Pegangan Menghadapi Pertanyaan Kritis Anak

Oleh: M. Husnaini – Dosen FIAI UII

Ramadan momen bagus untuk membaca. Saya kembali mendaras buku “M Quraish Shihab Menjawab Pertanyaan Anak tentang Islam”. Pakar tafsir satu ini adalah di antara rujukan saya. Sering, karya-karyanya belum kelar saya baca, sudah memunculkan ide-ide baru di kepala. Sebagian besar buku cendekiawan Muslim kebanggaan Indonesia ini sudah saya miliki dan baca.

Buku di tangan saya ini juga menarik. Berisi jawaban penulis “Tafsir Al-Mishbah” tersebut atas berbagai pertanyaan murid-murid di Sekolah CIKAL Jakarta. Namanya anak-anak, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tampak unik dan lucu. Bahkan, tidak terduga oleh kita. Sebagai orangtua, dan juga guru, bukankah kita, tidak jarang, dibuat bingung dan kesulitan menjawab pertanyaan polos anak-anak kita?

Di buku ini, misalnya, ada anak yang bertanya, “Apakah Allah itu lelaki atau perempuan, terus malaikat itu siapanya Allah?” Anak lain juga menanyakan, “Allah itu umur berapa sih, dan lahirnya di mana?” Ada juga yang penasaran, “Sebenarnya kiamat itu kapan datangnya: hari apa dan jam berapa, lalu gimana cara manusia menyelamatkan diri?”

Apa boleh buat, kekritisan anak, tidak bisa lain, adalah cermin kecerdasannya. Calon pribadi hebat, terlihat dari rasa penasarannya terhadap pengetahuan-pengetahuan baru sejak dia masih kecil. Maka, kendati urusan sepele, seorang anak ingin tahu, “Apakah boleh memberi contekan pada teman, soalnya kalau aku nggak kasih, aku dimusuhin?” Yang satunya bilang, “Binatang yang menggigit orang, apakah juga berdosa, Pak?”

Buku ini, dengan demikian, patut dibaca orangtua dan guru yang saban hari berhadapan dengan anak-anak. Segala yang ditanyakan anak-anak tentang Islam, betapa pun lugu dan aneh, setidaknya, menunjukkan gairah mereka terhadap agama ini. Karena itu, perlu jawaban yang terang dan jelas. Apalagi, dalam pengantar buku ini juga dijabarkan pedoman penting terkait bagaimana cara menjawab pertanyaan-pertanyaan dari anak kecil.

Selamat berburu buku ini dan membacanya. Saya sendiri sudah pernah mengkhatamkan buku keren ini beberapa tahun lalu, dan rasanya masih asyik menikmatinya.

 

Penerimaan Mahasiswa Baru FIAI UII

Husnaini. dosen FIAI dan Ramadan dan Motivasi Menulis

Ramadan dan Motivasi Menulis

Oleh: M. Husnaini

Saban Ramadan, sembari menjalankan puasa dan memenuhi undangan ceramah di beberapa tempat, saya membiasakan menulis saban hari. Tidak mudah, memang, mencari waktu senggang untuk membaca dan menulis. Tetapi, mohon doa dari semua, semoga diberikan kemudahan dan istikamah.

Menulis adalah lahan amal, jalan jihad. Tidak perlu ambil pusing dengan honor. Honor penting, tetapi bukan itu motivasi utama kita menulis. Kita sudah memiliki, katakanlah, ladang rezeki. Menulis, dengan begitu, adalah sarana sharing manfaat dan kebaikan. Kalau kemudian mendatangkan materi, syukur deh. Tetapi, sekali lagi, bukan itu tujuan kita.

Pemahaman semacam itulah yang saya pegang, dan saya tularkan ke grup-grup WhatsApp menulis saya. Hidup jelas bukan melulu urusan materi. Percayalah, kebahagiaan hakiki bukan di situ. Tidak perlu berdebat soal ini. Buktikanlah saja. Karena itu, saya ogah memotivasi orang lain untuk menulis, apalagi kalau tujuannya hanya semata ingin mencari uang.

Yang saya lakukan selama ini hanya menunjukkan cara praktis menulis, bagi siapa saja yang benar-benar ingin berkarya tulis. Kalau Anda ingin kaya, jangan belajar menulis. Lebih baik Anda berdagang atau lainnya. Menulis jelas bukan jalan pintas mencari uang, kendati banyak pula penulis yang menjadi kaya. Saya, yang setiap hari menulis, juga tidak kaya.

Jadi, sudahlah, jangan bicara soal honor, soal kaya. Kita berbagi saja. Sebanyak dan seikhlas mungkin. Selama kita terus mau “menggerakkan badan”, Insya Allah kita tetap “bisa makan”, meskipun bukan dari menulis. Tetapi, dan ini penting, kalau ada penulis yang sudah bicara tentang honor, monggo. Semoga jalan usaha kita semua diridai Allah.

Membaca, berpikir, menulis, dan menyusun kata adalah cara ampuh untuk menjaga agar pikiran ini tetap hidup. M Quraish Shihab dalam “Kumpulan 101 Kultum tentang Islam” menyatakan bahwa menulis dan tulisan dapat memberi manfaat yang sangat besar bagi umat manusia. Lebih-lebih jika penulis dan tulisannya baik dan pembacanya pandai menyimak dan mau berinteraksi positif.

“Untuk bisa menulis, terutama untuk menghasilkan tulisan bagus,” kata AS Laksana, “kita harus belajar.” Kita bisa belajar sendiri atau belajar pada orang lain. Namun, masih kata AS Laksana, kita tidak mungkin belajar tanpa membaca. Manusia menularkan pengetahuan dari satu kepala ke kepala lain melalui tulisan. Karena itulah membaca dan menulis ibarat dua koin mata uang yang tidak dapat dipisahkan.

 

Penerimaan Mahasiswa Baru FIAI UII

Puasa dan Korupsi

Oleh: M. Husnaini

Monyet berebut makanan hanya ketika merasa lapar. Tetapi manusia tega merampas hak-hak sesama meskipun dalam kondisi sangat kaya dan jaya. Fenomena ini menunjukkan bahwa kerakusan bukan sekadar dorongan biologis, melainkan sifat mental yang tidak mengenal batas.

Puasa mengajarkan kita untuk mencukupkan diri sesuai kebutuhan. Ketika berpuasa, kita menahan diri dari makan dan minum, bukan karena tidak mampu, tetapi karena ingin melatih kesadaran akan kecukupan. Puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, melainkan juga mengendalikan hawa nafsu, termasuk sifat rakus dan tamak.

Sayangnya, dalam realitas sosial, kita sering menjumpai orang-orang yang tidak pernah merasa cukup. Kasus korupsi yang terus terungkap belakangan ini menjadi bukti nyata. Banyak pejabat dan pengusaha yang sudah kaya raya, tetapi tetap tergoda untuk menyelewengkan uang rakyat. Mereka lebih memilih mengejar sesuatu yang belum dimiliki daripada mensyukuri dan menikmati apa yang telah ada.

Sifat tamak ini menciptakan ketidakadilan. Harta yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan bersama justru dikuasai oleh segelintir orang. Akibat perilaku koruptif, kesenjangan sosial semakin lebar, dan rakyat kecil semakin sulit memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Puasa menawarkan solusi moral atas masalah korupsi. Dengan berlatih menahan diri, kita diajarkan untuk lebih peka terhadap penderitaan orang lain dan lebih bersyukur atas nikmat yang sudah diberikan. Jika semangat puasa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, kita akan lebih mudah merasa cukup dan terhindar dari sikap rakus yang merugikan banyak orang.

Selain itu, puasa juga menanamkan nilai-nilai empati dan solidaritas. Saat merasakan lapar dan haus, kita dapat memahami bagaimana perjuangan orang-orang yang kurang beruntung dalam kehidupan sehari-hari. Ini seharusnya menumbuhkan kesadaran untuk lebih peduli dan berbagi dengan sesama. Dalam Islam, berbagi dengan yang membutuhkan, seperti melalui zakat dan sedekah, menjadi salah satu cara untuk menyeimbangkan ketimpangan sosial.

Jika nilai-nilai yang diajarkan dalam puasa benar-benar diterapkan, maka kita akan memiliki masyarakat yang lebih adil dan sejahtera. Orang-orang tidak akan lagi berlomba-lomba menumpuk kekayaan dengan cara korupsi, tetapi justru mencari keberkahan dalam berbagi dan membantu sesama. Dengan begitu, puasa bukan hanya menjadi ibadah pribadi, tetapi juga menjadi solusi sosial yang nyata.

Akhirnya, kepuasan sejati bukanlah pada seberapa banyak yang kita miliki, tetapi pada seberapa besar kita bisa bersyukur dan berbagi. Puasa mengajarkan kita bahwa hidup bukan soal mengumpulkan harta, tetapi tentang bagaimana kita menggunakan harta untuk kebaikan bersama. Jika kita berhasil menerapkan esensi puasa dalam kehidupan, maka kita tidak hanya menjadi pribadi yang lebih baik, tetapi juga berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil dan harmonis.

Penerimaan Mahasiswa Baru FIAI UII Yogyakarta

Mengendalikan Yes, Melampiaskan No

Oleh: M. Husnaini

Inti dari puasa adalah mengendalikan. Tidak main-main, ini diperlukan latihan yang luar biasa. Sebab, mengendalikan jelas lebih susah ketimbang melampiaskan.

Jika dikasih uang sejuta, kemudian disuruh menghabiskan sehari, siapa yang tidak bisa? Namun, jika diminta untuk merasa cukup kebutuhan hanya dengan belanja seratus ribu di sebuah supermarket, tentu butuh pengendalian ekstra. Silakan buktikan sendiri, jika tidak yakin.

Karena itu, kegagalan dalam hidup ini sering disebabkan karena manusia gagal mengendalikan. Bukan hanya kita. Para manusia mulia pun setali tiga uang.

Nabi Adam, misalnya, diturunkan dari surga karena tidak mampu mengendalikan nafsu untuk memakan buah larangan. Nabi Musa tidak lulus belajar kepada Nabi Khidir karena tidak tahan mengendalikan protes dan selalu gagal paham atas setiap sikap sang guru misterius itu. Nabi Yunus dihukum di perut ikan nun karena tidak kuat mengendalikan rasa ngambek atas kedurhakaan kaumnya.

Contoh-contoh lain bisa ditambahkan. Atau barangkali justru dari pengalaman kita sendiri.

Yang jelas, kemampuan untuk mengendalikan ini luar biasa penting. Dan, sekali lagi, perlu latihan sekaligus pembiasaan. Lain dengan perilaku melampiaskan, yang anak kecil atau, bahkan, orang tidak waras pun mampu melakukan.

Benarlah kalimat menarik dari Emha Ainun Nadjib dalam buku Hidup Itu Harus Pintar Ngegas & Ngerem: Nasihat-Nasihat Kearifan. Kata budayawan kondang itu, “Jangan memasuki suatu sistem yang membuat Anda melampiaskan diri. Tapi dekat-dekatlah dengan sahabat yang membuat Anda mengendalikan diri. Karena Islam itu mengendalikan, bukan melampiaskan. Hidup itu harus bisa ngegas dan ngerem.”

Karena itu, Ramadan harus menjadi bulan penuh kesederhanaan, bukan momen pelampiasan dengan berbelanja aneka makanan dan pakaian demi kepuasan.

Sebaliknya, Ramadan harus menjadi madrasah ruhaniah bagi kita untuk berlatih memperbanyak ibadah dan amal utama. Jika Ramadan tidak juga membuat kita rajin beribadah dan beramal mulia, lantas momen apa yang mampu mendorong kita mau mendekat kepada Sang Pencipta?

Penerimaan Mahasiswa Baru FIAI UII

Memaknai Hujan Kajian FIAI UII

Memaknai Hujan

Oleh: M. Husnaini

Sudah beberapa bulan terakhir Yogyakarta kerap diguyur hujan cukup lebat. Hujan deras yang mengguyur wilayah Sleman dari siang hingga sore hari awal Januari lalu bahkan sempat menyebabkan jembatan bulevar di kampus Universitas Islam Indonesia Pusat ambles. Sebagian wilayah di Indonesia juga sampai dilanda banjir bandang.

Hujan merupakan fenomena alam sehari-hari. Zaman masih kecil dulu, hati saya girang kala melihat hujan. Sambil berlari keluar rumah, mata saya berusaha memandang ke langit. Dalam pikiran awam waktu itu, langit akan terbuka ketika hujan turun dan segera tertutup kembali manakala hujan reda.

Saintis dan ilmuwan juga mengkaji hujan. Setelah radar cuaca atau weather surveillance radar (WSR) ditemukan, manusia jadi tahu bahwa proses terjadinya hujan dimulai dari awan. Awan cumulonimbus terbentuk ketika angin mendorong sejumlah awan kecil menjadi gumpalan awan, dan terjadilah hujan.

Namun, jauh sebelum itu, Al-Qur’an telah menjelaskan proses hujan turun. Dalam surah Ar-Rum ayat 48, Allah berfirman, “Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal, lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya. Maka, apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya tiba-tiba mereka menjadi gembira.”

Penjelasan Al-Qur’an tersebut persis sesuai dengan pemantauan radar cuaca. Jadi, hujan terjadi melalui tiga tahap. Pertama, pembentukan hujan dijelaskan lewat “Allah, Dialah yang mengimkan angin…” Tahap kedua dijelaskan dalam “…lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal…” Tahap ketiga, “… lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya.”

Sungguh Allah SWT Mahakuasa atas segala sesuatu.

Dalam bahasa Arab, kata hujan mempunyai dua redaksi utama, yaitu “al-mathar” dan “al-ghaits”. Dua istilah itu berbeda namun bermakna sama, yaitu hujan atau air hujan. Perbedaan di antara keduanya ialah bahwa al-mathar itu bentuk tunggal, namun berkonotasi pada hal-hal yang negatif, yakni hujan yang berdampak mendatangkan kerusakan seperti banjir, longsor, dan sejenisnya.

Bahkan, pada beberapa ayat dalam Al-Qur’an, al-mathar dimaknai sebagai azab, yakni berupa hujan batu yang ditimpakan kepada umat yang berbuat zalim (dosa).

“Wa amtharna ‘alaihim matharan (dan Kami hujani mereka dengan hujan batu). Maka, perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang berbuat dosa itu.” (QS Al-A’raf [7]: 84).

Simak pula terjemahan ayat senada berikut: “Maka, ketika mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, mereka berkata: Inilah awan mumthiruna (yang akan menurunkan hujan kepada kita). (Bukan) Tetapi itulah azab yang kamu minta disegerakan datangnya.” (QS Al-Ahqaf [46]: 24).

Berbeda dengan itu, al-ghaits dimaknai sebagai bentuk jamak dari al-mathar, namun al-ghaits dikategorikan sebagai hujan yang membawa berkah, misalnya kesuburan tanaman atau disebut pula dengan hujan rahmat.

Perhatikan terjemahan firman Allah di bawah ini: “Dan Dia-lah yang menurunkan ghaits (hujan) setelah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dia-lah yang Maha Pelindung, Maha Terpuji.” (QS Asy-Syura [42]: 28).

Firman Allah yang lain: “Setelah itu akan datang tahun, di mana manusia diberi ghaits (hujan) (dengan cukup) dan pada masa itu mereka memeras (anggur).” (QS Yusuf [12]: 49).

Demikian pemaparan singkat tentang hujan. Semoga bermanfaat. Mudah-mudahan pula setiap hujan yang turun kepada kita adalah hujan yang senantiasa membawa berkah dan rahmat.

 

Penerimaan Mahasiswa Baru FIAI UII

Ramadhan Puasa dan Haus FIAI UII

Kenapa Harus dengan Lapar dan Haus?

Oleh: M. Husnaini

Kita sudah memasuki puasa hari ke-6 di bulan Ramadan tahun ini. Puasa, menurut Emha Ainun Nadjib, adalah pilihan untuk “tidak” atas sesuatu yang sewajarnya “ya”, atau keputusan untuk “ya” terhadap sesuatu yang halal untuk “tidak”. Pahala besar dijanjikan untuk yang berpuasa.

Namun, tidak mudah mengaplikasikan nilai puasa. Sekadar menahan diri dari makan, minum, dan seks sepanjang siang, banyak orang mampu. Bagaimana dengan mengendalikan diri untuk tidak marah, tidak galau, tidak jorok, dan tidak berbuat jahat sejak terbit fajar hingga petang hari.

“Betapa banyak orang berpuasa, namun tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga,” kata Nabi. Mengacu pada hadis itu, hampir pesimis bahwa puasa kita benar-benar berbuah pahala. Puasa perut mungkin berhasil, tetapi belum tentu puasa badan, puasa pikiran, apalagi puasa hati.

Sepanjang umur, kita harus berjuang untuk mencapai hakikat puasa, yaitu pengendalian. Jangan memasuki suatu sistem yang membuat kita melampiaskan. Islam itu sesungguhnya mengendalikan, bukan melampiaskan. Hidup, kata bijak bestari, harus mampu ngegas dan ngerem.

Kebiasaan sebar hoaks, postingan atau komentar bernada kebencian dan fitnah, mulai sekarang dan seterusnya, harus kita setop. Ayo manfaatkan media sosial untuk silaturahmi dan saling tebar manfaat antarsesama. Kendalikan diri untuk tidak gemar mengunggah sampah di dunia maya.

Kenapa kita diperintahkan berpuasa dari makanan dan minuman? Saya ingin berbagi kisah yang saya simak dari kultum seorang mubalig. Bagi yang sudah pernah mendengar atau membaca, supaya tidak lupa. Yang baru membaca di sini, semoga mendapat inspirasi.

Tujuan puasa, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran, adalah supaya kita menjadi orang bertakwa. Lalu kenapa membentuk takwa harus dengan puasa?

Mubalig kita kemudian berkisah. Di zaman azali, ketika Allah hendak menciptakan manusia, Dia memberikan dua peranti canggih. Yang pertama bernama akal. Akal itu ibarat software. Tidak terlihat dan tidak terdeteksi secara kasat mata, namun ter-install dalam otak.

Ketika hendak dipasang ke otak manusia, akal ditanya oleh Allah, “Siapa aku dan siapa kamu?” Akal menjawab tegas, “Engkau adalah Tuhanku, sementara hamba ini kawula-Mu.”

Tidak heran, ketika manusia hidup selalu berpedoman kepada akal, hidup manusia niscaya berada dalam kebenaran. Akal mampu memilah antara benar dan salah.

Software kedua yang diberikan Allah kepada kita adalah nafsu. Nafsu itu sumber segala rasa. Ketika hendak disematkan ke jiwa manusia, nafsu ditanya oleh Allah sebagaimana pertanyaan yang diajukan ke akal. Tiba-tiba nafsu menjawab, “Kamu ya kamu, sementara aku adalah aku.”

Allah kemudian memasukkan nafsu ke dalam neraka. Setelah disiksa beberapa lama, kembali nafsu ditanya oleh Allah. Jawabannya tetap sama. Segera nafsu dibawa balik ke neraka, dan dibakar ulang sampai gosong. Ketika ditanya lagi dengan pertanyaan yang sama, eh jawaban nasfu tetap sama.

Belum juga mau mengakui kebesaran Allah, lagi-lagi nafsu dilemparkan ke neraka. Tetapi, kali ini dengan jenis siksaan berupa lapar dan haus. Jadi, siksaan yang diberikan sekarang adalah tidak diberikan makan dan minum. Apa yang terjadi?

Ternyata nafsu menyerah, luruh. Dengan kata lain, ketika dientaskan dari neraka lapar dan haus itu, lantas ditanya ulang oleh Allah dengan pertanyaan yang masih sama, barulah nafsu tunduk dan menjawab, “Engkau adalah Tuhanku, sementara aku adalah kawula-Mu.”

Terjawab sudah kenapa membentuk takwa harus dengan puasa. Semoga setiap puasa kita benar-benar mampu membekuk jalangnya nafsu, dan berhasil menjadikannya bersedia sujud dan patuh di hadapan kedigdayaan Allah.

 

Penerimaan Mahasiswa Baru FIAI UII

Dr. Nurkholis

Menyemarakkan bulan Ramadhan 1446 hijriyah bertepatan 2025 masehi, Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan kajian menjelang buka bersama. Kajian membahas kitab Kunuzul Hasanat dengan narasumber Dr. Nur Kholis, SEI., M.Sh.Ec, Kamis (6/3/2025) di Auditorium Gedung KHA Wahid  Hasyim FIAI, Kampus Terpadu UII Jalan Kaliurang km 14.4 Sleman.

“Allah subhanahu wa ta’ala, menyayangi hamba-Nya dengan di antaranya memberikan harta karun kebaikan yang luar biasa banyak, namun cukup ditebus dengan melakukan amalan yang hanya memakan waktu beberapa detik saja, misalnya membaca tasbih, tahmid, takbir masing-masing 33 kali setiap selesai salat fardu, dan dilengkapi dengan tahlil 1 kali, sehingga total 100 kali, maka akan diampuni kesalahan-kesalahannya walaupun sebanyak buih di lautan” ajak Dr. Nurkholis, Wakil Dekan Bidang Sumber Daya FIAI UII.

Tambahnya, harta karun kebaikan berjumlah milyaran juga bisa diraih dengan mengamalkan secara istikamah mendoakan sesama mukmin dan mukminat ketika sedang berdoa. Namun, banyak orang luput untuk mendapatkan harta karun kebaikan yang disediakan Allah subhanahu wa ta’ala karena lalai untuk menjaga amalan-amalan sederhana yang tergolong kunuz al-hasanat atau harta karun kebaikan tersebut. Untuk itu, perlunya memperhatikan amalan-amalan yang mengandung kunuz al-hasanat tersebut, karena sangat efektif dan efisien untuk meraih bermilyar kebaikan setiap hari.

Selepas kajian dilanjutkan dengan buka bersama kurang lebih 100 peserta hadir, terdiri dari mahasiswa, dosen dan tenaga kependidikan. (IPK)

Puasa dan Rokok Husnaini FIAI UII

Puasa dan Rokok

Oleh: M. Husnaini

Puasa mengajarkan tentang batas supaya manusia menikmati segala yang ada. Setiap manusia diberikan nikmat, kendati tidak semua mampu menikmatinya. Puasa, dengan demikian, mengajarkan manusia untuk menikmati segala yang dibutuhkan tanpa harus berlebih-lebihan.

Karena itu, puasa memang menyehatkan sekaligus menyelamatkan. Pasalnya, sumber dosa dan salah yang paling besar bermula dari urusan perut dan syahwat. Kesenangan juga sebenarnya kerap bermula dari “pintu atas” dan “pintu bawah” itu. Perut dan syahwat perlu dikendalikan.

Bagi teman-teman perokok yang ingin berhenti, misalnya, puasa adalah cara tepat untuk berhenti merokok. Status kehalalan rokok memang diperbantahkan para ulama, tetapi tidak seorang pun yang bilang merokok itu baik. Makruh hingga haram itu letaknya ada di barisan larangan agama.

Mampukah kita melakukannya? Tinggal keinginan dan kemauannya. Puasa, dalam arti menahan keinginan perut dan syahwat, sebenarnya tidak berat. Yang berat adalah menundukkan ego untuk taat pada tuntunan syariat. Berhenti merokok juga tentang pengendalian diri saja.

Di situlah yang berat. Tidak ada orang sakit atau mati gara-gara berhenti merokok. Buktinya, ketika sedang berpuasa, kita kuat seharian tanpa rokok. Sekali lagi, puasa paling berat memang mengendalikan diri dari bersikap, berucap, dan bahkan berpikir muspra. Puasa bukan sekadar menjaga perut dan syahwat.

Puasa yang melampaui sekadar urusan perut dan syahwat akan mendatangkan hikmah. Di antara hikmah puasa adalah menanamkan rasa syukur. Kebiasaan bersyukur menjadikan nikmat yang sedikit terasa banyak. Kufur nikmat dapat menjadikan hidup dan kehidupan ini terasa berat dan melarat.

Kurangi perdebatan saat berpuasa, termasuk ketika membaca tulisan ini. Satu-satunya konsumsi tidak menyehatkan yang selalu dipertahankan oleh para penikmatnya dengan berbagai dalih & dalil adalah rokok. Tetapi, awas, jangan sampai perbantahan tentang rokok justru mengurangi nilai pahala puasa di bulan mulia yang kita telah bersusah payah mengumpulkannya.

Agama mengajarkan kemampuan mengendalikan diri, bukan melampiaskan. Pengendalian diri itulah inti ajaran puasa sebulan penuh selama Ramadan. Termasuk bagaimana mengendalikan diri untuk tidak merokok bagi para pecandu tembakau yang sudah niat berhenti. Mulailah sejak membaca tulisan sederhana ini.

Sudahkah Kita Bertadarus? Husnaini FIAI UII

Sudahkah Kita Bertadarus?

Oleh: M. Husnaini

Al-Quran adalah pedoman utama bagi umat Islam. Namun, sejauh mana kita benar-benar berinteraksi dengan kitab suci ini? Ada empat model interaksi yang bisa kita lakukan terhadap Al-Quran: tilawah, qiraah, tadarus, dan tadabur. Semakin tinggi tingkat interaksi kita, semakin besar manfaat yang bisa kita peroleh dalam kehidupan sehari-hari.

Ya, ada empat model interaksi kita dengan Kitab Suci Al-Quran. Yang pertama adalah tilawah. Tilawah merupakan tahap paling dasar dalam berinteraksi dengan Al-Quran, yaitu sekadar melafalkan ayat-ayat suci tanpa memahami maknanya. Meskipun tilawah memiliki pahala tersendiri, jika tidak diiringi dengan pemahaman, maka manfaatnya tidak optimal.

Tingkatan interaksi di atas itu ialah qiraah, yaitu membaca Al-Quran dengan memahami maknanya melalui terjemahan. Ini merupakan langkah awal untuk menjadikan Al-Quran sebagai petunjuk hidup. Dengan memahami arti ayat-ayat yang dibaca, seseorang dapat mulai menghubungkan pesan Al-Quran dengan kehidupan sehari-hari.

Yang lebih tinggi derajatnya dari dua model di atas adalah tadarus. Model interaksi yang ketiga ini tidak cukup dengan menengok terjemahannya, tetapi juga meneliti tafsir dan sebab turun ayat. Interaksi pada tahap ini membuat Al-Quran terasa lebih relevan dengan kehidupan. Ayat-ayat yang turun 14 abad lalu di Makkah terasa seperti baru saja diwahyukan untuk kita saat ini.

Kemudian, yang paling keren adalah tadabur. Inilah tingkat interaksi tertinggi, yaitu mencari jawaban atas berbagai persoalan hidup melalui Al-Quran. Tadabur mengajak kita untuk menggali hikmah di balik setiap ayat dan mengaplikasikannya dalam kehidupan. Jika umat Islam mampu mencapai tahap ini, maka Al-Quran akan benar-benar menjadi way of life yang membimbing setiap langkah hidup.

Kebanyakan umat Islam baru sampai pada model interaksi tingkat pertama, yaitu tilawah. Tidak heran jika Al-Quran belum menjadi way of life. Di antara penyebabnya barangkali karena kurangnya motivasi untuk memahami makna Al-Quran. Banyak orang merasa cukup hanya dengan membaca tanpa berusaha memahami isinya.

Keterbatasan akses terhadap tafsir juga faktor lain. Artinya, tidak semua orang Islam memiliki kesempatan untuk belajar tafsir, terutama yang berbahasa Arab. Yang tidak boleh lupa disebut juga ialah kebiasaan membaca Al-Quran tanpa mau berpikir. Sebagian besar orang Islam ini, tidak disangkal, membaca Al-Quran hanya sebagai ritual tanpa mencoba merenungkan maknanya. Yang penting mendapatkan pahala.

Lebih parah lagi, masih ada orang Islam yang bahkan buta huruf Al-Quran. Dengan kata lain, baru pada tingkat tilawah atau sekadar melafalkan bacaan Al-Quran saja, belum semua kita bisa.

KH Ahmad Dahlan, pendiri Persyarikatan Muhammadiyah, memberikan kiat praktis dalam mempelajari Al-Quran. Yaitu ambillah beberapa ayat, bacalah dengan tartil, kemudian dikaji: Bagaimana arti ayat tersebut? Bagaimana tafsirnya? Apa maksudnya? Apakah ayat tersebut berisi perintah atau larangan? Jika itu perintah, apakah sudah dikerjakan? Jika larangan, apakah sudah ditinggalkan?

Metode ini sangat praktis dan bisa diterapkan oleh siapa saja. Terlebih lagi, saat ini sudah banyak kitab tafsir dan buku asbabun nuzul yang tersedia dalam bahasa Indonesia, bagi yang tidak mampu mengakses kitab-kitab tafsir berbahasa Arab.

Sudah saatnya umat Islam meningkatkan kualitas interaksi dengan Al-Quran. Jangan hanya puas dengan tilawah, apalagi jika membacanya dengan terburu-buru dan tidak fasih. Mulailah dengan qiraah, lanjutkan ke tadarus, dan berusahalah mencapai tadabur. Dengan demikian, Al-Quran akan menjadi sumber inspirasi dalam menjalani kehidupan.

Jangan sampai generasi kita hanya sekadar bisa melafalkan Al-Quran, tetapi tidak memahami isinya. Ajaklah keluarga, teman, dan masyarakat untuk bersama-sama mendekatkan diri kepada Al-Quran dengan pemahaman yang lebih mendalam. Sebab, Al-Quran bukan hanya untuk dibaca, tetapi juga untuk direnungkan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

 

 

Penerimaan Mahasiswa Baru FIAI UII

Menjadi Insan Ulul Albab M. Husnaini, S.Pd.I., M.Pd.I., Ph.D FIAI UII

Puasa di Era Digital

Oleh: M. Husnaini -Dosen FIAI UII

 

Puasa, kata Emha Ainun Nadjib, adalah suatu proses seleksi dan pendewasaan pikiran agar kita menemukan perbedaan antara yang nomor satu dan yang tidak nomor satu.

Kita sedang berpuasa di zaman kemajuan. Segalanya serba mudah. Utamanya, jika kita tidak gaptek dan mau memanfaatkan segala kecanggihan teknologi. Saya tidak berbicara tentang efek negatif teknologi. Sebab, membicarakan hal-hal positif dan kiat-kiat memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk mencari manfaat, lebih menarik hati saya.

Gunakanlah seluruh akun jejaring sosial Anda untuk berbagi kebaikan. Sebisa Anda. Yang terampil menulis, silakan berbagi kebaikan melalui tulisan. Yang bisa ceramah, boleh berbagi kebaikan via lisan. Yang pintar membikin gambar, video, atau meme inspiratif, berbagilah postingan-postingan menarik itu kepada orang lain.

Di samping berbagi, manfaatkanlah akun-akun jejaring sosial Anda untuk menambah wawasan. Mulailah membaca dan memahami postingan-postingan yang berisi ilmu. Sekarang ini, mengikuti pemikiran-pemikiran tokoh cukup mudah. Tidak perlu harus sowan ke rumah mereka. Sebagian besar dapat dijumpai melalui media sosial.

Kemudian, isilah pula gadget Anda dengan aplikasi keislaman. Al-Qur’an, misalnya. Syukur-syukur dilengkapi terjemah dan tafsirnya, sehingga saat senggang, Anda bisa membuka, membaca, dan memahaminya. Selama ini, kita sudah berhasil khatam Al-Qur’an selama Ramadan. Kadang sekali, bahkan ada yang khatam berkali-kali.

Tetapi, cobalah mulai Ramadan ini, Al-Qur’an tidak sekadar kita baca hingga khatam, namun sedikit demi sedikit kita buka terjemahannya. Syukur-syukur tafsirnya, agar kita paham isi Al-Qur’an. Dengan begitu, interaksi kita dengan Al-Qur’an tidak hanya mendatangkan pahala semata, tetapi sekaligus membuahkan ilmu dan hikmah.

Kiranya masih banyak trik-trik menarik untuk memanfaatkan kemudahan teknologi guna mengeruk sebanyak mungkin pahala di Bulan Suci. Masing-masing Anda bisa berkreasi dan berbagi. Lebih baik saling berlomba untuk menguak sisi-sisi kebaikan sesuatu daripada bersaing untuk mengungkap lorong-lorong keburukannya.

Ramadan harus menjadi starting point untuk makin mencintai Allah. Yaitu, patuh dan tunduk demi mengagungkan, memuliakan, dan mengharapkan-Nya. Ucapan-ucapan mulia, seperti zikir dan mendaras Al-Qur’an adalah wujud cinta kepada Allah. Juga, mendahulukan perintah Allah daripada kesenangan, syahwat, dan keinginan diri.

Puasa mengajarkan kita untuk meninggalkan sesuatu yang kita sukai, dan sesuatu yang kita sukai itu harusnya bukan sebatas urusan perut dan nafsu seksual. Kalau hanya meninggalkan makan dan minum, anak kecil juga bisa. Apalagi sekadar tidak melakukan hubungan seksual. Sudah pasti tujuan puasa bukan sekadar begitu.

Sebaliknya, puasa harus mampu mendorong kita untuk mampu melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak kita sukai. Lapar, siapa suka. Tapi karena itu mau Allah, maka kita manut. Dus, motivasi kita dalam puasa adalah rida Allah, bukan gairah nafsu durjana. Demikian pula motivasi kita dalam berbagai urusan lain dalam hidup ini.

Tiada kenikmatan kecuali setelah kepenatan, begitu kata pepatah Arab. Dan, kehidupan membuktikan bahwa nikmatnya makan adalah setelah lapar, nikmatnya kerja adalah setelah nganggur, nikmatnya pasangan adalah setelah menjomblo, nikmatnya kendaraan adalah setelah nyeker, dan seterusnya.

Kemudian, semua kesusahan akan terasa enteng saja manakala kita maknai sebagai bentuk puasa. Toh setiap puasa pasti ada waktunya berbuka. Jadi, tidak ada galau mendekat, karena kita senantiasa yakin bahwa kebahagiaan pasti menanti kita saat berbuka nanti.

Betapa ringan segala beban hidup yang kita tanggung ini sekiranya kita mampu mempraktikkan spirit puasa dalam keseharian. Sewaktu sakit, kita yakin bahwa kita sedang berpuasa, yang berbukanya adalah ketika sehat nanti. Sewaktu miskin, kita yakin bahwa kita sedang berpuasa, yang berbukanya adalah ketika kaya nanti. Sewaktu gagal, kita yakin bahwa kita sedang berpuasa, yang berbukanya adalah ketika sukses nanti.

Silakan dikembangkan dengan contoh-contoh lain. Sekali lagi, spirit puasa penting kita camkan dan terapkan dalam menapaki hidup yang serba tidak menentu ini.

 

 

Penerimaan Mahasiswa Baru FIAI UII