberikan 7 ayat yang terulang dan juga Al Quran. Padahal Al Fatihah itu bagian dari Al Quran. Tetapi nabi shallahu alaihi wasallam memisahkan, jadi kita diberikan 2 nikmat, Al Quran adalah nikmat dan Surah Al Fatihah sendiri adalah nikmat.

Kenapa demikian? Karena ada hadits yang menunjukkan tentang keistimewaan surah Al Fatihah ini hadits ini dari Abdullah Ibnu Abbas ketika Nabi Sall allahu alayhi wasalam sedang duduk, tiba tiba Rasulullah mendengar suara yang menggelegar di atas kepala beliau, tentu dari langit maksudnya, maka Rasulullah langsung mengangkat kepalanya ke langit, maka malaikat Jibril Allahi Sallam kemudian mengatakan kepada Nabi Shallallahu alaihi wasallam. Bahwa itu adalah suara pintu langit yang terbuka, pintu itu tak akan terbuka kecuali hari ini, kemudian turunlah malaikat, dan malaikat ini tidak akan pernah turun ke bumi kecuali hari ini. Kemudian kata Jibril, malaikat mengucapkan salam dan mengatakan pada dirimu wahai Muhammad, bergembiralah wahai Muhammad karena engkau diberikan dua cahaya yang tidak pernah diberikan kepada para nabi sebelumnya. Kemudian jibril mengatakan pertama surah Al Fatihah dan yang kedua akhir dari surah Al Baqarah.

Penulis: Bambang Kintoko, S.Kom, Tendik FIAI UII

Program Studi Ilmu Agama Islam Program Magister (Prodi IAIPM) Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar Workshop Pembelajaran Berdiferensiasi di Gedung KHA Wahid Hasyim, Kampus Terpadu UII Yogyakarta, Rabu, 24 Juli 2024. Workshop diselenggarakan sebagai realisasi kerjasama antara Prodi IAIPM FIAI UII dengan Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam (AGPAI) DIY dengan tujuan untuk memberikan wawasan dan pengalaman praktis bagi para pendidik dalam mengimplementasikan pembelajaran berdiferensiasi sesuai dengan Kurikulum Merdeka.

Dalam sambutannya, Dekan FIAI UII, Dr. Drs. Asmuni, MA, mengucapkan selamat datang kepada para peserta dan memperkenalkan UII sebagai salah satu kampus swasta tertua di Indonesia. Selain itu juga menekankan pentingnya implementasi Kurikulum Ulil Albab yang diusung UII,  dengan fokus penekanan integrasi ilmu pengetahuan dan spiritualitas. “Keunggulan UII terletak pada pendekatan kurikulum yang menggabungkan aspek intelektual dan nilai-nilai keislaman, menjadikannya tempat yang ideal untuk mengembangkan potensi mahasiswa secara holistik,” jelasnya.

Sebagai narasumber workshop, Dr. Mohamad Joko Susilo, M.Pd., menyampaikan materi mengenai konsep dan aplikasi pembelajaran berdiferensiasi dalam lingkungan pendidikan yang semakin beragam. Menurut Joko, pembelajaran berdiferensiasi merupakan upaya penting dalam menjawab tantangan pendidikan saat ini, di mana guru diharapkan mampu menyesuaikan metode pembelajaran dengan latar belakang, minat, dan gaya belajar siswa yang berbeda-beda.

Dalam paparannya, Joko menekankan bahwa peran guru tidak lagi sekadar mentransfer ilmu kepada siswa, tetapi juga harus mampu memahami dan mengelola perbedaan individu di dalam kelas. “Pembelajaran berdiferensiasi memungkinkan guru untuk memberikan ruang bagi siswa untuk mengembangkan potensi masing-masing sesuai dengan kesiapan dan minat mereka,” ujar Joko.

Ia juga menekankan pentingnya pemetaan standar kompetensi, asesmen minimal, dan merdeka belajar sebagai kerangka dasar dalam pembelajaran paradigma baru. Hal ini memastikan bahwa pembelajaran tidak hanya berpusat pada guru, tetapi juga memberikan ruang bagi siswa untuk belajar secara aktif dan mandiri.

Joko menggarisbawahi bahwa guru perlu mempertimbangkan berbagai faktor, seperti latar belakang sosial, minat, serta gaya belajar siswa dalam memilih strategi pembelajaran. “Pembelajaran yang sukses adalah yang dapat merangkul keberagaman siswa dan memastikan setiap individu mendapatkan kesempatan untuk berkembang sesuai potensinya,” tambahnya.

Workshop ini diharapkan dapat menjadi langkah awal bagi para pendidik untuk lebih memahami pentingnya pembelajaran berdiferensiasi dan mengaplikasikannya dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah masing-masing. (*)

Jika saja manfaat sedekah disadari oleh seluruh umat muslim di dunia, maka kebaikan akan terus mengalir. Kesenjangan miskin dan kaya, akan semakin menipis. Terutama jika orang yang berlimpah harta rutin menyalurkan kepada yang berhak menerima.

Begitu utamanya sedekah sehingga Allah memberikan banyak balasan kebaikan. Memang, salah satu ibadah yang dicintai Allah adalah sedekah. Hal ini sesuai firman Allah dalam  Surah Al-Baqarah ayat 261, yang artinya:

“Perumpaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai. Pada tiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.”
Dari ayat di atas sebaiknya dijadikan pedoman dan penyemangat, bahwa sedekah bukan main-main manfaat dan balasannya. Bukan diperdebatkan manfaat dan caranya.

Memahami makna dasar, sedekah merupakan salah satu amalan yang berasal dari bahasa Arab yaitu ‘shadaqah’. Jika merujuk pada makna terminologinya, sedekah bersumber dari kata sidiq yang artinya kebenaran. Jika merujuk pada  BAZNAS No. 2 Tahun 2016, sedekah mengacu pada harta atau non-harta bukan zakat milik seseorang atau  bisa juga milik suatu lembaga yang sengaja dikeluarkan untuk kebaikan atau kemaslahatan bersama. Sehingga secara makna, sedekah dari segala sudut merupakan perbuatan baik untuk kebaikan sesama.

Sebagai muslim, bersedekah perlu dijadikan kebiasaan, agar manfaatnya dapat meningkatkan kemakmuran, membasmi kemiskinan, mengurangi kesenjangan miskin dan kaya.

Sedekah Tidak Mengurangi Harta

Banyak masyarakat muslim yang masih perhitungan terhadap sedekah. Takut jika sedekah akan mengurangi hartanya. Terutama jika kondisi sedang sempit secara ekonomi. Namun sejatinya sedekah tidak mengurangi harta, karena Allah akan membalasnya dalam berbagai bentuk yang secara nilai melampaui nilai yang disedekahkan. Kuncinya adalah terus berprasangka baik kepada Allah.

Rasulullah bersabda
“Sedekah adalah ibadah yang tidak akan mengurangi harta, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda untuk mengingatkan kita dalam sebuah riwayat Muslim, “sedekah tidaklah mengurangi harta.” (HR. Muslim).
 

Sedekah Menolak Bala
Dari sisi manfaat, bersedekah menjadi alasan Allah untuk menjauhkan hambaNYA dari bala, musibah dan bencana. Sehingga setiap muslim, bisa menjadikan sedekah benteng dunia dan akhirat, karena manfaatnya bisa saja didapat di dunia dan akhirat. Manfaat ini, sesuai sabda Rasulullah.

“Sedekah itu menolak bala (bencana).” (H.R. Ath-Thabrani).

Sementara dalam riwayat hadits lainnya Rasulullah pernah bersabda, “Sedekah itu menutup tujuh puluh pintu kejahatan.”

Sedekah juga memiliki manfaat sesuai janji Allah, berkenaan dengan kondisi perekonomian, namun seberapa balasannya, hanya Allah yang mengetahui. Sebagai hamba, kita sepantasnya menjalankan perintah Allah secara ikhlas. Tentu harapannya, dengan rajin sedekah dapat melapangkan rezeki. Hal ini sesuai dengan janji Allah dalam surah At-Talaq ayat 7  yang aritnya,
“Siapa yang disempitkan rezekinya (miskin) hendaklah menafkahkan sebagian rezekinya (sedekah).”


Sedekah Menghapus Dosa

Umat Islam dianjurkan untuk disiplin dalam bersedekah, rutin dalam bersedekah  merupakan unsur istiqomah. Sehingga bukan besaran nilai sedekah semata yang jadi ukuran, tapi juga rutin dan keikhlasan.

Manfaat sedekah yang menjadikan manfaatnya begitu besar, adalah balasan Allah berupa dihapusnya dosa. Hal ini sesuai sabda Rasulullah, “Sedekah itu dapat memadamkan dosa sebagaimana air memadamkan api” (HR. Tirmidzi).

Manusia tidak mungkin luput dari dosa, namun Allah sungguh menjadikan semua baik, karena diberikan kesempatan terhapusnya dosa, salah satunya dengan jalan sedekah.

Balasan Sedekah
Sedekah sejatinya tidak ada ukuran, tapi sesuai niat, kemampuan dan tekad kemaslahatan umat. Sehingga saat ini ketika ada rumusan sedekah harus sekian persen, misal 2.5%, itu bukan ajaran Rasulullah, karena sedekah boleh berapapun. Angka 2.5% merupakan representasi dari zakat bukan sedekah.

Sungguh siapapun yang bersedekah berarti sudah membuktikan ketaatan di jalan Allah.

“Barang siapa yang memberikan pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik (sedekah), niscaya akan dilipat gandakan (balasan) untuknya” (QS. At-Taghabun: 17).

Penulis: Hadi Sutrisno, Tendik FIAI UII

 

Kaji Al Quran dan Hadits, FIAI UII Berkolaborasi dengan UM Malaysia

Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) berkolaborasi dengan Academy Islamic Studies Universitas Malaya (UM) Malaysia adakan seminar bertema Al Qur’an dan hadits, Selasa, 9 Juli 2024 di Gedung Wahid Hasyim Kampus Terpadu UII Jalan Kaliurang km 14.4 Sleman.

Kerjasama FIAI UII dan UM Malaysia selain penyelenggarakan seminar juga dalam materi pertukaran budaya, melalui serangkaian kegiatan pengenalan budaya Indonesia dan Malaysia, kepada mahasiswa UII dan UM Malaysia. Selain itu, dilakukan kunjungan ke Museum UII dan Candi Kimpulan yang berada di kampus.
Hadir dalam seminar Dekan FIAI UII Dr. Drs. Asmuni, Ketua Delegasi ACIS UM Malaysia Dr. Mohammad Khalid Bahrudin, Wakil Dekan Bidang Keagamaan, Kemahasiswaan dan Alumni Dr. Muhammad Roy Purwanto, S.Ag., M.Ag, Kaprodi  Ahwal Syakhshiyah UII Krismono, S.H.I, M.S.I, serta Ketua Panitia Rizqi Anfanni Fahmi, SEI., M.S.I,

Dalam sambutan pembukaan seminar, Dekan FIAI UII Dr. Drs. Asmuni. MA mempertegas pemaknaan Al Qur’an.
“Secara umum, orang mendefinisikan Al Qur’an sebagai Kalamullah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril, ini merupakan definisi teologis dan itu menjadi keimanan kita. Tapi ketika Al Qur’an dianggap sebagai sumber ilmu maka Al Qur’an adalah kitab yang setara semesta, artinya apa yang dibahasakan oleh Al Qur’an itu isyarat ilmiah untuk mengantarkan kita meneliti apa fenomena yang terjadi di jagad raya ini. Makanya dalam Al Quran penuh isyarat ilmiah, tapi Al Quran bukan kitab ilmiah tapi kitab suci,” kata Dr Asmuni.

Melengkapi sambutan, Ketua Delegasi UM Malaysia, Dr. Mohammad Khalid Bahrudin mengawali sambutan dengan ungkapan terimakasih kepada UII.
”Terimakasih atas sambutan Bapak Dekan FIAI UII. Kami dari Universitas Malaya Malaysia berkesempatan menggali sebanyak mungkin dari Fakultas Ilmu Agama Islam UII untuk berbagai aspek. Juga kami membuka kesempatan seluas-luasnya untuk FIAI UII bekerjasama dengan Universitas Malaya Malaysia,” ungkap Dr. Mohammad Khalid Universitas Malaya Malaysia.
Imbuhnya, Universitas Malaya Malaysia juga berharap adanya kerjasama penelitian dalam bidang kajian Al Quran dan Hadits. Serta kerjasama untuk menulis bersama pada Jurnal Akademis Studi Al-Qur’an dan Hadits Universitas Malaya yang sudah terindeks Scopus.

Selepas sambutan, kegiatan dilanjutkan seminar dengan narasumber dari FIAI UII dan UM Malaysia.
Narasumber dari UII, Dr. Muhammad Roy Purwanto, S.Ag., M.Ag singgung masuknya agama Islam di Indonesia.
”Sejak Islam masuk ke wilayah Nusantara, kajian Al-Qur’an mulai dilakukan, termasuk tafsirnya. Naskah tafsir pertama kali muncul di Nusantara pada abad ke-16. Ditemukan naskah Al Qur’an Surat Al-Kahfi oleh penulis tak dikenal. Diduga ditulis pada masa awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda tahun 1607 hingga 1636. Sedangkan kitab tafsir lengkap pertama 30 juz ditulis oleh Abdur Rauf Singkil tahun 1615 hingga 1693 dengan gelar Tarjumanul Mustafid,” ungkap Mumammad Roy yang juga menjabat Wakil Dekan Bidang Keagamaan, Kemahasiswaan dan Alumni FIAI UII.

Imbuh Muhammad Roy, bahwa pada abad ke-19 terdapat dua karya tafsir yang terdokumentasi. Pertama Tafsir Marah Labid karya Imam Nawawi Al Bantani dengan menggunakan bahasa Arab. Tafsir Marah Labid menafsirkan Al Qur’an dari surah Al Fatihah hingga surah An Nas. Gaya penafsirannya adalah lughawi dan bilma’tsur. Tafsir selanjutnya adalah Tafsir Faidlurrahman dalam bahasa pegon jawa, karya Syeh Soleh Darat Semarang. Ia sengaja menafsirkan Alquran dalam bahasa Jawa agar mudah dipahami masyarakat.

Selepas paparan narasumber dari FIAI UII, dilanjutkan paparan dari UM Malaysia yaitu Dr. Mohammad Khalid Bahrudin.
“Berawal sejak abad ke-17 sampai hari ini, penulisan dan penerbitan hadits di Tanah Melayu telah berkembang pesat dan berevolusi dengan keperluan masyarakat di Malaysia. Namun begitu sebagian penerbitan hadits ini didapati bermasalah dari segi kualitas status dan terjemahannya. Penggunaan riwayat palsu atau diduga dhoif, serta kesalahan atau ketidaktepatan terjemahan tempak dalam penerbitan dari hasil rangkuman naskah klasik maupun kontemporer. Untuk mencegah hal ini terjadi secara luas, pihak berwenang di negara Malaysia telah mengambil tanggung jawab untuk memperkenalkan mekanisme peraturan untuk teks dan terjemahan hadits,” ungkap Dr. Mohammad Khalid dengan gaya bahasa Melayunya.

Tambahnya, secara otoritatif, pengaturan kesahihan hadits secara resmi digagas oleh Umar bin Abdul Aziz melalui proyek kodifikasi pada masa pemerintahannya. Hal ini didorong oleh beberapa faktor seperti meninggalnya para sahabat penghafal hadits , praktik bid’ah dan tahayul serta penyebaran hadits palsu. Era berikutnya mencatat berbagai aktivitas peraturan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran terkait hadits, khususnya yang melibatkan penyebaran dan penggunaan hadits palsu.

Seminar dengan moderator  Miqdam Makhfi, Lc., M.A selain luring diikuti mahasiswa UM Malaysia dan FIAI UII, juga secara daring menggunakan live streaming ke sivitas akademika Universitas Malaya di Malaysia. Miqdam merupakan alumni salah satu perguruan tinggi di Malaysia. Dalam pengamatan Miqdam selama kuliah di Malaysia menyebutkan bahwa proses pendidikan agama Islam di perguruan tinggi Malaysia dan Indonesia memiliki banyak perbedaan.
”Mahasiswa di Malaysia sangat patuh kepada pengajar, itu sebuah keunggulan di sana. Mahasiswa di Indonesia, memang tidak sekuat Malaysia dalam kepatuhannya, tapi dalam kreatifitas dan semangat inovasinya, tampak dominan. (IPK)

SLEMAN. Kompetisi olah raga dalam rangka Milad ke-81 Universitas Islam Indonesia (UII) mengetengahkan beberapa perlombaan cabang olah raga, salah satunya cabang sepak bola. Kompetisi sepak bola diikuti oleh seluruh fakultas dan rektorat I UII, bertanding sepanjang bulan Juni hingga Juli 2024. Pada laga final olahraga sepakbola yang diselenggarakan Rabu 3 Juli 2024, Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) berhasil meraih Juara II, setelah melawan Fakultas Kedokteran.

Laga final olah raga sepak bola diselenggarakan di Lapangan Sepak Bola Kampus  Terpadu UII, Jalan Kaliurang km. 14.5 Sleman. Hadir dalam laga final, Dekan FIAI Dr. Drs. Asmuni MA,  serta Wakil Dekan Bidang Sumber Daya Dr. Nur Kholis, SEI., M.Sh.Ec, juga Wakil Dekan Bidang Keagamaan, Kemahasiswaan dan Alumni (KKA) Dr. Muhammad Roy Purwanto, S.Ag., M.Ag .

”Kami pimpinan fakultas cukup bangga dengan torehan prestasi Tim Sepak Bola FIAI UII, lama sekali tidak bisa masuk 3 besar, bahkan mungkin baru kali ini, mendapat juara II. Selamat dan sukses. Namun memang di beberapa lini perlu evaluasi agar tahun berikutnya bisa juara pertama,” apresiasi Wakil Dekan KKA, Dr M Roy Purwanto.

Imbuhnya, perlu peningkatan frekuensi latihan yang rutin untuk bisa meningkatkan prestasi. Pada keikutsertaan kompetisi sepak bola pada Milad ke-81 UII, Tim FIAI UII hanya melakukan persiapan dengan latihan tidak lebih dari 5 kali. Selain itu, dari semi final ke final dirasa tidak ada jeda waktu. Semi final dilakukan kemaren sore, hari ini sudah harus ikut dalam laga final. Kondisi pemain sudah lelah pada laga sebelumnya.

Ungkapan Dr. M Roy Purwanto diamini oleh Burhan Nudin, S.Pd.I., M.Pd.I, dosen FIAI UII yang juga menonton pertandingan.
“Perlu perbaikan dalam lini organisasi antar pemain, harus ditingkatkan latihan agar memahami karakter antar pemain dalam satu tim,” kata Burhan.

Dr. Muhammad Roy Purwanto, S.Ag., M.Ag (peci merah)  mendampingi Tim Sepak Bola FIAI UII pada laga final Milad ke-82 UII (foto: IPK)

Sebelum memasuki laga final, FIAI UII berhasil memenangkan pertandingan penyisihan melawan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) dengan skor 4-2, serta  pada laga semi final melawan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) dengan skor 1-0.

Ungkapan apresiasi juga datang dari Dr. Drs. Ahmad Darmadji, M.Pd, dosen FIAI UII.
“Luar biasa ini, Tim Sepak Bola FIAI UII bisa masuk final di Milad UII. Ikut senang makanya saya datang untuk mensupport,” ungkap Dr. Ahmad Darmadji. Selain itu, ungkapan suka cita juga mengalir di Whatsapp Group FIAI UII, salah satunya dari Dr. Siti Achiria, SE., MM.

“Alhamdulillahirobbil’alamiin. Selamat Tim FIAI, semoga berkah. Amin. Nuwun sewu, melihat potensi dan semangat atlet-atlet serta supporter FIAI, nderek sekedar usul, bagaimana kalau ada latihan rutin untuk cabang olahraga yag dipertandingkan dalam Milad UII,” ungkap Dr. Siti Achiria dalam chatnya. (IPK)


Dalam upaya meningkatkan peran di masyarakat, Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) menyiapkan serangkaian kegiatan akademik dan penulisan buku. Salah satunya, kegiatan berupa focus group discussion Manajemen Bencana dari Perspektif Islam Sesi III dengan mengusung tema “Kepribadian Tangguh Bencana dari Perspektif Turast” , Rabu, 26 Juni 2024, di ruang sidang Dekanat FIAI, Gedung KHA Wahid Hasyim, Kampus Terpadu UII Jalan Kaliurang km 14,4 Sleman.

Focus Group Discussion (FGD) menghadirkan 2 narasumber pemantik. Pertama, Dr. H. Sus Budiharto, S.Psi., M.Si., Psikolog, Dosen Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII. Kedua, Lukman, S.Ag., M.Pd. Dosen FIAI UII. Kegiatan FGD ini rencananya akan dijadikan materi buku Fikih Kebencanaan Perspektif Fuqaha UII, seperti disampaikan Dekan FIAI UII saat membuka acara.

“Penyintas biasanya akan memasuki beberapa fase. Fase pertama biasanya spontan, kaget kurang lebih selama 1 minggu. Fase kedua merasa selamat, menjadi pemberani, heroik dan berani menyelamatkan yang lain. Kita pernah merasakan ini tahun 2006 bencana gempa bumi Yogya. Fase ketiga adalah harmoni, biasanya penyintas ini membangun relasi, karena menerima janji-janji bantuan dari banyak pihak. Dari pemerintah sekian, dari daerah lain sekain, dan lain sebagainya dan harmoni, biasanya membangun relasi dengan siapapun, apalagi relawan hadir di lokasi bencana. Pada fase ini, paska bencana gempa bumi Lombok tahun 2018 welcome terhadap siapapun, juga saat bencana gempa bumi Yogya tahun 2006,” kata Dr. Asmuni , Dekan FIAI UII.

Namun Dr. Asmuni juga melengkapi, bahwa ada fase keempat, yaitu fase penuh kekecewaan, ternyata bantuan yang diberikan tidak mampu mengembalikan keadaan seperti semula. Apalagi sadar ketika para relawan sudah meninggalkan lokasi bencana, tinggalah penyintas dalam kesendirian dan sadar bantuan yang dijanjikan dahulu tidak sampai memulihkan semuanya. Rumah bersifat sementara, kamar mandi dan sekolah serba sementara. Fase kecewa bisa saja selama 2 bulan hingga 2 tahun, tapi ada fase rekonstruksi yang cukup lama membutuhkan bantuan secara material, juga bantuan secara pendampingan spiritual, tapi sentuhan secara psikologis dari pakar dan ahlinya tidak bisa diabaikan. Tentunya para psikolog memahami cara mengelola hati perasaan para penyintas.
”Nah diskusi kali ini menghadirkan narusumber multidisplin. Luarannya nanti berupa buku berjudul Fikih Bencana Perspektif Fuqaha UII. Nah fuqaha UII tidak hanya FIAI karena melibatkan fakultas lain,” ungkap Dr. Asmuni yang pada bencana gempa bumi Yogya tahun 2006 dan bencana gempa bumi Lombok tahun 2018 terlibat langsung menjadi relawan.

Selepas sambutan, dilanjutkan sesi diskusi menghadirkan 2 narasumber pemantik dari internal UII, yaitu Dr. H. Sus Budiharto, S.Psi., M.Si., Psikolog, dosen Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) serta Lukman, S.Ag., M.Pd., dosen Fakultas Ilmu Agama Islam. Dipandu fasilitator Sofwan Hadikusuma, Lc., ME, dosen FIAI.

Dalam paparan awal, narasumber pertama Lukman, S.Ag, M.Pd memantik dengan siklus manusia menghadapi bencana.
”Sebagai relawan bencana kita mendampibgi bukan saja saat bencana tapi juga sampai akhir, sehingga ketahanan terhadap bencana semakin baik. Ada siklus manusia saat menghadapi bencana, dimulai dari sabar, merasa perlu taubat, ada yang mengeluh. Bagi yang sabar, Allah menjanjikan akan mendapatkan rahmat. Ada yang taubat, merasa sadar bahwa dosanya memang banyak. Tapi juga ada yang mengeluh. Nah pentingnya deteksi dini itu ada di sini, apakah penyintas itu sabar, taubat atau mengeluh,” jelas Lukman M.Pd.

Menurut Lukman M.Pd, penemuan terhadap kategorisasi ini penting terutama bagi tim reaksi cepat dan tanggap darurat, karena bisa memperlakukan sesuai yang ada pada dirinya. Kalau mereka sudah sabar lalu diberi nasehat terus, bisa saja justru akan mengeluh. Sebaiknya orang yang sudah sabar, diajak berpartisipasi untuk tanggap bencana dan mitigasi. Kemudian orang yang taubat, ditingkatkan untuk menjadi sabar.

“Kategorisasi terhadap kondisi spiritual manusia itu penting, karena kalau kita memberikan suatu nasehat, ibarat pasien sakit perut, diberi obat sakit lutut. Selain pendampingan recovery fisik juga recovery mental bahkan menjadi lebih baik lagi. Jadi bencana kita jadikan salah satu titik point bagaimana untuk meningkatkan pendidikan spiritualitas. Ada yang kemudian bangkit, normal, putus asa ada yang sadar memperbaiki diri ada juga yang tersesat,” kata Lukman M.Pd

Pada sesi yang sama, narasumber pemantik kedua, Dr. H. Sus Budiharto, S.Psi., M.Si., Psikolog, mencoba mengangkat aspek optimalisasi HERO menghadapi bencana. Hero merupakan kependekan dari harapan, efikasi, resiliensi dan optimisme.

“Di lapangan, semua perspektif terhadap bencana alam itu paling tepat kalau dimaknai sebagai ujian. Sangat tidak nyaman bagi penyintas kalau dimaknai sebagai peringatan dan azab. Ketika disampaikan misal ini sebagai sebuah peringatan, bapak ibu. Ternyata itu sangat menyakitkan,” kata Dr. Sus Budiharto.

Imbuhnya, pemaknaan yang paling mudah diterima menjadikan bencana sebagai ujian, sebagaimana mahasiswa menempuh ujian untuk lulus, jadi orang-orang yang menempuh ujian itu orang yang rajin.

“Catatan saya sebagai psikolog adalah jangan sampai penyintas diberitahu bahwa mereka mengeluh, meskipun kenyataannya mengeluh. Maunya mereka itu tetap disanjung sebagai orang yang sabar. Jadi meski mengeluh baiknya dianggap sabar. Sehingga perlu hati-hati ketika kita pendamping melakukan deteksi dini.” ujarnya.

Sus Budiharto melengkapi bahwa perlu diantisipasi ada kecenderungan relawan psikolog mudah melakukan judgement, menilai orang lain rendah, sedang atau tinggi. Untuk yang melakukan judgment rendah berlaku teori populer yaitu Self Fulfilling Prophecy misal hanya dari melihat, lalu terlanjur menganggap orang itu mengeluh, maka akan terdorong untuk menganggap orang itu lebih rendah. Hal itu akan berdampak akan lebih banyak mengkritik orang tersebut. Ini catatan saat bencana.

Selain itu, perlu juga memahami simpati dan empati terkait budaya setempat. Untuk memahami para penyintas yang diperlukan adalah empati, tidak hanya simpati.
”Saya orangnya selau berusaha menunjukan ekspresi tersenyum, baik senang sedih terus berusaha senyum. Tapi ini ternyata bisa tidak cocok. Ada sebuah kisah seorang relawan sedang mendengarkan cerita seorang ibu di suatu lokasi bencana gempa besar, untuk menunjukkan kesan tertentu, relawan ini berusaha tersenyum. Rupanya itu menyinggung perasaan ibu tersebut, dan menegur relawan bahwasanya jangan tersenyum karena ibu tersebut sedang bercerita sedih,” ungkap Sus Budiharto.

Kegiatan FGD diikuti oleh dosen FIAI dan FPSB, bertujuan untuk memecahkan masalah saat ini. Ketua Panitia FGD Manajemen Bencana dari Perspektif Islam Sesi III, Kurniawan Dwi Saputra, Lc., M.Hum memperjelas arah kegiatan FGD ini,
”FGD Manajemen Bencana dari Perspektif Islam Sesi III ini bertujuan untuk mengelaborasi turats sebagai perspektif untuk pemecahan permasalahan kemanusiaan kontemporer,” jelasnya. (IPK)

Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang tak henti-hentinya telah memberikan nikmat iman, islam kepada kita sampai saat ini. Sholawat serta salam selalu junjungan Nabi Muhammad SAW, beserta seluruh keluarga dan sahabatnya.

Sudah semestinya sebagai umat Islam kita selalu di ingatkan dan di arahkan untuk “amar ma’ruf nahi mungkar” perintah berbuat baik dan mencegah kepada hal yang buruk. Kalimat pertama yaitu “amar ma’ruf” yang artinya sebuah perintah yang dilakukan mengajak orang untuk melakukan ha-hal yang baik, dengan memulai berbuat kebaikan dari diri sendiri setelah itu kita melanjutkan dengan “nahi mungkar” yang artinya melarang pada hal-hal yang buruk, dengan kita memberikan contoh hal yang baik terlebih dahulu akan lebih bisa diterima oleh jamaah. Dalam agama islam perintah untuk mengajak berbuat baik lebih sering dikenal dengan sebutan Dakwah/ nasihat, seperti yang sudah dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW dan juga sudah ditegaskan diperintahkan oleh Allah SWT.

Hal ini sudah tertulis dalam Al Quran Surat An Nahl:125;

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

Artinya ; “ Serulah ( manusia ) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yag baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia ( pula ) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk ”.

Berdakwah adalah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil manusia untuk beriman dan taat kepada Allah SWT sesuai dengan akidah, akhlak dan syariat islam secara sadar dan tulus ikhlas. Dakwah memainkan peran kunci dalam membentuk citra islam. Sebab, banyak orang mengenal ajaran islam dalam kegiatan pemberdayaan umat melalui aktivitas para da’i, baik melalui dakwah lisan maupun dakwah yang langsung melibatkan masyarakat. Namun, di Indonesia, fenomena dakwah masih di dominasi oleh dakwah lisan yang biasanya dilakukan dalam acara-acara formal keagamaan atau pengajian. Tujuan utama dari dakwah adalah mencari kebahagian di dunia dan akhirat. Banyak macam cara kegiatan dakwah kita agar di terima oleh orang lain yang menjadi audiens kita. Maka dari itu kita harus merencanakan dan mengkonsep  dakwah dengan baik agar berhasil. Dakwah dengan baik berarti mengajak orang lain menuju kebaikan melalui pendekatan yang bijak, penuh hikmah, dan sesuai dengan ajaran Islam. Di tengah ke anekaragaman bangsa, suku, budaya, dan adat istiadat kegiatan dakwah perlu kita konsep secara kebhinekaan yang harmonis saling menghormati dan menjunjung tinggi toleransi serta tidak saling menyakiti dan menghakimi keyakinan dan kepercayaan orang lain.  Dengan konsep dakwah yang baik tersebut akan menciptakan suasana yang indah dan penuh kasih sayang dan dapat menumbuhkan rasa aman tenteram dan damai dalam menjalankan ibadah sesuai syariah Islam.

Berikut adalah beberapa langkah untuk berdakwah secara efektif :

  • Sebelum berdakwah niatkan hati kita hanya untuk mencari ridha Allah SWT, bukan untuk popularitas atau tujuan pribadi lainnya.
  • Kuasai ilmu agama secara mendalam, termasuk Al-Qur’an, hadits, fiqih, dan syariah. Dengan pengetahuan yang luas, dakwah dapat disampaikan secara benar dan sesuai dengan ajaran Islam.
  • Pahamilah madzhab dan latar belakang yang dianut oleh mayoritas jamaah untuk memudahkan penerimaan dakwah. Hindari perdebatan tentang perbedaan madzhab yang dapat memicu perpecahan.
  • Pahami karakter, kebutuhan, dan tingkat pemahaman jamaah agar dakwah bisa disesuaikan dengan kondisi mereka. Pastikan materi disiapkan dengan baik agar mudah dipahami dan sesuai dengan kebutuhan jamaah yang relevan dengan konteks saat ini.

Dalam penyampaian dakwah harus mengedepankan sikap toleransi, bijaksana, lemah lembut dan menghargai, hindari kekerasan, paksaan, atau celaan. Adapun cara ini sudah diperintahkan kepada nabi Muhammad SAW dan tertulis dalam surat Al Imron ayat : 159;

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِك…… آل الآية

Artinya; “ Maka berkat rahmat Allah engkau ( Nabi Muhammad ) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu ”.

Adapun metode seperti ayat diatas sudah di praktikkan oleh da’i pendahulu dalam berdakwah yang sudah dikenal semua orang yaitu para Wali Songo, para wali ini adalah seorang da’i yang menyampaikan dakwah nya dengan mengkolaborasi tradisi, dan juga kesenian yang dilakukan masyarakat pada umumnya. Beliau para wali tersebut mengubah tradisi dan seni menjadi amal ibadah, yang awalnya dilarang oleh syariah Islam kemudian diubah menjadi Ibadah yang sesuai dengan syariah Islam. Sebagai contoh adalah budaya sesajen yang lengkap dengan bunga dan do’a kepada leluhur kemudian di ubah sesajen dengan hal yang bisa di konsumsi oleh peserta dan doa yang dibaca di ubah dengan doa kepada Allah SWT. Dalam berdakwah alangkah baiknya menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan contoh yang relevan. Sampaikan nasihat dengan kasih sayang dan hindari sikap menghakimi. Ketika ada jamaah yang bertanya maka jawab dan jelaskan dengan sopan, Jika ada perbedaan pendapat, sampaikan dengan cara yang baik dan hindari perdebatan yang memicu perpecahan. Sebagai Penyampai Dakwah kita harus menjadi teladan yang baik dengan cara menunjukkan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari agar menjadi contoh bagi jamaah.

Dengan perkembangan zaman dan teknologi, kegiatan dakwah saat ini banyak inovasi dalam berdakwah seperti ceramah, tulisan, video, atau media sosial untuk menyampaikan dakwah. Sehingga memudahkan kita untuk terus konsisten dan istiqomah dalam berdakwah. Dengan tidak mudah putus asa, selalu belajar dan memperbaiki diri agar dakwah semakin berkualitas. Pastikan dakwah yang disampaikan sesuai dengan syariat Islam dan akhlak yang baik. Kemudian ajak jamaah untuk bertindak dan melakukan perubahan.

Penulis: Taufiq Hidayanto, Tendik FIAI UII

Bekerja dapat dimaknai sebagai bagian aktifitas manusia yang paling banyak menyita waktu lak-laki, selain berdagang. Dari 24 jam jatah hidup manusia dalam 1 hari, berapa banyak yang dimanfaatkan untuk kepentingan bekerja, untuk keluarga dan istirahat? Jika sehari menggunakan 8 jam jatah hidup sehari yang diberikan Allah. Apakah sudah bemakna ibadah? Seharusnya bekerja sejatinya adalah ibadah.

Meskipun saat ini pemahaman kerja masih dianggap sebagai sarana mencari penghasilan, namun juga ada yang menganggap cara menjemput rezeki. Selain itu ada juga yang berprinsip bekerja sebagai beribadah di dunia. Dampak perbedaan pemahaman ini, menjadikan perilaku dalam bekerja.

Bagi seorang laki-laki muslim, bekerja sejatinya bisa menghapus dosa. Hal tersebut sesuai sabda Rasulullah.

“Barangsiapa yang di waktu sore merasa capek (lelah) lantaran pekerjaan kedua tangannya (mencari nafkah) maka di saat itu diampuni dosa baginya.” (HR. Thabrani).

Tentu lelah dalam bekerja diniati sebagai jalan ibadah, sehingga niat ikhlas, jujur dan amanah juga mendukung nilai manfaat dalam bekerja

 

Bekerja amanah, merupakah perintah Allah sesuai firman-NYa dalam Al Qur’an surah Al-Ahzab ayat 72 yang artinya:
“Sesungguhnya kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat). Lalu dipikullah amanah itu oleh manusia. Sungguh manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh”.

Dari sisi makna etimologi amanah dari bahasa Arab dalam bentuk mashdar dari amina amanatan yang berarti jujur, dan dalam hal ini juga sifat perbuatan yang dapat dipercaya. Dari makna bahasa Indonesia amanah berarti pesan, perintah. Sehingga ketika bekerja yang amanah  bisa dimaknai dengan berbagai sudut pandang, salah satunya dari Ahmad Musthafa Al-Maraghi yang memaknai amanah sebagai sesuatu yang harus dipelihara dan dijaga agar sampai kepada yang berhak memilikinya.

Menggapai Ridho Allah
Bekerja tidak serta merta tentang penghasilan, gaji, dan jabatan. Dalam Islam bekerja adalah cara beribadah kepada Allah dan lautan kebaikan untuk keluarganya.  Keyakinan akan rezeki dari Allah adalah landasan semangat dalam bekerja layaknya seekor burung yang terbang menjemput rezeki tanpa sedikitpun berprasangka buruk kepada Allah.

Semangat ini sesuai dengan sabda Rasulullah,
Dari Umar Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kalau kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, maka niscaya Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana Allah memberi rezeki kepada burung; ia pergi pagi hari dalam keadaan perutnya kosong, lalu pulang pada sore hari dalam keadaan kenyang”. [HR Tirmidzi, no. 2344; Ahmad (I/30); Ibnu Majah, no. 4164]

Lelah dalam bekerja bagi seorang pria, resiko dalam bekerja dan semangat untuk menjalani karena Allah, akan menjadikan Allah senang, sehingga bekerja bagian dari menjaga hubungan manusia dengan Allah. Dapat menjadi pedoman bersama atas sabda Rasulullah,
“Sesungguhnya Allah Ta’ala senang melihat hamba-Nya bersusah-payah (lelah) dalam mencari rezeki yang halal.” (HR. Ad-Dailami).

Bekerja secara ikhlas meraih ridho Allah. Ikhlas dalam hal ini maknanya mengutamakan kepentingan kolektif tempatnya bekerja, misal instansi perguruan tinggi seperti UII, maka kepentingan UII menjadi utama di atas kepentingan pribadi.  Misal menjadi Pegawai Negeri Sipil Republik Indonesia, maka kebaikan instansi pemerintah dan negara menjadi utama. Sehingga keikhlasan dalam bekerja mendorong kemajuan dan kebaikan tempat bekerja. Ikhlas mengesampingkan urusan pribadi, sehingga jika diterapkan maka negara ini jauh dari korupsi, perebutan jabatan dan bangsa akan menjadi lebih baik.

Penulis: Joko Wahyudi

Dalan perspektif Islam, bekerja merupakan ibadah. Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin memandang bekerja bukan hanya sebagai aktivitas duniawi, tetapi juga sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT. Aspek duniawinya, bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Aspek akhiratnya, bekerja sebagai bentuk representasi ibadah yaitu ketika meraih pendapatan yang halala thayiban, maka kadarnya setara dengan berjihad di jalan Allah dalam rangka melaksanakan rukun Islam.  Bekerja selama tidak menghalangi dan melalaikan kewajiban lain kepada Allah akan bernilai ibadah dan mendapat pahala dari Allah.

Disiplin merupakan hal yang penting dalam bekerja, selain merupakan bagian dari etos kerja Islami, disiplin juga cerminan dari ajaran Rasulullah. Disiplin dalam bekerja menurut perspektif Islam bukan hanya tentang produktivitas atau keuntungan material semata, tetapi juga berkaitan erat dengan nilai-nilai spiritual, etika, dan tanggung jawab sebagai hamba Allah SWT.
Menggabungkan disiplin dalam ibadah dan bekerja, menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, memperbaiki kualitas diri, dan memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Disiplin dalam bekerja dapat juga bermakna melaksanakan ibadah dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an:

وَقُلِ اعْمَلُوْا فَسَيَرَى اللّٰهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُوْلُهٗ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ وَسَتُرَدُّوْنَ اِلٰى عٰلِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَۚ

“Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu.” (At-Taubah: 105)

Beberapa alasan seseorang harus disiplin dalam bekerja menurut pandangan Islam diantaranya:


Pertama
, Amanah dan Tanggung Jawab.
Islam mengajarkan bahwa setiap pekerjaan adalah amanah yang harus dijaga dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Disiplin dalam bekerja merupakan wujud dari menjaga amanah tersebut. Rasulullah SAW bersabda:

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedua : Ihsan (Berbuat yang Terbaik)
Konsep Ihsan dalam Islam mengajarkan untuk melakukan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya. Dalam konteks pekerjaan, disiplin merupakan salah satu cara untuk mencapai kualitas kerja terbaik. Allah SWT berfirman:

۞ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.” (An-Nahl: 90)

Ketiga : Manajemen Waktu
Islam sangat menekankan pentingnya memanfaatkan waktu dengan baik. Disiplin dalam bekerja membantu seseorang mengelola waktunya secara efektif. Allah SWT berfirman:

وَالْعَصْرِۙ ۝١

اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ ۝٢

اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ۝٣

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh.” (Al-‘Asr: 1-3)

Keempat : Profesionalisme

Islam mendorong umatnya untuk bekerja secara profesional. Disiplin adalah salah satu ciri profesionalisme. Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya Allah mencintai jika seseorang melakukan suatu pekerjaan yang dilakukannya dengan itqan (tepat, terarah, dan tuntas).” (HR. Thabrani)


Kelima : Berkah dan Rezeki
Disiplin dalam bekerja dapat membuka pintu berkah dan rezeki. Islam mengajarkan bahwa rezeki datang dari Allah, namun manusia harus berusaha dengan sungguh-sungguh. Allah SWT berfirman:

وَاَنْ لَّيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعٰىۙ ۝٣٩

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (An-Najm: 39)

Keenam : Keteladanan
Disiplin dalam bekerja dapat menjadi teladan bagi orang lain, terutama bagi sesama Muslim. Ini sejalan dengan ajaran Islam untuk saling menasihati dalam kebaikan.

Dalam perspektif Islam, seseorang yang disiplin dalam bekerja akan menerima berbagai kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat. Berikut diantara kebaikan-kebaikan tersebut:

Pertama : Pahala dan Ridha Allah SWT
Bekerja dengan disiplin menjadi bagian ibadah, sehingga yang melakukannya akan mendapatkan pahala, selain itu melaksanakan pekerjaan dengan baik merupakan bentuk ketaatan kepada Allah SWT.

Kedua : Keberkahan dalam Rezeki
Islam mengajarkan disiplin dan kerja keras dapat membuka pintu rezeki. Keberkahan yang didapakan tidak hanya dalam bentuk materi, tapi juga ketenangan dan kepuasan batin.

Ketiga : Peningkatan Kualitas Diri
Disiplin juga membantu seseorang mengembangkan karakter positif seperti kejujuran, tanggung jawab, dan ketekunan. Hal ini sejalan dengan konsep tazkiyatun nafs (penyucian diri) dalam Islam.

Keempat : Kesuksesan Duniawi
Disiplin kerja juga mengarahkan seseorang pada prestasi dan kemajuan dalam karir, baik berupa promosi, peningkatan penghasilan, atau pengakuan profesional.

Kelima : Ketenangan Hati
Dengan melakukan pekerjaan secara disiplin dan sebaik-baiknya memberikan rasa puas dan ketenangan. Ketenangan ini merupakan nikmat tersendiri dalam pandangan Islam.

Keenam : Menjadi Teladan
Melakukan disiplin kerja yang baik dapat menjadi contoh bagi orang lain, terutama keluarga dan rekan kerja. Menjadi teladan dalam kebaikan memiliki nilai tinggi dalam Islam.

Ketujuh : Keseimbangan Hidup
Disiplin dalam bekerja membantu menciptakan keseimbangan antara kerja, ibadah, dan kehidupan pribadi. Islam mengajarkan pentingnya keseimbangan dalam semua aspek kehidupan.

Kedelapan : Terhindar dari Sifat Malas
Disiplin dalam bekerja membantu menjauhkan diri dari sifat malas yang dicela dalam Islam. Rasulullah SAW sering berdoa memohon perlindungan dari sifat malas.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam perspektif Islam, disiplin dalam bekerja tidak hanya membawa keuntungan material, tetapi juga spiritual dan sosial. Hal ini mencerminkan ajaran Islam yang komprehensif, mencakup kesejahteraan dunia dan akhirat.

Penulis : Edu Shinta Dewi, S.Ak. Tendik FIAI UII