Husnaini FIAI UII

Makna Mudik
Oleh: M. Husnaini

Mudik, tradisi pulang kampung tahunan di Indonesia, lebih dari sekadar perjalanan fisik. Ini adalah perjalanan emosional dan spiritual yang mendalam, sebuah cara untuk kembali ke akar, menjalin kembali hubungan keluarga, dan menegaskan kembali identitas diri. Namun, di balik aspek materialistik perjalanan dan pertemuan kembali, mudik juga melambangkan konsep mendalam dalam Islam: perjalanan menuju rumah keabadian.

Dalam bahasa Inggris, kata “home” menyiratkan keterikatan emosional dan spiritual yang tidak dimiliki oleh kata “house”. “House” hanyalah bangunan fisik, sementara “home” adalah tempat di mana cinta, kehangatan, dan rasa memiliki berada. Dalam pengertian yang sama, mudik bukan sekadar kembali ke tempat fisik, tetapi juga menyambung kembali hubungan, mencari berkah, dan menemukan kembali tujuan hidup. Islam mengajarkan bahwa kehidupan ini hanyalah persinggahan sementara—seperti menunggu panggilan boarding pass—sebelum perjalanan menuju rumah yang abadi.

Dalam filosofi Islam, hidup ini fana, dan rumah sejati kita adalah akhirat. Al-Qur’an sering mengingatkan bahwa dunia ini hanyalah sesaat dibandingkan dengan kehidupan abadi di akhirat. Pemahaman ini mencerminkan esensi mudik: sejauh apa pun seseorang pergi dalam hidupnya, akan selalu ada kerinduan untuk kembali. Namun, mudik yang sejati bukan hanya tentang mengenang masa kecil, tetapi juga tentang mempersiapkan kepulangan terakhir—kepulangan kepada Allah.

Keberhasilan seseorang dalam hidup sering ditunjukkan saat mudik, dengan para pemudik memamerkan pencapaian mereka melalui kendaraan baru, hadiah, atau pengeluaran berlebihan. Namun, perilaku semacam ini bertentangan dengan makna spiritual dari pulang kampung. Islam menekankan sikap rendah hati dan bersyukur, mengingatkan bahwa kesuksesan sejati bukan diukur dari kekayaan materi, tetapi dari keimanan dan amal kebaikan. Alih-alih memamerkan kemewahan, mudik seharusnya menjadi momen refleksi, rasa syukur, dan mempererat hubungan keluarga.

Kesuksesan dalam Islam bukan tentang seberapa banyak seseorang mengumpulkan, tetapi tentang seberapa banyak ia memberi dan melayani. Nabi Muhammad (saw) mencontohkan hal ini dengan menjalani kehidupan sederhana meskipun memiliki akses kepada kekayaan. Ajaran beliau mengingatkan umat Muslim untuk lebih fokus pada kualitas hubungan, ketulusan dalam ibadah, dan kedermawanan terhadap sesama.

Ketika mudik menjadi ajang pamer, maknanya pun hilang. Esensi sejati dari mudik adalah kembali ke rumah dengan kerendahan hati, menyadari bahwa hidup ini singkat dan perjalanan yang sebenarnya adalah menuju rumah yang abadi. Alih-alih menjadikan pulang kampung sebagai kesempatan untuk mengesankan orang lain, seharusnya ini menjadi waktu untuk mempererat kasih sayang, meminta maaf, dan memperkokoh hubungan yang benar-benar bermakna.

Dengan demikian, mudik lebih dari sekadar perjalanan kembali ke kampung halaman; ini adalah pengingat akan kefanaan hidup dan perlunya bersiap untuk kepulangan terakhir. Seperti halnya para pelancong yang memastikan semua kebutuhan siap sebelum perjalanan panjang, umat beriman juga harus mempersiapkan diri untuk pulang ke rumah yang sejati—dengan menjalani hidup penuh kebaikan, ketulusan, dan pengabdian. Itulah makna sejati mudik dalam Islam.

Husnaini FIAI UII

Obatilah Orang yang Sakit dengan Sedekah
Oleh: M. Husnaini

Kisah ini saya dapat dari kiriman seorang teman lewat WhatsApp.

Riyad, Saudi Arabia. Di sebuah desa bernama Huraimla. Seorang wanita telah divonis oleh dokter terkena kanker darah. Kondisi fisiknya sudah tidak bisa lagi berbuat apa-apa.

Untuk merawat dirinya dan mengurusi keperluannya, ia mendatangkan seorang pembantu dari Indonesia. Pembantu ini adalah seorang yang taat beribadah. Seminggu setelah bekerja, majikan merasa pekerjaannya bagus.

Majikan wanita selalu memperhatikan apa yang dikerjakan pembantu dari Indonesia itu. Namun, suatu waktu majikan menemukan kelakuan aneh si pembantu. Pembantu ini sering sekali masuk kamar mandi dan berdiam cukup lama.

Dengan tutur kata yang lemah lembut si majikan bertanya: “Apa yang sebenarnya kau lakukan di kamar mandi?”

Pembantu itu tidak menjawab, tapi malah menangis tersedu-sedu. Majikan menjadi iba dan menghiburnya sambil menanyakan apa yang sebenarnya terjadi

Akhirnya pembantu itu pun bercerita bahwa dirinya baru 20 hari melahirkan anaknya. Karena desakan ekonomi itulah makanya ia mau bekerja menjadi TKW di Arab Saudi.

“Saya harus membuang air susu saya. Jika tidak dibuang, dada saya terasa sesak dan penuh karena tidak disusui anak saya.”

Air susu yang menumpuk dan tidak tersalurkan itulah membuatnya sakit, dan harus diperas dan dibuang di kamar mandi.

“Subhanallah Anda harus berjuang untuk keluarga Anda,” kata majikan.

Seketika majikan memberikan gajinya selama 2 tahun penuh sesuai akad kontrak dan memberikan tiket pulang.

“Kamu pulanglah dulu. Uang sudah saya berikan penuh untuk 2 tahun kontrakmu. Kamu susui anakmu selama 2 tahun penuh. Kemudian jika kamu ingin kembali bekerja kamu hubungi nomor telepon ini dan saya akan mengirim uang untuk tiket keberangkatanmu,” tutur majikan.

“Subhanallah apa ibu tidak apa-apa jika saya tinggal?”

Majikan waktu itu hanya menggeleng kepala, lalu berkata: “Apa yang kamu tinggal lebih berharga daripada kamu mengurus saya.”

Setelah pembantu itu pulang, majikan mengalami perubahan yang luar biasa. Hatinya menjadi sangat senang karena dapat membantu orang lain yang sedang kesusahan.

Hari-harinya tidak lagi memikirkan sakitnya. Yang ada hanyalah rasa bahagia. Sebulan kemudian ia baru mengunjungi rumah sakit untuk kontrol.

Dokter yang menanganinya segera melakukan pemeriksaan yang mendetail.

Apa yang terjadi?

Dokter yang menangani awal tidak melihat adanya penyakit seperti diagnosa sebelumnya. Dia tidak melihat adanya kanker darah yang dialami pasien.

Dokter pun kagum, bagaimana mungkin bisa secepat dan sedasyat itu penyakitnya bisa sembuh, apalagi kanker darah.

“Apa telah terjadi salah diagnosa?” batin dokter.

Kemudian dokter bertanya apa yang telah dilakukan oleh pasien. Wanita itu pun menjawab: “Saya tidak melakukan apa-apa dengan sakit saya. Mungkin sedekah yang telah saya lakukan kepada pembantu saya yang membantu saya sembuh. Nyatanya setelah saya menolong, hati saya menjadi lebih bergairah untuk sembuh dan hidup. Saya mempunyai pembantu yang sedang menyusui anaknya, tapi susu itu tak dapat disalurkan dan harus dibuang di kamar mandi. Saya menangis bila mengingat keadaannya. Akhirnya pembantu itu saya suruh pulang agar ia bisa menyusui anaknya. Ia sehat dan anaknya juga sehat. Mungkin dengan itu penyakit saya bisa sembuh, Dokter.”

Dokter itu sadar bahwa diagnosa atau penyakit apa pun bisa sembuh karena Allah SWT menghendaki.

Ya, seperti judul di atas: obatilah orang yang sakit dengan sedekah. Semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat diambil hikmahnya.

Husnaini FIAI UII

Membangun Semangat Berkarya Tulis

Oleh: M. Husnaini

Berkarya tulis masih menjadi tantangan yang berat dijawab. Karena itu, jika tidak menulis, minimal kita mau membaca.

Kesibukan kerap kali menjadi dalih untuk tidak berkarya tulis. Padahal, semua karya tulis hebat lahir dari orang-orang sibuk. Penganggur tidak pernah melahirkan karya.

Jelas, karya tulis adalah tanda intelektualitas seseorang, bukan gelar pendidikan. Menulis adalah aktivitas yang mencerdaskan. Menuliskan rangkuman atau ringkasan ide-ide bagus, misalnya, dapat mendorong kita berpikir, meneliti, atau menggali sesuatu yang lebih mendalam.

Prof Ahmad Syafii Maarif, guru bangsa yang juga Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1998–2005, pernah mengatakan bahwa membaca, berpikir, meneliti, dan menulis adalah aktivitas yang sangat penting, dan sebaiknya ditekuni sepanjang hidup. Ijazah Pendidikan ibarat SIM yang tidak bermakna apa-apa tanpa ditopang dengan keempat aktivitas ilmiah di atas.

Pesan Buya Syafii Maarif tersebut mengingatkan saya pada ungkapan Prof Imam Suprayogo, Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Periode 1997-2013. Menurut Prof Imam, ciri khas seorang doktor adalah selalu berpikir dan berkreasi tentang pembaruan. Seorang doktor tidak pernah berhenti berpikir. Tatkala dia berhenti berpikir, terang Prof Imam, yang tersisa hanya gelarnya. Sedangkan substansinya sudah kembali jadi manusia biasa atau sama dengan orang yang tidak bergelar doktor.

Senada dengan itu adalah Prof Mulyadhi Kartanegara. Berikut ini kalimat-kalimat yang saya kutip secara verbatim dari akun Facebook milik filsuf dan cendekiawan Muslim Indonesia tersebut.

“Pohon kesarjanaan boleh rindang, tapi tanpa menghasilkan karya, ia bagai pohon tak berbuah. Pengetahuan autentik bukanlah yang kita pelajari dari karya para cendekia, tapi justru yang kita peras dan sarikan dari berbagai pengalaman panjang hidup kita.”

“Potensi manusia ibarat hujan lebat, di mana apa yang telah manusia tulis hanyalah beberapa percikan darinya. Membaca dengan fasih karya seseorang adalah satu perkara. Menuliskan pikiran sendiri dalam sebuah karya adalah perkara yang lain.”

“Ketika aku mulai nulis sebuah karya, ada orang yang bertanya, “Ah apa ada orang yang bakal tertarik padanya?” Aku pun menjawab, “Aku berkarya tidak untuk tujuan yang lain kecuali menyampaikan kebenaran dan kebaikan. Sisanya aku serahkan pada Tuhan.”

“Alhamdulillah, ia telah menjadikan karyaku menarik banyak orang. Nasihatku, kalau mau berkarya, pasang niat yang tulus, bertawakal dan minta petunjuk-Nya, dan menulislah dengan ringan tanpa beban.”

“Ketika aku menuliskan pikiranku di sebuah buku, aku seperti menitipkan bagian dari jiwaku untuk tinggal di sana selama-lamanya, dalam keabadian. Percaya diri dapat membantu menumbuhkan banyak potensi yang tersembunyi. Dengannya kita bisa merentangkan sayap diri lebih lebar dan tinggi lagi.”

“Kekaguman yang berlebihan terhadap seorang atau beberapa tokoh dapat menutup pintu-pintu kreativitas kita. Siapa yang bisa bebas dari kungkungan mereka, dialah sang genius.”

Demikianlah, dan nasihat-nasihat itulah di antara yang melecut semangat saya untuk terus berkarya tulis. Syukur jika tradisi mulia ini juga diikuti banyak orang. Namun, jangan sampai kesibukan memotivasi orang lain untuk menulis menyebabkan kita lupa untuk berkarya tulis. Semoga kita tidak seperti lilin yang menerangi sekitar tapi diri sendiri habis terbakar.

Husnaini FIAI UII

Menulis dan Kebahagiaan

Oleh: M. Husnaini

Apa hubungan menulis dengan kebahagiaan? Menulis saban hari jelas bukan aktivitas mudah. Yang susah bukan tentang apa yang ditulis. Orang yang membaca (dalam arti luas) tidak sulit menemukan inspirasi setiap hari. Segala yang ditangkap pancaindra, misalnya, dapat melahirkan pengetahuan, dan itulah yang memantik ide untuk dikemas menjadi tulisan.

Yang teramat susah adalah menjaga mood. Suasana hati atau keadaan jiwa kerap berubah-ubah. Kadang riang, tetapi tidak jarang juga geram. Terutama bagi yang tidak pandai mengelola irama hati, tentu hari-hari lebih sering terliput gundah ketimbang bahagia. Dalam kondisi demikian, mana mungkin dapat menulis.

Menulis itu aktivitas berbagi. Berbagi meniscayakan kepemilikan untuk dibagi. Dari situ, penulis yang bagus haruslah pembaca yang tekun, kendati banyaknya bacaan belum menjamin bagusnya tulisan. Buktinya, tidak sedikit kutu buku yang buruk tulisannya. Kutu buku tanpa mampu menulis malah lebih banyak lagi.

Katanya, menulis adalah perjuangan melawan diam. Ini juga hanya dapat dilakukan oleh orang berpengetahuan. Yang tidak punya bahan dan wawasan, lantas apa yang disuarakan untuk melawan diam?

Ada pula yang bilang, menulis adalah suatu cara untuk berkata, berbicara, dan menyapa orang lain yang entah di mana. Jelas pula aktivitas-aktivitas ini membutuhkan hati yang selesai. Tidak mungkin dapat berkata dan menyapa orang lain apabila diri sendiri masih dililit aneka masalah.

Benar kata seorang bestari, kebahagiaan tidak terletak pada kaya atau miskin, berharta atau tak berpunya, dijunjung atau dibuang, melainkan pada kecerdasan kita memaknai setiap keadaan dan pengalaman kita. Jadi, bahagia bukan karena segala sesuatu baik, melainkan karena kita mampu melihat hal-hal baik dari segala sesuatu.

Karena itu, saya kagum dan hormat pada orang-orang yang rutin menulis saban hari. Di samping soal keilmuan mereka, kekaguman saya terutama pada kemampuan mereka mengelola perasaan, sehingga mampu melakukan kebaikan secara istikamah.

Sesuatu akan menjadi kebiasaan jika terus-menerus dilakukan hingga menemukan enaknya. Kata Nabi, adwamuha wain qalla. Bahasa Indonesianya kira-kira, biar sedikit asal ajek. Demikian nasihat beliau ketika ditanya amalan (sunah) apakah yang paling bagus dan dicintai Allah.

Teringat kata seorang teman penghafal Al-Qur’an. Katanya, kita baru akan merasakan nikmatnya Al-Qur’an ketika sanggup terus membacanya, kendati kita telah atau sedang merasa lelah dan bosan. Merokok, menurut perokok, juga begitu. Baru menemukan atau kecanduan merokok setelah pernah teler akibat rokok. Dalam bahasa Jawa disebut mendem. Tetapi contoh terakhir ini jangan dilakukan.

Kembali ke topik bahasan. Menulis menjadi aktivitas yang nyaman dan menyenangkan ketika telah dilakukan secara rutin setiap hari, apalagi sampai berjalan tahunan. Kalau hanya hangat-hangat tahi ayam, aktivitas apa saja akan terasa berat dan menyiksa. Hangat-hangat tahi ayam itu istilah orang Jawa untuk menggambarkan apa saja yang kadang dilakukan, tetapi sering ditinggalkan. Istilah lainnya adalah “rok-rok wit asem”. Kalau lagi senang, semangat bukan kepalang. Tetapi kalau kumat gilanya, mandi saja ogah.

Akhirnya, menulis rutin setiap hari, menurut saya, hanya dilakukan oleh orang-orang yang bahagia. Setidaknya, mereka adalah orang-orang yang mampu berdamai dengan suasana batin pribadi, sehingga tidak bermasalah dengan diri mereka sendiri.

Husnaini FIAI UII

Kita, Dakwah, dan Peradaban

Oleh: M. Husnaini

 

“Agama itu apa sih, Guru?” tanya seorang murid yang tengah belajar di surau milik KH Ahmad Dahlan.

Yang ditanya tak menjawab. Ia kemudian meraih dan memainkan biola. Gesekan biola yang syahdu membuat sang murid memejamkan mata, menyungging senyum.

“Islam itu indah, membawa kesejukan dan kedamaian bila dipelajari dengan benar, dan sebaliknya akan terjadi kekacauan bila tidak dipahami dengan benar,” ujar Kiai Dahlan.

Melalui salah satu adegan dalam film Sang Pencerah itu, Kiai Dahlan tampak tak banyak mengumbar kata dalam dakwah. Ia lebih menonjolkan sosok pemikir yang visioner nan penuh wibawa.

Berdakwah itu jangan terlalu menonjolkan khilafiah (fikih) sambil merendahkan pendapat yang tidak sejalan. Agama itu untuk diamalkan, bukan dijadikan bahan (amunisi) perdebatan.
Misalnya, karena ngotot berpendapat bahwa musik/lagu adalah haram, lantas merendahkan pihak lain yang berpendapat bahwa hukum asal musik/lagu tidaklah haram.

Padahal, hukum terkait musik/lagu dari dulu hingga sekarang memang masuk wilayah khilafiah. Muhammadiyah & NU juga tidak menghukumi musik/lagu sebagai haram. Di sinilah para dai harus belajar untuk mampu menerima khilafiah secara bijak tanpa mendaku sebagai “yang paling” karena sikap begitu, bagi orang berilmu, justru tampak lucu.

Selama ratusan tahun, kesibukan utama umat Islam Nusantara adalah melawan penjajah. Cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid pernah menyatakan bahwa secara sosio-kultural, kita dibesarkan dalam semangat berjuang “melawan”. Reaktif dan proaktifnya kurang sekali karena memang tidak sempat.

Selain itu, umat Islam Indonesia, dari segi budaya dan ilmu pengetahuan, juga baru sampai tingkat konsumen. Tidak pernah menjadi produsen. Di antara indikasinya, objek-objek turisme di Indonesia adalah bangunan-bangunan Hindu.

Karena umat Islam dibesarkan dan ditumbuhkan dalam semangat perjuangan “melawan”, maka umat Islam paling ahli dalam berpidato. Padahal, menurut Cak Nur, pidato tidak dapat memecahkan masalah. Yang dapat memecahkan masalah adalah ilmu.

Cak Nur juga mengingatkan bahwa dalam situasi-situasi tertentu, nahi mungkar itu lebih sulit dari amar makruf, karena harus melawan. Tetapi, dalam banyak hal, amar makruf lebih sulit dari nahi mungkar, karena nahi mungkar cukup dengan semangat, sementara amar makruf perlu ilmu.

Agama mengajarkan kemampuan mengendalikan diri, bukan melampiaskan. Pengendalian diri itulah inti ajaran puasa sebulan penuh selama Ramadan. Semoga dengan pemahaman lebih luas dan mendalam tentang agama, kita dapat terus memperbaiki kualitas. Dakwah berlandaskan ilmu dan kebijaksanaan akan lebih efektif dalam membangun peradaban yang maju dan harmonis.

Husnaini FIAI UII

Ibadah Itu Diamalkan, Bukan Diperdebatkan

Oleh: M. Husnaini

Masih saja ditemukan pengajian-pengajian yang membahas panjang lebar masalah khilafiah ibadah. Isinya adalah pemaparan tentang ibadah yang sesuai sunah dan yang bukan, kemudian ujung-ujungnya, yang benar adalah praktik ibadahnya, sementara yang lain adalah bidah atau salah tuntunan.

Mendalami masalah ibadah itu baik. Tetapi, ibadah untuk diamalkan, bukan diperdebatkan. Setelah paham ilmunya, kerjakanlah suatu ibadah sesuai dalil yang kita yakini tersebut secara ikhlas dan istikamah. Jangan suka memprotes, apalagi menyalahkan, praktik ibadah orang lain yang berbeda dari kita.

Kita manusia biasa yang belum tentu benar. Kecuali Nabi yang memang maksum, setiap kita punya potensi salah dan benar dalam menjalankan ibadah. Fokus pada kualitas diri sendiri lebih bagus daripada sibuk mengoreksi orang lain. Kita toh tidak pernah tahu siapa di antara kita yang ibadahnya diterima Allah.

Banyak persoalan lebih penting dan produktif. Islam penuh dengan ajaran-ajaran hebat dan mulia. Bagaimana membumikan itu semua dalam realitas. Kita perlu ulama/ilmuwan yang fasih menerjemahkan kandungan Al-Qur’an dan hadis menjadi teknologi dan inovasi untuk kemaslahatan umat dan bangsa.

KH Ahmad Dahlan, seorang alim dari Kauman, Yogyakarta, misalnya, mengkaji surah Al-Maun kemudian melahirkan rumah sakit. Kajian beliau tentang surah Al-Ashr selama 7 bulan juga melahirkan organisasi yang kelak bernama Muhammadiyah. Banyak lagi, dan silakan baca sendiri dalam buku-buku sejarah.

Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari juga demikian. Mendalami ayat Allah dan sabda Nabi tentang jihad dan cinta tanah air, beliau mengeluarkan Resolusi Jihad. Sejarah mencatat, fatwa itu berhasil membakar semangat arek-arek Suroboyo dalam pertempuran mengusir penjajah pada 10 November 1945.

Tentu di zaman sekarang juga banyak ulama/ilmuwan yang dari kajian-kajian mereka terhadap ajaran Islam, sebagaimana tertuang dalam Al-Qur’an dan hadis, kemudian menelurkan teori-teori ilmiah, dan bahkan lembaga atau amal usaha yang sangat nyata dirasakan manfaatnya oleh lapisan masyarakat luas.

Dengan demikian, Islam tidak berhenti sebagai doa dan fatwa. Kajian Islam semacam itulah yang lebih kita butuhkan, dan bukan pengajian yang selalu mengorek-ngorek persoalan variasi praktik ibadah dan hal-hal kontroversial lain, sehingga pada urutannya hanya menyulut api kebencian dan permusuhan di antara sesama.

Husnaini FIAI UII

Akar Kebahagiaan

Oleh: M. Husnaini

Kebahagiaan itu berakar pada kebaikan. Tidak ada perbuatan baik, sekecil apa pun, yang sia-sia. Di bawah ini saya kutipkan beberapa kalimat motivasi dari berbagai sumber.

Sengaja tidak disertakan sumbernya, supaya kita dapat memahami dan mengamalkannya tanpa harus terlebih dahulu mempermasalahkan siapa pengucapnya.
____

“Jika waktu kita tidak disibukkan dengan kebaikan, pasti hari-hari kita akan diribetkan dengan keburukan.”

“Tidak perlu menjelaskan tentang diri kita kepada siapa pun. Karena, yang menyukai kita tidak butuh itu, dan yang membenci kita tidak percaya itu.”

“Orang yang mengolok-olok kita itu sesungguhnya sama sekali tidak membuka kejelekan kita. Dia hanya sedang membeberkan aibnya sendiri.”

“Apabila kita diremehkan atau direndahkan, jangan pernah membalas dengan ucapan yang kasar pula, tetapi marilah kita jawab dengan karya nyata.”

“Tiga hal dalam hidup yang tidak akan pernah kembali ialah waktu, ucapan, dan kesempatan.”

“Jagalah pikiran kita ketika kita sendirian, tetapi hati-hatilah dengan ucapan kita ketika kita sedang bersama banyak orang.”

“Sulit sekali mengubah hati orang lain untuk berbaik sangka kepada kita. Namun, kita bisa melatih hati kita untuk berbaik sangka kepada orang lain.”

“Jangan kita terlalu pintar menilai orang lain, dan berubah menjadi teramat bodoh ketika menilai diri kita sendiri.”

“Sakit itu asalnya dari mulut. Kalau tidak salah makan, pasti salah ngomong.”

“Ilmu itu ada tiga tahapan. Jika seseorang baru memasuki tahap pertama, dia akan sombong. Jika memasuki tahap kedua, dia akan rendah hati. Dan, jika memasuki tahap ketiga, dia akan merasa dirinya tidak ada apa-apanya.”

 

Penerimaan Mahasiswa Baru FIAI UII

 

Husnaini FIAI UII

Managemen Waktu

Oleh: M. Husnaini

Waktu terbagi tiga: masa lalu, sekarang, dan masa depan. Hasil hari ini adalah upaya masa lalu, sementara usaha hari ini adalah pondasi masa depan. Maksudnya, jika ingin berjaya di masa depan, usaha keras harus dimulai sejak sekarang. Sebab, apa pun yang terjadi dan berlaku sekarang ini adalah buah upaya di masa lalu.

Masalahnya, tantangan berat manusia adalah soal istikamah. Dinamika kehidupan dapat mengubah fokus manusia. Ucapan dan perbuatan dari waktu ke waktu tidak selalu sama. Jejak digital sering membuktikan. Sikap politik seorang tokoh beberapa waktu lalu, misalnya, ternyata berseberangan dengan pilihannya sekarang.

Nabi mengingatkan, yang intinya, ada di antara kita orang yang melakukan perbuatan ahli surga sehingga jarak antara dirinya dan surga hanya tinggal sehasta. Tetapi catatan mendahuluinya, akhirnya dia melakukan perbuatan ahli neraka dan masuk ke neraka. Karena itu, kita tidak boleh gampang puas dengan pencapaian sekarang.

Kalau tidak dijaga benar-benar, boleh jadi kebaikan yang kita perjuangkan sekarang tidak bertahan lama. Merawat konsistensi itu tidak ringan. Istikamah, bahkan, menjadi ukuran keikhlasan seseorang. Sebab, suatu amalan dinilai di akhirnya. Dan, waktu akan menjawab apakah kita mati dalam keadaan Muslim atau justru sebaliknya.

Di antara keterampilan yang harus kita punya, jika ingin hidup nyaman dan lancar, adalah keterampilan managemen waktu. “SOS: Sapa Ora Sibuk?” begitu kata judul buku Much Khoiri. Buku itu memprovokasi orang supaya sesibuk apa pun, harus tetap berkarya. Sebab, realitanya tidak ada orang yang tidak sibuk. Kalau tidak sibuk, ya minimal sok sibuk.

Untuk mengatur waktu, baik jika kita tetapkan jadwal kesibukan harian, dan ditepati. Banyak orang sukses bukan karena dia cerdas atau pandai, melainkan karena disiplin dan istikamah. Dia terampil mengatur waktu. Sehingga dalam waktu yang sama dengan orang lain, yaitu sama-sama 24 jam, dia sanggup menghasilkan lebih banyak kegiatan positif.

Sebaliknya, tidak sedikit orang yang cerdas tetapi hidupnya berantakan. Pasalnya, dia tidak terampil mengatur waktu. Hidupnya semrawut. Selalu dihajar oleh kesibukan, ditendangi oleh pekerjaan, dipukuli oleh tuntutan, dan disikuti oleh target. Karena itu, di sinilah pentingnya managemen waktu. Jadwal waktu harian yang ditepati itu penting.

Orang yang tidak punya manajemen waktu secara tertib, meski pekerjaannya tidak terlalu banyak, tetapi terus digulung kesibukan. Tidak ada jeda sekadar untuk bersantai bersama keluarga atau teman. Membalas WhatsApp saja tidak sempat. Lebih celaka lagi kalau sampai tidak ada luang waktu untuk beribadah secara tertib dan khusyuk. Kasihan sekali, bukan?

 

Penerimaan Mahasiswa Baru FIAI UII

Husnaini FIAI UII

Puasa dan Spirit Literasi

Oleh: M. Husnaini

Puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga latihan spiritual yang melibatkan refleksi mendalam. Selama menjalankan ibadah puasa, seseorang diajak untuk lebih sadar terhadap dirinya sendiri, lingkungannya, dan hubungannya dengan Tuhan. Dalam proses ini, muncul keterkaitan menarik antara puasa dan literasi, terutama dalam aktivitas menulis.

Puasa mengajarkan manusia untuk memperlambat ritme hidup, mengendalikan hawa nafsu, dan merenungkan makna keberadaan. Dalam kondisi seperti ini, seseorang memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi isi pikirannya dengan lebih jernih. Menulis, sebagai bagian dari literasi, juga memiliki fungsi serupa. Saat seseorang menulis, ia melakukan refleksi atas pengalaman, pemikiran, dan perasaannya. Proses ini membantu penulis memahami diri sendiri dan menata pikirannya secara lebih sistematis.

Banyak ulama yang menggunakan momentum puasa untuk menulis karya-karya besar. Misalnya, Imam Al-Ghazali yang dalam kesunyiannya melahirkan “Ihya’ Ulumuddin”, sebuah karya monumental yang mengulas berbagai aspek kehidupan spiritual. Ini menunjukkan bahwa puasa menciptakan kondisi yang ideal untuk melahirkan pemikiran yang lebih dalam dan reflektif.

Baik puasa maupun menulis membutuhkan kesabaran dan ketekunan. Menjalankan ibadah puasa sebulan penuh bukan perkara mudah, tetapi dengan ketekunan, seseorang bisa menjalaninya hingga akhir. Begitu pula dalam menulis. Tidak semua tulisan bisa langsung sempurna; ia butuh proses panjang, revisi, dan refleksi agar bisa menjadi karya yang bermakna.

Puasa juga mengajarkan seseorang untuk tetap produktif meskipun dalam kondisi terbatas. Banyak orang mengira bahwa puasa akan membuat tubuh lemah dan malas berkarya. Namun, sejarah menunjukkan sebaliknya. Banyak tokoh besar justru lebih produktif selama bulan Ramadan. Misalnya, perjuangan besar dalam sejarah Islam seperti Perang Badar terjadi dalam kondisi berpuasa. Ini mengajarkan bahwa keterbatasan fisik bukanlah alasan untuk berhenti berkarya, termasuk dalam dunia literasi.

Dalam Islam, menulis adalah salah satu bentuk ibadah. Al-Qur’an sendiri diawali dengan perintah membaca (Iqra’), yang erat kaitannya dengan aktivitas literasi. Ketika seseorang menulis dengan niat baik, seperti menyebarkan ilmu atau menginspirasi orang lain, maka tulisannya menjadi amal jariyah yang pahalanya terus mengalir.

Dalam konteks puasa, menulis juga bisa menjadi sarana untuk mencatat perjalanan spiritual seseorang. Banyak orang yang menggunakan momen puasa untuk menulis jurnal refleksi, catatan harian, atau bahkan buku yang menginspirasi. Dengan menulis, pengalaman puasa yang penuh hikmah tidak hanya tersimpan dalam ingatan, tetapi juga bisa diwariskan kepada generasi mendatang.

Puasa dan menulis adalah dua aktivitas yang saling melengkapi dalam membentuk kedalaman spiritual seseorang. Puasa memberikan ruang untuk refleksi, sedangkan menulis menjadi alat untuk menuangkan hasil refleksi tersebut dalam bentuk yang lebih sistematis dan abadi. Jika puasa mengajarkan manusia untuk mengendalikan diri, maka menulis mengajarkan manusia untuk menyalurkan pemikirannya dengan bijak. Dengan menggabungkan keduanya, seseorang tidak hanya menjalani ibadah secara personal, tetapi juga berkontribusi dalam membangun peradaban literasi yang lebih baik.

 

Penerimaan Mahasiswa Baru FIAI UII