Cultural Exchange Program FIAI UII – Duy Tan University, di Da Nang, Vietnam (foto: Rifqi/Maulida)

Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII)  berkolaborasi dengan Duy Tan University Vietnam (DTU) selenggarakan Cultural Exchange Program. Kerjasama kedua universitas dalam bentuk pertukaran budaya, berlangsung 6-9 Mei 2025 di Da Nang, Vietnam.  Delegeasi FIAI UII ke Vietnan, terdiri dari  8 mahasiswa didampingi 2 dosen FIAI yakni Dr. Maulidia Mulyani dan Rizqi Anfanni Fahmi, SEI., M.SI.

“Implementasi program pertukaran budaya ini menjadi wadah kolaborasi akademik dan pengenalan budaya antara Indonesia dan Vietnam. Selama kegiatan, para mahasiswa dibagi dalam empat kelompok diskusi dengan tema pariwisata, kuliner, seni, dan bahasa. Setiap kelompok melakukan diskusi mendalam dan mempresentasikan hasilnya di hadapan peserta lain, sehingga tercipta pertukaran ide dan pemahaman lintas budaya yang konstruktif,” kata Rizqi Anfanni Fahmi, SEI., M.SI, dosen Prodi Ekonomi Islam, FIAI UII.

Acara pembukaan ‘UII – DTU Cultural Exchange Program di Vietnam’ dibuka oleh Professor Lim Sang Taek selaku Vice Provost Duy Tan University, dilanjutkan dengan sambutan dari FIAI UII yang disampaikan oleh Dr. Maulidia Mulyani. Dalam sambutan kedua belah pihak, sepakat bahwa pentingnya kolaborasi internasional dalam pengembangan wawasan global bagi mahasiswa dan dosen untuk memajukan iklim akademik yang mengglobal.

Salah satu bentuk kerjasama UII dan DTU di Vietnam, dengan penyelenggaraan kuliah umum guest lecturer, dosen FIAI UII yakni Dr. Maulidia Mulyani dan Rizqi Anfanni Fahmi memberikan kuliah bagi  30 mahasiswa DTU Vietnam. Dalam kesempatan ini, kedua dosen FIAI UII menyampaikan materi Cultural Tourism.
“Alhamdulillah, materi ini mendapat antusias cukup tinggi  dari sivitas akademika DTU Vietnam,  dan sebagai bentuk upaya untuk memperkaya wacana tentang potensi pariwisata berbasis budaya di kedua negara antara Indonesia dan Vietnam,” kata Dr. Maulidia Mulyani.

Selama berlangsungnya program, mahasiswa FIAI UII membaur dan bekerjasama dalam berbagai aktivitas dengan mahasiswa dan dosen  DTU Vietnam. Dari FIAI UII maupun DTU Vietnam memperkenalkan masing-masing budaya, sekaligus keunikannya. FIAI UII memperkenalkan budaya Indonesia, dari DTU memperkenalkan budaya Vietnam.
“Interaksi yang terjalin tidak hanya mempererat hubungan antar mahasiswa, namun juga membuka wawasan baru tentang keunikan budaya masing-masing negara. Tim Duy Tan University juga menunjukkan sikap yang sangat ramah dan kooperatif, sehingga seluruh rangkaian acara berjalan lancar dan penuh keakraban,” kata Rizqi Anfanni Fahmi, SEI., M.SI kepada media FIAI UII.

Tambahnya, melalui program ini, ada harapan nantinya FIAI dapat terus mendorong mahasiswa dan dosen untuk aktif dalam kegiatan internasional, memperluas jejaring akademik, serta meningkatkan pemahaman lintas budaya sebagai bekal menghadapi tantangan global. (IPK)

Dua dari kanan: Prof Dr. Drs. Yusdani, M.Ag. Tengah: Dr. Syaifulloh Yusuf, S.Pd.I., M.Pd.I (foto: Wigih EKIS)

Dalam rangka hari jadi Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) yang ke-82, diselenggarakan Majelis Tasyakuran Milad dan Halalbihalal, Kamis (15/5/2025) di Gedung KHA Wahid Hasyim, Kampus Terpadu UII Jalan Kaliurang km 14,4, Sleman.
Tasyakuran diselenggarakan atas peningkatan hasil akreditasi untuk beberapa prodi, serta untuk prestasi sumber daya manusia, berkenaan peningkatan jenjang karir akademik dan jenjang studi.

“Tujuan pemberian penghargaan dan penyampaian bingkisan, untuk meningkatkan semangat kerja dan motivasi dosen dan tenaga kependidikan untuk terus meningkatkan kinerja dan kualitas layanan. Selain itu unuk mendorong peningkatan disiplin dan tanggung jawab dalam menjalankan tugas, sehingga dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan layanan di FIAI,” kata Dr. Nur Kholis, S.Ag., SEI., M.Sh.Ec. Wakil Dekan Bidang Sumber Daya FIAI UII disampaikan setelah acara.

Imbuhnya, dengan apresiasi positif diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan komitmen dosen dan tendik untuk mencapai standar kualitas yang tinggi juga memenuhi persyaratan akreditasi. Acara seremonial dengan menghadirkan seluruh sumber daya manusia FIAI UII, sebagai bentuk pengakuan dan wujud niat menghargai dedikasi dan komitmen dosen dan tenaga kependidikan (tendik) dalam mencapai akreditasi yang lebih baik dalam 1 tahun terakhir.

Predikat dosen terbaik diberikan kepada 3 dosen yang berprestasi secara akademis, serta untuk 3 tendik berdasar penilaian dan kedisiplinan.

Dekan FIAI UII, Dr. Drs. Asmuni. M.A dalam kesempatan ini juga menyampaikan apresiasi berupa bingkisan kepada 2 dosen atas prestasi peningkatan jabatan akademik profesor juga dosen yang berhasil menyelesaikan jenjang studi doktor.
“Dengan pemberian apresiasi ini agar dapat memotivasi, sekaligus memberikan dorongan kepada yang lain untuk serta meningkatkan jabatan akademik dan jenjang studinya. Diharapkan para penerima penghargaan dapat memberikan contoh sekaligus sharing untuk kemajuan karir dosen lainnya,” kata Asmuni, setelah memberikan apresiasi kepada Prof Dr. Drs. Yusdani, M.Ag yang berhasil meraih gelar profesor, serta kepada Dr. Syaifulloh Yusuf, S.Pd.I., M.Pd.I yang berhasil meraih gelar doktor setelah menyelesaikan studi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Dr. Drs. Asmuni. M.A juga menyampaikan apresiasi atas hasil akreditasi untuk 3 program sarjana yang meraih predikat unggul, yakni Prodi Ahwal Syakhshiyah, Prodi Ekonomi Islam dan Prodi Pendidikan Agama Islam. Sehingga dalam 1 tahun terakhir seluruh prodi program sarjana di FIAI UII berhasil meraih predikat akreditasi ‘Unggul’. Untuk program magister, Dr. Asmuni juga menyampaikan apresiasi, karena Magister Ilmu Agama Islam FIAI UII berhasil meraih predikat akreditasi ‘Unggul’.

Serangkaian apresiasi juga berupa penyerahan bingkisan kepada 1 dosen dan 1 tendik yang akan beribadah haji ke Tanah Suci Arab Saudi, pada bulan ini. Menurut Dr. Muhammad Roy Purwanto, S.Ag., Wakil Dekan Bidang Keagamaan, Kemahasiswaan dan Alumni FIAI UII, setelah menyampaikan bingkisan.
“Penyampaikan penghargaan berupa bingkisan kepada dosen dan tendik yang akan berangkat ibadah haji ke Tanah Suci, sebagai bentuk penyemangat sekaligus doa bersama di hadapan seluruh SDM di FIAI UII. Hal ini juga sebagai pendorong bagi SDM yang belum mendapat giliran ibadah haji ke Tanah Suci, agar bisa merencanakan dengan baik, termasuk menabung dan memberikan prioritas yang lebih untuk ibadah ini,” kata Dr. Muhammad Roy Purwanto. (IPK)

Idul Adha dan Semangat Qurban

Idul Adha adalah momentum penting dalam kalender umat Islam yang sarat dengan nilai-nilai tauhid, pengorbanan, dan keteladanan. Peristiwa Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s. menjadi inspirasi sepanjang zaman tentang kepatuhan total kepada Allah Swt. Dalam Al-Qur’an disebutkan:

“Maka ketika anak itu sampai pada (umur) sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab: ‘Wahai ayahku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’”
(QS. Ash-Shaffat: 102)

Ketaatan Nabi Ismail a.s. dan keikhlasan Nabi Ibrahim a.s. menjadi dasar spiritual ibadah qurban. Di balik ritual penyembelihan, terdapat pesan mendalam tentang keikhlasan, kesabaran, dan ujian iman. Maka dakwah tentang qurban seharusnya tidak hanya menjelaskan aspek hukum, tetapi juga menghidupkan nilai-nilai ruhaniah ini di tengah masyarakat.

Era Digital dan Perubahan Pola Dakwah

Dunia dakwah mengalami pergeseran besar di era digital. Penyampaian pesan Islam tidak lagi terbatas pada mimbar dan majelis taklim, tapi telah merambah ruang virtual seperti Instagram, TikTok, YouTube, hingga WhatsApp. Di platform inilah dai, lembaga zakat, dan komunitas Islam berperan penting dalam menyampaikan pesan Idul Adha secara menarik dan komunikatif.

Nabi Muhammad SAW mengajarkan bahwa dakwah harus disampaikan dengan cara yang bijak:

“Sampaikanlah dariku walau satu ayat.”
(HR. Bukhari)

Prinsip ini tetap relevan dalam konteks digital: menyampaikan kebaikan, sekecil apa pun, bisa memberi pengaruh luas jika dilakukan dengan niat dan strategi yang tepat. Dai digital tidak lagi hanya berperan sebagai penyampai ceramah, tapi juga sebagai kreator konten, manajer interaksi, hingga penjaga akhlak publik.

Konten Dakwah dan Edukasi Qurban di Media Sosial

Media sosial telah melahirkan beragam bentuk konten edukatif tentang Idul Adha. Misalnya:

  • Infografis tata cara menyembelih hewan qurban sesuai syariat.
  • Video singkat yang menceritakan sejarah qurban secara menarik dan visual.
  • Live streaming proses penyembelihan dari lembaga zakat.
  • Cerita inspiratif penerima manfaat di pelosok negeri.

Bahkan, kini lembaga-lembaga Islam memanfaatkan media sosial untuk mengumpulkan donasi qurban dengan sistem yang transparan dan interaktif. Penyumbang dapat melihat dokumentasi penyembelihan dan distribusi, serta mendapatkan laporan digital. Ini menunjukkan bahwa digitalisasi tidak mengurangi nilai ibadah, justru bisa memperkuat akuntabilitas dan kepercayaan publik.

Namun, dalam mengemas konten dakwah, penting untuk menjaga nilai adab dan sensitivitas publik. Menampilkan proses penyembelihan hewan, misalnya, harus dilakukan dengan cara yang mendidik dan tidak menimbulkan trauma visual. Etika digital menjadi bagian tak terpisahkan dari kesuksesan dakwah di media sosial.

Dampak dan Tantangan Dakwah Qurban Digital

Dakwah Idul Adha di media sosial memiliki dampak yang luas. Banyak masyarakat, terutama generasi muda, yang menjadi lebih sadar tentang pentingnya berqurban. Akses terhadap informasi keagamaan yang dulu sulit kini menjadi sangat mudah. Video satu menit bisa menjelaskan satu hadis. Infografis bisa merangkum satu bab fiqh.

Namun, transformasi ini juga menghadirkan tantangan serius:

  1. Komersialisasi ibadah– Qurban dikemas lebih sebagai ‘produk’ daripada ‘pengorbanan’. Kadang, lembaga-lembaga lebih menonjolkan brand daripada nilai ibadah itu sendiri.
  2. Krisis otoritas keilmuan– Siapa saja kini bisa berdakwah, termasuk yang belum memiliki kapasitas keilmuan syar’i. Ini dapat menimbulkan penyesatan atau kesalahpahaman hukum agama.
  3. Sikap instan dalam beragama– Informasi yang serba cepat bisa mendorong pemahaman yang dangkal jika tidak dibarengi pembelajaran mendalam.

Maka dari itu, dai dan konten kreator muslim perlu bersinergi: yang satu kuat di bidang ilmu, yang lain kuat di bidang media. Dakwah yang berdampak adalah dakwah yang menggabungkan substansi syariat, estetika digital, dan strategi komunikasi yang kontekstual.

Allah Swt berfirman:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang paling baik.”
(QS. An-Nahl: 125)

Dakwah Digital yang Humanis dan Menyentuh

Di balik teknologi, dakwah digital harus tetap menyentuh sisi insani. Konten qurban yang baik adalah yang membangkitkan empati: bagaimana daging qurban menjadi hadiah bagi keluarga dhuafa yang tak mampu membeli daging sepanjang tahun, atau bagaimana qurban menjadi ladang amal bagi peternak kecil yang diberdayakan.

Kisah-kisah ini menghidupkan makna qurban sebagai jembatan kemanusiaan, bukan sekadar ritual. Inilah bentuk dakwah bil hal, dakwah melalui aksi nyata dan teladan.

Penutup: Menguatkan Dakwah Qurban di Era Digital

Idul Adha di era digital adalah tantangan sekaligus peluang. Media sosial bisa menjadi sarana efektif untuk menguatkan dakwah dan edukasi qurban, asal dijalankan dengan hikmah dan tanggung jawab.

Dai dan pegiat dakwah hari ini dituntut bukan hanya memahami teks-teks agama, tapi juga konteks media, psikologi digital, dan etika publik. Tujuannya satu: agar pesan Idul Adha tidak sekadar viral, tapi juga membekas dalam hati dan mengubah perilaku umat menuju ketakwaan yang lebih mendalam.

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu…”
(QS. Al-Hajj: 37)

Maka, mari jadikan momentum Idul Adha sebagai ajang dakwah yang menyentuh jiwa, mempererat ukhuwah, dan membangun peradaban Islam yang rahmatan lil ‘alamin, bahkan dari balik layar gawai.

Penulis: Kusprayitna Widianta (Tendik FIAI)

Dalam berbagai kisah kaum muslim, ada yang cukup terkenal yaitu berkenaan Ali al-Muwaffaq, seorang tukang sol sepatu dari Damaskus yang meskipun tidak berangkat haji, tetapi mendapat ganjaran haji mabrur karena keikhlasannya menolong tetangganya yang kelaparan. Kisah ini banyak dinukil dalam literatur klasik Islam, seperti Siyar A‘lām an-Nubalā’ karya Adz-Dzahabi dan al-Bidāyah wa an-Nihāyah karya Ibnu Katsir. Melalui pendekatan dakwah ilmiah, artikel ini menelaah nilai keikhlasan, prioritas amal sosial, dan hubungan antara syariat serta hakikat ibadah. Hasil telaah menunjukkan bahwa meskipun kisah ini tidak bersandar pada hadis sahih, ia tetap relevan sebagai hikayat yang memberi motivasi moral dan spiritual. Kisah Ali al-Muwaffaq menegaskan bahwa kepedulian sosial merupakan bagian integral dari misi dakwah Islam.

Haji merupakan rukun Islam kelima yang diwajibkan bagi Muslim yang mampu secara fisik, finansial, dan keamanan perjalanan. Al-Qur’an menegaskan:
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali Imran [3]: 97).
Namun, di tengah kewajiban ini, terdapat kisah menarik dari sejarah Islam yang memperlihatkan bahwa nilai haji mabrur tidak semata-mata ditentukan oleh perjalanan fisik menuju tanah suci, melainkan juga oleh keikhlasan amal. Kisah itu adalah kisah Ali al-Muwaffaq, seorang tukang sol sepatu Damaskus, yang riwayatnya tersebar melalui hikayat para ulama.
Dari perspektif dakwah, dengan menyoroti nilai-nilai keikhlasan, amal sosial, dan hakikat ibadah, kisah Ali al-Muwaffaq dinukil oleh beberapa ulama klasik, di antaranya:
– Adz-Dzahabi dalam Siyar A‘lām an-Nubalā’ (jilid 8, hlm. 418).
– Ibnu Katsir dalam al-Bidāyah wa an-Nihāyah (jilid 10, hlm. 251).
– Abu Nu‘aim al-Ashbahani dalam Hilyatul Auliya’ (jilid 8, hlm. 167).
Riwayat tersebut tidak berstatus hadis, melainkan hikayat yang datang melalui mimpi Abdullah bin al-Mubarak. Para ulama seperti Ibnu Hajar al-‘Asqalani menegaskan bahwa kisah berbasis mimpi tidak dapat dijadikan dalil syar‘i, namun dapat diambil sebagai ibrah (pelajaran moral).

Sehingga dapat kita pelajari bersama bahwa:
1. Keikhlasan sebagai Hakikat Ibadah
Keputusan Ali al-Muwaffaq untuk membatalkan hajinya demi menolong tetangga menunjukkan keikhlasan yang tinggi. Ia lebih mengutamakan kebutuhan mendesak orang lain dibanding ibadah personal. Hal ini selaras dengan prinsip ikhlas lillāh yang menjadi syarat diterimanya amal.
2. Amal Sosial sebagai Prioritas Dakwah
Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad, no. 23408). Memberi makan orang lapar, menolong fakir miskin, dan peduli terhadap tetangga merupakan bagian dari maqāṣid al-syarī‘ah dalam menjaga jiwa (ḥifẓ an-nafs). Dari perspektif dakwah, amal sosial adalah bentuk nyata keberislaman yang memudahkan penyebaran nilai Islam.
3. Syariat dan Hakikat dalam Ibadah
Kisah ini tidak membatalkan kewajiban haji bagi yang mampu, tetapi menunjukkan bahwa hakikat haji mabrur adalah transformasi diri menuju kepedulian sosial. Dengan kata lain, syariat (haji secara fisik) harus berbuah pada hakikat (perubahan moral dan kepedulian sosial).
4. Relevansi untuk Dakwah Kontemporer
Dalam konteks dakwah modern, kisah ini relevan sebagai narasi yang mengajarkan bahwa Islam bukan hanya ritual, melainkan juga etika sosial. Di tengah fenomena meningkatnya ibadah ritual tetapi melemahnya solidaritas sosial, kisah Ali al-Muwaffaq dapat menjadi strategi dakwah berbasis uswah (keteladanan).
Kesimpulan

Kisah Ali al-Muwaffaq meskipun tidak bersumber dari hadis sahih, tetap memiliki nilai moral yang tinggi. Ia menegaskan bahwa keikhlasan dan amal sosial dapat bernilai setara dengan ibadah besar. Dari perspektif dakwah, kisah ini mengajarkan:
1. Keikhlasan adalah inti dari setiap ibadah.
2. Amal sosial dapat menguatkan dimensi kemanusiaan Islam.
3. Syariat dan hakikat harus saling melengkapi dalam praktik beragama.
4. Dakwah kontemporer dapat memanfaatkan kisah ini untuk menumbuhkan kepedulian sosial.
Dengan demikian, kisah Ali al-Muwaffaq menjadi inspirasi bagi dakwah Islam untuk selalu menekankan keseimbangan antara ibadah ritual dan ibadah sosial

Penulis: Mabdaul Basar (Tendik FIAI UII)

 

Daftar Pustaka

  • Ahmad bin Hanbal. al-Musnad. Mu’assasah ar-Risalah, 2001.
  • Adz-Dzahabi, Syamsuddin. Siyar A‘lām an-Nubalā’. Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1985.
  • Ibnu Katsir, Ismail bin Umar. al-Bidāyah wa an-Nihāyah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997.
  • Abu Nu‘aim al-Ashbahani. Hilyatul Auliya’ wa Thabaqat al-Asfiya’. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988.
  • Ibnu Hajar al-‘Asqalani. al-Ishabah fi Tamyiz al-Sahabah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995.
FIAI UII

Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia UII) menyelenggarakan Pelatihan Dakwah Bil Lisan dan Motivasi Berbicara dalam Forum bagi tenaga kependidikan di tingkat fakultas, Selasa (29/4/2025) di Gedung KHA Wahid Hasyim FIAI UII lantai 3, Kampus Terpadu UII, Jalan Kaliurang km 14.4 Sleman. Sebagai narasumber yaitu Dr. Nur Kholis, S.Ag., SEI., M.Sh.Ec.

”Salah satu keberuntungan menjadi pembicara dan pendakwah adalah bisa sekaligus belajar, karena sebelum tampil bicara akan berusaha mempersiapkan diri, termasuk belajar kembali untuk pengayaan materi. Artinya semakin banyak menyampaikan ilmu artinya semakin menguasai ilmu,” kata Nur Kholis mengawali paparannya.

Imbuhnya, dengan menjadi pembicara dan pendakwah maka akan dipaksa kondisi untuk terus belajar, sampai menjadikan belajar sebagai kebutuhan yang sangat nikmat. Selain itu menjadi pendakwah selain meningkatkan semangat belajar juga memotivasi untuk mengamalkan dan menjaga diri agar walk the talk. Selain itu, menyebarkan ilmu sebagai pembicara dan pendakwah berpeluang meraih pahala yang tidak terputus oleh kematian.

“Ketika menjadi pembicara kita harus mengenali audiensnya, tapi tidak perlu risau terhadap kondisi audiensnya. Misal ada peserta yang lebih senior, atau gelar akademik lebih tinggi. Tidak usah gugup, tekankan pada diri sendiri bahwa kita lebih banyak menguasai materi, karena sudah belajar juga sebelumnya,” kata Dr. Nur Kholis.

Dr. Nus Kholis tambahkan ketika menjadi pembicara jadilah versi yang terbaik, mengerti dengan siapa berbicara, mengetahui apa yang mereka inginkan, mengetahui bagaimana memuaskan mereka dengan ide-ide kreatif dan solusi efektif dan mengetahui metode penyampaian yang audies sukai.

“Ada pengalaman ketika diminta menjadi pemateri dakwah kemudian malam sebelumnya saya siapkan kisi-kisi materi dengan tulis tangan di selembar kertas. Paginya saya bersiap berangkat menuju lokasi, dan mengambil kertas tulis tangan. Sampai lokasi saya tidak mengecek materi kertas, saat naik ke mimbar, saya mengambil kertas tulis tangan. Beta kagetnya, ternyata salah ambil kertas, yang terbawa bukan kisi-kisi materi yang sebelumnya saya tulis. Tapi karena saat menulis tangan saya berusaha menyimpan dalam ingatan, ternyata tanpa kisi materi pun bisa lancar saat berikan materi dakwah, “ kata Nur Kholis.

Pesannya, budaya menulis tangan beda dengan mengetik menggunakan komputer. Dengan upaya tulis tangan akan otomatis memaksa memori ingatan untuk merekam. Menulis tangan memaksa ingatan karena melibatkan proses kognitif yang lebih mendalam dibandingkan dengan mengetik. Gerakan menulis mendorong otak untuk memproses informasi, mengulanginya, dan membentuk koneksi yang lebih kuat dalam memori.

”Terbukti menulis tangan untuk materi sebelum menjadi pembicara, menjadikan memori ingatan jadi lebih tajam dan runtut ketika menyampaikan materi di depan publik,” kata Nur Kholis. (IPK)

Saat ini kita hidup di era digital, dimana segala hal yang awalnya manual menjadi praktis dan modern. Dari sisi teknologi informasi dengan cepat kita bisa melihat dan mendengar berbagai informasi yang tersaji di media yang datang dari berbagai daerah, bahkan dari luar negeri. Tidak jarang berita yang tersaji terkait kehidupan seseorang terutama tentang kekayaan, kesuksesan yang didapat dengan mudah tanpa hambatan, seolah-olah hidupnya berjalan sangat mulus dan tidak ada halangan. Sedangkan orang tersebut tidak pernah beribadah, penuh maksiat bahkan ada yang tidak mempercayai adanya tuhan. Apakah ini yang dinamakan ujian dari Allah Swt.?

Secara bahasa, istidraj berasal dari kata daraja, yang berarti ‘bertahap’ atau ‘berangsur-angsur’. Adapun istidraj juga dapat bermakna sebagai sebuah ‘ujian’ yang diberikan Allah Swt. secara berangsur-angsur kepada hamba-Nya. Ujian itu bisa berupa jabatan atau harta yang melimpah yang diberikan Allah terus-menerus meskipun seseorang itu jauh dari jalan kebenaran dan akhirnya akan mengantarkannya pada malapetaka yang lebih besar. Hal itu disebutkan dalam hadis berikut: “Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” (HR. Ahmad).

Kondisi istidraj ini juga telah dijelaskan dalam Al Qur’an “Maka serahkanlah kepada-Ku (urusannya) dan orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al Qur’an). Kelak akan Kami hukum mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui” (Qs Al-Qalam:44). Seseorang yang mengalami istidraj tidak akan menyadari jika perbuatannya telah membuat Allah murka, sebaliknya mereka menganggap kenikmatan yang diperoleh merupakan anugerah dari Allah.

Salah satu tanda istidraj pada diri seseorang yang mencolok yaitu selalu mendapatkan kenikmatan yang berlimpah padahal jarang melakukan ibadah, selalu melakukan kemaksiatan namun hidupnya selalu sukses, saat melakukan kesalahan tidak merasa berdosa, serta dalam hidupnya hampir tidak pernah diberikan cobaan. Ketika seseorang merasa kualitas ibadahnya turun namun kenikmatannya terus meningkat, hal itu jelas merupakan ciri-ciri sebuah Istidraj. Allah membiarkan orang-orang yang lalai dan bermaksiat itu semakin tersesat dan semakin dimanjakan dengan berbagai kenikmatan duniawi. Kenikmatan yang diberikan oleh Allah Swt. tersebut sebenarnya bukan bentuk kasih sayang terhadap hamba-Nya, melainkan murka-Nya.

Istidraj ini dapat dengan mudah kita temui di lingkungan masyarakat, bahkan banyak contohnya yang terpampang jelas. Seperti pejabat-pejabat negara yang diberikan amanah mendapatkan jabatan atau pangkat tinggi namun tidak menggunakan tugas dan wewenangnya dengan baik. Bahkan menyalahgunakan jabatan atau pangkatnya untuk memperkaya diri sendiri dengan melakukan kebijakan yang sangat merugikan rakyat. Mereka sebagian besar hidupnya mewah, bergelimang harta dan diberikan kenikmatan berkuasa dalam waktu yang lama.

Istidraj merupakan ujian yang sangat berbahaya bagi umat manusia. Pasalnya, istidraj adalah tipu daya yang Allah berikan kepada hamba-Nya yang telah lalai dan tersesat dari jalan yang benar. Semakin seseorang itu jauh dari Allah dan terlena dengan berbagai kenikmatan yang Allah berikan semakin bertambah pula kesenangan yang didapat oleh orang tersebut. Mereka mengira bahwa mereka mendapatkan nikmat karena keberhasilan atau usaha mereka sendiri. Mereka tidak bersyukur kepada Allah Swt. atas segala karunia-Nya. Hal ini dapat mendatangkan azab yang lebih berat.

Sebagai seorang muslim, kita diminta selalu waspada dan berhati-hati dalam menjalani hidup di dunia. Kenikmatan yang Allah berikan kepada hamba-Nya harus didasari dengan keimanan yang kuat. Selalu bersyukur kepada Allah atas segala karunia yang diberikan dan menjauhi semua hal yang mengandung maksiat. Selain itu, juga meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah antara lain melaksanakan shalat lima waktu tepat waktu, membaca Al-Qur’an, menghafal dan mengamalkannya, serta selalu berdoa dan memohon perlindungan Allah dari segala godaan dan fitnah dunia.

Penulis: Arum Huda Nurjanatun, S.IP (Tendik FIAI UII)

Pendahuluan
Kementerian Agama Republik Indonesia menggagas penerapan kurikulum cinta sebagai bentuk penanaman nilai-nilai cinta kepada Tuhan, sesama manusia, lingkungan, dan bangsa sejak usia dini. Inisiatif ini disebut sebagai respons terhadap meningkatnya intoleransi dan konflik sosial berbasis agama di Indonesia. Di saat yang sama, Buku Teks Utama (BTU) Pendidikan Pancasila, hasil kolaborasi Kemendikbudristek dan BPIP, diperkenalkan sebagai upaya membentuk Pelajar Pancasila, dengan mengaruskan program moderasi beragama sebagai inti dari Kurikulum Merdeka.
Namun, baik kurikulum cinta maupun moderasi beragama menuai kritik karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Islam secara kaffah. Keduanya dicurigai sebagai bentuk rekayasa ideologis yang menyusupkan nilai-nilai liberalisme, pluralisme, dan sekularisme ke dalam tubuh pendidikan Islam di Indonesia.
Konsep dan Latar Belakang
Kurikulum cinta diperkenalkan sebagai elemen tambahan dalam sistem pendidikan madrasah dan nasional, bukan untuk menggantikan pelajaran yang ada, tetapi untuk mengintegrasikan nilai-nilai kemanusiaan serta toleransi. Lima nilai utama yang dikembangkan meliputi: kasih kepada Allah, kasih kepada Rasul, kasih antar sesama manusia, kasih terhadap lingkungan, dan kasih terhadap tanah air.
Sementara itu, moderasi beragama telah menjadi program prioritas sejak 2019 dan kini diimplementasikan dalam kurikulum formal. Dinyatakan sebagai cara untuk menangkal radikalisme dan intoleransi, program ini diujicobakan di ribuan sekolah penggerak dan menjadi materi wajib dalam Program Guru Penggerak.
Namun, kritik utama datang dari pemahaman bahwa istilah “moderat” dan “radikal” adalah konstruksi asing yang menyesatkan. Strategi global ini dipandang sebagai upaya untuk menyesuaikan ajaran Islam dengan nilai-nilai demokrasi, HAM, dan pluralisme yang tidak bersumber dari wahyu. Klasifikasi Islam ke dalam kelompok radikal, moderat, tradisional, dan liberal merupakan rekayasa yang bertujuan melemahkan keteguhan umat terhadap penerapan Islam secara kaffah.

Kritik Teologis dan Konseptual
Secara teologis, baik kurikulum cinta maupun moderasi beragama dianggap menciptakan ambiguitas terhadap ajaran Islam. Penghapusan atau reinterpretasi terhadap konsep-konsep seperti jihad, hudud, qishash, dan hukum murtad dipandang sebagai bentuk pelunturan akidah. Ada kekhawatiran bahwa pendekatan reflective learning dan multikulturalisme dalam kurikulum cinta akan membentuk keraguan terhadap syariat Islam.
Penerapan nilai-nilai universal seperti kesetaraan agama dan toleransi kebablasan diyakini dapat menciptakan generasi Muslim yang ragu terhadap kebenaran tunggal Islam. Konsep pluralisme yang menganggap semua agama sama benar bertentangan dengan ajaran Islam yang memerintahkan umat untuk berpegang teguh pada satu kebenaran.
Kritik ini juga menyasar akar ideologis kurikulum cinta yang diyakini berasal dari proyek ideologis global untuk merombak cara berpikir umat Islam. Narasi cinta, humanisme, dan nasionalisme sekuler secara halus menggantikan nilai-nilai transendental yang bersumber dari wahyu.
Konsekuensi Sosiologis dan Pendidikan
Kedua kebijakan ini berdampak secara sosiologis dan historis:
– Teologis: Konsep cinta dan toleransi disinyalir menjauhkan siswa dari pemahaman kaffah tentang syariat.
– Normatif: Pelajaran-pelajaran penting dalam Islam dikaburkan atau dihapus dengan alasan moderasi.
– Sosiologis: Terjadi pergeseran nilai dalam praktik ibadah dan identitas keislaman; seperti keterlibatan Muslim dalam perayaan keagamaan non-Muslim.
– Historis: Syariat dan daulah hanya diposisikan sebagai fenomena sejarah, bukan sistem yang hidup dan relevan.
Lebih dari itu, pendekatan moderasi mengaburkan batas antara kebenaran dan kebatilan. Hal ini menyebabkan generasi muda kehilangan jati diri sebagai Muslim. Padahal Islam menuntut penerapan syariat secara menyeluruh sebagai solusi tunggal atas seluruh problem kehidupan, termasuk pendidikan. Sistem pendidikan yang benar menurut Islam harus bertujuan membentuk kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah), yaitu pola pikir dan pola sikap yang bersumber dari akidah Islam

Islam dan Toleransi: Sudut Pandang Asli

Islam sejak awal adalah agama yang menjunjung tinggi perbedaan. QS Al-Baqarah:256 dan QS Al-An’am:108 menunjukkan bahwa Islam melarang pemaksaan dalam agama dan menjunjung tinggi kebebasan berkeyakinan. Dalam sejarahnya, umat Islam hidup berdampingan dengan non-Muslim dengan prinsip keadilan dan kedamaian.
Toleransi dalam Islam bukan hasil benturan sejarah, seperti halnya di Eropa, melainkan bersumber dari wahyu. Maka, toleransi Islam tidak memerlukan reinterpretasi atau penyusupan nilai-nilai asing. Islam telah mengatur interaksi antarumat beragama dengan prinsip yang jelas dan adil. Pengaburan makna toleransi ini hanya akan membuka pintu kompromi terhadap syariat dan menggiring umat untuk menerima sistem nilai non-Islami.
Penutup
Baik kurikulum cinta maupun program moderasi beragama perlu dikaji ulang secara mendalam. Keduanya terindikasi sebagai strategi halus untuk menjauhkan umat Islam dari penerapan Islam secara total. Penyusupan nilai-nilai sekuler, pluralis, dan humanis ke dalam pendidikan Islam adalah upaya sistemik yang membahayakan generasi masa depan.
Sebagai alternatif, pendidikan harus dikembalikan kepada dasar Islam secara menyeluruh—bukan hanya sebagai pelengkap, tetapi sebagai fondasi utama. Pendidikan berbasis syariat harus dikembangkan untuk membentuk generasi yang memiliki pemahaman yang sahih, akidah yang kuat, serta kesiapan untuk menerapkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan.
Wallahu a’lam.

Penulis: M. Darzan Hanan M. (Tendik FIAI UII)

Husnaini FIAI UII

Makna Mudik
Oleh: M. Husnaini

Mudik, tradisi pulang kampung tahunan di Indonesia, lebih dari sekadar perjalanan fisik. Ini adalah perjalanan emosional dan spiritual yang mendalam, sebuah cara untuk kembali ke akar, menjalin kembali hubungan keluarga, dan menegaskan kembali identitas diri. Namun, di balik aspek materialistik perjalanan dan pertemuan kembali, mudik juga melambangkan konsep mendalam dalam Islam: perjalanan menuju rumah keabadian.

Dalam bahasa Inggris, kata “home” menyiratkan keterikatan emosional dan spiritual yang tidak dimiliki oleh kata “house”. “House” hanyalah bangunan fisik, sementara “home” adalah tempat di mana cinta, kehangatan, dan rasa memiliki berada. Dalam pengertian yang sama, mudik bukan sekadar kembali ke tempat fisik, tetapi juga menyambung kembali hubungan, mencari berkah, dan menemukan kembali tujuan hidup. Islam mengajarkan bahwa kehidupan ini hanyalah persinggahan sementara—seperti menunggu panggilan boarding pass—sebelum perjalanan menuju rumah yang abadi.

Dalam filosofi Islam, hidup ini fana, dan rumah sejati kita adalah akhirat. Al-Qur’an sering mengingatkan bahwa dunia ini hanyalah sesaat dibandingkan dengan kehidupan abadi di akhirat. Pemahaman ini mencerminkan esensi mudik: sejauh apa pun seseorang pergi dalam hidupnya, akan selalu ada kerinduan untuk kembali. Namun, mudik yang sejati bukan hanya tentang mengenang masa kecil, tetapi juga tentang mempersiapkan kepulangan terakhir—kepulangan kepada Allah.

Keberhasilan seseorang dalam hidup sering ditunjukkan saat mudik, dengan para pemudik memamerkan pencapaian mereka melalui kendaraan baru, hadiah, atau pengeluaran berlebihan. Namun, perilaku semacam ini bertentangan dengan makna spiritual dari pulang kampung. Islam menekankan sikap rendah hati dan bersyukur, mengingatkan bahwa kesuksesan sejati bukan diukur dari kekayaan materi, tetapi dari keimanan dan amal kebaikan. Alih-alih memamerkan kemewahan, mudik seharusnya menjadi momen refleksi, rasa syukur, dan mempererat hubungan keluarga.

Kesuksesan dalam Islam bukan tentang seberapa banyak seseorang mengumpulkan, tetapi tentang seberapa banyak ia memberi dan melayani. Nabi Muhammad (saw) mencontohkan hal ini dengan menjalani kehidupan sederhana meskipun memiliki akses kepada kekayaan. Ajaran beliau mengingatkan umat Muslim untuk lebih fokus pada kualitas hubungan, ketulusan dalam ibadah, dan kedermawanan terhadap sesama.

Ketika mudik menjadi ajang pamer, maknanya pun hilang. Esensi sejati dari mudik adalah kembali ke rumah dengan kerendahan hati, menyadari bahwa hidup ini singkat dan perjalanan yang sebenarnya adalah menuju rumah yang abadi. Alih-alih menjadikan pulang kampung sebagai kesempatan untuk mengesankan orang lain, seharusnya ini menjadi waktu untuk mempererat kasih sayang, meminta maaf, dan memperkokoh hubungan yang benar-benar bermakna.

Dengan demikian, mudik lebih dari sekadar perjalanan kembali ke kampung halaman; ini adalah pengingat akan kefanaan hidup dan perlunya bersiap untuk kepulangan terakhir. Seperti halnya para pelancong yang memastikan semua kebutuhan siap sebelum perjalanan panjang, umat beriman juga harus mempersiapkan diri untuk pulang ke rumah yang sejati—dengan menjalani hidup penuh kebaikan, ketulusan, dan pengabdian. Itulah makna sejati mudik dalam Islam.

Husnaini FIAI UII

Obatilah Orang yang Sakit dengan Sedekah
Oleh: M. Husnaini

Kisah ini saya dapat dari kiriman seorang teman lewat WhatsApp.

Riyad, Saudi Arabia. Di sebuah desa bernama Huraimla. Seorang wanita telah divonis oleh dokter terkena kanker darah. Kondisi fisiknya sudah tidak bisa lagi berbuat apa-apa.

Untuk merawat dirinya dan mengurusi keperluannya, ia mendatangkan seorang pembantu dari Indonesia. Pembantu ini adalah seorang yang taat beribadah. Seminggu setelah bekerja, majikan merasa pekerjaannya bagus.

Majikan wanita selalu memperhatikan apa yang dikerjakan pembantu dari Indonesia itu. Namun, suatu waktu majikan menemukan kelakuan aneh si pembantu. Pembantu ini sering sekali masuk kamar mandi dan berdiam cukup lama.

Dengan tutur kata yang lemah lembut si majikan bertanya: “Apa yang sebenarnya kau lakukan di kamar mandi?”

Pembantu itu tidak menjawab, tapi malah menangis tersedu-sedu. Majikan menjadi iba dan menghiburnya sambil menanyakan apa yang sebenarnya terjadi

Akhirnya pembantu itu pun bercerita bahwa dirinya baru 20 hari melahirkan anaknya. Karena desakan ekonomi itulah makanya ia mau bekerja menjadi TKW di Arab Saudi.

“Saya harus membuang air susu saya. Jika tidak dibuang, dada saya terasa sesak dan penuh karena tidak disusui anak saya.”

Air susu yang menumpuk dan tidak tersalurkan itulah membuatnya sakit, dan harus diperas dan dibuang di kamar mandi.

“Subhanallah Anda harus berjuang untuk keluarga Anda,” kata majikan.

Seketika majikan memberikan gajinya selama 2 tahun penuh sesuai akad kontrak dan memberikan tiket pulang.

“Kamu pulanglah dulu. Uang sudah saya berikan penuh untuk 2 tahun kontrakmu. Kamu susui anakmu selama 2 tahun penuh. Kemudian jika kamu ingin kembali bekerja kamu hubungi nomor telepon ini dan saya akan mengirim uang untuk tiket keberangkatanmu,” tutur majikan.

“Subhanallah apa ibu tidak apa-apa jika saya tinggal?”

Majikan waktu itu hanya menggeleng kepala, lalu berkata: “Apa yang kamu tinggal lebih berharga daripada kamu mengurus saya.”

Setelah pembantu itu pulang, majikan mengalami perubahan yang luar biasa. Hatinya menjadi sangat senang karena dapat membantu orang lain yang sedang kesusahan.

Hari-harinya tidak lagi memikirkan sakitnya. Yang ada hanyalah rasa bahagia. Sebulan kemudian ia baru mengunjungi rumah sakit untuk kontrol.

Dokter yang menanganinya segera melakukan pemeriksaan yang mendetail.

Apa yang terjadi?

Dokter yang menangani awal tidak melihat adanya penyakit seperti diagnosa sebelumnya. Dia tidak melihat adanya kanker darah yang dialami pasien.

Dokter pun kagum, bagaimana mungkin bisa secepat dan sedasyat itu penyakitnya bisa sembuh, apalagi kanker darah.

“Apa telah terjadi salah diagnosa?” batin dokter.

Kemudian dokter bertanya apa yang telah dilakukan oleh pasien. Wanita itu pun menjawab: “Saya tidak melakukan apa-apa dengan sakit saya. Mungkin sedekah yang telah saya lakukan kepada pembantu saya yang membantu saya sembuh. Nyatanya setelah saya menolong, hati saya menjadi lebih bergairah untuk sembuh dan hidup. Saya mempunyai pembantu yang sedang menyusui anaknya, tapi susu itu tak dapat disalurkan dan harus dibuang di kamar mandi. Saya menangis bila mengingat keadaannya. Akhirnya pembantu itu saya suruh pulang agar ia bisa menyusui anaknya. Ia sehat dan anaknya juga sehat. Mungkin dengan itu penyakit saya bisa sembuh, Dokter.”

Dokter itu sadar bahwa diagnosa atau penyakit apa pun bisa sembuh karena Allah SWT menghendaki.

Ya, seperti judul di atas: obatilah orang yang sakit dengan sedekah. Semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat diambil hikmahnya.

Husnaini FIAI UII

Membangun Semangat Berkarya Tulis

Oleh: M. Husnaini

Berkarya tulis masih menjadi tantangan yang berat dijawab. Karena itu, jika tidak menulis, minimal kita mau membaca.

Kesibukan kerap kali menjadi dalih untuk tidak berkarya tulis. Padahal, semua karya tulis hebat lahir dari orang-orang sibuk. Penganggur tidak pernah melahirkan karya.

Jelas, karya tulis adalah tanda intelektualitas seseorang, bukan gelar pendidikan. Menulis adalah aktivitas yang mencerdaskan. Menuliskan rangkuman atau ringkasan ide-ide bagus, misalnya, dapat mendorong kita berpikir, meneliti, atau menggali sesuatu yang lebih mendalam.

Prof Ahmad Syafii Maarif, guru bangsa yang juga Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1998–2005, pernah mengatakan bahwa membaca, berpikir, meneliti, dan menulis adalah aktivitas yang sangat penting, dan sebaiknya ditekuni sepanjang hidup. Ijazah Pendidikan ibarat SIM yang tidak bermakna apa-apa tanpa ditopang dengan keempat aktivitas ilmiah di atas.

Pesan Buya Syafii Maarif tersebut mengingatkan saya pada ungkapan Prof Imam Suprayogo, Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Periode 1997-2013. Menurut Prof Imam, ciri khas seorang doktor adalah selalu berpikir dan berkreasi tentang pembaruan. Seorang doktor tidak pernah berhenti berpikir. Tatkala dia berhenti berpikir, terang Prof Imam, yang tersisa hanya gelarnya. Sedangkan substansinya sudah kembali jadi manusia biasa atau sama dengan orang yang tidak bergelar doktor.

Senada dengan itu adalah Prof Mulyadhi Kartanegara. Berikut ini kalimat-kalimat yang saya kutip secara verbatim dari akun Facebook milik filsuf dan cendekiawan Muslim Indonesia tersebut.

“Pohon kesarjanaan boleh rindang, tapi tanpa menghasilkan karya, ia bagai pohon tak berbuah. Pengetahuan autentik bukanlah yang kita pelajari dari karya para cendekia, tapi justru yang kita peras dan sarikan dari berbagai pengalaman panjang hidup kita.”

“Potensi manusia ibarat hujan lebat, di mana apa yang telah manusia tulis hanyalah beberapa percikan darinya. Membaca dengan fasih karya seseorang adalah satu perkara. Menuliskan pikiran sendiri dalam sebuah karya adalah perkara yang lain.”

“Ketika aku mulai nulis sebuah karya, ada orang yang bertanya, “Ah apa ada orang yang bakal tertarik padanya?” Aku pun menjawab, “Aku berkarya tidak untuk tujuan yang lain kecuali menyampaikan kebenaran dan kebaikan. Sisanya aku serahkan pada Tuhan.”

“Alhamdulillah, ia telah menjadikan karyaku menarik banyak orang. Nasihatku, kalau mau berkarya, pasang niat yang tulus, bertawakal dan minta petunjuk-Nya, dan menulislah dengan ringan tanpa beban.”

“Ketika aku menuliskan pikiranku di sebuah buku, aku seperti menitipkan bagian dari jiwaku untuk tinggal di sana selama-lamanya, dalam keabadian. Percaya diri dapat membantu menumbuhkan banyak potensi yang tersembunyi. Dengannya kita bisa merentangkan sayap diri lebih lebar dan tinggi lagi.”

“Kekaguman yang berlebihan terhadap seorang atau beberapa tokoh dapat menutup pintu-pintu kreativitas kita. Siapa yang bisa bebas dari kungkungan mereka, dialah sang genius.”

Demikianlah, dan nasihat-nasihat itulah di antara yang melecut semangat saya untuk terus berkarya tulis. Syukur jika tradisi mulia ini juga diikuti banyak orang. Namun, jangan sampai kesibukan memotivasi orang lain untuk menulis menyebabkan kita lupa untuk berkarya tulis. Semoga kita tidak seperti lilin yang menerangi sekitar tapi diri sendiri habis terbakar.