Kisah Kematian Mulia
Mendengarkan sebuah kisah menyentuh hati tentang kesabaran yang disampaikan khotib saat khotbah Jumat di Kampus UII, menggambarkan seorang ayah yang meninggal dalam keadaan menjadi imam sholat di masjid. Meninggal dalam keadaan suci berwudhu, sedang memimpin jamaah menghadap Allah dalam sholatnya. Juga meninggal saat membaca ayat Al Quran. Kondisi ini menjadi impian banyak orang, meninggal dalam kondisi yang sedang menjadi imam sholat. Sungguh berbeda dengan kondisi menghadap Allah saat mabuk-mabukan minuman keras.
Suatu hari, ustadz yang menjadi khotib tersebut menemui istri dari almarhum untuk mempelajari amalan dan perilaku islami semasa hidup suaminya yang menjadikan kondisi sakratul mautnya dalam kondisi yang mulia. Setelah bertemu dengan keluarganya, Sang Ustadz mendapat kisah berfaedah, bahwa sepanjang hidup almarhum, tidak pernah marah. Bahkan ketika anaknya berbuat kesalahan fatal pun, tetap membimbing dan menasihati dengan sabar dan santun. Dalam segala kondisi, bahkan ketika berhadapan dengan orang yang emosi marah keras pun, suaminya tetap sabar dan santun menghadapinya. Selain ibadah wajib dikerjakan dengan baik, tidak mudah marah menjadikan senjata dalam hidup almarhum.
Kepergiannya menjadi impian banyak orang, kesabarannya menjadikan teladan bagi yang ditinggalkan.
Menjadi pelajaran bagi kita semua yang masih memiliki kesempatan memperbaiki diri, sabar dan sholat memang menjadi penolong dalam hadapi segala kondisi hidup ini.
Allah berfirman dalam Surah Al Baqarah ayat 153
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِۗ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar.”
Terlepas dari apa yang disampaikan saat khotbah Jumat tersebut, hamparan ilmu tentang sabar juga begitu luas dijelaskan oleh para ulama, karena Rasulullah menjadikan diri sebagai teladan dalam kesabaran.
Sabar dan Sholat
Begitu jelas, Allah mengutamakan sabar, mendahulukan sabar sebelum sholat. Hal ini karena sabar itu lebih luas dan butuh kekuatan sosial daripada shalat. Dalam hal ini shalat adalah ibadah khusus bersifat personal, sedangkan sabar lebih luas cakupannya berkaitan dengan orang lain, atau makhluk lain termasuk menghadapi binatang, misal tetap bersabat saat ada kucing yang merusak atap genting rumah saat berkelahi.
Bahkan shalat itupun adalah bentuk dari sabar, karena shalat adalah bentuk ketaatan kepada Allah, bersabar atas ketentuan-Nya termasuk perintah. Para ulama menggambarkan sabar itu ada 3 macam:
Pertama, sabar dalam membangun ketaatan kepada Allah. Dalam kondisi keimanan yang kadang naik turun, harus tetap menjaga ketaatan.
Kedua, sabar dari maksiat yang dilarang Allah, yaitu seseorang menahan diri untuk tidak melakukan maksiat yang menjadi larangan bagi kaum Islam.
Ketiga, sabar terhadap takdir Allah, yaitu seseorang menahan diri dari sikap menentang takdir Allah, bersabar atas takdir buruk yang menimpanya namun juga sabar atas kemudahan yang diberikan Allah untuk tidak menjadikan itu sebuah kesombongan di antara pergaulan sesama manusia. Apapun itu, manusia harus menahan diri dari amarah terhadap qadha dan qadar yang digariskan Allah sebelum manusia terlahir.
Bersabar atas Kebaikan Diri
Bersabar tidak serta merta ketika menghadapi orang lain, namun bersabar juga dimaknai ketika kita merasa telah berbuat baik, sudah rajin beribadah, menghabiskan waktu untuk berdoa dan memuji Allah. Lalu apakah pada detik itu pula mendapatkan balasan kebaikan dari Allah? Belum tentu. Balasan atas perbuatan baik manusia bisa dibalas di dunia atau akhirat, atau mendapatkan balasan sekaligus dunia akhirat, namun tetap istiqomah, karena itupun bagian dari kesabaran. Balasan dari Allah, itu hak-Nya sepenuhnya tidak ada 1 orang pun bisa memastikan kapan balasan itu didapatkan. Tidak cukup ilmu manusia memahami ketentuan Allah yang maha luas, namun manusia bisa mengenggam sabar dengan keluasan hati.
Perintah Allah dalam kesabaran begitu jelas, diungkapkan dalam Surat Hud ayat 115
وَاصْبِرْ فَاِنَّ اللّٰهَ لَا يُضِيْعُ اَجْرَ الْمُحْسِنِيْنَ
“Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat kebaikan.”
Di era digital bersabar juga diartikan untuk menahan diri atas segala informasi yang beredar, untuk memastikan kebenaran dan sumber informasinya. Tidak merespon dengan kemarahan, tidak memposisikan langsung berdebat di media hanya untuk menanggapi informasi yang belum valid. Termasuk hadapi fitnah yang mungkin justru menjadi viral di media online.
Mengenggam sabar saat ada fitnah, ada hinaan dan hasutan di media online menjadi jalan selamat untuk meraih pahala. Bahkan ketika mendapat hinaan, mendapatkan fitnah, justru menjadikannya sumber pahala.
Seperti firman Allah dalam Surah Az-Zumar ayat 10
اِنَّمَا يُوَفَّى الصّٰبِرُوْنَ اَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”.
Untuk itu begitu pentingnya sabar di dunia ini, sehingga sebagai umat muslim perlu mencontoh Rasulullah dalam segala aspek terutama dalam bersabar. Semakin banyak ujian kesabaran, artinya semakin banyak peluang meraih pahala.
Banyak orang yang masih bangga atas kemampuan dalam menyerang orang dengan amarah, menghantam orang lain berdasar ketersinggungan, menghina orang lain sebagai balasan yang lebih menyakitkan. Itu semua bukan untuk dibanggakan, karena justru dapat menjadi penghalang jalan menuju surga.
Mungkin ada orang yang bukan ahli sedekah, bukan ahli kitab, bukan ahli tahajud, namun bisa memilih jalan untuk meraih surga dengan tetap bersabar dan kuat dalam menahan amarah. Seperti sabda Rasulullah yang tercatat dalam Kitab Al Mu’jamul Ausath Nomor 2374. Rasulullah SAW bersabda,
لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ
Artinya: “Jangan kamu marah, maka bagimu Surga (akan masuk Surga).” (HR Ath-Thabrani).
— Tulisan ini juga didesikan untuk kesabaran kaum muslim di Palestina —
Ditulis oleh Ipan Pranashakti – UII