Di tengah gemuruh dunia yang makin cepat, kita sering lupa untuk berhenti sejenak dan bernapas, melihat ke dalam diri, dan bertanya : “Apa kabar hatiku hari ini? Apa hal yang membuatku senang hari ini? Adakah yang menyakiti hatiku hari ini?” Tak sedikit di antara kita yang terlihat kuat dari luar, namun rapuh di dalam. Lalu muncullah istilah self healing, sebuah ajakan untuk menyembuhkan diri sendiri. Tapi bagi seorang muslim, self healing bukan sekadar liburan, minum kopi, shopping. Islam menawarkan proses penyembuhan yang lebih dalam, lebih bermakna, dan tentu lebih menyentuh, melalui sabar, syukur, dan tawakal
Sabar membuat kita tetap berdiri meski dunia rasanya runtuh. Sabar bukan berarti tak boleh menangis, tapi tetap percaya bahwa di balik tangis, ada hikmah yang Allah siapkan. Setiap orang pasti diuji, entah dalam bentuk kehilangan, tekanan hidup, atau luka batin. Tapi Islam mengajarkan bahwa sabar adalah kunci pertama untuk bertahan, bukan pasrah, tapi bentuk kekuatan tertinggi dari dalam diri.
Mensyukuri apa yang kita miliki tentu membuat hati jauh lebih tenang. Di saat kita melihat yang masih tersisa, mata yang bisa melihat ini, napas yang masih berhembus, iman yang belum lepas dari hati, tetapi di situlah penyembuhan dimulai.
Sering kali kita lelah bukan karena masalah, melainkan karena ingin mengendalikan segalanya Kita lupa bahwa setelah semua usaha dilakukan, ada satu hal yang harus dilepaskan: hasil. Tawakal adalah titik ketika hati berhenti menggenggam terlalu erat—karena kita tahu, segala urusan akhirnya kembali kepada Allah.
Self healing dalam Islam bukan sekadar proses untuk move on, tapi sebuah perjalanan kembali kepada Allah. Sebuah panggilan untuk menenangkan hati yang gundah dengan zikir, memperkuat sabar dengan shalat, menumbuhkan syukur lewat tafakur, dan melepaskan segala beban melalui tawakal.

 

Ditulis: Tutias Ekawati (Tendik UII)

Sumber
Al-Qur’an: QS. Al-Baqarah: 153, 155; QS. Ibrahim: 7; QS. At-Talaq: 3; QS. Ar-Ra’d: 28, Hadis: HR. Bukhari no. 52; Muslim no. 1599, Kitab: Ihya Ulumuddin – Imam Al-Ghazali, Tokoh & Ceramah: Ust. Adi Hidayat, Ust. Hanan Attaki, Buya Yahya

Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) melalui Program Magister Ilmu Agama Islam dan Program Doktor Hukum Islam menyelenggarakan kuliah pakar, soroti kondisi tingginya angka perceraian di Indonesia. Dalam kegiatan yang sama, juga dilaksanakan Pelantikan Pengurus HISSI DIY  periode 2025-2029, Selasa (20/5/2025), di Gedung KHA. Wahid Hasyim Kampus Terpadu UII Jalan Kaliurang km 14 Sleman.

Kuliah pakar mengusung tema “Tantangan Ketahanan Keluarga Sebagai Miniatur Ketahanan Bangsa di Era Global”, kerjasama Program Magister Ilmu Agama Islam dan Program Doktor Hukum Islam, FIAI UII. Sebagai narasumber kuliah pakar, Khoiriyah Roihan, S.Ag., M.H, Ketua Pengadilan Agama Yogyakarta, serta narasumber berikutnya, Prof. Dr. H. M. Amin Suma, S.H., M.A., M.M. Guru Besar UIN Syarief Hidayatullah Jakarta.

Kuliah pakar dan pelantikan, didahului sambutan Dekan FIAI UII, Dr. Drs. Asmuni., MA sekaligus membuka acara.
”Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah Indonesia memang aktif terhadap berbagai persoalan terutama berkenaan isu-isu nasional. Semoga misi ini lebih responsif, agresif dan lebih prospektif. Ini merupakan asosiasi modern,” kata Asmuni.

Asmuni tambahkan bahwa HISSI tentu akan responsif, melahirkan metodologi syariah terutama ketahanan rumah tangga, yang menjadi tema diskusi pada acara seminar iniKenapa ketahanan rumah tangga selalu dikaitkan dengan kebutuhan material, sehingga alasan perceraian karena tekanan ekonomi. Padahal mereka bercerai karena tidak memiliki kekayaan cinta.

Selesai sambutan, dilanjutkan dengan pelantikan pengurus Himpunan Ilmuan dan Sarjana Syariah Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) oleh Ketua Umum HISSI, Prof. Dr. H. M. Amin Suma, S.H., M.A., M.M. Terpilih sebagai Ketua HISSI DIY, yakni Prof. Dr. Drs. Yusdani, M.Ag, dosen FIAI UII.

Acara dihadiri oleh Dekan FIAI, juga Dr. Anisah Budiwati, S.H.I., M.S.I.Dr. Anisah Budiwati, S.H.I., M.S.I Ketua Program Studi Doktor Hukum Islam, Dzulkifli Hadi Imawan, Lc, M.Kom.I, Ph.D, Ketua Program Magister Ilmu Agama Islam, Prof. Dr. Drs. Yusdani, M.Ag calon Ketua HISSI DIY didampingi segenap calon pengurus DIY. Kuliah pakar juga diikuti oleh mahasiswa program magister dan doktor FIAI UII.

Khoiriyah Roihan, S.Ag., M.H, Ketua Pengadilan Agama Yogyakarta mengawali penyampain materi dengan membahas ketahanan keluarga tidak sekadar soal menjaga keutuhan rumah tangga, melainkan juga menyangkut kemampuan keluarga beradaptasi dan berkembang menghadapi tekanan emosional, sosial, ekonomi, dan spiritual.

“Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat. Ketika keluarga goyah, maka ketahanan sosial dan nasional pun rentan,” tegasnya. Ia juga menyoroti peran strategis Pengadilan Agama di Indonesia dalam memperkuat ketahanan keluarga melalui mediasi, penyuluhan, dan penegakan hukum yang adil.

Khoiriyah Roihan sampaikan 3 faktor dari data BPS faktor yang mempengaruhi angka perceraian, yakni faktor usia pernikahan. Pasangan menikah muda beresiko lebih tinggi, serta tingkat pendidikan di mana ada korelasi dengan tingkat pendidikan pasangan serta kondisi ekonomi. “Perceraian lebih banyak pada ekonomi menengah ke bawah,” kata Khoiriyah Roihan.
Khoiriyah Roihan juga ulas tentang data statistik di atas menjadi indikator penting bagi pengadilan agama dalam merumuskan kebijakan dan program intervensi untuk meningkatkan ketahanan keluarga. Ketahanan keluarga adalah kemampuan sebuah keluarga untuk bertahan, beradaptasi dan berkembang menghadapi berbagai tekanan dan tantangan, baik internal maupun eksternal. Ini mencakup aspek emosional, ekonomi, sosial dan spiritual. Keluarga yang tangguh menjadi pilar utama dalam menjaga kesejahteraan dan stabilitas masyarakat.

M. Adi Wicaksono saat berikan pelatihan untuk perangkat desa Wonodadi Blitar (foto: istimewa)

Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan pelatihan Sistem Keuangan Desa (SISKEUDES), 17 Mei 2025 di Gedung KHA Wahid Hasyim Kampus Terpadu UII, diikuti sebanyak 20 perangkat desa dari Kecamatan Wonodadi, Blitar, Jawa Timur. Pelatihan ini menghadirkan narasumber M. Adi Wicaksono, SE, MEI, dengan materi berkenaan penggunaan SISKEUDES versi terbaru 2.07 yang diluncurkan November 2024.

M.Adi Wicaksono, SE, MEI dalam pemaparan pembuka sampaikan bahwa SISKEUDES terbaru baru dijalankan sekitar 8 bulan, sehingga membutuhkan adaptasi dan penyesuaian dengan aplikasi baru yang dinilai lebih canggih namun dengan tingkat kerumitan yang meningkat.
“Penggunaan SISKEUDES untuk pengelolaan pemerintahan desa menjadi kewajiban, karena pemerintah pusat mewajibkan laporan keuangan tahunan per 31 Desember 2025 dihasilkan dari aplikasi tersebut. Sehingga pelatihan ini bermaksud menjembatani gap antara target dan kemampuan SDM dalam penggunaannya,” kata Adi Wicaksono, SE, MEI,

Adi Wicaksono juga menekankan kepada perangkat desa untuk berdaptasi dengan sistem yang baru, sehingga mampu memanfaatkan fitur-fitur tambahan yang tersedia secara optimal.

Peserta pelatihan juga mendapat bimbinan untuk memahami perbedaan antara aplikasi versi lama dan versi terbaru, serta diajarkan cara mengatasi berbagai kendala yang sering muncul dalam pembuatan laporan keuangan desa.

Menurut Adi Wicaksono, target kegiatan ini adalah melatih operator SISKEUDES agar dapat menghasilkan laporan yang akurat sesuai dengan standart akuntansi pemerintahan yang berlaku. Laporan keuangan desa akhir tahun 2025 diharapkan dapat disusun secara lebih baik dan akurat. Hal ini sebagai bentuk peningkatan kualitas pengelolaan keuangan desa yang transparan dan akuntabel di masa mendatang.be

Cultural Exchange Program FIAI UII – Duy Tan University, di Da Nang, Vietnam (foto: Rifqi/Maulida)

Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII)  berkolaborasi dengan Duy Tan University Vietnam (DTU) selenggarakan Cultural Exchange Program. Kerjasama kedua universitas dalam bentuk pertukaran budaya, berlangsung 6-9 Mei 2025 di Da Nang, Vietnam.  Delegeasi FIAI UII ke Vietnan, terdiri dari  8 mahasiswa didampingi 2 dosen FIAI yakni Dr. Maulidia Mulyani dan Rizqi Anfanni Fahmi, SEI., M.SI.

“Implementasi program pertukaran budaya ini menjadi wadah kolaborasi akademik dan pengenalan budaya antara Indonesia dan Vietnam. Selama kegiatan, para mahasiswa dibagi dalam empat kelompok diskusi dengan tema pariwisata, kuliner, seni, dan bahasa. Setiap kelompok melakukan diskusi mendalam dan mempresentasikan hasilnya di hadapan peserta lain, sehingga tercipta pertukaran ide dan pemahaman lintas budaya yang konstruktif,” kata Rizqi Anfanni Fahmi, SEI., M.SI, dosen Prodi Ekonomi Islam, FIAI UII.

Acara pembukaan ‘UII – DTU Cultural Exchange Program di Vietnam’ dibuka oleh Professor Lim Sang Taek selaku Vice Provost Duy Tan University, dilanjutkan dengan sambutan dari FIAI UII yang disampaikan oleh Dr. Maulidia Mulyani. Dalam sambutan kedua belah pihak, sepakat bahwa pentingnya kolaborasi internasional dalam pengembangan wawasan global bagi mahasiswa dan dosen untuk memajukan iklim akademik yang mengglobal.

Salah satu bentuk kerjasama UII dan DTU di Vietnam, dengan penyelenggaraan kuliah umum guest lecturer, dosen FIAI UII yakni Dr. Maulidia Mulyani dan Rizqi Anfanni Fahmi memberikan kuliah bagi  30 mahasiswa DTU Vietnam. Dalam kesempatan ini, kedua dosen FIAI UII menyampaikan materi Cultural Tourism.
“Alhamdulillah, materi ini mendapat antusias cukup tinggi  dari sivitas akademika DTU Vietnam,  dan sebagai bentuk upaya untuk memperkaya wacana tentang potensi pariwisata berbasis budaya di kedua negara antara Indonesia dan Vietnam,” kata Dr. Maulidia Mulyani.

Selama berlangsungnya program, mahasiswa FIAI UII membaur dan bekerjasama dalam berbagai aktivitas dengan mahasiswa dan dosen  DTU Vietnam. Dari FIAI UII maupun DTU Vietnam memperkenalkan masing-masing budaya, sekaligus keunikannya. FIAI UII memperkenalkan budaya Indonesia, dari DTU memperkenalkan budaya Vietnam.
“Interaksi yang terjalin tidak hanya mempererat hubungan antar mahasiswa, namun juga membuka wawasan baru tentang keunikan budaya masing-masing negara. Tim Duy Tan University juga menunjukkan sikap yang sangat ramah dan kooperatif, sehingga seluruh rangkaian acara berjalan lancar dan penuh keakraban,” kata Rizqi Anfanni Fahmi, SEI., M.SI kepada media FIAI UII.

Tambahnya, melalui program ini, ada harapan nantinya FIAI dapat terus mendorong mahasiswa dan dosen untuk aktif dalam kegiatan internasional, memperluas jejaring akademik, serta meningkatkan pemahaman lintas budaya sebagai bekal menghadapi tantangan global. (IPK)

Dua dari kanan: Prof Dr. Drs. Yusdani, M.Ag. Tengah: Dr. Syaifulloh Yusuf, S.Pd.I., M.Pd.I (foto: Wigih EKIS)

Dalam rangka hari jadi Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) yang ke-82, diselenggarakan Majelis Tasyakuran Milad dan Halalbihalal, Kamis (15/5/2025) di Gedung KHA Wahid Hasyim, Kampus Terpadu UII Jalan Kaliurang km 14,4, Sleman.
Tasyakuran diselenggarakan atas peningkatan hasil akreditasi untuk beberapa prodi, serta untuk prestasi sumber daya manusia, berkenaan peningkatan jenjang karir akademik dan jenjang studi.

“Tujuan pemberian penghargaan dan penyampaian bingkisan, untuk meningkatkan semangat kerja dan motivasi dosen dan tenaga kependidikan untuk terus meningkatkan kinerja dan kualitas layanan. Selain itu unuk mendorong peningkatan disiplin dan tanggung jawab dalam menjalankan tugas, sehingga dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan layanan di FIAI,” kata Dr. Nur Kholis, S.Ag., SEI., M.Sh.Ec. Wakil Dekan Bidang Sumber Daya FIAI UII disampaikan setelah acara.

Imbuhnya, dengan apresiasi positif diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan komitmen dosen dan tendik untuk mencapai standar kualitas yang tinggi juga memenuhi persyaratan akreditasi. Acara seremonial dengan menghadirkan seluruh sumber daya manusia FIAI UII, sebagai bentuk pengakuan dan wujud niat menghargai dedikasi dan komitmen dosen dan tenaga kependidikan (tendik) dalam mencapai akreditasi yang lebih baik dalam 1 tahun terakhir.

Predikat dosen terbaik diberikan kepada 3 dosen yang berprestasi secara akademis, serta untuk 3 tendik berdasar penilaian dan kedisiplinan.

Dekan FIAI UII, Dr. Drs. Asmuni. M.A dalam kesempatan ini juga menyampaikan apresiasi berupa bingkisan kepada 2 dosen atas prestasi peningkatan jabatan akademik profesor juga dosen yang berhasil menyelesaikan jenjang studi doktor.
“Dengan pemberian apresiasi ini agar dapat memotivasi, sekaligus memberikan dorongan kepada yang lain untuk serta meningkatkan jabatan akademik dan jenjang studinya. Diharapkan para penerima penghargaan dapat memberikan contoh sekaligus sharing untuk kemajuan karir dosen lainnya,” kata Asmuni, setelah memberikan apresiasi kepada Prof Dr. Drs. Yusdani, M.Ag yang berhasil meraih gelar profesor, serta kepada Dr. Syaifulloh Yusuf, S.Pd.I., M.Pd.I yang berhasil meraih gelar doktor setelah menyelesaikan studi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Dr. Drs. Asmuni. M.A juga menyampaikan apresiasi atas hasil akreditasi untuk 3 program sarjana yang meraih predikat unggul, yakni Prodi Ahwal Syakhshiyah, Prodi Ekonomi Islam dan Prodi Pendidikan Agama Islam. Sehingga dalam 1 tahun terakhir seluruh prodi program sarjana di FIAI UII berhasil meraih predikat akreditasi ‘Unggul’. Untuk program magister, Dr. Asmuni juga menyampaikan apresiasi, karena Magister Ilmu Agama Islam FIAI UII berhasil meraih predikat akreditasi ‘Unggul’.

Serangkaian apresiasi juga berupa penyerahan bingkisan kepada 1 dosen dan 1 tendik yang akan beribadah haji ke Tanah Suci Arab Saudi, pada bulan ini. Menurut Dr. Muhammad Roy Purwanto, S.Ag., Wakil Dekan Bidang Keagamaan, Kemahasiswaan dan Alumni FIAI UII, setelah menyampaikan bingkisan.
“Penyampaikan penghargaan berupa bingkisan kepada dosen dan tendik yang akan berangkat ibadah haji ke Tanah Suci, sebagai bentuk penyemangat sekaligus doa bersama di hadapan seluruh SDM di FIAI UII. Hal ini juga sebagai pendorong bagi SDM yang belum mendapat giliran ibadah haji ke Tanah Suci, agar bisa merencanakan dengan baik, termasuk menabung dan memberikan prioritas yang lebih untuk ibadah ini,” kata Dr. Muhammad Roy Purwanto. (IPK)

Idul Adha dan Semangat Qurban

Idul Adha adalah momentum penting dalam kalender umat Islam yang sarat dengan nilai-nilai tauhid, pengorbanan, dan keteladanan. Peristiwa Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s. menjadi inspirasi sepanjang zaman tentang kepatuhan total kepada Allah Swt. Dalam Al-Qur’an disebutkan:

“Maka ketika anak itu sampai pada (umur) sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab: ‘Wahai ayahku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’”
(QS. Ash-Shaffat: 102)

Ketaatan Nabi Ismail a.s. dan keikhlasan Nabi Ibrahim a.s. menjadi dasar spiritual ibadah qurban. Di balik ritual penyembelihan, terdapat pesan mendalam tentang keikhlasan, kesabaran, dan ujian iman. Maka dakwah tentang qurban seharusnya tidak hanya menjelaskan aspek hukum, tetapi juga menghidupkan nilai-nilai ruhaniah ini di tengah masyarakat.

Era Digital dan Perubahan Pola Dakwah

Dunia dakwah mengalami pergeseran besar di era digital. Penyampaian pesan Islam tidak lagi terbatas pada mimbar dan majelis taklim, tapi telah merambah ruang virtual seperti Instagram, TikTok, YouTube, hingga WhatsApp. Di platform inilah dai, lembaga zakat, dan komunitas Islam berperan penting dalam menyampaikan pesan Idul Adha secara menarik dan komunikatif.

Nabi Muhammad SAW mengajarkan bahwa dakwah harus disampaikan dengan cara yang bijak:

“Sampaikanlah dariku walau satu ayat.”
(HR. Bukhari)

Prinsip ini tetap relevan dalam konteks digital: menyampaikan kebaikan, sekecil apa pun, bisa memberi pengaruh luas jika dilakukan dengan niat dan strategi yang tepat. Dai digital tidak lagi hanya berperan sebagai penyampai ceramah, tapi juga sebagai kreator konten, manajer interaksi, hingga penjaga akhlak publik.

Konten Dakwah dan Edukasi Qurban di Media Sosial

Media sosial telah melahirkan beragam bentuk konten edukatif tentang Idul Adha. Misalnya:

  • Infografis tata cara menyembelih hewan qurban sesuai syariat.
  • Video singkat yang menceritakan sejarah qurban secara menarik dan visual.
  • Live streaming proses penyembelihan dari lembaga zakat.
  • Cerita inspiratif penerima manfaat di pelosok negeri.

Bahkan, kini lembaga-lembaga Islam memanfaatkan media sosial untuk mengumpulkan donasi qurban dengan sistem yang transparan dan interaktif. Penyumbang dapat melihat dokumentasi penyembelihan dan distribusi, serta mendapatkan laporan digital. Ini menunjukkan bahwa digitalisasi tidak mengurangi nilai ibadah, justru bisa memperkuat akuntabilitas dan kepercayaan publik.

Namun, dalam mengemas konten dakwah, penting untuk menjaga nilai adab dan sensitivitas publik. Menampilkan proses penyembelihan hewan, misalnya, harus dilakukan dengan cara yang mendidik dan tidak menimbulkan trauma visual. Etika digital menjadi bagian tak terpisahkan dari kesuksesan dakwah di media sosial.

Dampak dan Tantangan Dakwah Qurban Digital

Dakwah Idul Adha di media sosial memiliki dampak yang luas. Banyak masyarakat, terutama generasi muda, yang menjadi lebih sadar tentang pentingnya berqurban. Akses terhadap informasi keagamaan yang dulu sulit kini menjadi sangat mudah. Video satu menit bisa menjelaskan satu hadis. Infografis bisa merangkum satu bab fiqh.

Namun, transformasi ini juga menghadirkan tantangan serius:

  1. Komersialisasi ibadah– Qurban dikemas lebih sebagai ‘produk’ daripada ‘pengorbanan’. Kadang, lembaga-lembaga lebih menonjolkan brand daripada nilai ibadah itu sendiri.
  2. Krisis otoritas keilmuan– Siapa saja kini bisa berdakwah, termasuk yang belum memiliki kapasitas keilmuan syar’i. Ini dapat menimbulkan penyesatan atau kesalahpahaman hukum agama.
  3. Sikap instan dalam beragama– Informasi yang serba cepat bisa mendorong pemahaman yang dangkal jika tidak dibarengi pembelajaran mendalam.

Maka dari itu, dai dan konten kreator muslim perlu bersinergi: yang satu kuat di bidang ilmu, yang lain kuat di bidang media. Dakwah yang berdampak adalah dakwah yang menggabungkan substansi syariat, estetika digital, dan strategi komunikasi yang kontekstual.

Allah Swt berfirman:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang paling baik.”
(QS. An-Nahl: 125)

Dakwah Digital yang Humanis dan Menyentuh

Di balik teknologi, dakwah digital harus tetap menyentuh sisi insani. Konten qurban yang baik adalah yang membangkitkan empati: bagaimana daging qurban menjadi hadiah bagi keluarga dhuafa yang tak mampu membeli daging sepanjang tahun, atau bagaimana qurban menjadi ladang amal bagi peternak kecil yang diberdayakan.

Kisah-kisah ini menghidupkan makna qurban sebagai jembatan kemanusiaan, bukan sekadar ritual. Inilah bentuk dakwah bil hal, dakwah melalui aksi nyata dan teladan.

Penutup: Menguatkan Dakwah Qurban di Era Digital

Idul Adha di era digital adalah tantangan sekaligus peluang. Media sosial bisa menjadi sarana efektif untuk menguatkan dakwah dan edukasi qurban, asal dijalankan dengan hikmah dan tanggung jawab.

Dai dan pegiat dakwah hari ini dituntut bukan hanya memahami teks-teks agama, tapi juga konteks media, psikologi digital, dan etika publik. Tujuannya satu: agar pesan Idul Adha tidak sekadar viral, tapi juga membekas dalam hati dan mengubah perilaku umat menuju ketakwaan yang lebih mendalam.

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu…”
(QS. Al-Hajj: 37)

Maka, mari jadikan momentum Idul Adha sebagai ajang dakwah yang menyentuh jiwa, mempererat ukhuwah, dan membangun peradaban Islam yang rahmatan lil ‘alamin, bahkan dari balik layar gawai.

Penulis: Kusprayitna Widianta (Tendik FIAI)

Dalam berbagai kisah kaum muslim, ada yang cukup terkenal yaitu berkenaan Ali al-Muwaffaq, seorang tukang sol sepatu dari Damaskus yang meskipun tidak berangkat haji, tetapi mendapat ganjaran haji mabrur karena keikhlasannya menolong tetangganya yang kelaparan. Kisah ini banyak dinukil dalam literatur klasik Islam, seperti Siyar A‘lām an-Nubalā’ karya Adz-Dzahabi dan al-Bidāyah wa an-Nihāyah karya Ibnu Katsir. Melalui pendekatan dakwah ilmiah, artikel ini menelaah nilai keikhlasan, prioritas amal sosial, dan hubungan antara syariat serta hakikat ibadah. Hasil telaah menunjukkan bahwa meskipun kisah ini tidak bersandar pada hadis sahih, ia tetap relevan sebagai hikayat yang memberi motivasi moral dan spiritual. Kisah Ali al-Muwaffaq menegaskan bahwa kepedulian sosial merupakan bagian integral dari misi dakwah Islam.

Haji merupakan rukun Islam kelima yang diwajibkan bagi Muslim yang mampu secara fisik, finansial, dan keamanan perjalanan. Al-Qur’an menegaskan:
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali Imran [3]: 97).
Namun, di tengah kewajiban ini, terdapat kisah menarik dari sejarah Islam yang memperlihatkan bahwa nilai haji mabrur tidak semata-mata ditentukan oleh perjalanan fisik menuju tanah suci, melainkan juga oleh keikhlasan amal. Kisah itu adalah kisah Ali al-Muwaffaq, seorang tukang sol sepatu Damaskus, yang riwayatnya tersebar melalui hikayat para ulama.
Dari perspektif dakwah, dengan menyoroti nilai-nilai keikhlasan, amal sosial, dan hakikat ibadah, kisah Ali al-Muwaffaq dinukil oleh beberapa ulama klasik, di antaranya:
– Adz-Dzahabi dalam Siyar A‘lām an-Nubalā’ (jilid 8, hlm. 418).
– Ibnu Katsir dalam al-Bidāyah wa an-Nihāyah (jilid 10, hlm. 251).
– Abu Nu‘aim al-Ashbahani dalam Hilyatul Auliya’ (jilid 8, hlm. 167).
Riwayat tersebut tidak berstatus hadis, melainkan hikayat yang datang melalui mimpi Abdullah bin al-Mubarak. Para ulama seperti Ibnu Hajar al-‘Asqalani menegaskan bahwa kisah berbasis mimpi tidak dapat dijadikan dalil syar‘i, namun dapat diambil sebagai ibrah (pelajaran moral).

Sehingga dapat kita pelajari bersama bahwa:
1. Keikhlasan sebagai Hakikat Ibadah
Keputusan Ali al-Muwaffaq untuk membatalkan hajinya demi menolong tetangga menunjukkan keikhlasan yang tinggi. Ia lebih mengutamakan kebutuhan mendesak orang lain dibanding ibadah personal. Hal ini selaras dengan prinsip ikhlas lillāh yang menjadi syarat diterimanya amal.
2. Amal Sosial sebagai Prioritas Dakwah
Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad, no. 23408). Memberi makan orang lapar, menolong fakir miskin, dan peduli terhadap tetangga merupakan bagian dari maqāṣid al-syarī‘ah dalam menjaga jiwa (ḥifẓ an-nafs). Dari perspektif dakwah, amal sosial adalah bentuk nyata keberislaman yang memudahkan penyebaran nilai Islam.
3. Syariat dan Hakikat dalam Ibadah
Kisah ini tidak membatalkan kewajiban haji bagi yang mampu, tetapi menunjukkan bahwa hakikat haji mabrur adalah transformasi diri menuju kepedulian sosial. Dengan kata lain, syariat (haji secara fisik) harus berbuah pada hakikat (perubahan moral dan kepedulian sosial).
4. Relevansi untuk Dakwah Kontemporer
Dalam konteks dakwah modern, kisah ini relevan sebagai narasi yang mengajarkan bahwa Islam bukan hanya ritual, melainkan juga etika sosial. Di tengah fenomena meningkatnya ibadah ritual tetapi melemahnya solidaritas sosial, kisah Ali al-Muwaffaq dapat menjadi strategi dakwah berbasis uswah (keteladanan).
Kesimpulan

Kisah Ali al-Muwaffaq meskipun tidak bersumber dari hadis sahih, tetap memiliki nilai moral yang tinggi. Ia menegaskan bahwa keikhlasan dan amal sosial dapat bernilai setara dengan ibadah besar. Dari perspektif dakwah, kisah ini mengajarkan:
1. Keikhlasan adalah inti dari setiap ibadah.
2. Amal sosial dapat menguatkan dimensi kemanusiaan Islam.
3. Syariat dan hakikat harus saling melengkapi dalam praktik beragama.
4. Dakwah kontemporer dapat memanfaatkan kisah ini untuk menumbuhkan kepedulian sosial.
Dengan demikian, kisah Ali al-Muwaffaq menjadi inspirasi bagi dakwah Islam untuk selalu menekankan keseimbangan antara ibadah ritual dan ibadah sosial

Penulis: Mabdaul Basar (Tendik FIAI UII)

 

Daftar Pustaka

  • Ahmad bin Hanbal. al-Musnad. Mu’assasah ar-Risalah, 2001.
  • Adz-Dzahabi, Syamsuddin. Siyar A‘lām an-Nubalā’. Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1985.
  • Ibnu Katsir, Ismail bin Umar. al-Bidāyah wa an-Nihāyah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997.
  • Abu Nu‘aim al-Ashbahani. Hilyatul Auliya’ wa Thabaqat al-Asfiya’. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988.
  • Ibnu Hajar al-‘Asqalani. al-Ishabah fi Tamyiz al-Sahabah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995.
FIAI UII

Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia UII) menyelenggarakan Pelatihan Dakwah Bil Lisan dan Motivasi Berbicara dalam Forum bagi tenaga kependidikan di tingkat fakultas, Selasa (29/4/2025) di Gedung KHA Wahid Hasyim FIAI UII lantai 3, Kampus Terpadu UII, Jalan Kaliurang km 14.4 Sleman. Sebagai narasumber yaitu Dr. Nur Kholis, S.Ag., SEI., M.Sh.Ec.

”Salah satu keberuntungan menjadi pembicara dan pendakwah adalah bisa sekaligus belajar, karena sebelum tampil bicara akan berusaha mempersiapkan diri, termasuk belajar kembali untuk pengayaan materi. Artinya semakin banyak menyampaikan ilmu artinya semakin menguasai ilmu,” kata Nur Kholis mengawali paparannya.

Imbuhnya, dengan menjadi pembicara dan pendakwah maka akan dipaksa kondisi untuk terus belajar, sampai menjadikan belajar sebagai kebutuhan yang sangat nikmat. Selain itu menjadi pendakwah selain meningkatkan semangat belajar juga memotivasi untuk mengamalkan dan menjaga diri agar walk the talk. Selain itu, menyebarkan ilmu sebagai pembicara dan pendakwah berpeluang meraih pahala yang tidak terputus oleh kematian.

“Ketika menjadi pembicara kita harus mengenali audiensnya, tapi tidak perlu risau terhadap kondisi audiensnya. Misal ada peserta yang lebih senior, atau gelar akademik lebih tinggi. Tidak usah gugup, tekankan pada diri sendiri bahwa kita lebih banyak menguasai materi, karena sudah belajar juga sebelumnya,” kata Dr. Nur Kholis.

Dr. Nus Kholis tambahkan ketika menjadi pembicara jadilah versi yang terbaik, mengerti dengan siapa berbicara, mengetahui apa yang mereka inginkan, mengetahui bagaimana memuaskan mereka dengan ide-ide kreatif dan solusi efektif dan mengetahui metode penyampaian yang audies sukai.

“Ada pengalaman ketika diminta menjadi pemateri dakwah kemudian malam sebelumnya saya siapkan kisi-kisi materi dengan tulis tangan di selembar kertas. Paginya saya bersiap berangkat menuju lokasi, dan mengambil kertas tulis tangan. Sampai lokasi saya tidak mengecek materi kertas, saat naik ke mimbar, saya mengambil kertas tulis tangan. Beta kagetnya, ternyata salah ambil kertas, yang terbawa bukan kisi-kisi materi yang sebelumnya saya tulis. Tapi karena saat menulis tangan saya berusaha menyimpan dalam ingatan, ternyata tanpa kisi materi pun bisa lancar saat berikan materi dakwah, “ kata Nur Kholis.

Pesannya, budaya menulis tangan beda dengan mengetik menggunakan komputer. Dengan upaya tulis tangan akan otomatis memaksa memori ingatan untuk merekam. Menulis tangan memaksa ingatan karena melibatkan proses kognitif yang lebih mendalam dibandingkan dengan mengetik. Gerakan menulis mendorong otak untuk memproses informasi, mengulanginya, dan membentuk koneksi yang lebih kuat dalam memori.

”Terbukti menulis tangan untuk materi sebelum menjadi pembicara, menjadikan memori ingatan jadi lebih tajam dan runtut ketika menyampaikan materi di depan publik,” kata Nur Kholis. (IPK)

Saat ini kita hidup di era digital, dimana segala hal yang awalnya manual menjadi praktis dan modern. Dari sisi teknologi informasi dengan cepat kita bisa melihat dan mendengar berbagai informasi yang tersaji di media yang datang dari berbagai daerah, bahkan dari luar negeri. Tidak jarang berita yang tersaji terkait kehidupan seseorang terutama tentang kekayaan, kesuksesan yang didapat dengan mudah tanpa hambatan, seolah-olah hidupnya berjalan sangat mulus dan tidak ada halangan. Sedangkan orang tersebut tidak pernah beribadah, penuh maksiat bahkan ada yang tidak mempercayai adanya tuhan. Apakah ini yang dinamakan ujian dari Allah Swt.?

Secara bahasa, istidraj berasal dari kata daraja, yang berarti ‘bertahap’ atau ‘berangsur-angsur’. Adapun istidraj juga dapat bermakna sebagai sebuah ‘ujian’ yang diberikan Allah Swt. secara berangsur-angsur kepada hamba-Nya. Ujian itu bisa berupa jabatan atau harta yang melimpah yang diberikan Allah terus-menerus meskipun seseorang itu jauh dari jalan kebenaran dan akhirnya akan mengantarkannya pada malapetaka yang lebih besar. Hal itu disebutkan dalam hadis berikut: “Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” (HR. Ahmad).

Kondisi istidraj ini juga telah dijelaskan dalam Al Qur’an “Maka serahkanlah kepada-Ku (urusannya) dan orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al Qur’an). Kelak akan Kami hukum mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui” (Qs Al-Qalam:44). Seseorang yang mengalami istidraj tidak akan menyadari jika perbuatannya telah membuat Allah murka, sebaliknya mereka menganggap kenikmatan yang diperoleh merupakan anugerah dari Allah.

Salah satu tanda istidraj pada diri seseorang yang mencolok yaitu selalu mendapatkan kenikmatan yang berlimpah padahal jarang melakukan ibadah, selalu melakukan kemaksiatan namun hidupnya selalu sukses, saat melakukan kesalahan tidak merasa berdosa, serta dalam hidupnya hampir tidak pernah diberikan cobaan. Ketika seseorang merasa kualitas ibadahnya turun namun kenikmatannya terus meningkat, hal itu jelas merupakan ciri-ciri sebuah Istidraj. Allah membiarkan orang-orang yang lalai dan bermaksiat itu semakin tersesat dan semakin dimanjakan dengan berbagai kenikmatan duniawi. Kenikmatan yang diberikan oleh Allah Swt. tersebut sebenarnya bukan bentuk kasih sayang terhadap hamba-Nya, melainkan murka-Nya.

Istidraj ini dapat dengan mudah kita temui di lingkungan masyarakat, bahkan banyak contohnya yang terpampang jelas. Seperti pejabat-pejabat negara yang diberikan amanah mendapatkan jabatan atau pangkat tinggi namun tidak menggunakan tugas dan wewenangnya dengan baik. Bahkan menyalahgunakan jabatan atau pangkatnya untuk memperkaya diri sendiri dengan melakukan kebijakan yang sangat merugikan rakyat. Mereka sebagian besar hidupnya mewah, bergelimang harta dan diberikan kenikmatan berkuasa dalam waktu yang lama.

Istidraj merupakan ujian yang sangat berbahaya bagi umat manusia. Pasalnya, istidraj adalah tipu daya yang Allah berikan kepada hamba-Nya yang telah lalai dan tersesat dari jalan yang benar. Semakin seseorang itu jauh dari Allah dan terlena dengan berbagai kenikmatan yang Allah berikan semakin bertambah pula kesenangan yang didapat oleh orang tersebut. Mereka mengira bahwa mereka mendapatkan nikmat karena keberhasilan atau usaha mereka sendiri. Mereka tidak bersyukur kepada Allah Swt. atas segala karunia-Nya. Hal ini dapat mendatangkan azab yang lebih berat.

Sebagai seorang muslim, kita diminta selalu waspada dan berhati-hati dalam menjalani hidup di dunia. Kenikmatan yang Allah berikan kepada hamba-Nya harus didasari dengan keimanan yang kuat. Selalu bersyukur kepada Allah atas segala karunia yang diberikan dan menjauhi semua hal yang mengandung maksiat. Selain itu, juga meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah antara lain melaksanakan shalat lima waktu tepat waktu, membaca Al-Qur’an, menghafal dan mengamalkannya, serta selalu berdoa dan memohon perlindungan Allah dari segala godaan dan fitnah dunia.

Penulis: Arum Huda Nurjanatun, S.IP (Tendik FIAI UII)

Pendahuluan
Kementerian Agama Republik Indonesia menggagas penerapan kurikulum cinta sebagai bentuk penanaman nilai-nilai cinta kepada Tuhan, sesama manusia, lingkungan, dan bangsa sejak usia dini. Inisiatif ini disebut sebagai respons terhadap meningkatnya intoleransi dan konflik sosial berbasis agama di Indonesia. Di saat yang sama, Buku Teks Utama (BTU) Pendidikan Pancasila, hasil kolaborasi Kemendikbudristek dan BPIP, diperkenalkan sebagai upaya membentuk Pelajar Pancasila, dengan mengaruskan program moderasi beragama sebagai inti dari Kurikulum Merdeka.
Namun, baik kurikulum cinta maupun moderasi beragama menuai kritik karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Islam secara kaffah. Keduanya dicurigai sebagai bentuk rekayasa ideologis yang menyusupkan nilai-nilai liberalisme, pluralisme, dan sekularisme ke dalam tubuh pendidikan Islam di Indonesia.
Konsep dan Latar Belakang
Kurikulum cinta diperkenalkan sebagai elemen tambahan dalam sistem pendidikan madrasah dan nasional, bukan untuk menggantikan pelajaran yang ada, tetapi untuk mengintegrasikan nilai-nilai kemanusiaan serta toleransi. Lima nilai utama yang dikembangkan meliputi: kasih kepada Allah, kasih kepada Rasul, kasih antar sesama manusia, kasih terhadap lingkungan, dan kasih terhadap tanah air.
Sementara itu, moderasi beragama telah menjadi program prioritas sejak 2019 dan kini diimplementasikan dalam kurikulum formal. Dinyatakan sebagai cara untuk menangkal radikalisme dan intoleransi, program ini diujicobakan di ribuan sekolah penggerak dan menjadi materi wajib dalam Program Guru Penggerak.
Namun, kritik utama datang dari pemahaman bahwa istilah “moderat” dan “radikal” adalah konstruksi asing yang menyesatkan. Strategi global ini dipandang sebagai upaya untuk menyesuaikan ajaran Islam dengan nilai-nilai demokrasi, HAM, dan pluralisme yang tidak bersumber dari wahyu. Klasifikasi Islam ke dalam kelompok radikal, moderat, tradisional, dan liberal merupakan rekayasa yang bertujuan melemahkan keteguhan umat terhadap penerapan Islam secara kaffah.

Kritik Teologis dan Konseptual
Secara teologis, baik kurikulum cinta maupun moderasi beragama dianggap menciptakan ambiguitas terhadap ajaran Islam. Penghapusan atau reinterpretasi terhadap konsep-konsep seperti jihad, hudud, qishash, dan hukum murtad dipandang sebagai bentuk pelunturan akidah. Ada kekhawatiran bahwa pendekatan reflective learning dan multikulturalisme dalam kurikulum cinta akan membentuk keraguan terhadap syariat Islam.
Penerapan nilai-nilai universal seperti kesetaraan agama dan toleransi kebablasan diyakini dapat menciptakan generasi Muslim yang ragu terhadap kebenaran tunggal Islam. Konsep pluralisme yang menganggap semua agama sama benar bertentangan dengan ajaran Islam yang memerintahkan umat untuk berpegang teguh pada satu kebenaran.
Kritik ini juga menyasar akar ideologis kurikulum cinta yang diyakini berasal dari proyek ideologis global untuk merombak cara berpikir umat Islam. Narasi cinta, humanisme, dan nasionalisme sekuler secara halus menggantikan nilai-nilai transendental yang bersumber dari wahyu.
Konsekuensi Sosiologis dan Pendidikan
Kedua kebijakan ini berdampak secara sosiologis dan historis:
– Teologis: Konsep cinta dan toleransi disinyalir menjauhkan siswa dari pemahaman kaffah tentang syariat.
– Normatif: Pelajaran-pelajaran penting dalam Islam dikaburkan atau dihapus dengan alasan moderasi.
– Sosiologis: Terjadi pergeseran nilai dalam praktik ibadah dan identitas keislaman; seperti keterlibatan Muslim dalam perayaan keagamaan non-Muslim.
– Historis: Syariat dan daulah hanya diposisikan sebagai fenomena sejarah, bukan sistem yang hidup dan relevan.
Lebih dari itu, pendekatan moderasi mengaburkan batas antara kebenaran dan kebatilan. Hal ini menyebabkan generasi muda kehilangan jati diri sebagai Muslim. Padahal Islam menuntut penerapan syariat secara menyeluruh sebagai solusi tunggal atas seluruh problem kehidupan, termasuk pendidikan. Sistem pendidikan yang benar menurut Islam harus bertujuan membentuk kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah), yaitu pola pikir dan pola sikap yang bersumber dari akidah Islam

Islam dan Toleransi: Sudut Pandang Asli

Islam sejak awal adalah agama yang menjunjung tinggi perbedaan. QS Al-Baqarah:256 dan QS Al-An’am:108 menunjukkan bahwa Islam melarang pemaksaan dalam agama dan menjunjung tinggi kebebasan berkeyakinan. Dalam sejarahnya, umat Islam hidup berdampingan dengan non-Muslim dengan prinsip keadilan dan kedamaian.
Toleransi dalam Islam bukan hasil benturan sejarah, seperti halnya di Eropa, melainkan bersumber dari wahyu. Maka, toleransi Islam tidak memerlukan reinterpretasi atau penyusupan nilai-nilai asing. Islam telah mengatur interaksi antarumat beragama dengan prinsip yang jelas dan adil. Pengaburan makna toleransi ini hanya akan membuka pintu kompromi terhadap syariat dan menggiring umat untuk menerima sistem nilai non-Islami.
Penutup
Baik kurikulum cinta maupun program moderasi beragama perlu dikaji ulang secara mendalam. Keduanya terindikasi sebagai strategi halus untuk menjauhkan umat Islam dari penerapan Islam secara total. Penyusupan nilai-nilai sekuler, pluralis, dan humanis ke dalam pendidikan Islam adalah upaya sistemik yang membahayakan generasi masa depan.
Sebagai alternatif, pendidikan harus dikembalikan kepada dasar Islam secara menyeluruh—bukan hanya sebagai pelengkap, tetapi sebagai fondasi utama. Pendidikan berbasis syariat harus dikembangkan untuk membentuk generasi yang memiliki pemahaman yang sahih, akidah yang kuat, serta kesiapan untuk menerapkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan.
Wallahu a’lam.

Penulis: M. Darzan Hanan M. (Tendik FIAI UII)