Puasa di Era Digital
Oleh: M. Husnaini -Dosen FIAI UII
Puasa, kata Emha Ainun Nadjib, adalah suatu proses seleksi dan pendewasaan pikiran agar kita menemukan perbedaan antara yang nomor satu dan yang tidak nomor satu.
Kita sedang berpuasa di zaman kemajuan. Segalanya serba mudah. Utamanya, jika kita tidak gaptek dan mau memanfaatkan segala kecanggihan teknologi. Saya tidak berbicara tentang efek negatif teknologi. Sebab, membicarakan hal-hal positif dan kiat-kiat memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk mencari manfaat, lebih menarik hati saya.
Gunakanlah seluruh akun jejaring sosial Anda untuk berbagi kebaikan. Sebisa Anda. Yang terampil menulis, silakan berbagi kebaikan melalui tulisan. Yang bisa ceramah, boleh berbagi kebaikan via lisan. Yang pintar membikin gambar, video, atau meme inspiratif, berbagilah postingan-postingan menarik itu kepada orang lain.
Di samping berbagi, manfaatkanlah akun-akun jejaring sosial Anda untuk menambah wawasan. Mulailah membaca dan memahami postingan-postingan yang berisi ilmu. Sekarang ini, mengikuti pemikiran-pemikiran tokoh cukup mudah. Tidak perlu harus sowan ke rumah mereka. Sebagian besar dapat dijumpai melalui media sosial.
Kemudian, isilah pula gadget Anda dengan aplikasi keislaman. Al-Qur’an, misalnya. Syukur-syukur dilengkapi terjemah dan tafsirnya, sehingga saat senggang, Anda bisa membuka, membaca, dan memahaminya. Selama ini, kita sudah berhasil khatam Al-Qur’an selama Ramadan. Kadang sekali, bahkan ada yang khatam berkali-kali.
Tetapi, cobalah mulai Ramadan ini, Al-Qur’an tidak sekadar kita baca hingga khatam, namun sedikit demi sedikit kita buka terjemahannya. Syukur-syukur tafsirnya, agar kita paham isi Al-Qur’an. Dengan begitu, interaksi kita dengan Al-Qur’an tidak hanya mendatangkan pahala semata, tetapi sekaligus membuahkan ilmu dan hikmah.
Kiranya masih banyak trik-trik menarik untuk memanfaatkan kemudahan teknologi guna mengeruk sebanyak mungkin pahala di Bulan Suci. Masing-masing Anda bisa berkreasi dan berbagi. Lebih baik saling berlomba untuk menguak sisi-sisi kebaikan sesuatu daripada bersaing untuk mengungkap lorong-lorong keburukannya.
Ramadan harus menjadi starting point untuk makin mencintai Allah. Yaitu, patuh dan tunduk demi mengagungkan, memuliakan, dan mengharapkan-Nya. Ucapan-ucapan mulia, seperti zikir dan mendaras Al-Qur’an adalah wujud cinta kepada Allah. Juga, mendahulukan perintah Allah daripada kesenangan, syahwat, dan keinginan diri.
Puasa mengajarkan kita untuk meninggalkan sesuatu yang kita sukai, dan sesuatu yang kita sukai itu harusnya bukan sebatas urusan perut dan nafsu seksual. Kalau hanya meninggalkan makan dan minum, anak kecil juga bisa. Apalagi sekadar tidak melakukan hubungan seksual. Sudah pasti tujuan puasa bukan sekadar begitu.
Sebaliknya, puasa harus mampu mendorong kita untuk mampu melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak kita sukai. Lapar, siapa suka. Tapi karena itu mau Allah, maka kita manut. Dus, motivasi kita dalam puasa adalah rida Allah, bukan gairah nafsu durjana. Demikian pula motivasi kita dalam berbagai urusan lain dalam hidup ini.
Tiada kenikmatan kecuali setelah kepenatan, begitu kata pepatah Arab. Dan, kehidupan membuktikan bahwa nikmatnya makan adalah setelah lapar, nikmatnya kerja adalah setelah nganggur, nikmatnya pasangan adalah setelah menjomblo, nikmatnya kendaraan adalah setelah nyeker, dan seterusnya.
Kemudian, semua kesusahan akan terasa enteng saja manakala kita maknai sebagai bentuk puasa. Toh setiap puasa pasti ada waktunya berbuka. Jadi, tidak ada galau mendekat, karena kita senantiasa yakin bahwa kebahagiaan pasti menanti kita saat berbuka nanti.
Betapa ringan segala beban hidup yang kita tanggung ini sekiranya kita mampu mempraktikkan spirit puasa dalam keseharian. Sewaktu sakit, kita yakin bahwa kita sedang berpuasa, yang berbukanya adalah ketika sehat nanti. Sewaktu miskin, kita yakin bahwa kita sedang berpuasa, yang berbukanya adalah ketika kaya nanti. Sewaktu gagal, kita yakin bahwa kita sedang berpuasa, yang berbukanya adalah ketika sukses nanti.
Silakan dikembangkan dengan contoh-contoh lain. Sekali lagi, spirit puasa penting kita camkan dan terapkan dalam menapaki hidup yang serba tidak menentu ini.

Mengendalikan Yes, Melampiaskan No
Mengendalikan Yes, Melampiaskan No
Oleh: M. Husnaini
Inti dari puasa adalah mengendalikan. Tidak main-main, ini diperlukan latihan yang luar biasa. Sebab, mengendalikan jelas lebih susah ketimbang melampiaskan.
Jika dikasih uang sejuta, kemudian disuruh menghabiskan sehari, siapa yang tidak bisa? Namun, jika diminta untuk merasa cukup kebutuhan hanya dengan belanja seratus ribu di sebuah supermarket, tentu butuh pengendalian ekstra. Silakan buktikan sendiri, jika tidak yakin.
Karena itu, kegagalan dalam hidup ini sering disebabkan karena manusia gagal mengendalikan. Bukan hanya kita. Para manusia mulia pun setali tiga uang.
Nabi Adam, misalnya, diturunkan dari surga karena tidak mampu mengendalikan nafsu untuk memakan buah larangan. Nabi Musa tidak lulus belajar kepada Nabi Khidir karena tidak tahan mengendalikan protes dan selalu gagal paham atas setiap sikap sang guru misterius itu. Nabi Yunus dihukum di perut ikan nun karena tidak kuat mengendalikan rasa ngambek atas kedurhakaan kaumnya.
Contoh-contoh lain bisa ditambahkan. Atau barangkali justru dari pengalaman kita sendiri.
Yang jelas, kemampuan untuk mengendalikan ini luar biasa penting. Dan, sekali lagi, perlu latihan sekaligus pembiasaan. Lain dengan perilaku melampiaskan, yang anak kecil atau, bahkan, orang tidak waras pun mampu melakukan.
Benarlah kalimat menarik dari Emha Ainun Nadjib dalam buku Hidup Itu Harus Pintar Ngegas & Ngerem: Nasihat-Nasihat Kearifan. Kata budayawan kondang itu, “Jangan memasuki suatu sistem yang membuat Anda melampiaskan diri. Tapi dekat-dekatlah dengan sahabat yang membuat Anda mengendalikan diri. Karena Islam itu mengendalikan, bukan melampiaskan. Hidup itu harus bisa ngegas dan ngerem.”
Karena itu, Ramadan harus menjadi bulan penuh kesederhanaan, bukan momen pelampiasan dengan berbelanja aneka makanan dan pakaian demi kepuasan.
Sebaliknya, Ramadan harus menjadi madrasah ruhaniah bagi kita untuk berlatih memperbanyak ibadah dan amal utama. Jika Ramadan tidak juga membuat kita rajin beribadah dan beramal mulia, lantas momen apa yang mampu mendorong kita mau mendekat kepada Sang Pencipta?
Memaknai Hujan
Memaknai Hujan
Oleh: M. Husnaini
Sudah beberapa bulan terakhir Yogyakarta kerap diguyur hujan cukup lebat. Hujan deras yang mengguyur wilayah Sleman dari siang hingga sore hari awal Januari lalu bahkan sempat menyebabkan jembatan bulevar di kampus Universitas Islam Indonesia Pusat ambles. Sebagian wilayah di Indonesia juga sampai dilanda banjir bandang.
Hujan merupakan fenomena alam sehari-hari. Zaman masih kecil dulu, hati saya girang kala melihat hujan. Sambil berlari keluar rumah, mata saya berusaha memandang ke langit. Dalam pikiran awam waktu itu, langit akan terbuka ketika hujan turun dan segera tertutup kembali manakala hujan reda.
Saintis dan ilmuwan juga mengkaji hujan. Setelah radar cuaca atau weather surveillance radar (WSR) ditemukan, manusia jadi tahu bahwa proses terjadinya hujan dimulai dari awan. Awan cumulonimbus terbentuk ketika angin mendorong sejumlah awan kecil menjadi gumpalan awan, dan terjadilah hujan.
Namun, jauh sebelum itu, Al-Qur’an telah menjelaskan proses hujan turun. Dalam surah Ar-Rum ayat 48, Allah berfirman, “Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal, lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya. Maka, apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya tiba-tiba mereka menjadi gembira.”
Penjelasan Al-Qur’an tersebut persis sesuai dengan pemantauan radar cuaca. Jadi, hujan terjadi melalui tiga tahap. Pertama, pembentukan hujan dijelaskan lewat “Allah, Dialah yang mengimkan angin…” Tahap kedua dijelaskan dalam “…lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal…” Tahap ketiga, “… lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya.”
Sungguh Allah SWT Mahakuasa atas segala sesuatu.
Dalam bahasa Arab, kata hujan mempunyai dua redaksi utama, yaitu “al-mathar” dan “al-ghaits”. Dua istilah itu berbeda namun bermakna sama, yaitu hujan atau air hujan. Perbedaan di antara keduanya ialah bahwa al-mathar itu bentuk tunggal, namun berkonotasi pada hal-hal yang negatif, yakni hujan yang berdampak mendatangkan kerusakan seperti banjir, longsor, dan sejenisnya.
Bahkan, pada beberapa ayat dalam Al-Qur’an, al-mathar dimaknai sebagai azab, yakni berupa hujan batu yang ditimpakan kepada umat yang berbuat zalim (dosa).
“Wa amtharna ‘alaihim matharan (dan Kami hujani mereka dengan hujan batu). Maka, perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang berbuat dosa itu.” (QS Al-A’raf [7]: 84).
Simak pula terjemahan ayat senada berikut: “Maka, ketika mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, mereka berkata: Inilah awan mumthiruna (yang akan menurunkan hujan kepada kita). (Bukan) Tetapi itulah azab yang kamu minta disegerakan datangnya.” (QS Al-Ahqaf [46]: 24).
Berbeda dengan itu, al-ghaits dimaknai sebagai bentuk jamak dari al-mathar, namun al-ghaits dikategorikan sebagai hujan yang membawa berkah, misalnya kesuburan tanaman atau disebut pula dengan hujan rahmat.
Perhatikan terjemahan firman Allah di bawah ini: “Dan Dia-lah yang menurunkan ghaits (hujan) setelah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dia-lah yang Maha Pelindung, Maha Terpuji.” (QS Asy-Syura [42]: 28).
Firman Allah yang lain: “Setelah itu akan datang tahun, di mana manusia diberi ghaits (hujan) (dengan cukup) dan pada masa itu mereka memeras (anggur).” (QS Yusuf [12]: 49).
Demikian pemaparan singkat tentang hujan. Semoga bermanfaat. Mudah-mudahan pula setiap hujan yang turun kepada kita adalah hujan yang senantiasa membawa berkah dan rahmat.
Kenapa Harus dengan Lapar dan Haus?
Kenapa Harus dengan Lapar dan Haus?
Oleh: M. Husnaini
Kita sudah memasuki puasa hari ke-6 di bulan Ramadan tahun ini. Puasa, menurut Emha Ainun Nadjib, adalah pilihan untuk “tidak” atas sesuatu yang sewajarnya “ya”, atau keputusan untuk “ya” terhadap sesuatu yang halal untuk “tidak”. Pahala besar dijanjikan untuk yang berpuasa.
Namun, tidak mudah mengaplikasikan nilai puasa. Sekadar menahan diri dari makan, minum, dan seks sepanjang siang, banyak orang mampu. Bagaimana dengan mengendalikan diri untuk tidak marah, tidak galau, tidak jorok, dan tidak berbuat jahat sejak terbit fajar hingga petang hari.
“Betapa banyak orang berpuasa, namun tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga,” kata Nabi. Mengacu pada hadis itu, hampir pesimis bahwa puasa kita benar-benar berbuah pahala. Puasa perut mungkin berhasil, tetapi belum tentu puasa badan, puasa pikiran, apalagi puasa hati.
Sepanjang umur, kita harus berjuang untuk mencapai hakikat puasa, yaitu pengendalian. Jangan memasuki suatu sistem yang membuat kita melampiaskan. Islam itu sesungguhnya mengendalikan, bukan melampiaskan. Hidup, kata bijak bestari, harus mampu ngegas dan ngerem.
Kebiasaan sebar hoaks, postingan atau komentar bernada kebencian dan fitnah, mulai sekarang dan seterusnya, harus kita setop. Ayo manfaatkan media sosial untuk silaturahmi dan saling tebar manfaat antarsesama. Kendalikan diri untuk tidak gemar mengunggah sampah di dunia maya.
Kenapa kita diperintahkan berpuasa dari makanan dan minuman? Saya ingin berbagi kisah yang saya simak dari kultum seorang mubalig. Bagi yang sudah pernah mendengar atau membaca, supaya tidak lupa. Yang baru membaca di sini, semoga mendapat inspirasi.
Tujuan puasa, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran, adalah supaya kita menjadi orang bertakwa. Lalu kenapa membentuk takwa harus dengan puasa?
Mubalig kita kemudian berkisah. Di zaman azali, ketika Allah hendak menciptakan manusia, Dia memberikan dua peranti canggih. Yang pertama bernama akal. Akal itu ibarat software. Tidak terlihat dan tidak terdeteksi secara kasat mata, namun ter-install dalam otak.
Ketika hendak dipasang ke otak manusia, akal ditanya oleh Allah, “Siapa aku dan siapa kamu?” Akal menjawab tegas, “Engkau adalah Tuhanku, sementara hamba ini kawula-Mu.”
Tidak heran, ketika manusia hidup selalu berpedoman kepada akal, hidup manusia niscaya berada dalam kebenaran. Akal mampu memilah antara benar dan salah.
Software kedua yang diberikan Allah kepada kita adalah nafsu. Nafsu itu sumber segala rasa. Ketika hendak disematkan ke jiwa manusia, nafsu ditanya oleh Allah sebagaimana pertanyaan yang diajukan ke akal. Tiba-tiba nafsu menjawab, “Kamu ya kamu, sementara aku adalah aku.”
Allah kemudian memasukkan nafsu ke dalam neraka. Setelah disiksa beberapa lama, kembali nafsu ditanya oleh Allah. Jawabannya tetap sama. Segera nafsu dibawa balik ke neraka, dan dibakar ulang sampai gosong. Ketika ditanya lagi dengan pertanyaan yang sama, eh jawaban nasfu tetap sama.
Belum juga mau mengakui kebesaran Allah, lagi-lagi nafsu dilemparkan ke neraka. Tetapi, kali ini dengan jenis siksaan berupa lapar dan haus. Jadi, siksaan yang diberikan sekarang adalah tidak diberikan makan dan minum. Apa yang terjadi?
Ternyata nafsu menyerah, luruh. Dengan kata lain, ketika dientaskan dari neraka lapar dan haus itu, lantas ditanya ulang oleh Allah dengan pertanyaan yang masih sama, barulah nafsu tunduk dan menjawab, “Engkau adalah Tuhanku, sementara aku adalah kawula-Mu.”
Terjawab sudah kenapa membentuk takwa harus dengan puasa. Semoga setiap puasa kita benar-benar mampu membekuk jalangnya nafsu, dan berhasil menjadikannya bersedia sujud dan patuh di hadapan kedigdayaan Allah.
Dr Nurkholis FIAI UII Ajak Raih Harta Karun Kebaikan
Menyemarakkan bulan Ramadhan 1446 hijriyah bertepatan 2025 masehi, Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan kajian menjelang buka bersama. Kajian membahas kitab Kunuzul Hasanat dengan narasumber Dr. Nur Kholis, SEI., M.Sh.Ec, Kamis (6/3/2025) di Auditorium Gedung KHA Wahid Hasyim FIAI, Kampus Terpadu UII Jalan Kaliurang km 14.4 Sleman.
“Allah subhanahu wa ta’ala, menyayangi hamba-Nya dengan di antaranya memberikan harta karun kebaikan yang luar biasa banyak, namun cukup ditebus dengan melakukan amalan yang hanya memakan waktu beberapa detik saja, misalnya membaca tasbih, tahmid, takbir masing-masing 33 kali setiap selesai salat fardu, dan dilengkapi dengan tahlil 1 kali, sehingga total 100 kali, maka akan diampuni kesalahan-kesalahannya walaupun sebanyak buih di lautan” ajak Dr. Nurkholis, Wakil Dekan Bidang Sumber Daya FIAI UII.
Tambahnya, harta karun kebaikan berjumlah milyaran juga bisa diraih dengan mengamalkan secara istikamah mendoakan sesama mukmin dan mukminat ketika sedang berdoa. Namun, banyak orang luput untuk mendapatkan harta karun kebaikan yang disediakan Allah subhanahu wa ta’ala karena lalai untuk menjaga amalan-amalan sederhana yang tergolong kunuz al-hasanat atau harta karun kebaikan tersebut. Untuk itu, perlunya memperhatikan amalan-amalan yang mengandung kunuz al-hasanat tersebut, karena sangat efektif dan efisien untuk meraih bermilyar kebaikan setiap hari.
Selepas kajian dilanjutkan dengan buka bersama kurang lebih 100 peserta hadir, terdiri dari mahasiswa, dosen dan tenaga kependidikan. (IPK)
Puasa dan Rokok
Puasa dan Rokok
Oleh: M. Husnaini
Puasa mengajarkan tentang batas supaya manusia menikmati segala yang ada. Setiap manusia diberikan nikmat, kendati tidak semua mampu menikmatinya. Puasa, dengan demikian, mengajarkan manusia untuk menikmati segala yang dibutuhkan tanpa harus berlebih-lebihan.
Karena itu, puasa memang menyehatkan sekaligus menyelamatkan. Pasalnya, sumber dosa dan salah yang paling besar bermula dari urusan perut dan syahwat. Kesenangan juga sebenarnya kerap bermula dari “pintu atas” dan “pintu bawah” itu. Perut dan syahwat perlu dikendalikan.
Bagi teman-teman perokok yang ingin berhenti, misalnya, puasa adalah cara tepat untuk berhenti merokok. Status kehalalan rokok memang diperbantahkan para ulama, tetapi tidak seorang pun yang bilang merokok itu baik. Makruh hingga haram itu letaknya ada di barisan larangan agama.
Mampukah kita melakukannya? Tinggal keinginan dan kemauannya. Puasa, dalam arti menahan keinginan perut dan syahwat, sebenarnya tidak berat. Yang berat adalah menundukkan ego untuk taat pada tuntunan syariat. Berhenti merokok juga tentang pengendalian diri saja.
Di situlah yang berat. Tidak ada orang sakit atau mati gara-gara berhenti merokok. Buktinya, ketika sedang berpuasa, kita kuat seharian tanpa rokok. Sekali lagi, puasa paling berat memang mengendalikan diri dari bersikap, berucap, dan bahkan berpikir muspra. Puasa bukan sekadar menjaga perut dan syahwat.
Puasa yang melampaui sekadar urusan perut dan syahwat akan mendatangkan hikmah. Di antara hikmah puasa adalah menanamkan rasa syukur. Kebiasaan bersyukur menjadikan nikmat yang sedikit terasa banyak. Kufur nikmat dapat menjadikan hidup dan kehidupan ini terasa berat dan melarat.
Kurangi perdebatan saat berpuasa, termasuk ketika membaca tulisan ini. Satu-satunya konsumsi tidak menyehatkan yang selalu dipertahankan oleh para penikmatnya dengan berbagai dalih & dalil adalah rokok. Tetapi, awas, jangan sampai perbantahan tentang rokok justru mengurangi nilai pahala puasa di bulan mulia yang kita telah bersusah payah mengumpulkannya.
Agama mengajarkan kemampuan mengendalikan diri, bukan melampiaskan. Pengendalian diri itulah inti ajaran puasa sebulan penuh selama Ramadan. Termasuk bagaimana mengendalikan diri untuk tidak merokok bagi para pecandu tembakau yang sudah niat berhenti. Mulailah sejak membaca tulisan sederhana ini.
Sudahkah Kita Bertadarus?
Sudahkah Kita Bertadarus?
Oleh: M. Husnaini
Al-Quran adalah pedoman utama bagi umat Islam. Namun, sejauh mana kita benar-benar berinteraksi dengan kitab suci ini? Ada empat model interaksi yang bisa kita lakukan terhadap Al-Quran: tilawah, qiraah, tadarus, dan tadabur. Semakin tinggi tingkat interaksi kita, semakin besar manfaat yang bisa kita peroleh dalam kehidupan sehari-hari.
Ya, ada empat model interaksi kita dengan Kitab Suci Al-Quran. Yang pertama adalah tilawah. Tilawah merupakan tahap paling dasar dalam berinteraksi dengan Al-Quran, yaitu sekadar melafalkan ayat-ayat suci tanpa memahami maknanya. Meskipun tilawah memiliki pahala tersendiri, jika tidak diiringi dengan pemahaman, maka manfaatnya tidak optimal.
Tingkatan interaksi di atas itu ialah qiraah, yaitu membaca Al-Quran dengan memahami maknanya melalui terjemahan. Ini merupakan langkah awal untuk menjadikan Al-Quran sebagai petunjuk hidup. Dengan memahami arti ayat-ayat yang dibaca, seseorang dapat mulai menghubungkan pesan Al-Quran dengan kehidupan sehari-hari.
Yang lebih tinggi derajatnya dari dua model di atas adalah tadarus. Model interaksi yang ketiga ini tidak cukup dengan menengok terjemahannya, tetapi juga meneliti tafsir dan sebab turun ayat. Interaksi pada tahap ini membuat Al-Quran terasa lebih relevan dengan kehidupan. Ayat-ayat yang turun 14 abad lalu di Makkah terasa seperti baru saja diwahyukan untuk kita saat ini.
Kemudian, yang paling keren adalah tadabur. Inilah tingkat interaksi tertinggi, yaitu mencari jawaban atas berbagai persoalan hidup melalui Al-Quran. Tadabur mengajak kita untuk menggali hikmah di balik setiap ayat dan mengaplikasikannya dalam kehidupan. Jika umat Islam mampu mencapai tahap ini, maka Al-Quran akan benar-benar menjadi way of life yang membimbing setiap langkah hidup.
Kebanyakan umat Islam baru sampai pada model interaksi tingkat pertama, yaitu tilawah. Tidak heran jika Al-Quran belum menjadi way of life. Di antara penyebabnya barangkali karena kurangnya motivasi untuk memahami makna Al-Quran. Banyak orang merasa cukup hanya dengan membaca tanpa berusaha memahami isinya.
Keterbatasan akses terhadap tafsir juga faktor lain. Artinya, tidak semua orang Islam memiliki kesempatan untuk belajar tafsir, terutama yang berbahasa Arab. Yang tidak boleh lupa disebut juga ialah kebiasaan membaca Al-Quran tanpa mau berpikir. Sebagian besar orang Islam ini, tidak disangkal, membaca Al-Quran hanya sebagai ritual tanpa mencoba merenungkan maknanya. Yang penting mendapatkan pahala.
Lebih parah lagi, masih ada orang Islam yang bahkan buta huruf Al-Quran. Dengan kata lain, baru pada tingkat tilawah atau sekadar melafalkan bacaan Al-Quran saja, belum semua kita bisa.
KH Ahmad Dahlan, pendiri Persyarikatan Muhammadiyah, memberikan kiat praktis dalam mempelajari Al-Quran. Yaitu ambillah beberapa ayat, bacalah dengan tartil, kemudian dikaji: Bagaimana arti ayat tersebut? Bagaimana tafsirnya? Apa maksudnya? Apakah ayat tersebut berisi perintah atau larangan? Jika itu perintah, apakah sudah dikerjakan? Jika larangan, apakah sudah ditinggalkan?
Metode ini sangat praktis dan bisa diterapkan oleh siapa saja. Terlebih lagi, saat ini sudah banyak kitab tafsir dan buku asbabun nuzul yang tersedia dalam bahasa Indonesia, bagi yang tidak mampu mengakses kitab-kitab tafsir berbahasa Arab.
Sudah saatnya umat Islam meningkatkan kualitas interaksi dengan Al-Quran. Jangan hanya puas dengan tilawah, apalagi jika membacanya dengan terburu-buru dan tidak fasih. Mulailah dengan qiraah, lanjutkan ke tadarus, dan berusahalah mencapai tadabur. Dengan demikian, Al-Quran akan menjadi sumber inspirasi dalam menjalani kehidupan.
Jangan sampai generasi kita hanya sekadar bisa melafalkan Al-Quran, tetapi tidak memahami isinya. Ajaklah keluarga, teman, dan masyarakat untuk bersama-sama mendekatkan diri kepada Al-Quran dengan pemahaman yang lebih mendalam. Sebab, Al-Quran bukan hanya untuk dibaca, tetapi juga untuk direnungkan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Puasa di Era Digital
Puasa di Era Digital
Oleh: M. Husnaini -Dosen FIAI UII
Puasa, kata Emha Ainun Nadjib, adalah suatu proses seleksi dan pendewasaan pikiran agar kita menemukan perbedaan antara yang nomor satu dan yang tidak nomor satu.
Kita sedang berpuasa di zaman kemajuan. Segalanya serba mudah. Utamanya, jika kita tidak gaptek dan mau memanfaatkan segala kecanggihan teknologi. Saya tidak berbicara tentang efek negatif teknologi. Sebab, membicarakan hal-hal positif dan kiat-kiat memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk mencari manfaat, lebih menarik hati saya.
Gunakanlah seluruh akun jejaring sosial Anda untuk berbagi kebaikan. Sebisa Anda. Yang terampil menulis, silakan berbagi kebaikan melalui tulisan. Yang bisa ceramah, boleh berbagi kebaikan via lisan. Yang pintar membikin gambar, video, atau meme inspiratif, berbagilah postingan-postingan menarik itu kepada orang lain.
Di samping berbagi, manfaatkanlah akun-akun jejaring sosial Anda untuk menambah wawasan. Mulailah membaca dan memahami postingan-postingan yang berisi ilmu. Sekarang ini, mengikuti pemikiran-pemikiran tokoh cukup mudah. Tidak perlu harus sowan ke rumah mereka. Sebagian besar dapat dijumpai melalui media sosial.
Kemudian, isilah pula gadget Anda dengan aplikasi keislaman. Al-Qur’an, misalnya. Syukur-syukur dilengkapi terjemah dan tafsirnya, sehingga saat senggang, Anda bisa membuka, membaca, dan memahaminya. Selama ini, kita sudah berhasil khatam Al-Qur’an selama Ramadan. Kadang sekali, bahkan ada yang khatam berkali-kali.
Tetapi, cobalah mulai Ramadan ini, Al-Qur’an tidak sekadar kita baca hingga khatam, namun sedikit demi sedikit kita buka terjemahannya. Syukur-syukur tafsirnya, agar kita paham isi Al-Qur’an. Dengan begitu, interaksi kita dengan Al-Qur’an tidak hanya mendatangkan pahala semata, tetapi sekaligus membuahkan ilmu dan hikmah.
Kiranya masih banyak trik-trik menarik untuk memanfaatkan kemudahan teknologi guna mengeruk sebanyak mungkin pahala di Bulan Suci. Masing-masing Anda bisa berkreasi dan berbagi. Lebih baik saling berlomba untuk menguak sisi-sisi kebaikan sesuatu daripada bersaing untuk mengungkap lorong-lorong keburukannya.
Ramadan harus menjadi starting point untuk makin mencintai Allah. Yaitu, patuh dan tunduk demi mengagungkan, memuliakan, dan mengharapkan-Nya. Ucapan-ucapan mulia, seperti zikir dan mendaras Al-Qur’an adalah wujud cinta kepada Allah. Juga, mendahulukan perintah Allah daripada kesenangan, syahwat, dan keinginan diri.
Puasa mengajarkan kita untuk meninggalkan sesuatu yang kita sukai, dan sesuatu yang kita sukai itu harusnya bukan sebatas urusan perut dan nafsu seksual. Kalau hanya meninggalkan makan dan minum, anak kecil juga bisa. Apalagi sekadar tidak melakukan hubungan seksual. Sudah pasti tujuan puasa bukan sekadar begitu.
Sebaliknya, puasa harus mampu mendorong kita untuk mampu melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak kita sukai. Lapar, siapa suka. Tapi karena itu mau Allah, maka kita manut. Dus, motivasi kita dalam puasa adalah rida Allah, bukan gairah nafsu durjana. Demikian pula motivasi kita dalam berbagai urusan lain dalam hidup ini.
Tiada kenikmatan kecuali setelah kepenatan, begitu kata pepatah Arab. Dan, kehidupan membuktikan bahwa nikmatnya makan adalah setelah lapar, nikmatnya kerja adalah setelah nganggur, nikmatnya pasangan adalah setelah menjomblo, nikmatnya kendaraan adalah setelah nyeker, dan seterusnya.
Kemudian, semua kesusahan akan terasa enteng saja manakala kita maknai sebagai bentuk puasa. Toh setiap puasa pasti ada waktunya berbuka. Jadi, tidak ada galau mendekat, karena kita senantiasa yakin bahwa kebahagiaan pasti menanti kita saat berbuka nanti.
Betapa ringan segala beban hidup yang kita tanggung ini sekiranya kita mampu mempraktikkan spirit puasa dalam keseharian. Sewaktu sakit, kita yakin bahwa kita sedang berpuasa, yang berbukanya adalah ketika sehat nanti. Sewaktu miskin, kita yakin bahwa kita sedang berpuasa, yang berbukanya adalah ketika kaya nanti. Sewaktu gagal, kita yakin bahwa kita sedang berpuasa, yang berbukanya adalah ketika sukses nanti.
Silakan dikembangkan dengan contoh-contoh lain. Sekali lagi, spirit puasa penting kita camkan dan terapkan dalam menapaki hidup yang serba tidak menentu ini.
Menjadi Insan Ulul Albab
Menjadi Insan Ulul Albab
Oleh: M. Husnaini
Pembahasan tentang Ulul Albab kian relevan di tengah maraknya praktik bernegara yang kerap mempertontonkan kontradiksi antara praktik pengejawantahan akal dan hati. Kita menyaksikan orang-orang cerdas yang terjerumus dalam korupsi dan kejahatan struktural, sementara mereka yang berhati baik justru lugu, kurang memahami, atau bahkan tak tertarik pada kajian ilmu.
Inilah yang diangkat Prof Mahfud MD dalam kajian FITRAH (Fokus Ilmu & Tarawih) di Masjid Ulil Albab Universitas Islam Indonesia. Berikut adalah poin-poin yang sempat saya catat dalam kajian malam ketiga yang berlangsung sekitar 45 menit tersebut.
Ulul Albab, dalam bahasa Prof Mahfud MD, adalah orang yang akalnya sehat, kalbunya sehat. Jika akal sehat tapi kalbunya sakit, orang akan menjadi sangat berbahaya. Contohnya adalah orang yang mengoplos Pertamax dengan Pertalite.
Akal yang sehat selalu berpikir. Kalbu yang sehat selalu berzikir. Ulul Albab, sebagaimana dilukiskan dalam surah Ali Imran: 190-191, adalah mereka yang menyelaraskan akal dan hati dalam harmoni, sehingga mampu menangkap keindahan ciptaan Allah dalam setiap aspek kehidupan.
Kata Prof Mahfud MD, sebab turun tersebut sangat mengharukan. Suatu pagi, Nabi tidak kunjung datang ke masjid sampai azan subuh berkumandang. Padahal rumah Nabi dan masjid terbilang dekat. Para sahabat gelisah. Bilal pun datang ke rumah Nabi, dan mendapati beliau menangis. Ditanya Bilal, Nabi menjawab bahwa beliau khawatir jika umat ini tidak menjadi Ulul Albab.
Nabi khawatir kalau umat ini berzikir saja tapi tidak berpikir. Hatinya hidup tapi tidak berilmu menyebabkan umat gampang ditipu dan dibohongi. Demikian pula sangat bahaya jika umat hanya sibuk berpikir tapi tidak berzikir, sebagaimana disebutkan di bagian atas.
Perintah berpikir mendorong orang terus mencari dan mengembangkan ilmu. Ini sangat penting bagi kehidupan. Namun, ilmu harus dikawal dengan agama. Dan itu hanya terjadi jika umat ini menghidupkan radar kalbu dengan terus berzikir.
Akhirnya, Ulul Albab adalah impelementasi dari kecerdasan intelektual dan spiritual secara bersamaan. Kita semua dituntut menjadi insan Ulul Albab, sebagaimana telah dirumuskan Universitas Islam Indonesia dalam kurikulumnya sebagai insan yang berkepribadian Islami, berpengetahuan integratif, berkepemimpinan profetik dan berketerampilan transformatif.
Puasa sebagai Ritual Kemanusiaan
Puasa sebagai Ritual Kemanusiaan
Oleh Kurniawan Dwi Saputra – Dosen Prodi Pendidikan Agama Islam
Sudah jamak diketahui bahwa puasa adalah ibadah mahdhah. Dalam salah satu hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra dijelaskan bahwa puasa adalah milik Allah, dan Allah pula yang akan membalas (ukuran) ganjarannya. Akan tetapi, di samping dimensi itu, puasa juga mengandung sebuah nilai kemanusiaan yang penting. Dalam surat al-Baqarah 183, Allah Swt menjelaskan sekilas tentang genealogi puasa:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. Al-Baqarah 183).
Dalam menafsirkan ayat ini, Syekh Abdul Hakim Murad menjelaskan bahwa puasa adalah ibadah umat manusia. Dari ayat di atas tersurat jelas bahwa puasa diwajibkan kepada umat-umat sebelum umat Islam. Menurut beliau, hal ini berarti puasa telah diketahui oleh semua umat manusia sepanjang sejarah, bukan hanya umat Nasrani dan Yahudi seperti yang jamak diketahui.
Dalil bahwa puasa sebagai ibadah umat manusia adalah fakta bahwa hewan tidak bisa berpuasa dengan sengaja. Sebagai makhluk hidup, manusia dan hewan sama-sama membutuhkan makanan. Akan tetapi berbeda dengan manusia, hewan hanya akan menahan lapar dan haus dalam keadaan terpaksa, misalnya karena ketiadaan makanan atau melewati siklus biologis tertentu. Puasa, kata Alija Izetbegovic, seorang filsuf muslim Bosnia, adalah pilihan yang hanya bisa dibuat manusia dan oleh karena itu merupakan ekspresi tertinggi dari kehendak bebas.
Puasa adalah ritual kemanusiaan karena melibatkan ciri kemanusiaan, yaitu intensionalitas, kesadaran atau bahasa awamnya, niat. Karena itu, niat merupakan salah satu rukun puasa yang tak bisa ditinggalkan. Dalam penjelasan mengenai hadis niat, disebutkan bahwa niat ada dua jenis. Pertama, niyyatu al-amal, niat melakukan ibadah. Ini merupakan pembahasan para ahli fikih yang sebagian merumuskannya menjadi lafal niat yang kita kenal, nawaitu shauma ghadin dst. Kedua, niyyatu al-ma’mul lahu, yaitu tujuan dari ibadah yang dilakukan. Aspek ini merupakan pembahasan para ahli tasawuf dan tazkiyah. Niat jenis kedua ini berhubungan dengan tujuan ibadah kita apakah Ikhlas lillahi ta’ala atau untuk tujuan lainnya.
Ikhlas adalah perkara batin yang menjadi urusan pribadi manusia dengan Allah. Namun, secara zahir, ikhlasnya niat seseorang dalam berpuasa ditandai dengan tercapainya hikmah puasa, seperti yang tersurat dalam al-Baqarah 183 di atas, yaitu meningkatnya kualitas ketakwaan seseorang. Maka, seseorang yang puasanya Ikhlas, maka seseorang akan menjadi lebih bertakwa. Sedangkan indikasi dari kualitas ketakwaan yang tampak adalah dengan menjalankan perintah-perintah agama dan menjauhi larangan-larangannya.
Sebaliknya, kesalahan niat dalam puasa dapat mengakibatkan kita menjalani puasa binatang yang hanya merasakan lapar dan haus. Nabi Muhammad Saw bersabda dalam hadis dari Abu Hurairah Ra:
رب صائم ليس له من صيامه إلا الجوع ورُبَّ قائمٍ ليس له من قيامِه إلا السَّهرُ
Artinya: berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar, dan berapa banyak orang yang mendirikan (malam untuk beribadah) tidak mendapatkan apapun darinya kecuali (rasa kantuk dan lelah) keterjagaan (HR. Ibnu Majah).
Oleh karena itu, dalam momentum puasa Ramadhan kali ini, mari kita bersama-sama meluruskan niat puasa. Pertama-tama, dari aspek niyyatu al-amal, jangan sampai kita melupakan niat puasa Ramadhan kita pada malam hari sebelum terbit fajar, terlepas dari perbedaan pendapat apakah harus dilafalkan atau tidak. Kedua dan yang terpenting, pada aspek niyyatu al-ma’mul lah, mari kita ikhlaskan puasa Ramadhan tahun ini semata hanya untuk Allah, sembari mencoba memperbaiki ketakwaan kita, lewat pemenuhan segala perintahnya dan penjauhan segala larangannya. Wallahu ta’ala a’lam.
Ramadan dan Training Istikamah
Oleh: M. Husnaini
Jika Ramadan datang, pintu surga dibuka dan pintu neraka ditutup. Sabda Nabi tersebut dapat dimaknai bahwa keinginan berbuat kebaikan di bulan ini terbuka lebar. Sementara itu, kesempatan berbuat kejahatan tertutup rapat. Artinya, mayoritas orang Islam terdorong untuk melakukan kegiatan ibadah dibanding maksiat.
Meskin demikian, tantangan utama menunaikan kebaikan secara berkelanjutan adalah kebosanan. Sebab itu, istikamah sangat tidak ringan dipraktikkan. Buktinya, lihat saja shaf shalat tarawih di masjid-masjid selama Ramadan.
Waktu terbagi tiga: masa lalu, sekarang, dan masa depan. Hasil hari ini adalah upaya masa lalu, sementara usaha hari ini adalah pondasi masa depan. Maksudnya, jika ingin berjaya di masa depan, usaha keras harus dimulai sejak sekarang. Sebab, apa pun yang terjadi dan berlaku sekarang ini adalah buah upaya di masa lalu.
Masalahnya, tantangan berat manusia adalah soal istikamah. Dinamika kehidupan dapat mengubah fokus manusia. Ucapan dan perbuatan dari waktu ke waktu tidak selalu sama. Jejak digital sering membuktikan. Sikap politik seorang tokoh beberapa waktu lalu, misalnya, ternyata berseberangan dengan pilihannya sekarang.
Nabi mengingatkan, yang intinya, ada di antara kita orang yang melakukan perbuatan ahli surga sehingga jarak antara dirinya dan surga hanya tinggal sehasta. Tetapi catatan mendahuluinya, akhirnya dia melakukan perbuatan ahli neraka dan masuk ke neraka. Karena itu, kita tidak boleh gampang puas dengan pencapaian sekarang.
Kalau tidak dijaga benar-benar, boleh jadi kebaikan yang kita perjuangkan sekarang tidak bertahan lama. Merawat konsistensi itu tidak ringan. Istikamah, bahkan, menjadi ukuran keikhlasan seseorang. Sebab, suatu amalan dinilai di akhirnya. Dan, waktu akan menjawab apakah kita mati dalam keadaan Muslim atau justru sebaliknya.
Menjalani Ramadan ini juga demikian. Karena itu, hentikan perdebatan terkait jumlah rakaat shalat tarawih, misalnya. Yang terpenting ialah sejauh mana kita mengerjakannya secara khusyuk, ikhlas, dan istikamah. Suatu tradisi bagus yang kita kerjakan secara tulus & istikamah juga kerap mendatangkan rezeki yang sebelumnya tidak kita duga-duga.