Ketika sebagian orang berfikir bersyukur adalah ucapan, selayaknya “Alhamdulillah”, maka ada sisi lain yang lebih tepat dan begitu luas dalam memahami syukur. Dalam Islam, makna bersyukur adalah pengakuan hati, lisan, dan sikap perbuatan yang tertuju kepada Allah atas segala nikmat dan karunia yang diberikan, baik yang tampak maupun tidak tampak. Begitu luasnya nikmat, seperti halnya kesehatan, harta, iman, dan ketenangan jiwa maka syukur tidak hanya terbatas pada saat senang, tetapi juga ketika menghadapi ujian atau kesulitan, dan dilakukan dengan menggunakan niat ikhlas karena semua sudah menjadi rencana Allah. Dalam hal kebaikan, bersyukur sebagai bentuk untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Sejatinya, bersyukur adalah kebiasaan baik bagi manusia, seperti yang diperintahkan Allah dalam firmannya;
وَلَقَدْ آَتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Luqman: 12)
Tidak mungkin manusia akan mampu menghitung nikmat yang diberikan Allah, namun setiap hamba hendaknya bersyukur dan memuji Allah setiap saat, dalam kehidupan ini.
Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Bersyukur kepada Allah adalah memuji-Nya sebagai balasan atas nikmat yang diberikan dengan cara melakukan ketaatan kepada-Nya” (Fath Al-Qadir, 4:312).
Dalam memahami indahnya bersyukur, perlu dipahami ada 3 bentuk syukur. Pertama, syukur hati yaitu merasakan kepuasan dan ketenangan batin atas setiap anugerah yang diterima dari Allah. Kedua, syukur lisan yakni mengakui nikmat tersebut dan memuji Allah dengan lisan. Ketiga, syukur Perbuatan yaitu menggunakan nikmat dan karunia yang didapatkan untuk hal-hal yang baik sesuai dengan tujuan penganugerahannya.
Allah janjikan banyak manfaat bagi manusia yang bersyukur, antara lain:
Bersyukur akan menambah nikmat, bahkan Allah menjanjikan akan menambah nikmat-Nya bagi hamba yang bersyukur. Bahkan bersyukur adalah jalan untuk meningkatkan kemudahan menghadapi tantangan masa depan, karena bersyukur laksana menabung keyakinan baik kepada Allah yang bisa dituai suatu saat nanti.
Bersyukur akan Meningkatkan Kebahagiaan
Orang yang bersyukur cenderung lebih puas dan bahagia dengan apa yang dimilikinya. Tidak menjadikan rakus, tidak serakah karena merasa apa yang ada sudah menjadi bagian dari anugerah Allah.
Meningkatkan Kesehatan Mental dan Fisik
Bersyukur dapat mengurangi stres, kecemasan, dan meningkatkan kualitas tidur serta imunitas tubuh. Banyak orang stres karena menginginkan banyak hal, termasuk meraih harta yang belum dimiliki, sedangkan yang sudah dimiliki tidak disyukuri. Dengan bersyukur, senantiasa hidup adalah karunia Allah bukan memburu apa yang belum dicapai.
Meningkatkan Ketahanan dalam Menghadapi Tantangan
Sikap bersyukur membantu individu untuk lebih tangguh dalam menghadapi kesulitan dan ujian hidup. Bahkan ketika ada musibah, yakin bahwa akan ada nikmat dan solusi besertanya. Dengan syukur, menjadikan diri tidak benci kepada Allah atas hal-hal yang tidak sesuai keinginannya.
Memperkuat Hubungan Sosial
Rasa terima kasih dan apresiasi yang tulus dapat membangun hubungan yang harmonis dan mempererat ikatan dengan sesama. Setiap pemberikan orang lain, setiap nikmat atas kebersamaan orang lain disyukuri, sehingga dijauhkan dari menuntut orang lain setinggi keinginannya,
Menjauhkan dari Sifat Kufur
Dengan bersyukur, seseorang menunjukkan kesadaran bahwa segala sesuatu adalah milik Allah dan menghindari perilaku ingkar terhadap nikmat-Nya. Bahwa semua yang ada dirasakan di dunia itu datangnya hanya dari Allah, bukan karena kepandaian, usaha manusia, namun ada peran Allah secara menyeluruh,
Kesejahteraan bukan hanya tentang tercapainya kebutuhan jasmani, tetapi juga terpenuhinya kebutuhan rohani. Orang yang bersyukur cenderung merasa lebih sejahtera karena mereka mampu menerima keadaan hidup mereka dengan ikhlas. Sebaliknya, orang yang kurang bersyukur sering kali bergantung pada bantuan eksternal untuk merasa bahagia, yang menunjukkan bahwa kesejahteraan mereka tergantung pada faktor-faktor luar.
Bersyukur membantu kita memahami bahwa kebahagiaan sejati datang dari dalam, bukan dari apa yang kita miliki atau harapkan dari orang lain. Dengan demikian, syukur membawa kita menuju kesejahteraan sejati, di mana kita tidak hanya merasa cukup, tetapi juga mampu memberikan kepada orang lain.
Dengan bersyukur, insya Allah menjalin masa depan dengan keyakinan dan prasangka baik kepada Allah. Senantiasa dibersamai Allah dalam menjalankan kehidupan masa depan, karena Allah selalu mengingat kita. Dengan diingat selalu oleh Allah artinya apapun kondisinya, kita ada tempat bergantung yang maha kuat. Seperti firman Allah dalam Al Baqarah ayat 152.
فَٱذۡكُرُونِىٓ أَذۡكُرۡكُمۡ وَٱشۡڪُرُواْ لِى وَلَا تَكۡفُرُونِ (١٥٢ )
“Karena itu, ingatlah kamu kepadaKu niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepadaKu dan janganlah kamu mengingkari nikmatKu.”
Semoga Allah selalu membersamai kita dalam segala kebaikan di masa mendatang, karena karunia-Nya akan menjadikan setiap manusia kuat, hebat dan siap menghadapi dunia dengan segala kondisinya.
Penulis: Joko Wahyudi (Tendik FIAI UII)
Pentingnya Olahraga dan Ibadah
Ajaran Islam senantiasa menuntun serta memberikan panduan dalam segala aspek kehidupan, serta akhirat. Bahkan termasuk bagaimana cara setiap umat muslim menjaga dan merawat tubuhnya. Mengapa? Sebab, menjaga kesehatan tubuh merupakan salah satu aset berharga dalam beribadah. Seperti yang sabda Rasullulah SAW
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah,” (HR. Muslim).
Penggalan hadits tersebut dapat dipahami bahwa “kuat” yang dimaksud dapat merujuk pada fisik yang lebih kuat, bertekad kuat, dan beriman yang kuat. Dengan tubuh yang sehat, kita juga dapat lebih antusias dalam beribadah. Islam juga mengajarkan agar setiap umatnya tidak sekedar beribadah, olahraga juga merupakan sunnah yang sangat berharga. Bahkan, diperkenankan untuk berolahraga dengan berbagai cara, seperti berlari, berenang, bersepeda, dan masih banyak lagi.
Selama cara dan tujuannya baik, insya Allah menjadi amal yang berpahala. Hadits juga menyebutkan, bahwa Rasulullah SAW bertanding lari dengan Aisyah. Para sahabat pun terbiasa dengan olahraga seperti memanah, berkuda, dan berenang. Hal ini menunjukkan bahwa olahraga termasuk dalam sunnah dalam Islam.
Namun, terdapat etika yang perlu dijaga dalam berolahraga:
Kita sering mendengar pepatah bijak: “Sehat itu mahal harganya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengingatkan: “Manfaatkanlah lima perkara sebelum datang lima perkara: sehatmu sebelum sakitmu…” (HR. Hakim). Garis besarnya, bahwa kesehatan adalah nikmat yang sangat berharga.
Mari kita rawat nikmat kesehatan dengan izin Allah, kita bisa mengoptimalkan ibadah dan beramal shalih mengingat nikmat yang Allah berikan.
Sebagai penutup, mari kita berkomitmen untuk meningkatkan rutinitas olahraga, tidak cuma dijadikan aktivitas fisik harian semata, melainkan melakukannya dengan niat beribadah. Dengan kesehatan yang Allah berikan, insya Allah ibadah akan terasa lebih ringan, dakwah dikuatkan, dan akan banyak amal shalih yang dilakukan. Wallahu a’lam bish-shawaab.
Penulis: Hadi Sutrisno (Tendik FIAI UII)
Mengenggam Sabar untuk Meniti Jalan ke Surga
Kisah Kematian Mulia
Mendengarkan sebuah kisah menyentuh hati tentang kesabaran yang disampaikan khotib saat khotbah Jumat di Kampus UII, menggambarkan seorang ayah yang meninggal dalam keadaan menjadi imam sholat di masjid. Meninggal dalam keadaan suci berwudhu, sedang memimpin jamaah menghadap Allah dalam sholatnya. Juga meninggal saat membaca ayat Al Quran. Kondisi ini menjadi impian banyak orang, meninggal dalam kondisi yang sedang menjadi imam sholat. Sungguh berbeda dengan kondisi menghadap Allah saat mabuk-mabukan minuman keras.
Suatu hari, ustadz yang menjadi khotib tersebut menemui istri dari almarhum untuk mempelajari amalan dan perilaku islami semasa hidup suaminya yang menjadikan kondisi sakratul mautnya dalam kondisi yang mulia. Setelah bertemu dengan keluarganya, Sang Ustadz mendapat kisah berfaedah, bahwa sepanjang hidup almarhum, tidak pernah marah. Bahkan ketika anaknya berbuat kesalahan fatal pun, tetap membimbing dan menasihati dengan sabar dan santun. Dalam segala kondisi, bahkan ketika berhadapan dengan orang yang emosi marah keras pun, suaminya tetap sabar dan santun menghadapinya. Selain ibadah wajib dikerjakan dengan baik, tidak mudah marah menjadikan senjata dalam hidup almarhum.
Kepergiannya menjadi impian banyak orang, kesabarannya menjadikan teladan bagi yang ditinggalkan. Menjadi pelajaran bagi kita semua yang masih memiliki kesempatan memperbaiki diri, sabar dan sholat memang menjadi penolong dalam hadapi segala kondisi hidup ini.
Allah berfirman dalam Surah Al Baqarah ayat 153
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِۗ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar.”
Terlepas dari apa yang disampaikan saat khotbah Jumat tersebut, hamparan ilmu tentang sabar juga begitu luas dijelaskan oleh para ulama, karena Rasulullah menjadikan diri sebagai teladan dalam kesabaran.
Sabar dan Sholat
Begitu jelas, Allah mengutamakan sabar, mendahulukan sabar sebelum sholat. Hal ini karena sabar itu lebih luas dan butuh kekuatan sosial daripada shalat. Dalam hal ini shalat adalah ibadah khusus bersifat personal, sedangkan sabar lebih luas cakupannya berkaitan dengan orang lain, atau makhluk lain termasuk menghadapi binatang, misal tetap bersabat saat ada kucing yang merusak atap genting rumah saat berkelahi.
Bahkan shalat itupun adalah bentuk dari sabar, karena shalat adalah bentuk ketaatan kepada Allah, bersabar atas ketentuan-Nya termasuk perintah. Para ulama menggambarkan sabar itu ada 3 macam:
Pertama, sabar dalam membangun ketaatan kepada Allah. Dalam kondisi keimanan yang kadang naik turun, harus tetap menjaga ketaatan.
Kedua, sabar dari maksiat yang dilarang Allah, yaitu seseorang menahan diri untuk tidak melakukan maksiat yang menjadi larangan bagi kaum Islam.
Ketiga, sabar terhadap takdir Allah, yaitu seseorang menahan diri dari sikap menentang takdir Allah, bersabar atas takdir buruk yang menimpanya namun juga sabar atas kemudahan yang diberikan Allah untuk tidak menjadikan itu sebuah kesombongan di antara pergaulan sesama manusia. Apapun itu, manusia harus menahan diri dari amarah terhadap qadha dan qadar yang digariskan Allah sebelum manusia terlahir.
Bersabar atas Kebaikan Diri
Bersabar tidak serta merta ketika menghadapi orang lain, namun bersabar juga dimaknai ketika kita merasa telah berbuat baik, sudah rajin beribadah, menghabiskan waktu untuk berdoa dan memuji Allah. Lalu apakah pada detik itu pula mendapatkan balasan kebaikan dari Allah? Belum tentu. Balasan atas perbuatan baik manusia bisa dibalas di dunia atau akhirat, atau mendapatkan balasan sekaligus dunia akhirat, namun tetap istiqomah, karena itupun bagian dari kesabaran. Balasan dari Allah, itu hak-Nya sepenuhnya tidak ada 1 orang pun bisa memastikan kapan balasan itu didapatkan. Tidak cukup ilmu manusia memahami ketentuan Allah yang maha luas, namun manusia bisa mengenggam sabar dengan keluasan hati.
Perintah Allah dalam kesabaran begitu jelas, diungkapkan dalam Surat Hud ayat 115
وَاصْبِرْ فَاِنَّ اللّٰهَ لَا يُضِيْعُ اَجْرَ الْمُحْسِنِيْنَ
“Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat kebaikan.”
Di era digital bersabar juga diartikan untuk menahan diri atas segala informasi yang beredar, untuk memastikan kebenaran dan sumber informasinya. Tidak merespon dengan kemarahan, tidak memposisikan langsung berdebat di media hanya untuk menanggapi informasi yang belum valid. Termasuk hadapi fitnah yang mungkin justru menjadi viral di media online.
Mengenggam sabar saat ada fitnah, ada hinaan dan hasutan di media online menjadi jalan selamat untuk meraih pahala. Bahkan ketika mendapat hinaan, mendapatkan fitnah, justru menjadikannya sumber pahala.
Seperti firman Allah dalam Surah Az-Zumar ayat 10
اِنَّمَا يُوَفَّى الصّٰبِرُوْنَ اَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”.
Untuk itu begitu pentingnya sabar di dunia ini, sehingga sebagai umat muslim perlu mencontoh Rasulullah dalam segala aspek terutama dalam bersabar. Semakin banyak ujian kesabaran, artinya semakin banyak peluang meraih pahala.
Banyak orang yang masih bangga atas kemampuan dalam menyerang orang dengan amarah, menghantam orang lain berdasar ketersinggungan, menghina orang lain sebagai balasan yang lebih menyakitkan. Itu semua bukan untuk dibanggakan, karena justru dapat menjadi penghalang jalan menuju surga.
Mungkin ada orang yang bukan ahli sedekah, bukan ahli kitab, bukan ahli tahajud, namun bisa memilih jalan untuk meraih surga dengan tetap bersabar dan kuat dalam menahan amarah. Seperti sabda Rasulullah yang tercatat dalam Kitab Al Mu’jamul Ausath Nomor 2374. Rasulullah SAW bersabda,
لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ
Artinya: “Jangan kamu marah, maka bagimu Surga (akan masuk Surga).” (HR Ath-Thabrani).
— Tulisan ini juga didesikan untuk kesabaran kaum muslim di Palestina —
Ditulis oleh Ipan Pranashakti – UII
Cerdas Dunia, Cemerlang Akhirat
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah Swt, Tuhan semesta alam. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw,
beserta keluarga, sahabat, dan seluruh umatnya yang setia mengikuti ajarannya hingga akhir zaman.
Pada kesempatan kali ini, marilah kita renungkan sebuah tema penting dalam kehidupan kita sebagai umat Islam, yaitu “Cerdas Dunia, Cemerlang Akhirat.” Tema ini mengingatkan kita bahwa dalam Islam, kecerdasan tidak hanya diukur dari prestasi duniawi, tetapi juga dari kesiapan menghadapi kehidupan setelah mati.
1. Makna Kecerdasan dalam Islam
Seringkali kita memaknai kata “cerdas” hanya sebatas nilai akademik, prestasi di sekolah, gelar pendidikan, atau kecakapan bekerja. Tapi Islam memberikan makna yang jauh lebih luas. Rasulullah saw bersabda:
“Orang yang cerdas adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati. Sedangkan orang yang lemah adalah yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah”(HR. Tirmidzi).
Hadis ini menjelaskan bahwa cerdas sejati adalah orang yang hidupnya penuh perhitungan untuk akhirat, bukan hanya sibuk mengejar dunia, tapi lalai terhadap hisab.
2. Menggabungkan Ilmu Dunia dan Ilmu Akhirat
Islam tidak pernah menolak ilmu dunia. Justru, kita diajarkan untuk menuntut ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu umum. Al-Qur’an mengangkat derajat orang-orang yang berilmu: انْشُزُوْا قِيْ لَ واِذ ا ل كُ مَْ اللَُّٰ يفْ سحَِ ف افْ سحُوْا الْ مجٰلِسَِ فِى ت ف سَّحُوْا ل كُمَْ قِيْ لَ اِذ ا اٰ منُوْْٓا الَّذِيْ نَ يْٰٓا يُّ ها
١َ ١ خبِيْ رَ ت عْ ملُوْ نَ بِ ما واللَُّٰ د رجٰ تَ الْعِلْ مَ اُوْتُوا والَّذِيْ نَ مِنْكُ مَْ اٰ منُوْا الَّذِيْ نَ اللَُّٰ يرْف عَِ ف انْشُزُوْا
Wahai orang-orangَ yangَ beriman,َ apabilaَ dikatakanَ kepadamuَ “Berilahَ
kelapangan di dalam majelis-majelis,”َ lapangkanlah,َ niscaya Allah akan memberi
kelapanganَ untukmu.َ Apabilaَ dikatakan,َ “Berdirilah,”َ (kamu)َ berdirilah.َ Allahَ
niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan (QS.Al-Mujadilah :11).
Namun, ilmu dunia harus membawa manfaat untuk akhirat. Seorang dokter yang
menyelamatkan nyawa dengan niat ibadah, akan mendapatkan pahala. Seorang guru yang mengajarkan kebaikan, seorang petani yang bekerja dengan jujur — semua itu bisa menjadi jalan menuju surga, bila diniatkan karena Allah.
Kecerdasan dunia adalah modal untuk menjalani kehidupan ini dengan bijak, efisien, dan produktif. Sementara itu, kecemerlangan akhirat adalah tujuan akhir yang sejati, yang harus selalu kita siapkan dari sekarang.
3.Bahaya Kecerdasan Tanpa Iman
Kita juga melihat di dunia ini banyak orang yang cerdas secara intelektual, tapi justru menyesatkan dirinya sendiri. Ilmu tanpa iman bisa membuat seseorang menjadi sombong, merusak, bahkan menghancurkan masyarakat.
Fir’aun adalah contoh orang yang cerdas, berkuasa, dan penuh strategi. Tapi karena tidak disertai iman, kecerdasannya membawanya kepada kesombongan dan kehancuran.
Cerdas sejati adalah yang menyadari bahwa ilmu harus tunduk pada kebenaran ilahi.
4.Menjadi Muslim Cerdas dan Berakhlak
Kita sebagai umat Islam dituntut untuk menjadi cerdas di dunia, agar bisa memberi manfaat bagi oranglain. tetapi juga harus cemerlang di akhirat, dengan terus menjaga iman, ibadah, dan akhlak mulia.
Ada beberapa cara agar kita bisa meraih kecerdasan dunia dan kecemerlangan akhirat secara bersamaan:
semua bisa menjadi ibadah jika diniatkan karena Allah.
Dunia adalah Ladang, Akhirat adalah Tujuan
Kita hidup di dunia ini hanya sebentar. Dunia adalah tempat menanam, akhirat adalah tempat memanen. Maka jangan kita tertipu oleh gemerlap dunia, tapi lalai mempersiapkan bekal untuk akhirat. Jadilah pribadi yang cerdas dalam dunia, tangguh menghadapi tantangan hidup, bermanfaat bagi sesama, namun tidak lupa bahwa tujuan utama kita adalah cemerlang di akhirat, masuk surga Allah bersama orang-orang saleh.Mari kita jaga keseimbangan ini, dan terus berdoa kepada Allah agar diberikan ilmu yang bermanfaat, hati yang bersih, dan akhir hidup yang husnul khatimah.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Penulis: Solihin (Tendik FIAI UII)
Berbakti Kepada Ibu
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Swt. yang telah memberikan kita nikmat iman dan Islam. Salawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad saw., keluarganya, sahabatnya, dan kita sebagai umatnya hingga akhir zaman.
Hadirin yang dirahmati Allah, pada kesempatan kali ini, saya ingin menyampaikan ceramah tentang pentingnya berbakti kepada orang tua, khususnya ibu.
Ibu adalah sosok yang tak tergantikan dalam kehidupan. Pengorbanannya mulai dari mengandung, melahirkan, hingga membesarkan anak penuh cinta adalah bentuk kasih sayang tanpa syarat. Dalam Islam, ibu memiliki kedudukan yang sangat tinggi, bahkan disebutkan secara khusus dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
Hadirin yang berbahagia, berbakti kepada orang tua adalah salah satu amalan yang sangat dianjurkan dalam Islam. Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an ;
menyusui. Allah Swt memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada orang tua sebagai balas budi atas segala pengorbanan mereka.
Rasulullah saw. juga bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a.:
Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, siapa yang paling berhak untuk aku perlakukan dengan baik?” Rasulullah menjawab, “Ibumu.” Sahabat itu bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Rasulullah menjawab, “Ibumu.” Sahabat itu bertanya lagi, ‘Kemudian siapa?” Rasulullah menjawab, “Ibumu.” Sahabat itu bertanya lagi, ‘Kemudian siapa?” Rasulullah menjawab, “Ayahmu.”
Dari hadis ini, kita bisa memahami bahwa kedudukan ibu sangatlah tinggi. Dalam tiga kali kesempatan, Rasulullah menekankan pentingnya berbakti kepada ibu sebelum ayah. Ini menunjukkan betapa besar cinta dan penghormatan yang seharusnya kita berikan kepada ibu.
Berbakti kepada ibu bisa kita lakukan dengan berbagai cara. Pertama, kita harus selalu menghormati dan menghargai ibu kita. Kedua, kita harus mendengarkan nasihat dan permintaannya.
Ketiga, kita harus membantu ibu dalam segala hal yang bisa kita lakukan. Dan yang tidak kalah penting, kita harus mendoakan ibu kita, baik yang masih hidup maupun yang telah berpulang ke rahmatullah.
Apakah Anda sudah menunjukkan cinta kepada ibu hari ini ? Jadikan momen ini sebagai pengingat untuk selalu berbakti kepada ibu.
Orang tua adalah sosok yang harus kita hormati dan sayangi. Mereka telah merawat dan membesarkan kita dengan penuh kasih sayang. Mari kita selalu berusaha untuk berbakti kepada mereka, baik dalam keadaan sehat maupun sakit, dan selalu mendoakan mereka.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Penulis: Ali Murtono (Tendik FIAI UII)
Mendalami Makna Bersyukur sebagai Bekal Masa Depan
Ketika sebagian orang berfikir bersyukur adalah ucapan, selayaknya “Alhamdulillah”, maka ada sisi lain yang lebih tepat dan begitu luas dalam memahami syukur. Dalam Islam, makna bersyukur adalah pengakuan hati, lisan, dan sikap perbuatan yang tertuju kepada Allah atas segala nikmat dan karunia yang diberikan, baik yang tampak maupun tidak tampak. Begitu luasnya nikmat, seperti halnya kesehatan, harta, iman, dan ketenangan jiwa maka syukur tidak hanya terbatas pada saat senang, tetapi juga ketika menghadapi ujian atau kesulitan, dan dilakukan dengan menggunakan niat ikhlas karena semua sudah menjadi rencana Allah. Dalam hal kebaikan, bersyukur sebagai bentuk untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Sejatinya, bersyukur adalah kebiasaan baik bagi manusia, seperti yang diperintahkan Allah dalam firmannya;
وَلَقَدْ آَتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Luqman: 12)
Tidak mungkin manusia akan mampu menghitung nikmat yang diberikan Allah, namun setiap hamba hendaknya bersyukur dan memuji Allah setiap saat, dalam kehidupan ini.
Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Bersyukur kepada Allah adalah memuji-Nya sebagai balasan atas nikmat yang diberikan dengan cara melakukan ketaatan kepada-Nya” (Fath Al-Qadir, 4:312).
Dalam memahami indahnya bersyukur, perlu dipahami ada 3 bentuk syukur. Pertama, syukur hati yaitu merasakan kepuasan dan ketenangan batin atas setiap anugerah yang diterima dari Allah. Kedua, syukur lisan yakni mengakui nikmat tersebut dan memuji Allah dengan lisan. Ketiga, syukur Perbuatan yaitu menggunakan nikmat dan karunia yang didapatkan untuk hal-hal yang baik sesuai dengan tujuan penganugerahannya.
Allah janjikan banyak manfaat bagi manusia yang bersyukur, antara lain:
Bersyukur akan menambah nikmat, bahkan Allah menjanjikan akan menambah nikmat-Nya bagi hamba yang bersyukur. Bahkan bersyukur adalah jalan untuk meningkatkan kemudahan menghadapi tantangan masa depan, karena bersyukur laksana menabung keyakinan baik kepada Allah yang bisa dituai suatu saat nanti.
Bersyukur akan Meningkatkan Kebahagiaan
Orang yang bersyukur cenderung lebih puas dan bahagia dengan apa yang dimilikinya. Tidak menjadikan rakus, tidak serakah karena merasa apa yang ada sudah menjadi bagian dari anugerah Allah.
Meningkatkan Kesehatan Mental dan Fisik
Bersyukur dapat mengurangi stres, kecemasan, dan meningkatkan kualitas tidur serta imunitas tubuh. Banyak orang stres karena menginginkan banyak hal, termasuk meraih harta yang belum dimiliki, sedangkan yang sudah dimiliki tidak disyukuri. Dengan bersyukur, senantiasa hidup adalah karunia Allah bukan memburu apa yang belum dicapai.
Meningkatkan Ketahanan dalam Menghadapi Tantangan
Sikap bersyukur membantu individu untuk lebih tangguh dalam menghadapi kesulitan dan ujian hidup. Bahkan ketika ada musibah, yakin bahwa akan ada nikmat dan solusi besertanya. Dengan syukur, menjadikan diri tidak benci kepada Allah atas hal-hal yang tidak sesuai keinginannya.
Memperkuat Hubungan Sosial
Rasa terima kasih dan apresiasi yang tulus dapat membangun hubungan yang harmonis dan mempererat ikatan dengan sesama. Setiap pemberikan orang lain, setiap nikmat atas kebersamaan orang lain disyukuri, sehingga dijauhkan dari menuntut orang lain setinggi keinginannya,
Menjauhkan dari Sifat Kufur
Dengan bersyukur, seseorang menunjukkan kesadaran bahwa segala sesuatu adalah milik Allah dan menghindari perilaku ingkar terhadap nikmat-Nya. Bahwa semua yang ada dirasakan di dunia itu datangnya hanya dari Allah, bukan karena kepandaian, usaha manusia, namun ada peran Allah secara menyeluruh,
Kesejahteraan bukan hanya tentang tercapainya kebutuhan jasmani, tetapi juga terpenuhinya kebutuhan rohani. Orang yang bersyukur cenderung merasa lebih sejahtera karena mereka mampu menerima keadaan hidup mereka dengan ikhlas. Sebaliknya, orang yang kurang bersyukur sering kali bergantung pada bantuan eksternal untuk merasa bahagia, yang menunjukkan bahwa kesejahteraan mereka tergantung pada faktor-faktor luar.
Bersyukur membantu kita memahami bahwa kebahagiaan sejati datang dari dalam, bukan dari apa yang kita miliki atau harapkan dari orang lain. Dengan demikian, syukur membawa kita menuju kesejahteraan sejati, di mana kita tidak hanya merasa cukup, tetapi juga mampu memberikan kepada orang lain.
Dengan bersyukur, insya Allah menjalin masa depan dengan keyakinan dan prasangka baik kepada Allah. Senantiasa dibersamai Allah dalam menjalankan kehidupan masa depan, karena Allah selalu mengingat kita. Dengan diingat selalu oleh Allah artinya apapun kondisinya, kita ada tempat bergantung yang maha kuat. Seperti firman Allah dalam Al Baqarah ayat 152.
فَٱذۡكُرُونِىٓ أَذۡكُرۡكُمۡ وَٱشۡڪُرُواْ لِى وَلَا تَكۡفُرُونِ (١٥٢ )
“Karena itu, ingatlah kamu kepadaKu niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepadaKu dan janganlah kamu mengingkari nikmatKu.”
Semoga Allah selalu membersamai kita dalam segala kebaikan di masa mendatang, karena karunia-Nya akan menjadikan setiap manusia kuat, hebat dan siap menghadapi dunia dengan segala kondisinya.
Penulis: Joko Wahyudi (Tendik FIAI UII)
Kesempitan Hidup: Ujian dari Allah Untuk Menyadarkan Kita
Terkadang, Allah Swt menghadirkan tantangan dalam hidup bukan karena marah, melainkan sebagai upaya untuk mengingatkan manusia agar tidak terlena oleh kemudahan. Banyak orang justru menunjukkan ketahanan saat menghadapi kesulitan—seperti sakit, kemiskinan, atau masalah lainnya—karena dalam kondisi tersebut, mereka lebih cepat untuk berserah kepada Allah. Ujian yang berupa kesempitan sering kali membuat batin menjadi lembut dan menyadari kesalahan, sehingga mendorong seseorang untuk berbenah diri dan kembali ke jalan yang baik.
Namun, tidak semua individu menyadari bahwa kelapangan hidup juga merupakan ujian. Ketika seseorang diberikan kekayaan, kesehatan, dan kebahagiaan, banyak yang tidak menyadari bahwa mereka sedang dalam ujian. Di waktu yang lapang, seringkali orang menjadi lengah dan merasa tidak sedang menghadapi tantangan. Padahal, Rasulullah SAW sudah mengingatkan bahwa dua anugerah yang sering kali membuat manusia tertipu adalah kesehatan dan waktu luang.
Seorang ulama terkenal dalam kitab Al-Hikam menyatakan bahwa Allah memberikan kelapangan agar manusia tidak terus-menerus dalam kesempitan, dan sebaliknya, memberi kesempitan agar manusia tidak terbuai dalam kelapangan. Terkadang, Allah juga mengeluarkan manusia dari kedua keadaan tersebut agar mereka tidak tergantung hidup pada kenikmatan duniawi, melainkan hanya kepada Allah semata.
بَسَطكََ كَ ىَ لاَيُ بقِيَكََ مَعََ ا لقَ بضَِ وَقَبَضَكََ كَ ىَ لآ يَت رَُ کَكََ مَعََ ا لبَ سطَِ
وَاَ خرَجَكََ عَ نهُمَاکَ يَ لاََ تَکُ ونََ لِثَ يءَِ .
“Allah memberi kamu kelapangan agar kamu tidak selalu dalam kesempitan (qobdh). Allah memberi kesempitan kepadamu, agar kamu tidak hanyut di waktu lapang (basth). Allah melepaskan kamu dari dua-duanya, agar kamu tidak menggantungkan diri, kecuali kepada Allah belaka” (Al-Hikam Pasal 90).
Perubahan Keadaan sebagai Tanda Kekuasaan Allah
Dengan kuasa-Nya, Allah dapat mengubah keadaan manusia. Seseorang yang hari ini sehat mungkin besok akan sakit, yang miskin bisa saja menjadi kaya, yang bersedih bisa menemukan kebahagiaan, dan demikian seterusnya. Semua ini adalah bagian dari sunnatullah agar manusia menyadari bahwa hidup ini tidak dikuasai sepenuhnya oleh dirinya sendiri, tetapi sepenuhnya berada dalam kehendak Allah Swt.
“Siapa yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap hari Dia menangani urusan” (QS. Ar-Rahman: 29).
Dalam menghadapi perubahan ini, seorang hamba seharusnya memiliki dua sikap pokok: khauf (takut tidak diterima amal ibadah) dan raja’ (harap agar amal tersebut diterima). Kedua sikap ini perlu tertanam dalam jiwa. Seorang yang beriman akan terus berusaha memperbaiki ibadahnya karena khawatir amalnya sia-sia, tetapi tetap memiliki harapan besar bahwa Allah menerima amal baiknya.
Kunci Kelapangan Hati: Kembali kepada Allah Tanpa Syarat
Dalam karyanya Zaadul Ma’ad, Ibnu Qayyim menuliskan bahwa ketenangan hati hanya dapat dicapai dengan sepenuh hati kembali kepada Allah. Ini berarti tidak ada alasan untuk menunda atau menolak, melainkan sepenuhnya berserah dan mencintai-Nya. Ketika hati telah dipenuhi dengan cinta kepada Allah, hidup akan terasa lebih tenang dan damai. Seseorang yang mencintai Allah akan merasakan kebahagiaan saat beribadah dan akan selalu merindukan kedekatan dengan-Nya.
Cinta sejati kepada Allah Swt menjadikan seseorang tangguh dalam menghadapi ujian hidup, baik dalam kondisi sempit maupun lapang. Hatinya akan selalu merasa tenteram karena yakin bahwa semua yang terjadi adalah kehendak Allah, dan tidak ada kekuatan lain yang mampu mengubah takdir kecuali izin-Nya.
Allah yang Mengatur Segala Urusan Setiap Hari
Setiap detik, Allah Swt senantiasa mengatur semua hal yang berkaitan dengan makhluk-Nya. Dalam QS. Ar-Rahman: 29 dinyatakan bahwa segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi selalu bergantung kepada-Nya. Setiap saat, Allah mengurus berbagai hal yang dihadapi makhluk-Nya berdasarkan ketentuan-Nya yang tidak dapat ditolak. Semua perubahan dalam kehidupan, baik yang kita inginkan maupun yang tidak, berasal dari keputusan Allah.
Pemahaman ini akan mendorong manusia untuk tidak merasa sombong dengan karunia yang diterima, dan tidak berlarut-larut dalam kesedihan ketika mengalami kehilangan. Dalam QS. Al-Hadid: 23 dijelaskan agar kita tidak berduka secara berlebihan atas hal-hal yang tidak kita miliki, serta tidak berbangga atas apa yang telah dianugerahkan. Allah membenci orang yang sombong dan bangga diri.
“(Yang demikian itu kami tetapkan) agar kamu tidak bersedih terhadap apa yang luput dari kamu dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Al-Hadid: 23).
Istiqamah di Segala Keadaan
Semoga kita semua diberikan petunjuk dan hidayah oleh Allah Swt untuk tetap istiqamah dalam melaksanakan perintah-Nya, baik di saat suka maupun duka. Karena pada dasarnya, ujian dari Allah muncul dalam berbagai bentuk dan waktu. Orang yang bijak adalah mereka yang menghadapi setiap situasi dengan iman, kesabaran, dan tawakal kepada-Nya.
Penulis: Heru Sujanto (Tendik FIAI UII)
Teliti Fatwa DSN-MUI, Beni Setyawan Raih Gelar Doktor Summa Cumlaude dari UII Masa Studi 2 Tahun 9 Bulan.
Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dibentuk dalam rangka mewujudkan aspirasi umat Islam mengenai masalah perekonomian dan mendorong penerapan ajaran Islam dalam bidang perekonomian dan keuangan yang dilaksanakan sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Dewan Pimpinan MUI menerbitkan SK No. Kep-754/MUI/II/1999 tertanggal 10 Februari 1999 tentang Pembentukan Dewan Syari’ah Nasional MUI.
Atas kondisi fatwa yang sudah ditetapkan DSN-MUI, Beni Setyawan yang berprofesi pengajar pesantren di Karanganyar mengangkat menjadi obyek penelitian, dalam rangka meraih gelar doktor pada Program Doktor Hukum Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII).
Selama penyusunan disertasi, Beni Setyawan yang memfokuskan penelitian pada fatwa DSN-MUI dibimbing oleh Prof. Dr. Tamyiz Mukharrom, MA dan kopromotor Dr. Asmuni, MA. Hingga saatnya Beni menempuh etape terakhir yakni Ujian Terbuka Promodi Doktor di FIAI UII yang dipimpin oleh Dr. Nurkholis, S.Ag., S.E.I, M. Sh.Ec dibantu sekretaris Dr. Anisah Budiwati, S.HI., M.SI. Saat menempuh ujian terbuka promosi doktor, Beni berhadapan dengan para penguji Prof. Dr. Makhrus Munajat, M.Hum dan Drs. Agus Triyanta, MA., MH., Ph.D serta Dr. Abdul Mujib Rahman, M.Ag, Jumat 18 Juli 2025 di ruang 3,6 lantai III Gedung KHA Wahid Hasyim, Kampus Terpadu UII Jalan Kaliurang km 14,4, Sleman.
“Problem akademiknya bahwa fatwa-fatwa DSN-MUI berhasil mempelopori terjadinya gerakan ekonomi syariah yang sangat masif di Indonesia. Fatwa DSN-MUI sebagaimana dalam Undang-undang no 21 tahun 2008, memiliki kedudukan hukum yang kuat dan memainkan peran penting dalam proses perumusan regulasi positif yang bersifat mengikat. DSN-MUI dalam penetapan fatwa berusaha bersikap wasathiyah menjauhi sifat ifratiyah atau tafrithiyah, namun sebagian pihak menilai bahwa fatwa-fatwa DSN-MUI sesungguhnya bersifat longgar atau tasahul,” ungkap promovendus Beni Setyawan dalam awal pemarapan di hadapan para penguji.
Beni Setyawan ungkapkan, pihak lain menilai DSN-MUI terikat dengan fikih klasik atau pandangan yang sempit. Penilaian mengenai moderasi longgar atau rigidnya fatwa yang diterbitkan DSN-MUI sangat tergantung pada instrumen perangkat ukur yang dipakai. Dalam penetapan fatwa, penerapan metode yang tepat sangatlah krusial, karena setiap proses penetapan fatwa harus mengikuti metodologi yang telah ditentukan. Fatwa yang dikeluarkan tanpa menggunakan metodologi yang jelas cenderung menghasilkan keputusan hukum yang lemah argumentasinya. Oleh karena itu konsisten dalam penerapan metode manhaj dalam setiap proses penetapan fatwa tidak bisa dihindarkan.
“Riset sederhana ini menghasilkan kesimpulan DSN-MUI menerapkan pendekatan komprehensif dengan merujuk pada Al-Quran, hadits, ijma’, qiyas serta kaidah fikih yang didominasi oleh al-Ashlu fi al-Muamalah al-Ibahah. Dan kaidah yang mengandung nilai maslahat, pendekatan qauli didominasi mazhab syafi”i, ulama kontemporer seperti Wahbah Az-Zuhaili dan serta pertimbangan lembaga fatwa internasional seperti AA UFI (Akademi Ulama Internasional). Adapun metode fatwa DSN-MUI menggunakan 3 pendekatan, Pendekatan Nash Qath’i, Qauli dan Manhaji dengan metode Ijtihad bayani, ta’lili, dan istislahi,” ungkap Beni.
Di sesi akhir, Ketua Ujian Terbuka Promosi Doktor yakni Dr. Nurkholis, S.Ag., S.E.I, M. Sh.Ec menyampaikan bahwa promovendus Beni Setyawan dinyatakan lulus dalam studi Program Doktor Hukum Islam FIAI UII, indeks prestasi kumulatif sempurna 4.0 dengan predikat summa cumlaude, masa studi 2 tahun 9 bulan. Beni Setyawan menjadi doktor ke-73 yang diluluskan Program Doktor Hukum Islam UII, dan doktor ke-409 yang promosinya diselenggarakan di UII.
Sebelum sidang ditutup, promotor Prof. Dr. Tamyiz Mukharrom, MA memotivasi promovendus Beni Setyawan dengan pesan.
“Teruskan penelitiannya, untuk kemaslahan umat. Kami antarkan saudara berjuang dengan melalui jalur ilmu pengetahuan. Integrasi ilmu Islam dan, kami antarkan saudara hingga derajat ini,” pesan Prof. Tamyiz. (IPK)
Kesempurnaan Iman dalam Islam
Kesempurnaan Iman dalam Islam Kita tentu ingin memiliki keimanan yang sempurna. Terdapat beberapa faktor yang
wajib dimiliki setiap umat Islam agar iman kita sempurna. Nabi Muhammad saw. bersabda:
“Tiga perkara, barang siapa hal itu ada pada dirinya, berarti ia menyempurnakan imannya: (1) seseorang yang tidak pernah takut demi agama Allah pada kecaman si pengecam (2) tidak riya dengan sesuatu dari amalnya, (3) apabila dua perkara dihadapkan kepadanya, salah satu untuk dunia dan yang lain untuk akhirat, maka ia memilih urusan akhirat daripada urusan dunia. (HR lbnu Asaklr dari Abu Hurairah r.a.) Tiga faktor yang wajib dimiliki agar iman kita betul-betul sempurna a dalah sebagai berikut:1. IkhlasDalam Islam ikhlas memiliki arti memurnikan niat hanya karena Allah dalam setiap amal atau perbuatan. Artinya seseorang melakukan sesuatu bukan karena ingin dipuji, dipandang orang lain atau mendapatkan keuntungan duniawi, tetapi semata-mata karena mencari ridha Allah. Secara bahasa ikhlas berasal dari kata “khalasa” yang memiliki arti murni, bersih, atau terbebas dari campuran. Secara istilah, para ulama mendefinisikan ikhlas sebagai: “Menjadikan segala amal ibadah hanya untuk Allah semata, tidak dicampuri oleh tujuan-tujuan lain seperti riya (pamer), sum’ah (ingin didengar), atau tujuan duniawi”. Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya segala amal itu tergantung niatnya dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim) Ciri-Ciri Orang yang Ikhlas:
1. Tidak mengharapkan pujian atau sanjungan manusia.
2.Tidak kecewa ketika tidak dihargai.
3.Konsisten beramal meski tidak ada yang melihat.
4.Hanya mengharap balasan dari Allah.Ikhlas adalah syarat diterimanya amal ibadah. Tanpa ikhlas, amal bisa menjadi sia-sia, bahkan bisa menjadi dosa jika niatnya riya. Keikhlasan menjadi salah satu kunci pokok dalam beramal, karenanya agama Islam sangat mencela perbuatan riya. Rasulullah sawcemas terhadap hal sebagaimana dinyatakan dalam satu hadis. “Sesungguhnya yang paling aku takuti atas kamu adalah syirik yang paling kecil.
Sahabat bertanya, apakah syirik yang paling kecil itu? Rasul menjawab riya.”‘ (HR Ahmad) Apabila keikhlasan itu sudah kita miliki setan pun menyadari betapa sulitnya untuk menyesatkan dalam firman-Nya, Allah Swtmenceritakan orang orang yang ikhlas. “Ia (Iblis) berkata, “Tuhanku, oleh karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi dan aku akan menyesatkan mereka semuanya kecuali hamba hamba Mu yang terpilih di antara mereka.” (al-Hijr: 39-40)
Penulis: Bambang Kintoko, S.Kom (Tendik FIAI UII)
Teliti Fatwa DSN-MUI, Beni Setyawan Raih Gelar Doktor Summa Cumlaude dari UII Masa Studi 2 Tahun 9 Bulan
Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dibentuk dalam rangka mewujudkan aspirasi umat Islam mengenai masalah perekonomian dan mendorong penerapan ajaran Islam dalam bidang perekonomian dan keuangan yang dilaksanakan sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Dewan Pimpinan MUI menerbitkan SK No. Kep-754/MUI/II/1999 tertanggal 10 Februari 1999 tentang Pembentukan Dewan Syari’ah Nasional MUI.
Atas kondisi fatwa yang sudah ditetapkan DSN-MUI, Beni Setyawan yang berprofesi pengajar Ponpes Al Ukhuwah di Sukoharjo mengangkat menjadi obyek penelitian, dalam rangka meraih gelar doktor pada Program Doktor Hukum Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII).
Selama penyusunan disertasi, Beni Setyawan yang memfokuskan penelitian pada fatwa DSN-MUI dibimbing oleh Prof. Dr. Tamyiz Mukharrom, MA dan kopromotor Dr. Asmuni, MA. Hingga saatnya Beni menempuh etape terakhir yakni Ujian Terbuka Promodi Doktor di FIAI UII yang dipimpin oleh Dr. Nurkholis, S.Ag., S.E.I, M. Sh.Ec dibantu sekretaris Dr. Anisah Budiwati, S.HI., M.SI. Saat menempuh ujian terbuka promosi doktor, Beni berhadapan dengan para penguji Prof. Dr. Makhrus Munajat, M.Hum dan Drs. Agus Triyanta, MA., MH., Ph.D serta Dr. Abdul Mujib, M.Ag, Jumat 18 Juli 2025 di ruang 3,6 lantai III Gedung KHA Wahid Hasyim, Kampus Terpadu UII Jalan Kaliurang km 14,4, Sleman.
“Problem akademiknya bahwa fatwa-fatwa DSN-MUI berhasil mempelopori terjadinya gerakan ekonomi syariah yang sangat masif di Indonesia. Fatwa DSN-MUI sebagaimana dalam Undang-undang no 21 tahun 2008, memiliki kedudukan hukum yang kuat dan memainkan peran penting dalam proses perumusan regulasi positif yang bersifat mengikat. DSN-MUI dalam penetapan fatwa berusaha bersikap wasathiyah menjauhi sifat ifratiyah atau tafrithiyah, namun sebagian pihak menilai bahwa fatwa-fatwa DSN-MUI sesungguhnya bersifat longgar atau tasahul,” ungkap promovendus Beni Setyawan dalam awal pemarapan di hadapan para penguji.
Beni Setyawan ungkapkan, pihak lain menilai DSN-MUI terikat dengan fikih klasik atau pandangan yang sempit. Penilaian mengenai moderasi longgar atau rigidnya fatwa yang diterbitkan DSN-MUI sangat tergantung pada instrumen perangkat ukur yang dipakai. Dalam penetapan fatwa, penerapan metode yang tepat sangatlah krusial, karena setiap proses penetapan fatwa harus mengikuti metodologi yang telah ditentukan. Fatwa yang dikeluarkan tanpa menggunakan metodologi yang jelas cenderung menghasilkan keputusan hukum yang lemah argumentasinya. Oleh karena itu konsisten dalam penerapan metode manhaj dalam setiap proses penetapan fatwa tidak bisa dihindarkan.
“Riset sederhana ini menghasilkan kesimpulan DSN-MUI menerapkan pendekatan komprehensif dengan merujuk pada Al-Quran, hadits, ijma’, qiyas serta kaidah fikih yang didominasi oleh al-Ashlu fi al-Muamalah al-Ibahah. Dan kaidah yang mengandung nilai maslahat, pendekatan qauli didominasi mazhab syafi”i, ulama kontemporer seperti Wahbah Az-Zuhaili dan serta pertimbangan lembaga fatwa internasional seperti AAOIFI (Akademi Ulama Internasional). Adapun metode fatwa DSN-MUI menggunakan 3 pendekatan, Pendekatan Nash Qath’i, Qauli dan Manhaji dengan metode Ijtihad bayani, ta’lili, dan istislahi,” ungkap Beni.
Di sesi akhir, Ketua Ujian Terbuka Promosi Doktor yakni Dr. Nurkholis, S.Ag., S.E.I, M. Sh.Ec menyampaikan bahwa promovendus Beni Setyawan dinyatakan lulus dalam studi Program Doktor Hukum Islam FIAI UII, indeks prestasi kumulatif sempurna 4.0 dengan predikat summa cumlaude, masa studi 2 tahun 9 bulan. Beni Setyawan menjadi doktor ke-73 yang diluluskan Program Doktor Hukum Islam UII, dan doktor ke-409 yang promosinya diselenggarakan di UII.
Sebelum sidang ditutup, promotor Prof. Dr. Tamyiz Mukharrom, MA memotivasi promovendus Beni Setyawan dengan pesan.
“Teruskan penelitiannya, untuk kemaslahan umat. Kami antarkan saudara berjuang dengan melalui jalur ilmu pengetahuan. Integrasi ilmu Islam dan, kami antarkan saudara hingga derajat ini,” pesan Prof. Tamyiz. (IPK)
Alfajar Nugraha, Hakim Pengadilan Agama Wonogiri Raih Gelar Doktor dari UII Berkat Penelitian Sanksi Kawin Tidak Tercatat
Perkawinan yang tidak tercatat, atau sering disebut ‘kawin belum tercatat’ dalam konteks Kartu Keluarga (KK), mengacu pada situasi di mana pasangan telah menikah secara agama atau adat, namun belum secara resmi mendaftarkan perkawinan mereka di Kantor Urusan Agama (KUA) atau Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil sesuai peraturan perundang-undangan. Status ini akan terlihat pada KK dengan keterangan “Kawin Belum Tercatat”.
Hal di atas mendorong Alfajar Nugraha seorang hakim tingkat pertama Pengadilan Agama Wonogiri untuk mendalami melalui penelitian untuk meraih gelar Doktor Hukum Islam pada Program Doktor Hukum Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII). Alfajar memilih judul disertasi ‘Sanksi Kerja Sosial sebagai Syarat Pengesahan Kawin bagi Pelaku Kawin Tidak Tercatat Perspektif Siyasah Syar’Iyyah’.
Menempuh etape terakhir untuk meraih gelar doktor, Alfajar Nugraha harus mempertahankan disertasinya pada Ujian Terbuka Promosi Doktor Hukum Islam FIAI UII, Jumat 18 Juli 2025, di Gedung KHA Wahid Hasyim, Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia (UII) Jalan Kaliurang km 14,4, Sleman.
Alfajar Nugraha menempuh sidang ujian terbuka di FIAI UII disaksikan tamu undangan, kerabat dan keluarga. Bertindak selaku ketua sidang ujian terbuka doktor Dr. Muhammad Roy Purwanto, M.Ag dibantu sekretaris Dr. Anisah Budiwati, S.HI., M.SI. Sebagai penguji yakni Dr. Umar Haris Sanjaya, SH., MH. Dan Prof. Dr. Drs. Yusdani, M.Ag serta Prof. Dr. Kamsi, MA. Selama menyelesaikan disertasi mendapat bimbingan dari promotor Prof. Dr. Tamyiz Mukharram, M.A. dan kopromotor Dr. H. Achmad Zainullah, S.H., M.H.
“Penelitian dilatarbelakangi perkawinan tidak tercatat yang tidak kunjung selesai, Kami selaku promovendus, membuat gagasan konsep pemidanaan yang lebih represif tapi bernilai restoratif. Dalam hal ini pemidanaan sanksi sosial, karena ini karya ilmiah maka kami menyusun 3 pertanyaan yang nanti akan dijawab dalam disertasi,” kata Alfajar.
Ditambahkannya, ada 3 pertanyaan penelitian sebagai fokus yang akan dijawab dalam disertasi. Pertama, bagaimana potret penerapan hukum pemidanaan terhadap pelaku kawin tidak tercatat di Indonesia? Kedua, bagaimana konsep kerja sosial dapat diintegrasikan sebagai syarat pengesahan perkawinan? Ketiga, mengapa penerapan sanksi kerja sosial dalam skema double track system dipandang sebagai upaya mewujudkan nilai filosofis pemidanaan di Indonesia yang bertujuan menciptakan keseimbangan antara keadilan represif dan keadilan restoratif dan memenuhi prinsip-prinsip siyasah syar’iyaah?
Alfajar ungkapkan melalui kesimpulan disertasi, bahwa penerapan hukum terhadap pelaku kawin tidak tercatat di Indonesia masih menghadapi hambatan struktural dan kultural yang melemahkan efektivitas penegakan hukum. Secara normatif, regulasi seperti UU no 1 Tahun 1974 dan PP no 9 tahun 1975 tidak mengatus sanksi pidana secara tegas hanya bersifat secara administratif.
Imbuhnya, integrasi sosial sebagai syarat pengesahan perkawinan merupakan inovasi dalam hukum keluarga Indonesia untuk menanggapi maraknya kawin tidak tercatat. Konsep ini berfungsi sebagai sanksi non-penjara berbasis keadilan restoratif yang tidak hanya memberikan efek jera tetapi juga mendidik pelaku secara sosial dan moral.
Secara filosofis sanksi kerja sosial berakar pada teori keadilan etik dan restoratif yang menekankan pemulihan relasi sosial serta pertanggungjawaban publik. Dalam konteks kawin tidak tercatat, kerja sosial berfungsi sebagai sarana pendidikan moral, penanaman tanggung jawab sosial dan pemberdayaan pelaku agar menjadi agen perubahan. Pendekatan ini sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan KUHP baru yang mengakui kerja sosial sebagai pidana pokok.
Di sesi akhir, Ketua Ujian Terbuka Promosi Doktor yakni Dr. Muhammad Roy Purwanto, M.Ag menyatakan promovendus Alfajar Nugraha dinyatakan lulus dalam studi pada Program Doktor Hukum Islam FIAI UII dengan indek prestasi kumulatif 3.97, masa studi 3 tahun 10 bulan predikat cumlaude. Alfajar sebagai doktor ke-74 yang promosinya pada Program Doktor Hukum Islam FIAI UII, dan doktor ke-500 yang diluluskan UII.
Prof. Dr. Tamyiz Mukharram, M.A. sebagai promotor berpesan kepada promovendus.
”Dengan jalur ilmu pengetahuan mewujudkan keadilan masyarakat. Mewujudkan keadilan itu paling tinggi. Selamat berjuang terus sebagai praktisi,” katanya. (IPK)