Belakangan ini, pemberitaan mengenai pro dan kontra Kebijakan Gubernur Jawa Barat (KDM) hampir memenuhi layar televisi. Salah satu kebijakan yang menjadi sorotan adalah pengiriman sekelompok anak yang dianggap “nakal” ke barak militer untuk dibina. Tujuannya agar mereka menjadi lebih disiplin, patuh terhadap aturan, dan diharapkan dapat kembali ke rumah sebagai pribadi yang lebih baik. Banyak pihak memuji langkah ini dan menilainya sebagai solusi yang tepat.

Namun, di sela-sela kabar itu, hati saya bertanya: Apakah benar masalah ini hanya soal disiplin? Atau mungkin, masalah sebenarnya justru berakar dari lemahnya pendidikan akhlak sejak mereka kecil?

Bayangkan sejenak. Seandainya sejak balita, anak-anak kita sudah dikenalkan kepada Allah. Seandainya mereka sudah diajarkan adab, akhlak, rasa cinta, tanggung jawab, dan rasa Syukur, apakah mereka akan tumbuh menjadi pribadi pembangkang? Menurut saya tidak.

Anak yang terbiasa bersyukur sejak kecil akan merasa cukup dengan apa yang dimilikinya. Mereka tidak akan mudah iri ketika melihat orang lain lebih punya segalanya. Mereka tidak gampang marah ketika keinginannya tak terpenuhi. Dan yang paling penting, mereka tidak mudah dikendalikan oleh ajakan yang menjerumuskan.

Rasa syukur mengubah cara pandang seorang anak terhadap hidup. Mereka melihat dari sisi positif, bukan terus-menerus merasa kurang. Dan mereka mampu belajar menerima dengan lapang dada, berusaha dengan tekun, dan menghargai apa yang ada di hadapannya.

Sayangnya, banyak dari kita sebagai orang tua lupa bahwa kunci utama pendidikan anak justru terletak pada diri kita sendiri. Kita sering fokus pada perilaku anak yang “harus berubah”, padahal perubahan itu dimulai dari teladan yang kita berikan. Parenting bukan soal memaksa anak untuk menjadi baik, tapi soal bagaimana kita lebih dulu menjadi pribadi yang baik.

Anak-anak adalah peniru ulung. Mereka menyerap apa yang mereka lihat lebih dalam daripada apa yang mereka dengar. Jika di rumah mereka melihat orang tua yang sering mengeluh, mudah marah, dan jarang bersyukur, lambat laun mereka akan meniru pola itu. Namun, jika mereka melihat rumah yang penuh doa, kata-kata baik, dan rasa syukur, nilai itu akan melekat erat di hati mereka.

Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an: “Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu” (QS. Ibrahim: 7). Janji ini tidak hanya berlaku untuk harta, tetapi juga untuk kebahagiaan keluarga, ketenangan hati, dan keberkahan dalam mendidik anak.

Mengirim anak ke barak militer mungkin bisa membuat mereka patuh untuk sementara waktu. Namun, disiplin yang lahir karena takut hukuman tidak akan bertahan lama. Begitu mereka kembali ke lingkungan yang sama tanpa pondasi akhlak, perilaku lama bisa muncul kembali. Sebaliknya, jika nilai akhlak sudah tertanam di hati mereka, aturan akan mereka patuhi bukan karena takut, tapi karena sadar itu adalah hal yang benar.

Mendidik akhlak memang bukan pekerjaan sehari dua hari. Ini adalah perjalanan panjang yang membutuhkan kesabaran, keteladanan, dan doa yang tak putus. Hasilnya tidak instan, tapi bekalnya akan dibawa anak sepanjang hidupnya.

Jadi, jika kita ingin melihat anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang baik, tenang, dan penuh rasa hormat, mulailah dari rumah. Bangun lingkungan yang penuh syukur. Ucapkan terima kasih atas nikmat kecil setiap hari. Jadilah teladan dalam kesabaran, kejujuran, dan tanggung jawab.

Karena sejatinya, generasi yang kuat tidak lahir dari hukuman, melainkan dari cinta yang dibalut dengan adab dan syukur. Dan itu, hanya bisa dimulai dari kita sebagai orang tuanya.

Penulis: Mufti Dedy Wirawan, S.Kom. (Tendik FIAI UII)

Pendahuluan

Di era digital saat ini, kita menyaksikan perkembangan teknologi Artficial Intelligence (AI) yang begitu

pesat. Chatbot yang mampu berkomunikasi layaknya manusia, sistem pengenalan wajah yang semakin

akurat, hingga asisten virtual yang dapat membantu berbagai tugas sehari-hari telah menjadi bagian dari

kehidupan kita.

Namun di balik kemajuan teknologi yang menakjubkan ini, umat Muslim perlu menjaga keseimbangan

antara pemanfaatan teknologi dan keteguhan iman. Tantangan terbesar yang dihadapi adalah bagaimana

tetap mempertahankan kesadaran spiritual di tengah arus digitalisasi yang kian deras.

Dengan pemahaman yang tepat, teknologi AI dapat menjadi alat yang mendukung peningkatan kualitas

ibadah dan pemahaman agama, bukan malah menjauhkan kita dari nilai-nilai keislaman yang

fundamental.

 

Pemahaman Iman dalam Konteks Teknologi AI

Iman dalam Islam merupakan keyakinan yang tertanam dalam hat, diucapkan dengan lisan, dan

dibuktkan melalui perbuatan. Di era digital, makna iman tetap sama namun menghadapi tantangan yang

berbeda. Kehadiran kecerdasan buatan telah mengubah cara kita berinteraksi, belajar, dan menjalani

kehidupan sehari-hari.

Refleksi Spiritual di Era Digital

  • Menjaga kekhusyukan ibadah tanpa gangguan notfikasi
  • Meluangkan waktu untuk tadabbur Al-Qur’an
  • Menerapkan nilai-nilai Islam dalam penggunaan teknologi

Kesadaran spiritual menjadi benteng pentng menghadapi arus teknologi AI. Umat Muslim perlu

menyeimbangkan penggunaan teknologi dengan praktk keagamaan. Ketka AI menawarkan kemudahan,

kita perlu tetap menjaga connecton dengan Allah Swt. melalui:

  • Membatasi waktu penggunaan gadget
  • Memprioritaskan ibadah di atas kesibukan digital
  • Menggunakan AI sebagai alat bantu, bukan penggant pemahaman agama

Ketergantungan berlebihan pada dunia digital dapat mengikis kesadaran rohani. Pentng bagi kita untuk membangun digital mindfulness – kesadaran penuh dalam menggunakan teknologi tanpa mengorbankan nilai-nilai keimanan.

 Penulis: Wahyudi Kusumo Nugroho, S.Kom (Tendik FIAI UII)

Etika dan moral menjadi salah satu tantangan yang dihadapi pelaku usaha di tengah kondisi ekonomi saat ini dan kompetitor yang bersaing dalam profitabilitas. Bahkan dengan kondisi terpuruk, pelaku usaha dihadapkan pada pilihan tetap berpegang pada sifat Qur’ani agar memperoleh berkah dari Allah Swt. atau hanya menargetkan untung tanpa mempertahankan etika dan moral dalam berbisnis.

Praktik dakwah dalam kegiatan berbisnis tidak bisa hanya dengan menunggu kedatangan pemuka agama ataupun seseorang karyawan menjadi ustadz ataupun ustadzah. Dakwah bisa dimulai dari diri sendiri atau yang disebut dengan dakwah nafsiyah untuk sarana instropeksi agar bisa memperbaiki diri dan menjadi pribadi berkualitas yang Islami (Rostilawati, 2019:22). Rasulullah saw. sebagai pebisnis dapat dijadikan motivasi dengan prinsipnya yang berpegang teguh pada kejujuran, sifat amanah yang dapat bertanggung jawab dengan profesinya dan menjaga kepercayaan dari konsumen, menjauhi gharar yakni transaksi tidak jelas objek, kepemilikan misalnya menjual barang curian, barang yang belum ada wujudnya, tidak melakukan al-ghab (penipuan), ihtikar (menimbun barang), dan tadlis (menipu dengan menyembunyikan kecacatan).

Penerapan dakwah dalam berbisnis dapat diaplikasikan tidak hanya pada individu pekerja saja yang menjadi sumber daya manusia yang menjalankan operasional dengan penguatan etika bisnis dan moral, namun juga dapat diwujudkan penerapan dakwah dalam sektor bisnis yang digeluti. Seperti kebijakan manajemen kantor melaksanakan program kajian rutin sebagai pembinaan spiritual untuk karyawan, meluangkan sedikit waktu untuk karyawan mengaji bersama sebelum memulai kegiatan. Adapun CSR yang disesuaikan dengan praktik keislaman untuk mengikat hubungan baik antara karyawan, pemilik usaha, kostumer, lembaga umum, masyarakat di lingkungan domisili usaha. Contohnya kegiatan amal, pengajian akbar, program pengecekan kesehatan di hari nasional yang bekerjasama dengan lembaga kesehatan. Pada hari besar keagamaan misalnya turut andil penyembelihan hewan Qurban, program penyuluhan dan pemberdayaan dalam mengelolaan limbah sampah. Hal-hal tersebut sekiranya dapat menjadi salah satu solusi dalam berbagai masalah kekinian di tengah masyarakat. Dampak positif yang secara tidak langsung dapat diperoleh yaitu munculnya ide bisnis baru untuk warga sekitar. Dengan begitu tujuan dari dakwah membawa hal kebaikan di lingkungannya dengan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat sekitarnya.

Kebijakan itu membutuhkan anggaran khusus ataupun sumber dana di luar target profit atau yang dirumuskan usaha dagang atau pebisnis.Hal ini menjadi tantangan yang dapat mendorong tim lebih bersemangat dalam bekerja meningkatkan omset agar mendapatkan keberkahan dari Allah Swt. Saat karyawan merasa profesi yang dijalani memiliki makna dalam kehidupan sehari hari, diharapkan akan tetap loyal untuk bekerja di unit usaha dagang tersebut. Dakwah pun bisa terserap dalam produk yang dihasilkan oleh badan usaha. Upaya mengedepankan produk bersertifikat halal, pemasaran produk dengan desain produk yang   realpic, sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang ambigu pada produk yang diiklankan. Tips dan trik saat iklanpun dapat dikemas dengan konten iklan di media yang memaparkan sumber bahan baku produk dari sumber yang baik. Sehingga akan menarik minat konsumen karena awareness keamanan, kesehatan yang didapatkan dari kemajuan informasi dan teknologi. Bukan berarti semua produk barang dan jasa harus dihasilkan dan diiklankan dengan branding yang islami tetapi dengan cara yang baikpun tanpa menyinggung produk lain sudah menjadi nilai positif dalam beriklan.

Dengan upaya dakwah yang disisipkan dalam kegiatan operasionalnya diharapkan dapat menuntun pekerja dan pelaku usaha untuk menjalankan etika bisnis Islam dengan baik sesuai ajaran Islam. Moral karyawan dan pelaku usaha di dalamnya akan mengikuti tuntunan agama sehingga dapat mendatangkan keuntungan materiil dan ridha Allah Swt. dalam menjalankan usaha, bahagia di dunia dan akhirat. Aamin

Penulis: Ary Purnama (Tendik FIAI UII)

Referensi:
Fausiah, Najim Nur, https://www.icdx.co.id/news-detail/publication/apa-itu-gharar-bagaimana-hukumnya-dalam-islam (2024).

Rostilawati, (2019). Dakwah dalam Pembinaan Akhlak Pedagang Ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Lappa Kabupaten Sinjai, 22.