Jangan Lelah Berdoa
Oleh: M. Husnaini
Kata Nabi, doa orang yang sedang berpuasa itu mustajab, manjur. Karena itu, Ramadan merupakan waktu yang tepat digunakan untuk berdoa kepada Allah. Tulisan berikut saya copas dari anonim, dengan sedikit editing kalimat dan tanda baca dari saya sendiri. Katanya, ini kisah nyata yang terjadi di Pakistan.
Seorang dokter ahli bedah terkenal bernama Dokter Ishan tergesa-gesa menuju bandara. Beliau berencana akan menghadiri seminar dunia dalam bidang kedokteran yang akan membahas penemuan terbesar beliau di bidang kedokteran.
Setelah perjalanan pesawat sekitar satu jam, tiba-tiba diumumkan bahwa pesawat mengalami gangguan dan harus mendarat di bandara terdekat.
Dokter Ishan mendatangi ruangan penerangan dan berkata, “Saya ini dokter spesial, tiap menit nyawa manusia bergantung pada saya, dan sekarang kalian meminta saya menunggu pesawat diperbaiki dalam enam belas jam?”
Pegawai di bandara menjawab, “Wahai Dokter, jika Anda terburu-buru, Anda bisa menyewa mobil. Tujuan Anda tidak jauh lagi dari sini, kira-kira dengan mobil, tiga jam tiba.”
Dokter Ishan setuju dengan usul pegawai tersebut dan menyewa mobil.
Baru berjalan lima menit, tiba-tiba cuaca mendung, disusul dengan hujan besar disertai petir yang mengakibatkan jarak pandang sangat pendek.
Setelah berlalu hampir dua jam, sopir dan Dokter Ishan yang berada di dalam mobil tersadar bahwa mereka tersesat dan terasa kelelahan.
Terlihat sebuah rumah kecil tidak jauh dari hadapan Dokter Ishan, dihampirilah rumah tersebut dan mengetuk pintunya.
Terdengar suara seorang wanita tua, “Silakan masuk. Siapa, ya?”
Terbukalah pintunya.
Dokter Ishan masuk dan meminta kepada ibu tersebut untuk istirahat duduk dan mau meminjam teleponnya.
Ibu itu tersenyum dan berkata, “Telepon apa, Nak? Apa Anda tidak sadar ada di mana? Di sini tidak ada listrik, apalagi telepon. Namun demikian, masuklah. Silakan duduk saja dulu, istirahat. Sebentar, saya buatkan teh dan sedikit makanan untuk menyegarkan dan mengembalikan kekuatan Anda.”
Dokter Ishan mengucapkan terima kasih kepada ibu itu, lalu memakan hidangan.
Sementara ibu itu shalat dan berdoa serta perlahan-lahan mendekati seorang anak kecil yang terbaring tak bergerak di atas kasur di sisi ibu tersebut, dan dia terlihat gelisah di antara tiap shalat.
Ibu tersebut melanjutkan shalatnya dengan doa-doa yang panjang.
Dokter Ishan mendatanginya dan berkata, “Demi Allah, Anda telah membuat saya kagum dengan keramahan Anda dan kemuliaan akhlak Anda. Semoga Allah menjawab doa-doa Anda.”
Ibu itu berkata, “Nak, Anda ini adalah ibnu sabil yang sudah diwasiatkan Allah untuk dibantu. Sedangkan doa-doa saya sudah dijawab Allah semuanya, kecuali satu.”
“Apa itu doanya?” tanya Dokter Ishan.
Ibu itu menjawab, “Anak ini adalah cucu saya. Dia yatim piatu. Dia menderita sakit yang tidak bisa disembuhkan oleh dokter-dokter yang ada di sini. Mereka berkata kepada saya, ada seorang dokter ahli bedah yang akan mampu menyembuhkannya. Katanya, namanya Dokter Ishan. Akan tetapi, dia tinggal jauh dari sini, yang tidak memungkinkan saya membawa anak ini ke sana, dan saya khawatir terjadi apa-apa di jalan. Makanya, saya berdoa kepada Allah agar memudahkannya.”
Menangislah Dokter Ishan dan berkata sambil terisak, “Allahu Akbar. La haula wa la quwwata illa billah. Demi Allah, sungguh doa ibu telah membuat pesawat rusak dan harus diperbaiki lama serta membuat hujan petir dan menyesatkan kami hanya untuk mengantarkan saya kepada ibu secara cepat dan tepat.”
“Sayalah Dokter Ishan, Bu,” kata sang dokter selanjutnya. “Sungguh Allah SWT telah menciptakan sebab seperti ini kepada hamba-Nya yang mukmin dengan doa. Ini adalah perintah Allah kepada saya untuk mengobati anak ini.”
Sahabat semua, jangan pernah berhenti berdoa karena diam-diam Allah akan menjawabnya, kendati kita tidak tahu entah suatu kapan.

Akar Kebahagiaan
Akar Kebahagiaan
Oleh: M. Husnaini
Kebahagiaan itu berakar pada kebaikan. Tidak ada perbuatan baik, sekecil apa pun, yang sia-sia. Di bawah ini saya kutipkan beberapa kalimat motivasi dari berbagai sumber.
Sengaja tidak disertakan sumbernya, supaya kita dapat memahami dan mengamalkannya tanpa harus terlebih dahulu mempermasalahkan siapa pengucapnya.
____
“Jika waktu kita tidak disibukkan dengan kebaikan, pasti hari-hari kita akan diribetkan dengan keburukan.”
“Tidak perlu menjelaskan tentang diri kita kepada siapa pun. Karena, yang menyukai kita tidak butuh itu, dan yang membenci kita tidak percaya itu.”
“Orang yang mengolok-olok kita itu sesungguhnya sama sekali tidak membuka kejelekan kita. Dia hanya sedang membeberkan aibnya sendiri.”
“Apabila kita diremehkan atau direndahkan, jangan pernah membalas dengan ucapan yang kasar pula, tetapi marilah kita jawab dengan karya nyata.”
“Tiga hal dalam hidup yang tidak akan pernah kembali ialah waktu, ucapan, dan kesempatan.”
“Jagalah pikiran kita ketika kita sendirian, tetapi hati-hatilah dengan ucapan kita ketika kita sedang bersama banyak orang.”
“Sulit sekali mengubah hati orang lain untuk berbaik sangka kepada kita. Namun, kita bisa melatih hati kita untuk berbaik sangka kepada orang lain.”
“Jangan kita terlalu pintar menilai orang lain, dan berubah menjadi teramat bodoh ketika menilai diri kita sendiri.”
“Sakit itu asalnya dari mulut. Kalau tidak salah makan, pasti salah ngomong.”
“Ilmu itu ada tiga tahapan. Jika seseorang baru memasuki tahap pertama, dia akan sombong. Jika memasuki tahap kedua, dia akan rendah hati. Dan, jika memasuki tahap ketiga, dia akan merasa dirinya tidak ada apa-apanya.”
Managemen Waktu
Managemen Waktu
Oleh: M. Husnaini
Waktu terbagi tiga: masa lalu, sekarang, dan masa depan. Hasil hari ini adalah upaya masa lalu, sementara usaha hari ini adalah pondasi masa depan. Maksudnya, jika ingin berjaya di masa depan, usaha keras harus dimulai sejak sekarang. Sebab, apa pun yang terjadi dan berlaku sekarang ini adalah buah upaya di masa lalu.
Masalahnya, tantangan berat manusia adalah soal istikamah. Dinamika kehidupan dapat mengubah fokus manusia. Ucapan dan perbuatan dari waktu ke waktu tidak selalu sama. Jejak digital sering membuktikan. Sikap politik seorang tokoh beberapa waktu lalu, misalnya, ternyata berseberangan dengan pilihannya sekarang.
Nabi mengingatkan, yang intinya, ada di antara kita orang yang melakukan perbuatan ahli surga sehingga jarak antara dirinya dan surga hanya tinggal sehasta. Tetapi catatan mendahuluinya, akhirnya dia melakukan perbuatan ahli neraka dan masuk ke neraka. Karena itu, kita tidak boleh gampang puas dengan pencapaian sekarang.
Kalau tidak dijaga benar-benar, boleh jadi kebaikan yang kita perjuangkan sekarang tidak bertahan lama. Merawat konsistensi itu tidak ringan. Istikamah, bahkan, menjadi ukuran keikhlasan seseorang. Sebab, suatu amalan dinilai di akhirnya. Dan, waktu akan menjawab apakah kita mati dalam keadaan Muslim atau justru sebaliknya.
Di antara keterampilan yang harus kita punya, jika ingin hidup nyaman dan lancar, adalah keterampilan managemen waktu. “SOS: Sapa Ora Sibuk?” begitu kata judul buku Much Khoiri. Buku itu memprovokasi orang supaya sesibuk apa pun, harus tetap berkarya. Sebab, realitanya tidak ada orang yang tidak sibuk. Kalau tidak sibuk, ya minimal sok sibuk.
Untuk mengatur waktu, baik jika kita tetapkan jadwal kesibukan harian, dan ditepati. Banyak orang sukses bukan karena dia cerdas atau pandai, melainkan karena disiplin dan istikamah. Dia terampil mengatur waktu. Sehingga dalam waktu yang sama dengan orang lain, yaitu sama-sama 24 jam, dia sanggup menghasilkan lebih banyak kegiatan positif.
Sebaliknya, tidak sedikit orang yang cerdas tetapi hidupnya berantakan. Pasalnya, dia tidak terampil mengatur waktu. Hidupnya semrawut. Selalu dihajar oleh kesibukan, ditendangi oleh pekerjaan, dipukuli oleh tuntutan, dan disikuti oleh target. Karena itu, di sinilah pentingnya managemen waktu. Jadwal waktu harian yang ditepati itu penting.
Orang yang tidak punya manajemen waktu secara tertib, meski pekerjaannya tidak terlalu banyak, tetapi terus digulung kesibukan. Tidak ada jeda sekadar untuk bersantai bersama keluarga atau teman. Membalas WhatsApp saja tidak sempat. Lebih celaka lagi kalau sampai tidak ada luang waktu untuk beribadah secara tertib dan khusyuk. Kasihan sekali, bukan?
Puasa dan Spirit Literasi
Puasa dan Spirit Literasi
Oleh: M. Husnaini
Puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga latihan spiritual yang melibatkan refleksi mendalam. Selama menjalankan ibadah puasa, seseorang diajak untuk lebih sadar terhadap dirinya sendiri, lingkungannya, dan hubungannya dengan Tuhan. Dalam proses ini, muncul keterkaitan menarik antara puasa dan literasi, terutama dalam aktivitas menulis.
Puasa mengajarkan manusia untuk memperlambat ritme hidup, mengendalikan hawa nafsu, dan merenungkan makna keberadaan. Dalam kondisi seperti ini, seseorang memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi isi pikirannya dengan lebih jernih. Menulis, sebagai bagian dari literasi, juga memiliki fungsi serupa. Saat seseorang menulis, ia melakukan refleksi atas pengalaman, pemikiran, dan perasaannya. Proses ini membantu penulis memahami diri sendiri dan menata pikirannya secara lebih sistematis.
Banyak ulama yang menggunakan momentum puasa untuk menulis karya-karya besar. Misalnya, Imam Al-Ghazali yang dalam kesunyiannya melahirkan “Ihya’ Ulumuddin”, sebuah karya monumental yang mengulas berbagai aspek kehidupan spiritual. Ini menunjukkan bahwa puasa menciptakan kondisi yang ideal untuk melahirkan pemikiran yang lebih dalam dan reflektif.
Baik puasa maupun menulis membutuhkan kesabaran dan ketekunan. Menjalankan ibadah puasa sebulan penuh bukan perkara mudah, tetapi dengan ketekunan, seseorang bisa menjalaninya hingga akhir. Begitu pula dalam menulis. Tidak semua tulisan bisa langsung sempurna; ia butuh proses panjang, revisi, dan refleksi agar bisa menjadi karya yang bermakna.
Puasa juga mengajarkan seseorang untuk tetap produktif meskipun dalam kondisi terbatas. Banyak orang mengira bahwa puasa akan membuat tubuh lemah dan malas berkarya. Namun, sejarah menunjukkan sebaliknya. Banyak tokoh besar justru lebih produktif selama bulan Ramadan. Misalnya, perjuangan besar dalam sejarah Islam seperti Perang Badar terjadi dalam kondisi berpuasa. Ini mengajarkan bahwa keterbatasan fisik bukanlah alasan untuk berhenti berkarya, termasuk dalam dunia literasi.
Dalam Islam, menulis adalah salah satu bentuk ibadah. Al-Qur’an sendiri diawali dengan perintah membaca (Iqra’), yang erat kaitannya dengan aktivitas literasi. Ketika seseorang menulis dengan niat baik, seperti menyebarkan ilmu atau menginspirasi orang lain, maka tulisannya menjadi amal jariyah yang pahalanya terus mengalir.
Dalam konteks puasa, menulis juga bisa menjadi sarana untuk mencatat perjalanan spiritual seseorang. Banyak orang yang menggunakan momen puasa untuk menulis jurnal refleksi, catatan harian, atau bahkan buku yang menginspirasi. Dengan menulis, pengalaman puasa yang penuh hikmah tidak hanya tersimpan dalam ingatan, tetapi juga bisa diwariskan kepada generasi mendatang.
Puasa dan menulis adalah dua aktivitas yang saling melengkapi dalam membentuk kedalaman spiritual seseorang. Puasa memberikan ruang untuk refleksi, sedangkan menulis menjadi alat untuk menuangkan hasil refleksi tersebut dalam bentuk yang lebih sistematis dan abadi. Jika puasa mengajarkan manusia untuk mengendalikan diri, maka menulis mengajarkan manusia untuk menyalurkan pemikirannya dengan bijak. Dengan menggabungkan keduanya, seseorang tidak hanya menjalani ibadah secara personal, tetapi juga berkontribusi dalam membangun peradaban literasi yang lebih baik.
Memaknai Ikhlas
Memaknai Ikhlas
Oleh: M. Husnaini
Salah satu istilah agama yang sering disalahartikan adalah kata ini. Ada yang menyangka ikhlas itu melakukan sesuatu ala kadarnya. Misalnya, kalau ditanya, “Kenapa Anda bersedekah cuma seribu?” dia menjawab, “Lebih baik seribu tetapi ikhlas ketimbang sejuta tetapi tidak ikhlas.”
Yang lucu, ikhlas juga dimaknai sebagai sikap menolak imbalan atas sebuah jasa. Jadi, kalau ada mubalig berceramah kok mau dikasih amplop, dia dituduh tidak ikhlas. Rupanya ada yang tidak beres dengan pemahaman sebagian kita tentang ikhlas.
Sejenak saya ajak Anda untuk menyimak kisah berikut.
Seorang lelaki setengah baya masuk mal. Membawa koper cukup besar. Dia naik eskalator. Tergugup-gugup. Mungkin belum terbiasa menyesuaikan kaki dan badannya dengan mekanisme dan irama tangga berjalan itu.
Sedemikian rupa sehingga dia terjatuh. Kopernya menggelinding ke bawah, terbuka, dan isinya terbaur keluar. Isi koper itu ternyata beribu-ribu lembaran uang sepuluh ribuan.
Tanpa sadar orang-orang yang berkerumun dan lalu lalang di sekitar tempat itu langsung menyerbu dan meroyok lembaran-lembaran uang yang berhamburan itu.
Lelaki setengah baya tersebut berteriak-teriak. Kemudian dia menangis dan menutupi mukanya.
“Uang saya diroyok orang! Uang saya diroyok orang…” sambatnya.
Tak ada yang memperhatikannya, sampai akhirnya tak ada orang tahu juga tatkala dia menghilang.
Ternyata dia sengaja. Dia ingin beramal, tapi jangan sampai ketahuan kalau beramal. Dia pura-pura menangis dan eman uangnya hilang, agar tak seorang pun menyangka bahwa sebenarnya dia sengaja melakukan itu. Dia ingin menyempurnakan keikhlasannya.
Demikian Emha Ainun Nadjib ketika menggambarkan apa itu ikhlas. Kalau tangan kanan kita berbuat baik, jangan sampai tangan kiri kita tahu, begitu kata Rasulullah. Ikhlas itu letaknya di dalam hati. Intinya, perbuatan baik itu jangan ditakaburkan. Tidak boleh dipamerkan.
Ikhlas juga tidak ada hubungannya dengan menerima atau menolak imbalan. Kalau kita sudah bekerja secara baik dan benar, misalnya, berarti imbalan yang kita terima adalah konsekuensi. Itu profesional, namanya.
Makna ikhlas dapat pula kita pelajari dari kisah Imam Malik. Salah satu kebiasaan beliau adalah membawa sapu tangan ke mana-mana. Sapu tangan itu digunakan sebagai alas sujud. Rupanya beliau sangat khawatir sekiranya muncul bekas hitam di dahi sehingga menimbulkan penilaian sebagai ahli sujud dari manusia.
Bukankah bekas hitam di dahi itu berarti “min atsaris sujud”, seperti dinyatakan Al-Qur’an? Yang dimaksud “min atsaris sujud” adalah semakin dekatnya kita dengan Allah. Tanda itu sifatnya rohani. Kualitas sebenarnya, yang tahu hanya Allah. Jadi, sama sekali bukan tanda hitam di dahi yang kasat mata disaksikan oleh manusia.
Puasa adalah salah satu ibadah untuk membentuk pribadi kita menjadi ikhlas. Sebab, berbeda dengan ibadah-ibadah lain dalam rukun Islam, puasa sifatnya sangat intim, dan tidak ada yang tahu apakah kita benar-benar puasa atau pura-pura puasa, kecuali diri kita sendiri dan Tuhan saja.
Jangan Lelah Berdoa
Jangan Lelah Berdoa
Oleh: M. Husnaini
Kata Nabi, doa orang yang sedang berpuasa itu mustajab, manjur. Karena itu, Ramadan merupakan waktu yang tepat digunakan untuk berdoa kepada Allah. Tulisan berikut saya copas dari anonim, dengan sedikit editing kalimat dan tanda baca dari saya sendiri. Katanya, ini kisah nyata yang terjadi di Pakistan.
Seorang dokter ahli bedah terkenal bernama Dokter Ishan tergesa-gesa menuju bandara. Beliau berencana akan menghadiri seminar dunia dalam bidang kedokteran yang akan membahas penemuan terbesar beliau di bidang kedokteran.
Setelah perjalanan pesawat sekitar satu jam, tiba-tiba diumumkan bahwa pesawat mengalami gangguan dan harus mendarat di bandara terdekat.
Dokter Ishan mendatangi ruangan penerangan dan berkata, “Saya ini dokter spesial, tiap menit nyawa manusia bergantung pada saya, dan sekarang kalian meminta saya menunggu pesawat diperbaiki dalam enam belas jam?”
Pegawai di bandara menjawab, “Wahai Dokter, jika Anda terburu-buru, Anda bisa menyewa mobil. Tujuan Anda tidak jauh lagi dari sini, kira-kira dengan mobil, tiga jam tiba.”
Dokter Ishan setuju dengan usul pegawai tersebut dan menyewa mobil.
Baru berjalan lima menit, tiba-tiba cuaca mendung, disusul dengan hujan besar disertai petir yang mengakibatkan jarak pandang sangat pendek.
Setelah berlalu hampir dua jam, sopir dan Dokter Ishan yang berada di dalam mobil tersadar bahwa mereka tersesat dan terasa kelelahan.
Terlihat sebuah rumah kecil tidak jauh dari hadapan Dokter Ishan, dihampirilah rumah tersebut dan mengetuk pintunya.
Terdengar suara seorang wanita tua, “Silakan masuk. Siapa, ya?”
Terbukalah pintunya.
Dokter Ishan masuk dan meminta kepada ibu tersebut untuk istirahat duduk dan mau meminjam teleponnya.
Ibu itu tersenyum dan berkata, “Telepon apa, Nak? Apa Anda tidak sadar ada di mana? Di sini tidak ada listrik, apalagi telepon. Namun demikian, masuklah. Silakan duduk saja dulu, istirahat. Sebentar, saya buatkan teh dan sedikit makanan untuk menyegarkan dan mengembalikan kekuatan Anda.”
Dokter Ishan mengucapkan terima kasih kepada ibu itu, lalu memakan hidangan.
Sementara ibu itu shalat dan berdoa serta perlahan-lahan mendekati seorang anak kecil yang terbaring tak bergerak di atas kasur di sisi ibu tersebut, dan dia terlihat gelisah di antara tiap shalat.
Ibu tersebut melanjutkan shalatnya dengan doa-doa yang panjang.
Dokter Ishan mendatanginya dan berkata, “Demi Allah, Anda telah membuat saya kagum dengan keramahan Anda dan kemuliaan akhlak Anda. Semoga Allah menjawab doa-doa Anda.”
Ibu itu berkata, “Nak, Anda ini adalah ibnu sabil yang sudah diwasiatkan Allah untuk dibantu. Sedangkan doa-doa saya sudah dijawab Allah semuanya, kecuali satu.”
“Apa itu doanya?” tanya Dokter Ishan.
Ibu itu menjawab, “Anak ini adalah cucu saya. Dia yatim piatu. Dia menderita sakit yang tidak bisa disembuhkan oleh dokter-dokter yang ada di sini. Mereka berkata kepada saya, ada seorang dokter ahli bedah yang akan mampu menyembuhkannya. Katanya, namanya Dokter Ishan. Akan tetapi, dia tinggal jauh dari sini, yang tidak memungkinkan saya membawa anak ini ke sana, dan saya khawatir terjadi apa-apa di jalan. Makanya, saya berdoa kepada Allah agar memudahkannya.”
Menangislah Dokter Ishan dan berkata sambil terisak, “Allahu Akbar. La haula wa la quwwata illa billah. Demi Allah, sungguh doa ibu telah membuat pesawat rusak dan harus diperbaiki lama serta membuat hujan petir dan menyesatkan kami hanya untuk mengantarkan saya kepada ibu secara cepat dan tepat.”
“Sayalah Dokter Ishan, Bu,” kata sang dokter selanjutnya. “Sungguh Allah SWT telah menciptakan sebab seperti ini kepada hamba-Nya yang mukmin dengan doa. Ini adalah perintah Allah kepada saya untuk mengobati anak ini.”
Sahabat semua, jangan pernah berhenti berdoa karena diam-diam Allah akan menjawabnya, kendati kita tidak tahu entah suatu kapan.
Puasa dan Omon-Omon
Puasa dan Omon-Omon
Oleh: M. Husnaini – Dosen FIAI UII
Puasa dalam Islam tidak hanya sebatas menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan badan dengan pasangan sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Al-Qur’an menyebut dua istilah untuk menggambarkan puasa, yaitu “shiyam” dan “shaum”. Shiyam merujuk pada puasa wajib di bulan Ramadan yang meliputi aspek fisik, sementara shaum adalah menahan diri dari berbicara.
Menghadapi aneka pertanyaan seputar kehamilannya, Maryam, ibunda Nabi Isa AS, bernazar untuk melakukan shaum, yaitu tidak berbicara dengan seorang pun kala itu (QS. Maryam: 26).
Shaum (puasa bicara) dimaknai sebagai bentuk ibadah dan tanda kepasrahan kepada Allah. Dalam kehidupan sosial, shaum juga menjadi strategi untuk menghadapi fitnah dan tuduhan yang dia terima setelah melahirkan Nabi Isa AS tanpa suami. Diamnya Maryam menjadi simbol kesabaran dan ketundukan pada kehendak Allah.
Banyak omong, belakangan dikenal dengan omon-omon, termasuk kejelekan yang penting dihindari. Dalam beberapa hadis, Rasulullah SAW menegaskan pentingnya menjaga lisan ketika berpuasa. “Barang siapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan buruk”, kata beliau,“Allah tidak butuh terhadap puasanya yang sekadar meninggalkan makan dan minum” (HR. Bukhari).
Hadis ini menunjukkan bahwa esensi puasa tidak hanya sebatas menahan lapar dan haus, tetapi juga mengendalikan diri dari omon-omon yang mengandung kedustaan dan perbuatan tercela.
Dalam hadis lain, Rasulullah SAW juga mengingatkan, “Puasa adalah perisai, maka jika salah satu dari kalian berpuasa, janganlah berkata kotor dan jangan pula berteriak-teriak. Jika seseorang mencelanya atau mengajaknya bertengkar, hendaklah ia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa'” (HR. Bukhari dan Muslim).
Banyak ancaman bagi orang berpuasa yang tidak mampu menjaga lisan dari omon-omon tidak penting. “Tidak sedikit orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya selain rasa lapar dan dahaga,” begitu tegas Rasulullah SAW sebagaimana ditulis oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah.
Omon-omon yang tidak berguna, dan bahkan menggerus pahala puasa, itu seperti dusta, ghibah (menggunjing), namimah (adu domba), ucapan kotor dan makian. Semua omon-omon itu bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Dengan demikian, esensi puasa tidak hanya shiyam (puasa perut dan syahwat), tetapi juga harus disertai shaum (puasa lisan) dari berbagai bentuk kemaksiatan. Jika shiyam dilakukan sepanjang Ramadan, shaum harus menjadi jihad kita seumur hidup.
Apalagi, kata Rasulullah SAW, lisan adalah salah satu penyebab utama manusia terjerumus ke dalam dosa. “Barang siapa menjamin untukku apa yang ada di antara dua bibirnya (lisan) dan di antara dua kakinya (kemaluannya), aku menjamin untuknya surga” (HR. Bukhari).
Marilah jadikan Ramadan sebagai momentum untuk melatih diri melakukan shiyam sekaligus shaum. Semoga puasa kita beroleh pahala sempurna dan membuahkan keharmonisan kehidupan sosial karena kita semua terhindar dari omon-omon yang nirguna.
Jangan Lelah Berdoa
Jangan Lelah Berdoa
Oleh: M. Husnaini
Kata Nabi, doa orang yang sedang berpuasa itu mustajab, manjur. Karena itu, Ramadan merupakan waktu yang tepat digunakan untuk berdoa kepada Allah. Tulisan berikut saya copas dari anonim, dengan sedikit editing kalimat dan tanda baca dari saya sendiri. Katanya, ini kisah nyata yang terjadi di Pakistan.
Seorang dokter ahli bedah terkenal bernama Dokter Ishan tergesa-gesa menuju bandara. Beliau berencana akan menghadiri seminar dunia dalam bidang kedokteran yang akan membahas penemuan terbesar beliau di bidang kedokteran.
Setelah perjalanan pesawat sekitar satu jam, tiba-tiba diumumkan bahwa pesawat mengalami gangguan dan harus mendarat di bandara terdekat.
Dokter Ishan mendatangi ruangan penerangan dan berkata, “Saya ini dokter spesial, tiap menit nyawa manusia bergantung pada saya, dan sekarang kalian meminta saya menunggu pesawat diperbaiki dalam enam belas jam?”
Pegawai di bandara menjawab, “Wahai Dokter, jika Anda terburu-buru, Anda bisa menyewa mobil. Tujuan Anda tidak jauh lagi dari sini, kira-kira dengan mobil, tiga jam tiba.”
Dokter Ishan setuju dengan usul pegawai tersebut dan menyewa mobil.
Baru berjalan lima menit, tiba-tiba cuaca mendung, disusul dengan hujan besar disertai petir yang mengakibatkan jarak pandang sangat pendek.
Setelah berlalu hampir dua jam, sopir dan Dokter Ishan yang berada di dalam mobil tersadar bahwa mereka tersesat dan terasa kelelahan.
Terlihat sebuah rumah kecil tidak jauh dari hadapan Dokter Ishan, dihampirilah rumah tersebut dan mengetuk pintunya.
Terdengar suara seorang wanita tua, “Silakan masuk. Siapa, ya?”
Terbukalah pintunya.
Dokter Ishan masuk dan meminta kepada ibu tersebut untuk istirahat duduk dan mau meminjam teleponnya.
Ibu itu tersenyum dan berkata, “Telepon apa, Nak? Apa Anda tidak sadar ada di mana? Di sini tidak ada listrik, apalagi telepon. Namun demikian, masuklah. Silakan duduk saja dulu, istirahat. Sebentar, saya buatkan teh dan sedikit makanan untuk menyegarkan dan mengembalikan kekuatan Anda.”
Dokter Ishan mengucapkan terima kasih kepada ibu itu, lalu memakan hidangan.
Sementara ibu itu shalat dan berdoa serta perlahan-lahan mendekati seorang anak kecil yang terbaring tak bergerak di atas kasur di sisi ibu tersebut, dan dia terlihat gelisah di antara tiap shalat.
Ibu tersebut melanjutkan shalatnya dengan doa-doa yang panjang.
Dokter Ishan mendatanginya dan berkata, “Demi Allah, Anda telah membuat saya kagum dengan keramahan Anda dan kemuliaan akhlak Anda. Semoga Allah menjawab doa-doa Anda.”
Ibu itu berkata, “Nak, Anda ini adalah ibnu sabil yang sudah diwasiatkan Allah untuk dibantu. Sedangkan doa-doa saya sudah dijawab Allah semuanya, kecuali satu.”
“Apa itu doanya?” tanya Dokter Ishan.
Ibu itu menjawab, “Anak ini adalah cucu saya. Dia yatim piatu. Dia menderita sakit yang tidak bisa disembuhkan oleh dokter-dokter yang ada di sini. Mereka berkata kepada saya, ada seorang dokter ahli bedah yang akan mampu menyembuhkannya. Katanya, namanya Dokter Ishan. Akan tetapi, dia tinggal jauh dari sini, yang tidak memungkinkan saya membawa anak ini ke sana, dan saya khawatir terjadi apa-apa di jalan. Makanya, saya berdoa kepada Allah agar memudahkannya.”
Menangislah Dokter Ishan dan berkata sambil terisak, “Allahu Akbar. La haula wa la quwwata illa billah. Demi Allah, sungguh doa ibu telah membuat pesawat rusak dan harus diperbaiki lama serta membuat hujan petir dan menyesatkan kami hanya untuk mengantarkan saya kepada ibu secara cepat dan tepat.”
“Sayalah Dokter Ishan, Bu,” kata sang dokter selanjutnya. “Sungguh Allah SWT telah menciptakan sebab seperti ini kepada hamba-Nya yang mukmin dengan doa. Ini adalah perintah Allah kepada saya untuk mengobati anak ini.”
Sahabat semua, jangan pernah berhenti berdoa karena diam-diam Allah akan menjawabnya, kendati kita tidak tahu entah suatu kapan.
Laku Hidup Seorang Mukmin
Laku Hidup Seorang Mukmin
Oleh: M. Husnaini
Muslim, menurut Rasulullah, adalah pribadi yang mulut dan tangannya, termasuk keputusannya, menjamin keselamatan semua orang di sekitarnya. Jika tidak demikian, berarti bukan muslim. Jadi, Islam itu kata kerja, doing thing. Menjalankan Islam berarti menyelamatkan tanah, menyelamatkan sungai, menyelamatkan daun, menyelamatkan sesama manusia, menyelamatkan semua makhluk, dan seterusnya.
Pokoknya, metabolisme dan ekosistem kehidupan kita pelihara sedemikian rupa, itulah Islam. Produknya adalah salam.
Sementara mukmin itu senjatanya iman, tujuannya untuk membuat aman, doanya diakhiri amin. Mukmin adalah orang yang, kalau ada dia, amanlah harta semua orang, amanlah nyawa seluruh orang, dan amanlah kehormatan setiap orang. Laku mukmin itu amanah, sehingga orang di sekelilingnya merasa uman (kebagian).
Menjadi mukmin tidak cukup dengan ikrar lisan, namun harus dikonfirmasi dengan perbuatan. Ada tuntutan dan larangan yang harus dikerjakan dan ditinggalkan seorang mukmin. Sebanyak 89 kali seruan Allah untuk orang beriman dalam Al-Quran, seluruhnya diawali dengan kalimat “Ya ayyuhalladzina amanu”, dan ditambah satu yang langsung “Ayyuhal mu’minun.”
Silakan buka Al-Quran dan pelajari satu per satu. Dari seruan-seruan itu, kita menjadi tahu apa sesungguhnya yang dikehendaki dan tidak dikehendaki Allah dari pribadi mukmin. Sudah pula ada buku terbitan Zaman yang mengupas, yaitu “Seruan Tuhan untuk Orang-Orang Beriman” karya Dr Nurul Huda Maarif.
“Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin,” puji Rasulullah, “seluruh urusannya baik. Ini tidak terdapat kecuali pada diri mukmin. Apabila menerima kesenangan, dia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, dia bersabar, dan itu juga baik baginya.”
Kehebatan seorang mukmin, jika mengacu hadis di atas, karena dua perkara. Satu, sabar dan yang kedua, syukur. Boleh kita sebut syukur dulu, baru sabar. Tergantung situasi dan kondisi.
Yang jelas, kemampuan bersyukur berbanding sama dengan tingkat kebahagiaan. Semakin kita tidak mampu bersyukur, semakin kita tidak bahagia. Ada orang naik mobil satu miliar, karena tanpa rasa syukur, dia tidak bahagia. Ada orang naik motor, tapi karena sibuk sekali dengan rasa syukur, dia merasakan bahagia luar biasa.
Demikian pula sabar. Besar atau kecilnya derita ketika ditimpa masalah itu sangat tergantung sejauh mana kualitas kesabaran kita. Ibarat sakit gigi, semakin kita meradang, semakin sakit gigi menjadi-jadi. Namun, ketika kita mampu berdamai dengan keadaan, biasanya rasa sakit berangsur nyaman.
Setiap mukmin harus terus belajar syukur dan sabar. Melampiaskan itu bertentangan dengan nilai puasa, dan hasil dari kebiasaan melampiaskan pastilah stres, galau, frustrasi, dan seterusnya.
Puasa Membentuk Pribadi Saleh
Puasa Membentuk Pribadi Saleh
Oleh: M. Husnaini
Beberapa konsep dalam Al-Qur’an, seperti birr, ihsan, khair, ma’ruf, termasuk juga shalih, diterjemahkan ke bahasa Indonesia sebagai “baik/kebaikan”. Hal itu karena miskinnya bahasa Indonesia akan filosofi-nilai sebagaimana terkandung dalam bahasa Arab. Padahal, masing-masing kata tersebut mengandung makna yang tidak sama secara filosofis. Saleh, umpamanya, adalah kebaikan yang motivasinya adalah iman.
Kamus Bahasa Arab mengartikan saleh sebagai terhindar dari kerusakan atau keburukan. Saleh juga berarti bermanfaat. Dengan demikian, saleh adalah kebaikan yang terkait erat dengan hubungan sosial masyarakat. Tingkat kesalehan sebuah perbuatan ditandai dengan semakin banyaknya manfaat dan sedikitnya mudarat yang timbul. Orang saleh berarti orang yang ucapan, perbuatan, bahkan pikirannya terbebas dari kerusakan atau keburukan.
Ketika melakukan sebuah perilaku yang dianggap sebagai sebuah kebaikan, orang saleh masih harus menghitung kembali, apakah kebaikan yang akan dilakukan itu nantinya mendatangkan mudarat atau tidak. Dalam era media sosial, mereka yang doyan berkomentar waton suloyo, apalagi kerap mengunggah hoaks, fitnah, dan adu domba, jelas bukan pribadi saleh. Orang saleh menjauhkan diri dari unsur-unsur yang merusak.
Pribadi ada dua macam, yaitu saleh duniawi dan saleh ukhrawi. Yang pertama ialah orang yang berkepribadian baik sehingga banyak memberi manfaat bagi orang-orang dan alam di sekitarnya. Kesalehan duniawi berdimensi etis. Baik dan benar yang dilakukan hanya didasarkan atas pertimbangan akal. Orang yang memiliki kesalehan duniawi ini barangkali ada di semua tempat. Dia bisa saja seorang muslim atau bahkan ateis sekalipun.
Yang keren tentu saleh ukhrawi. Inilah kesalehan yang lahir dari iman. Kebaikan yang dilakukan bukan semata didorong pikiran sehat atau tuntutan etika, melainkan memang ekspresi ketaatan kepada Tuhan. Orang saleh tipe kedua ini, dalam setiap tindakannya, pasti selalu mengindahkan rambu-rambu agama. Puasa adalah salah satu bentuk kesalehan ukhrawi. Sebab, puasa ini berat. Tetapi karena ini perintah dari Allah, mau tidak mau, harus kita jalankan.
Ramadan adalah momentum untuk memperkuat keimanan dan ketakwaan, serta membentuk pribadi yang lebih baik di hadapan Allah dan sesama manusia. Firman Allah dalam surah Al-Anbiya ayat 105, “bahwa bumi (surga) akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh.” Mudah-mudahan kita semua dimampukan oleh Allah menjadi individu-individu Muslim yang saleh secara duniawi maupun ukhrawi sehingga kita layak menjadi ahli waris surga sebagaimana disebut ayat di atas.
Jihad Melawan Diri Sendiri
Jihad Melawan Diri Sendiri
Oleh: M. Husnaini
Berbuat baik itu mudah. Yang sukar adalah berbuat baik kepada orang yang jahat kepada kita. Jangankan membalas kejahatan orang lain dengan kebaikan, lah menahan diri untuk tidak membalas secara sepadan saja beratnya minta ampun.
Berikut pesan Buya Hamka yang menarik kita renungkan:
“Memang sulit mengubah seorang musuh menjadi kawan, kemudian menjadi sahabat, memadamkan kemarahan hati dan mengubah muka marah dengan senyum, memberi maaf kesalahan, sehingga udara yang tadinya mendung menjadi terang benderang. Memang susah melakukan itu. Karena itu hanyalah pekerjaan orang yang hatinya memang hati waja, budinya budi emas; yaitu orang yang mempunyai kemauan besar dan cita-cita yang mulia. Memang susah. Tetapi menempuh kesusahan itulah yang harus kita coba, untuk kemuliaan jiwa kita sendiri.”
Kebanyakan orang begitu sibuk mengantisipasi musuh-musuh di luar diri, seperti rival kariernya, lawan politiknya, seteru komunitasnya, dan serupanya. Mereka lupa pada musuh paling berbahaya yang justru datang dari dalam diri sendiri. Itulah nafsu yang harus terus-menerus ditundukkan setiap menit, bahkan dalam hitungan detik.
Jika perang Uhud disebut jihad besar, perang melawan dorongan nafsu dikatakan jihad yang lebih besar. Dengan demikian, sepanjang perjalanan hidup, manusia dituntut waspada dan tidak boleh leha-leha. Terus waspada itulah takwa. Yaitu sikap selalu berjaga-jaga supaya hidup ini berjalan di atas perintah Allah dan terhindar dari larangan-Nya.
“Mintalah fatwa pada hatimu,” kata Rasulullah. Hati yang bersih dapat menjadi senjata ampuh untuk menaklukkan bisikan-bisikan jahat dari dalam diri. Karena itu, kata sebuah falsafah, “Manusia dapat dihancurkan, manusia dapat dimatikan, tetapi manusia tidak dapat dikalahkan selama manusia itu masih setia kepada hatinya sendiri.”
Modus bisikan-bisikan jahat itu semakin canggih seiring kemajuan zaman. Melawannya jelas merupakan jihad hidup yang paling panjang bagi manusia, siapa pun dia. Bahkan, jihad terberat manusia di era digital adalah selalu menahan diri untuk tidak mengunggah fitnah, gibah, hoaks, dan aneka informasi sampah meski dengan tujuan mulia.
Ramadan adalah training tahunan selama sebulan penuh untuk melatih ketangguhan diri menundukkan bisikan-bisikan nafsu itu. Semoga kita semua diberikan keberhasilan dan keberkahan.