Dukung palestina merdeka

Kisah Kematian Mulia
Mendengarkan sebuah kisah menyentuh hati tentang kesabaran yang disampaikan khotib saat khotbah Jumat di Kampus UII, menggambarkan seorang ayah yang meninggal dalam keadaan menjadi imam sholat di masjid. Meninggal dalam keadaan suci berwudhu, sedang memimpin jamaah menghadap Allah dalam sholatnya. Juga meninggal saat membaca ayat Al Quran. Kondisi ini menjadi impian banyak orang, meninggal dalam kondisi yang sedang menjadi imam sholat. Sungguh berbeda dengan kondisi menghadap Allah saat mabuk-mabukan minuman keras.

Suatu hari, ustadz yang menjadi khotib tersebut menemui istri dari almarhum untuk mempelajari amalan dan perilaku islami semasa hidup suaminya yang menjadikan kondisi sakratul mautnya dalam kondisi yang mulia. Setelah bertemu dengan keluarganya, Sang Ustadz mendapat kisah berfaedah, bahwa sepanjang hidup almarhum, tidak pernah marah. Bahkan ketika anaknya berbuat kesalahan fatal pun, tetap membimbing dan menasihati dengan sabar dan santun. Dalam segala kondisi, bahkan ketika berhadapan dengan orang yang emosi marah keras pun, suaminya tetap sabar dan santun menghadapinya. Selain ibadah wajib  dikerjakan dengan baik, tidak mudah marah menjadikan senjata dalam hidup almarhum.

Kepergiannya menjadi impian banyak orang, kesabarannya menjadikan teladan bagi yang ditinggalkan.
Menjadi pelajaran bagi kita semua yang masih memiliki kesempatan memperbaiki diri, sabar dan sholat memang menjadi penolong dalam hadapi segala kondisi hidup ini.

Allah berfirman dalam Surah Al Baqarah ayat 153

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِۗ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar.”

Terlepas dari apa yang disampaikan saat khotbah Jumat tersebut, hamparan ilmu tentang sabar juga begitu luas dijelaskan oleh para ulama, karena Rasulullah menjadikan diri sebagai teladan dalam kesabaran.

Sabar dan Sholat
Begitu jelas, Allah mengutamakan sabar, mendahulukan sabar sebelum sholat. Hal ini karena sabar itu lebih luas dan butuh kekuatan sosial daripada shalat. Dalam hal ini shalat adalah ibadah khusus bersifat personal, sedangkan sabar lebih luas cakupannya berkaitan dengan orang lain, atau makhluk lain termasuk menghadapi binatang, misal tetap bersabat saat ada kucing yang merusak atap genting rumah saat berkelahi.

Bahkan shalat itupun adalah bentuk dari sabar, karena shalat adalah bentuk ketaatan kepada Allah, bersabar atas ketentuan-Nya termasuk perintah. Para ulama menggambarkan sabar itu ada 3 macam:

Pertama, sabar dalam membangun ketaatan kepada Allah. Dalam kondisi keimanan yang kadang naik turun, harus tetap menjaga ketaatan.
Kedua, sabar dari maksiat yang dilarang Allah, yaitu seseorang menahan diri untuk tidak melakukan maksiat yang menjadi larangan bagi kaum Islam.
Ketiga, sabar terhadap takdir Allah, yaitu seseorang menahan diri dari sikap menentang takdir Allah, bersabar atas takdir buruk yang menimpanya namun juga sabar atas kemudahan yang diberikan Allah untuk tidak menjadikan itu sebuah kesombongan di antara pergaulan sesama manusia. Apapun itu, manusia harus menahan diri dari amarah terhadap qadha dan qadar yang digariskan Allah sebelum manusia terlahir.

Bersabar atas Kebaikan Diri

Bersabar tidak serta merta ketika menghadapi orang lain, namun bersabar juga dimaknai ketika kita merasa telah berbuat baik, sudah rajin beribadah, menghabiskan waktu untuk berdoa dan memuji Allah. Lalu apakah pada detik itu pula mendapatkan balasan kebaikan dari Allah? Belum tentu. Balasan atas perbuatan baik manusia bisa dibalas di dunia atau akhirat, atau mendapatkan balasan sekaligus dunia akhirat, namun tetap istiqomah, karena itupun bagian dari kesabaran. Balasan dari Allah, itu hak-Nya sepenuhnya tidak ada 1 orang pun bisa memastikan kapan balasan itu didapatkan. Tidak cukup ilmu manusia memahami ketentuan Allah yang maha luas, namun manusia bisa mengenggam sabar dengan keluasan hati.

Perintah Allah dalam kesabaran begitu jelas, diungkapkan dalam Surat Hud ayat 115

وَاصْبِرْ فَاِنَّ اللّٰهَ لَا يُضِيْعُ اَجْرَ الْمُحْسِنِيْنَ

“Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat kebaikan.”

Di era digital bersabar juga diartikan untuk menahan diri atas segala informasi yang beredar, untuk memastikan kebenaran dan sumber informasinya. Tidak merespon dengan kemarahan, tidak memposisikan langsung berdebat di media hanya untuk menanggapi informasi yang belum valid. Termasuk hadapi fitnah yang mungkin justru menjadi viral di media online.

Mengenggam sabar saat ada fitnah, ada hinaan dan hasutan di media online menjadi jalan selamat untuk meraih pahala. Bahkan ketika mendapat hinaan, mendapatkan fitnah, justru menjadikannya sumber pahala.

Seperti firman Allah dalam Surah Az-Zumar ayat 10

اِنَّمَا يُوَفَّى الصّٰبِرُوْنَ اَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”.

Untuk itu begitu pentingnya sabar di dunia ini, sehingga sebagai umat muslim perlu mencontoh Rasulullah dalam segala aspek terutama dalam bersabar. Semakin banyak ujian kesabaran, artinya semakin banyak peluang meraih pahala.
Banyak orang yang masih bangga atas kemampuan dalam menyerang orang dengan amarah, menghantam orang lain berdasar ketersinggungan, menghina orang lain sebagai balasan yang lebih menyakitkan. Itu semua bukan untuk dibanggakan, karena justru dapat menjadi penghalang jalan menuju surga.

Mungkin ada  orang yang bukan ahli sedekah, bukan ahli kitab, bukan ahli tahajud, namun bisa memilih jalan untuk meraih surga dengan tetap bersabar dan kuat dalam menahan amarah. Seperti sabda Rasulullah yang tercatat dalam Kitab Al Mu’jamul Ausath Nomor 2374. Rasulullah SAW bersabda,

لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ

Artinya: “Jangan kamu marah, maka bagimu Surga (akan masuk Surga).” (HR Ath-Thabrani).

— Tulisan ini juga didesikan untuk kesabaran kaum muslim di Palestina —
Ditulis oleh Ipan Pranashakti – UII

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah Swt, Tuhan semesta alam. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw,
beserta keluarga, sahabat, dan seluruh umatnya yang setia mengikuti ajarannya hingga akhir zaman.
Pada kesempatan kali ini, marilah kita renungkan sebuah tema penting dalam kehidupan kita sebagai umat Islam, yaitu “Cerdas Dunia, Cemerlang Akhirat.” Tema ini mengingatkan kita bahwa dalam Islam, kecerdasan tidak hanya diukur dari prestasi duniawi, tetapi juga dari kesiapan menghadapi kehidupan setelah mati.

1. Makna Kecerdasan dalam Islam
Seringkali kita memaknai kata “cerdas” hanya sebatas nilai akademik, prestasi di sekolah, gelar pendidikan, atau kecakapan bekerja. Tapi Islam memberikan makna yang jauh lebih luas. Rasulullah saw bersabda:
“Orang yang cerdas adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati. Sedangkan orang yang lemah adalah yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah”(HR. Tirmidzi).

Hadis ini menjelaskan bahwa cerdas sejati adalah orang yang hidupnya penuh perhitungan untuk akhirat, bukan hanya sibuk mengejar dunia, tapi lalai terhadap hisab.

2. Menggabungkan Ilmu Dunia dan Ilmu Akhirat
Islam tidak pernah menolak ilmu dunia. Justru, kita diajarkan untuk menuntut ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu umum. Al-Qur’an mengangkat derajat orang-orang yang berilmu: انْشُزُوْا قِيْ لَ واِذ ا ل كُ مَْ اللَُّٰ يفْ سحَِ ف افْ سحُوْا الْ مجٰلِسَِ فِى ت ف سَّحُوْا ل كُمَْ قِيْ لَ اِذ ا اٰ منُوْْٓا الَّذِيْ نَ يْٰٓا يُّ ها
١َ ۝١ خبِيْ رَ ت عْ ملُوْ نَ بِ ما واللَُّٰ د رجٰ تَ الْعِلْ مَ اُوْتُوا والَّذِيْ نَ مِنْكُ مَْ اٰ منُوْا الَّذِيْ نَ اللَُّٰ يرْف عَِ ف انْشُزُوْا
Wahai orang-orangَ yangَ beriman,َ apabilaَ dikatakanَ kepadamuَ “Berilahَ
kelapangan di dalam majelis-majelis,”َ lapangkanlah,َ niscaya Allah akan memberi
kelapanganَ untukmu.َ Apabilaَ dikatakan,َ “Berdirilah,”َ (kamu)َ berdirilah.َ Allahَ
niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan (QS.Al-Mujadilah :11).
Namun, ilmu dunia harus membawa manfaat untuk akhirat. Seorang dokter yang
menyelamatkan nyawa dengan niat ibadah, akan mendapatkan pahala. Seorang guru yang mengajarkan kebaikan, seorang petani yang bekerja dengan jujur — semua itu bisa menjadi jalan menuju surga, bila diniatkan karena Allah.
Kecerdasan dunia adalah modal untuk menjalani kehidupan ini dengan bijak, efisien, dan produktif. Sementara itu, kecemerlangan akhirat adalah tujuan akhir yang sejati, yang harus selalu kita siapkan dari sekarang.

3.Bahaya Kecerdasan Tanpa Iman
Kita juga melihat di dunia ini banyak orang yang cerdas secara intelektual, tapi justru menyesatkan dirinya sendiri. Ilmu tanpa iman bisa membuat seseorang menjadi sombong, merusak, bahkan menghancurkan masyarakat.
Fir’aun adalah contoh orang yang cerdas, berkuasa, dan penuh strategi. Tapi karena tidak disertai iman, kecerdasannya membawanya kepada kesombongan dan kehancuran.
Cerdas sejati adalah yang menyadari bahwa ilmu harus tunduk pada kebenaran ilahi.

4.Menjadi Muslim Cerdas dan Berakhlak
Kita sebagai umat Islam dituntut untuk menjadi cerdas di dunia, agar bisa memberi manfaat bagi oranglain. tetapi juga harus cemerlang di akhirat, dengan terus menjaga iman, ibadah, dan akhlak mulia.
Ada beberapa cara agar kita bisa meraih kecerdasan dunia dan kecemerlangan akhirat secara bersamaan:

  • Niatkan setiap aktivitas untuk ibadah. Belajar, bekerja, menolong orang lain —
    semua bisa menjadi ibadah jika diniatkan karena Allah.
  • Tingkatkan ilmu agama dan ilmu dunia. Jangan hanya sibuk pada satu sisi. Keseimbangan adalah kunci sukses seorang Muslim sejati.
  • Amalkan ilmu. Ilmu yang tidak diamalkan ibarat pohon tanpa buah. Semakin banyak kita tahu, semakin besar tanggung jawab kita.
  • Jaga akhlak. Sebab Rasulullah diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Kecerdasan sejati adalah yang membuahkan kebaikan, bukan kejahatan.

 

Dunia adalah Ladang, Akhirat adalah Tujuan
Kita hidup di dunia ini hanya sebentar. Dunia adalah tempat menanam, akhirat adalah tempat memanen. Maka jangan kita tertipu oleh gemerlap dunia, tapi lalai mempersiapkan bekal untuk akhirat. Jadilah pribadi yang cerdas dalam dunia, tangguh menghadapi tantangan hidup, bermanfaat bagi sesama, namun tidak lupa bahwa tujuan utama kita adalah cemerlang di akhirat, masuk surga Allah bersama orang-orang saleh.Mari kita jaga keseimbangan ini, dan terus berdoa kepada Allah agar diberikan ilmu yang bermanfaat, hati yang bersih, dan akhir hidup yang husnul khatimah.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Penulis: Solihin (Tendik FIAI UII)

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Swt. yang telah memberikan kita nikmat iman dan Islam. Salawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad saw., keluarganya, sahabatnya, dan kita sebagai umatnya hingga akhir zaman.

Hadirin yang dirahmati Allah, pada kesempatan kali ini, saya ingin menyampaikan ceramah tentang pentingnya berbakti kepada orang tua, khususnya ibu.
Ibu adalah sosok yang tak tergantikan dalam kehidupan. Pengorbanannya mulai dari mengandung, melahirkan, hingga membesarkan anak penuh cinta adalah bentuk kasih sayang tanpa syarat. Dalam Islam, ibu memiliki kedudukan yang sangat tinggi, bahkan disebutkan secara khusus dalam ayat-ayat Al-Qur’an.

Hadirin yang berbahagia, berbakti kepada orang tua adalah salah satu amalan yang sangat dianjurkan dalam Islam. Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an ;

  1.  “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu” (QS. Al-Isra: 23). Setelah perintah untuk menyembah Allah Swt, ayat ini menunjukkan pentingnya berbuat baik kepada orang tua, terutama ibu, sebagai perintah utama dalam kehidupan seorang Muslim.
  2.  “Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama di rumahmu, di rumah bapak-bapakmu, atau di rumah ibu-ibumu” QS. An-Nur: 61 Ayat ini menunjukkan keistimewaan rumah ibu sebagai tempat penuh berkah, simbol cinta, dan kasih sayang. Rumah ibu adalah tempat yang selalu terbuka untuk anak-anaknya.
  3. “Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan” QS. Al-Baqarah: 233 Ayat ini menegaskan peran ibu dalam memberikan ASI eksklusif selama dua tahun. Selain sebagai hak anak, menyusui juga merupakan kewajiban yang dihormati dalam Islam.
  4.  “Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka” (QS. Maryam: 32). Ayat ini adalah pernyataan Nabi Isa a.s. tentang pentingnya berbakti kepada ibunya, Maryam. Ini menunjukkan bahwa bahkan seorang nabi pun menaruh rasa hormat kepada ibu sebagai salah satu kewajiban utama.
  5.  “Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan melahirkannya dalam keadaan lemah. Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan” (QS. Al Ahqaf: 15). Ayat ini menggaris bawahi kesulitan yang dialami ibu selama kehamilan hingga
    menyusui. Allah Swt memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada orang tua sebagai balas budi atas segala pengorbanan mereka.
  6.  “Dan Kami memerintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku lah kembalimu” (QS. Luqman: 14). Ayat ini menegaskan betapa besarnya hak ibu atas kita. Selama sembilan bulan, ia mengandung kita dengan penuh kesakitan dan pengorbanan. Setelah itu, ia menyusui dan merawat kita hingga kita tumbuh dewasa. Oleh karena itu, berbakti kepada ibu bukan hanya sekadar kewajiban, melaikan juga merupakan bentuk syukur kita kepada Allah Swt.

 

Rasulullah saw. juga bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a.:
Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, siapa yang paling berhak untuk aku perlakukan dengan baik?” Rasulullah menjawab, “Ibumu.” Sahabat itu bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Rasulullah menjawab, “Ibumu.” Sahabat itu bertanya lagi, ‘Kemudian siapa?” Rasulullah menjawab, “Ibumu.” Sahabat itu bertanya lagi, ‘Kemudian siapa?” Rasulullah menjawab, “Ayahmu.”
Dari hadis ini, kita bisa memahami bahwa kedudukan ibu sangatlah tinggi. Dalam tiga kali kesempatan, Rasulullah menekankan pentingnya berbakti kepada ibu sebelum ayah. Ini menunjukkan betapa besar cinta dan penghormatan yang seharusnya kita berikan kepada ibu.
Berbakti kepada ibu bisa kita lakukan dengan berbagai cara. Pertama, kita harus selalu menghormati dan menghargai ibu kita. Kedua, kita harus mendengarkan nasihat dan permintaannya.
Ketiga, kita harus membantu ibu dalam segala hal yang bisa kita lakukan. Dan yang tidak kalah penting, kita harus mendoakan ibu kita, baik yang masih hidup maupun yang telah berpulang ke rahmatullah.

Apakah Anda sudah menunjukkan cinta kepada ibu hari ini ? Jadikan momen ini sebagai pengingat untuk selalu berbakti kepada ibu.
Orang tua adalah sosok yang harus kita hormati dan sayangi. Mereka telah merawat dan membesarkan kita dengan penuh kasih sayang. Mari kita selalu berusaha untuk berbakti kepada mereka, baik dalam keadaan sehat maupun sakit, dan selalu mendoakan mereka.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Penulis: Ali Murtono (Tendik FIAI UII)

Terkadang, Allah Swt menghadirkan tantangan dalam hidup bukan karena marah, melainkan sebagai upaya untuk mengingatkan manusia agar tidak terlena oleh kemudahan. Banyak orang justru menunjukkan ketahanan saat menghadapi kesulitan—seperti sakit, kemiskinan, atau masalah lainnya—karena dalam kondisi tersebut, mereka lebih cepat untuk berserah kepada Allah. Ujian yang berupa kesempitan sering kali membuat batin menjadi lembut dan menyadari kesalahan, sehingga mendorong seseorang untuk berbenah diri dan kembali ke jalan yang baik.
Namun, tidak semua individu menyadari bahwa kelapangan hidup juga merupakan ujian. Ketika seseorang diberikan kekayaan, kesehatan, dan kebahagiaan, banyak yang tidak menyadari bahwa mereka sedang dalam ujian. Di waktu yang lapang, seringkali orang menjadi lengah dan merasa tidak sedang menghadapi tantangan. Padahal, Rasulullah SAW sudah mengingatkan bahwa dua anugerah yang sering kali membuat manusia tertipu adalah kesehatan dan waktu luang.
Seorang ulama terkenal dalam kitab Al-Hikam menyatakan bahwa Allah memberikan kelapangan agar manusia tidak terus-menerus dalam kesempitan, dan sebaliknya, memberi kesempitan agar manusia tidak terbuai dalam kelapangan. Terkadang, Allah juga mengeluarkan manusia dari kedua keadaan tersebut agar mereka tidak tergantung hidup pada kenikmatan duniawi, melainkan hanya kepada Allah semata.

بَسَطكََ كَ ىَ لاَيُ بقِيَكََ مَعََ ا لقَ بضَِ وَقَبَضَكََ كَ ىَ لآ يَت رَُ کَكََ مَعََ ا لبَ سطَِ
وَاَ خرَجَكََ عَ نهُمَاکَ يَ لاََ تَکُ ونََ لِثَ يءَِ .
“Allah memberi kamu kelapangan agar kamu tidak selalu dalam kesempitan (qobdh). Allah memberi kesempitan kepadamu, agar kamu tidak hanyut di waktu lapang (basth). Allah melepaskan kamu dari dua-duanya, agar kamu tidak menggantungkan diri, kecuali kepada Allah belaka” (Al-Hikam Pasal 90).

Perubahan Keadaan sebagai Tanda Kekuasaan Allah
Dengan kuasa-Nya, Allah dapat mengubah keadaan manusia. Seseorang yang hari ini sehat mungkin besok akan sakit, yang miskin bisa saja menjadi kaya, yang bersedih bisa menemukan kebahagiaan, dan demikian seterusnya. Semua ini adalah bagian dari sunnatullah agar manusia menyadari bahwa hidup ini tidak dikuasai sepenuhnya oleh dirinya sendiri, tetapi sepenuhnya berada dalam kehendak Allah Swt.
“Siapa yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap hari Dia menangani urusan” (QS. Ar-Rahman: 29).
Dalam menghadapi perubahan ini, seorang hamba seharusnya memiliki dua sikap pokok: khauf (takut tidak diterima amal ibadah) dan raja’ (harap agar amal tersebut diterima). Kedua sikap ini perlu tertanam dalam jiwa. Seorang yang beriman akan terus berusaha memperbaiki ibadahnya karena khawatir amalnya sia-sia, tetapi tetap memiliki harapan besar bahwa Allah menerima amal baiknya.

Kunci Kelapangan Hati: Kembali kepada Allah Tanpa Syarat
Dalam karyanya Zaadul Ma’ad, Ibnu Qayyim menuliskan bahwa ketenangan hati hanya dapat dicapai dengan sepenuh hati kembali kepada Allah. Ini berarti tidak ada alasan untuk menunda atau menolak, melainkan sepenuhnya berserah dan mencintai-Nya. Ketika hati telah dipenuhi dengan cinta kepada Allah, hidup akan terasa lebih tenang dan damai. Seseorang yang mencintai Allah akan merasakan kebahagiaan saat beribadah dan akan selalu merindukan kedekatan dengan-Nya.
Cinta sejati kepada Allah Swt menjadikan seseorang tangguh dalam menghadapi ujian hidup, baik dalam kondisi sempit maupun lapang. Hatinya akan selalu merasa tenteram karena yakin bahwa semua yang terjadi adalah kehendak Allah, dan tidak ada kekuatan lain yang mampu mengubah takdir kecuali izin-Nya.

Allah yang Mengatur Segala Urusan Setiap Hari
Setiap detik, Allah Swt senantiasa mengatur semua hal yang berkaitan dengan makhluk-Nya. Dalam QS. Ar-Rahman: 29 dinyatakan bahwa segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi selalu bergantung kepada-Nya. Setiap saat, Allah mengurus berbagai hal yang dihadapi makhluk-Nya berdasarkan ketentuan-Nya yang tidak dapat ditolak. Semua perubahan dalam kehidupan, baik yang kita inginkan maupun yang tidak, berasal dari keputusan Allah.
Pemahaman ini akan mendorong manusia untuk tidak merasa sombong dengan karunia yang diterima, dan tidak berlarut-larut dalam kesedihan ketika mengalami kehilangan. Dalam QS. Al-Hadid: 23 dijelaskan agar kita tidak berduka secara berlebihan atas hal-hal yang tidak kita miliki, serta tidak berbangga atas apa yang telah dianugerahkan. Allah membenci orang yang sombong dan bangga diri.
“(Yang demikian itu kami tetapkan) agar kamu tidak bersedih terhadap apa yang luput dari kamu dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Al-Hadid: 23).

Istiqamah di Segala Keadaan
Semoga kita semua diberikan petunjuk dan hidayah oleh Allah Swt untuk tetap istiqamah dalam melaksanakan perintah-Nya, baik di saat suka maupun duka. Karena pada dasarnya, ujian dari Allah muncul dalam berbagai bentuk dan waktu. Orang yang bijak adalah mereka yang menghadapi setiap situasi dengan iman, kesabaran, dan tawakal kepada-Nya.

Penulis: Heru Sujanto (Tendik FIAI UII)

FIAi UII

Kesempurnaan Iman dalam Islam Kita tentu ingin memiliki keimanan yang sempurna. Terdapat beberapa faktor yang
wajib dimiliki setiap umat Islam agar iman kita sempurna. Nabi Muhammad saw. bersabda:
“Tiga perkara, barang siapa hal itu ada pada dirinya, berarti ia menyempurnakan imannya: (1) seseorang yang tidak pernah takut demi agama Allah pada kecaman si pengecam (2) tidak riya dengan sesuatu dari amalnya, (3) apabila dua perkara dihadapkan kepadanya, salah satu untuk dunia dan yang lain untuk akhirat, maka ia memilih urusan akhirat daripada urusan dunia. (HR lbnu Asaklr dari Abu Hurairah r.a.) Tiga faktor yang wajib dimiliki agar iman kita betul-betul sempurna a dalah sebagai berikut:1. IkhlasDalam Islam ikhlas memiliki arti memurnikan niat hanya karena Allah dalam setiap amal atau perbuatan. Artinya seseorang melakukan sesuatu bukan karena ingin dipuji, dipandang orang lain atau mendapatkan keuntungan duniawi, tetapi semata-mata karena mencari ridha Allah. Secara bahasa ikhlas berasal dari kata “khalasa” yang memiliki arti murni, bersih, atau terbebas dari campuran. Secara istilah, para ulama mendefinisikan ikhlas sebagai: “Menjadikan segala amal ibadah hanya untuk Allah semata, tidak dicampuri oleh tujuan-tujuan lain seperti riya (pamer), sum’ah (ingin didengar), atau tujuan duniawi”. Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya segala amal itu tergantung niatnya dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim) Ciri-Ciri Orang yang Ikhlas:
1. Tidak mengharapkan pujian atau sanjungan manusia.
2.Tidak kecewa ketika tidak dihargai.
3.Konsisten beramal meski tidak ada yang melihat.
4.Hanya mengharap balasan dari Allah.Ikhlas adalah syarat diterimanya amal ibadah. Tanpa ikhlas, amal bisa menjadi sia-sia, bahkan bisa menjadi dosa jika niatnya riya. Keikhlasan menjadi salah satu kunci pokok dalam beramal, karenanya agama Islam sangat mencela perbuatan riya. Rasulullah sawcemas terhadap hal sebagaimana dinyatakan dalam satu hadis. “Sesungguhnya yang paling aku takuti atas kamu adalah syirik yang paling kecil.

Sahabat bertanya, apakah syirik yang paling kecil itu? Rasul menjawab riya.”‘ (HR Ahmad) Apabila keikhlasan itu sudah kita miliki setan pun menyadari betapa sulitnya untuk menyesatkan dalam firman-Nya, Allah Swtmenceritakan orang orang yang ikhlas. “Ia (Iblis) berkata, “Tuhanku, oleh karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi dan aku akan menyesatkan mereka semuanya kecuali hamba hamba Mu yang terpilih di antara mereka.” (al-Hijr: 39-40)

Penulis: Bambang Kintoko, S.Kom (Tendik FIAI UII)

Al Quran UII

Dalam rangka meningkatkan kompetensi dan pengembangan diri mari kita tingkatkan keagamaan dan pengetahuan ilmu keagamaan. Perlu saya sampaikan bahwa dengan pengembangan ilmu diri berkaitan dengan keagamaan maka dalam kesehariannya akan selalu hidup merasa tenang dan seolah-olah terjaga dengan ilmu yang kita miliki. Iman kita selalu akan bertambah dan kedekatan kita pada Yang Maha Kuasa akan semakin sangat terasa, meski hal ini kita bisa berhubungan atau melihat pada Allah Swt. Alam dan ilmu akan selalu mendukung berkaitan dengan ciptaan-Nya, manusia hewan atau alam semesta, ketergantungan ini akan terasa jika saling memanfaatkan. Pelajaran berharga ini sudah tersirat dan tersurat dalam Alqur’an.

Tidak jarang hal-hal yang tidak kita ketahui sudah tersirat dan tersurat dalam Al-Qur’an, karena Al-Qur’an adalah Ilmu pasti yang dikirimkan untuk kita pelajari. Pada kesempatan ini marilah kita belajar membaca Al-Qu’ran

Membaca dan mempelajari Al-Qu’ran di rumah itu penting, kita tau bahwa dunia ini memberikan ruang dan kesempatan sebanyak-banyaknya untuk belajar mempelajari ilmu alam dan ilmu kalamullah, terutama mempelajari cara membaca Al-Qu’ran dengan bacaan dan aturan yang sudah dimaktubkan dalam ilmu agama, tafsir-tafsir dari kandungan arti dalam Al-Qur’an. Oleh sebab itu,  saya akan mengajak dan memaksa pada diri saya pribadi juga para pembaca untuk belajar membaca dan berlatih setiap saat tentang Al-Qur’an. Perlu kita ingat bahwa kita tidak tahu seberapa waktu dan usia yang Allah berikan untuk kita hidup di dunia. Barang siapa membaca satu ayat dalam Al-Qur’an, niscaya akan dibalas oleh Allah Swt. karena Allah Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.

Fadhilah dan manfaat membaca Al-Qur’an di rumah, antara lain: (1) Akan diakui sebagai orang keistimewaan Allah Swt.; (2) Orang yang mahir dan rajin membaca Al-Qur’an ditempatkan bersama malaikat-malaikat pencatat yang patuh kepada Allah Swt; (3) Hidangan keseharian yang kita santap dan kita bagikan akan mendapat berkah dari-Nya; (4) Rumah yang sering digunakan untuk membaca Al-Qur’an tidak akan diganggu oleh jin dan setan; (5) Anugerah dan berkah rezeki akan selalu mengalir; (6) Menjadi jaminan akan mendpatkan syafaat kelak di yaumul akhir. Itulah beberapa fadillah dan manfaat jika membaca Al-Qur’an di rumah.

Pembaca yang budiman, mari kita ikhtiar dan istiqamah untuk mengajak diri pribadi dan memaksa belajar membaca Al-Qur’an di rumah kapan saja. Lebih lebih jika dapat membaca pada waktu sesudah shalat Magrib dan Subuh, maka akan dimudahkan dan dilapangkan segala urusan dunia.. Sudah menjadi kewajiban umat muslim untuk membaca Al-Qur’an. Ustadz Roy Purwanto menyampaikan, “Lebih baik membaca Al-Qur’an meski terbata-bata dan masih salah panjang-pendeknya daripada tidak pernah membaca sama sekali meskipun di rumah punya Al-Qu’ran.”

Harapan kita, setelah kita memaksakan diri untuk mulai dan terus membiasakan membaca Al-Qur’an setiap hari, terutama di rumah tempat kita kembali, beristirahat, dan berkumpul bersama keluarga semoga Al-Qur’an benar-benar menjadi cahaya yang menerangi kehidupan kita.

Membaca Al-Qur’an bukan hanya menjadi rutinitas tanpa makna, tapi menjadi aktivitas yang membawa ketenangan, membangun kedekatan dengan Allah, serta menjadi sumber kekuatan dalam menghadapi berbagai ujian hidup. Rumah-rumah yang senantiasa dialiri lantunan ayat-ayat suci akan lebih terasa damai, lebih diberkahi, dan jauh dari kekosongan ruhani.

Alangkah indahnya jika setiap keluarga menjadikan Al-Qur’an sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Tidak hanya dibaca, tetapi juga direnungi maknanya, diamalkan ajarannya, dan dijadikan pedoman dalam mengambil keputusan serta menjalani aktivitas. Kita berharap, dengan membiasakan diri membaca dan memahami Al-Qur’an di rumah, akan tumbuh generasi yang mencintai Allah dan rasul-Nya, serta menjadikan nilai-nilai Al-Qur’an sebagai fondasi utama dalam hidup.

Semoga Allah memudahkan langkah kita, menguatkan niat kita, dan menjadikan rumah-rumah kita bercahaya karena Al-Qur’an. Sebab rumah yang dipenuhi bacaan Al-Qur’an adalah rumah yang tidak hanya diberkahi di dunia, tetapi juga dirindukan di akhirat.

Penulis: Kardiyono (Tendik FIAI UII)

 

Pada zaman modern ini, perkembangan teknologi digital semakin pesat dan tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Adanya smartphone menjadi salah satu bentuk nyata dari kemajuan teknologi yang kini penggunaan smartphone sudah merebak di semua kalangan. Smartphone dapat memberikan dampak positif maupun negatif tergantung pada penggunaanya. Salah satu fitur utama smartphone yang paling sering digunakan adalah akses terhadap media sosial, platform seperti WhatsApp, Instagram, Tiktok, Facebook, Twitter, dll.  Di satu sisi, media sosial memberikan banyak manfaat seperti memudahkan dalam berinteraksi/berkomunikasi, memperluas jaringan sosial atau relasi, memudahkan menyebarkan informasi, serta menjadi wadah kreativitas dan edukasi. Namun di sisi lain, media sosial juga dapat memberikan dampak negatif apabila tidak digunakan dengan bijak, salah satunya yaitu maraknya penyebaran aib.

Ghibah adalah menceritakan tentang seseorang yang tidak ada di tempat dengan sesuatu yang tidak disenanginya apabila ia mengetahuinya, baik yang disebut kekurangan yang ada pada badannya, keturunannya, perilaku atau perbuatannya, urusan agama, dan urusan dunianya. Ghibah merupakan penyakit hati yang memakan kebaikan, mendatangkan keburukan dan membuang waktu yang sia-sia.

Menceritakan keburukan orang lain termasuk perbuatan dosa, walaupun hal itu benar adanya. Menyebarkan aib dapat memberikan peluang fitnah. Hal ini dapat merusak hubungan sosial seperti permusuhan, perselisihan dan perpecahan dalam berteman dan bermasyarakat. Selain itu dapat mengurangi pahala, dan menjadi penyebab siksa kubur dan mendapat azab di akhirat.

Dalam islam sangat menekankan pentingnya menjaga persaudaraan dan menjauhi perbuatan yang dapat merusaknya hubungan tersebut. Allah Swt.  berfirman dalam surat QS. Al-Hujurat ayat 12 :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ ۝١٢

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka  sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat, lagi Maha Penyayang.

Agar tali persaudaraan tetap terjalin dengan baik, kita dianjurkan untuk menjaga lisan dari ghibah dengan cara menyadari bahwa Allah Swt. selalu mengawasi setiap ucapan dan tindakan kita, maka penting bagi kita merenungkan bahwa setiap kata yang diucapkan akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah Swt. Sebelum berbicara, sebaiknya kita membiasakan diri untuk berpikir terlebih dahulu: “Apakah ucapan ini baik? Apakah membahayakan atau menyakiti orang lain?”. Daripada membicarakan keburukan orang lain, sebaiknya kita mendoakan yang terbaik agar mendapatkan hidayah atau kebaikan. Selain itu, kita juga harus pandai memilih pergaulan yang baik, menghindari teman yang suka menggunjing karena lingkungan mempengaruhi perilaku yang bisa membentuk karakter dan kebiasaan.

Apabila dalam suatu obrolan mulai mengarah ke ghibah, dengan lembut dan sopan kita harus berani mengalihkan atau menghentikan topik. Bicarakan hal-hal yang bermanfaat seperti berbagi ilmu, pengalaman, ataupun berita yang menginspirasi. Jadikan pembicaraan sebagai sarana saling mendukung dan memotivasi. Jika tanpa sadar sudah melakukan ghibah, segera bertaubat dan minta ampun kepada Allah Swt.

Penulis: Erma Widiyanti  (Tendik FIAI UII)

Assalamu’alaikum wr wb.
Teman-teman yang berbahagia semoga kita selalu dalam lindungan Allah Yang Maha Kuasa. Teman-teman, kita baru saja masuk tahun baru Islam, memasuki bulan pertama,
yaitu bulan Muharam 1447 Hijriah. Seperti kita ketahui, bulan Muharam merupakan salah satu dari empat bulan haram (suci) dalam Islam. Bulan-bulan suci yang lain adalah
Ramadhan, Rajab, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah. Sebagai salah satu bulan suci dalam Islam, bulan Muharam dikenal sebagai “bulannya
Allah” atau Syahrullah. Mengapa? Karena bulan Muharam memiliki keistimewaan dan kesucian, serta ditetapkannya sebagai bulan pembuka dalam tahun Islam. Selain itu
bulan Muharam juga menandai hijrahnya umat Islam ke Madinah dan berdirinya negara Islam pertama pada tahun 622 Masehi .
Dalam menjalani bulan Muharam ini, banyak sekali amalan yang dianjurkan untuk
dikerjakan oleh umat Islam karena banyak sekali kebaikan yang bisa kita ambil.

Amalan-amalan yang dianjurkan antara lain :
1. Berpuasa di penghujung bulan Dzulhijjah. Puasa pada hari terakhir bulan Dzulhijjah bertujuan untuk memohon ampunan Allah
Swt. Pada tahun ini jatuh pada tanggal 26 Juli 2025.
2. Membaca doa akhir tahun .Doa akhir tahun dibaca waktu selesai shalat Asar atau menjelang shalat Magrib.
3. Membaca doa awal tahun. Membaca doa awal tahun di awal bulan Muharam dibaca setelah shalat Magrib
sebanyak tiga kali pada malam 1 Muharam.
4. Menghidupkan malam pertama bulan Muharam dengan Qiyamul Lail. Yang dimaksud dengan Qiyamul lail adalah ibadah salat sunnah yang dilakukan pada
malam hari setelah shalat Isya hingga menjelang Subuh.
Di bawah ini amalan yang bisa kita lakukan untuk menghidupkan malam 1 Muharam:
• Memperbanyak membaca Al-Qur’an.
• Memperbanyak zikir kepada Allah Swt.
• Mengerjakan shalat sunnah seperti shalat Hajat, Tahajud, Taubat, dan shalat
sunnah lainnya.
• Melaksanakan shalat sunnah seratus rakaat, dengan membaca Al-Fatihah dan
surat Al-Ikhlas pada setiap rakaat.
• Mengerjakan shalat sunnah dua rakaat; pada rakaat pertama membaca Al-Fatihah
dan surat Al-An’am, serta pada rakaat kedua membaca Al-Fatihah dan surat
Yasin.

5. Amalan setelah shalat Subuh
Dalam Islam dilarang keras tidur kembali setelah shalat Subuh. Alangkah baiknya waktu setelah shalat Subuh kita manfaatkan dengan memperbanyak zikir dan
membaca Al-Qur’an

6. Berpuasa di hari pertama bulan Muharam
Puasa ini bertujuan untuk mengawali tahun baru Hijriah dengan amalan baik,mendapatkan pahala dari Allah Swt, dan membersihkan diri dari dosa-dosa kecil dan
juga sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Tanun ini 1 Muharam jatuh pada tanggal 27 Juni 2025.

7. Puasa Tasu’a
Puasa Tasu’a dikerjakan pada tanggal 9 Muharam. Puasa ini sebagai pelengkap puasa Asyura yang jatuh pada tanggal 10 Muharam. Puasa Tasu’a bertujuan menjadi
pembeda umat Islam dengan umat Yahudi yang sama-sama melakukan puasa di hari Asyura.

8. Puasa Asyura
Puasa Asyura adalah puasa yang dilakukan pada hari istimewa di bulan Muharam yaitu pada tanggal 10 yang saat ini bertepatan dengan tanggal 6 Juli 2025. Puasa
Asyura juga memiliki keistimewaan tambahan yaitu menghapus dosa setahun yang lalu dan meneladani Nabi besar Muhammad saw.

9. Amalan kebaikan pada hari Asyura
Pada hari Asyura sebagai umat Nabi Muhammad saw kita sangat dianjurkan untuk
memperbanyak amal kebaikan.
Kita bisa lakukan hal-hal di bawah ini :
• Menyantuni anak yatim.
• Memuliakan dan membantu fakir miskin
• Memberikan ilmu atau manfaat kepada orang lain
• Bersedekah.
• Melapangkan rezeki keluarga seperti memberikan hadiah kepada anak serta istri.
• Melaksanakan mandi sunnah.
• Menggunakan celak (bercelak).
• Menjamu orang yang berbuka puasa.
• Memperbanyak shalat sunnah empat rakaat.
• Memperbanyak bacaan: Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’man
nashir.
• Membaca surat Al-Ikhlas sebanyak 1000 kali.
• Mengerjakan shalat Tasbih.
• Menjalin silaturahmi dengan siapa saja, baik keluarga, kerabat dekat, tetangga,
maupun para ulama.

10. Membaca doa Asyura
Doa Asyura dibaca setelah mengerjakan shalat Magrib. Bisa langsung dibaca ataudidahului dengan shalat sunnah 4 rakaat.

11. Puasa tanggal 11 Muharam
Selain puasa Tasu’a dan Asyura, umat Islam juga dianjurkan untuk puasa pada tanggal 11 Muharam. Puasa ini bertujuan untuk menyelisihi atau membedakan
dengan puasa kaum Yahudi.

12. Puasa Ayyamul Bidh pada tanggal 13, 14, dan 15 Muharam
Sebagaimana pada bulan bulan yang lain, pada bulan Muharam umat Islam sangat dianjurkan untuk melakukan puasa sunnah tengah bulan yaitu pada tanggal 13, 14,
dan 15. Keutamaan puasa Ayyamul Bidh sangat banyak, antara lain mendapatkan pahala seperti puasa sepanjang tahun, meneladani sunnah Rasulullah saw dan
mendapatkan pintu khusus di surga-Nya Allah Swt.
Demikian sedikit yang bisa saya sampaikan, semoga bermanfaat. Jika ada salah kata dan salah tulis mohon dimaafkan. Teriring doa semoga di akhirat kelak kita
mendapatkan syafaat dari Nabi besar Muhammad saw dan beliau mengenali kita sebagai pengikutnya yang setia. Akhir kata Wassalamu’alaikum wr wb.

Ditulis: Siti Komariyah (Tendik FIAI UII)
Sumber: www.detik.com dan media lainnya

Di tengah gemuruh dunia yang makin cepat, kita sering lupa untuk berhenti sejenak dan bernapas, melihat ke dalam diri, dan bertanya : “Apa kabar hatiku hari ini? Apa hal yang membuatku senang hari ini? Adakah yang menyakiti hatiku hari ini?” Tak sedikit di antara kita yang terlihat kuat dari luar, namun rapuh di dalam. Lalu muncullah istilah self healing, sebuah ajakan untuk menyembuhkan diri sendiri. Tapi bagi seorang muslim, self healing bukan sekadar liburan, minum kopi, shopping. Islam menawarkan proses penyembuhan yang lebih dalam, lebih bermakna, dan tentu lebih menyentuh, melalui sabar, syukur, dan tawakal
Sabar membuat kita tetap berdiri meski dunia rasanya runtuh. Sabar bukan berarti tak boleh menangis, tapi tetap percaya bahwa di balik tangis, ada hikmah yang Allah siapkan. Setiap orang pasti diuji, entah dalam bentuk kehilangan, tekanan hidup, atau luka batin. Tapi Islam mengajarkan bahwa sabar adalah kunci pertama untuk bertahan, bukan pasrah, tapi bentuk kekuatan tertinggi dari dalam diri.
Mensyukuri apa yang kita miliki tentu membuat hati jauh lebih tenang. Di saat kita melihat yang masih tersisa, mata yang bisa melihat ini, napas yang masih berhembus, iman yang belum lepas dari hati, tetapi di situlah penyembuhan dimulai.
Sering kali kita lelah bukan karena masalah, melainkan karena ingin mengendalikan segalanya Kita lupa bahwa setelah semua usaha dilakukan, ada satu hal yang harus dilepaskan: hasil. Tawakal adalah titik ketika hati berhenti menggenggam terlalu erat—karena kita tahu, segala urusan akhirnya kembali kepada Allah.
Self healing dalam Islam bukan sekadar proses untuk move on, tapi sebuah perjalanan kembali kepada Allah. Sebuah panggilan untuk menenangkan hati yang gundah dengan zikir, memperkuat sabar dengan shalat, menumbuhkan syukur lewat tafakur, dan melepaskan segala beban melalui tawakal.

 

Ditulis: Tutias Ekawati (Tendik UII)

Sumber
Al-Qur’an: QS. Al-Baqarah: 153, 155; QS. Ibrahim: 7; QS. At-Talaq: 3; QS. Ar-Ra’d: 28, Hadis: HR. Bukhari no. 52; Muslim no. 1599, Kitab: Ihya Ulumuddin – Imam Al-Ghazali, Tokoh & Ceramah: Ust. Adi Hidayat, Ust. Hanan Attaki, Buya Yahya

Idul Adha dan Semangat Qurban

Idul Adha adalah momentum penting dalam kalender umat Islam yang sarat dengan nilai-nilai tauhid, pengorbanan, dan keteladanan. Peristiwa Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s. menjadi inspirasi sepanjang zaman tentang kepatuhan total kepada Allah Swt. Dalam Al-Qur’an disebutkan:

“Maka ketika anak itu sampai pada (umur) sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab: ‘Wahai ayahku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’”
(QS. Ash-Shaffat: 102)

Ketaatan Nabi Ismail a.s. dan keikhlasan Nabi Ibrahim a.s. menjadi dasar spiritual ibadah qurban. Di balik ritual penyembelihan, terdapat pesan mendalam tentang keikhlasan, kesabaran, dan ujian iman. Maka dakwah tentang qurban seharusnya tidak hanya menjelaskan aspek hukum, tetapi juga menghidupkan nilai-nilai ruhaniah ini di tengah masyarakat.

Era Digital dan Perubahan Pola Dakwah

Dunia dakwah mengalami pergeseran besar di era digital. Penyampaian pesan Islam tidak lagi terbatas pada mimbar dan majelis taklim, tapi telah merambah ruang virtual seperti Instagram, TikTok, YouTube, hingga WhatsApp. Di platform inilah dai, lembaga zakat, dan komunitas Islam berperan penting dalam menyampaikan pesan Idul Adha secara menarik dan komunikatif.

Nabi Muhammad SAW mengajarkan bahwa dakwah harus disampaikan dengan cara yang bijak:

“Sampaikanlah dariku walau satu ayat.”
(HR. Bukhari)

Prinsip ini tetap relevan dalam konteks digital: menyampaikan kebaikan, sekecil apa pun, bisa memberi pengaruh luas jika dilakukan dengan niat dan strategi yang tepat. Dai digital tidak lagi hanya berperan sebagai penyampai ceramah, tapi juga sebagai kreator konten, manajer interaksi, hingga penjaga akhlak publik.

Konten Dakwah dan Edukasi Qurban di Media Sosial

Media sosial telah melahirkan beragam bentuk konten edukatif tentang Idul Adha. Misalnya:

  • Infografis tata cara menyembelih hewan qurban sesuai syariat.
  • Video singkat yang menceritakan sejarah qurban secara menarik dan visual.
  • Live streaming proses penyembelihan dari lembaga zakat.
  • Cerita inspiratif penerima manfaat di pelosok negeri.

Bahkan, kini lembaga-lembaga Islam memanfaatkan media sosial untuk mengumpulkan donasi qurban dengan sistem yang transparan dan interaktif. Penyumbang dapat melihat dokumentasi penyembelihan dan distribusi, serta mendapatkan laporan digital. Ini menunjukkan bahwa digitalisasi tidak mengurangi nilai ibadah, justru bisa memperkuat akuntabilitas dan kepercayaan publik.

Namun, dalam mengemas konten dakwah, penting untuk menjaga nilai adab dan sensitivitas publik. Menampilkan proses penyembelihan hewan, misalnya, harus dilakukan dengan cara yang mendidik dan tidak menimbulkan trauma visual. Etika digital menjadi bagian tak terpisahkan dari kesuksesan dakwah di media sosial.

Dampak dan Tantangan Dakwah Qurban Digital

Dakwah Idul Adha di media sosial memiliki dampak yang luas. Banyak masyarakat, terutama generasi muda, yang menjadi lebih sadar tentang pentingnya berqurban. Akses terhadap informasi keagamaan yang dulu sulit kini menjadi sangat mudah. Video satu menit bisa menjelaskan satu hadis. Infografis bisa merangkum satu bab fiqh.

Namun, transformasi ini juga menghadirkan tantangan serius:

  1. Komersialisasi ibadah– Qurban dikemas lebih sebagai ‘produk’ daripada ‘pengorbanan’. Kadang, lembaga-lembaga lebih menonjolkan brand daripada nilai ibadah itu sendiri.
  2. Krisis otoritas keilmuan– Siapa saja kini bisa berdakwah, termasuk yang belum memiliki kapasitas keilmuan syar’i. Ini dapat menimbulkan penyesatan atau kesalahpahaman hukum agama.
  3. Sikap instan dalam beragama– Informasi yang serba cepat bisa mendorong pemahaman yang dangkal jika tidak dibarengi pembelajaran mendalam.

Maka dari itu, dai dan konten kreator muslim perlu bersinergi: yang satu kuat di bidang ilmu, yang lain kuat di bidang media. Dakwah yang berdampak adalah dakwah yang menggabungkan substansi syariat, estetika digital, dan strategi komunikasi yang kontekstual.

Allah Swt berfirman:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang paling baik.”
(QS. An-Nahl: 125)

Dakwah Digital yang Humanis dan Menyentuh

Di balik teknologi, dakwah digital harus tetap menyentuh sisi insani. Konten qurban yang baik adalah yang membangkitkan empati: bagaimana daging qurban menjadi hadiah bagi keluarga dhuafa yang tak mampu membeli daging sepanjang tahun, atau bagaimana qurban menjadi ladang amal bagi peternak kecil yang diberdayakan.

Kisah-kisah ini menghidupkan makna qurban sebagai jembatan kemanusiaan, bukan sekadar ritual. Inilah bentuk dakwah bil hal, dakwah melalui aksi nyata dan teladan.

Penutup: Menguatkan Dakwah Qurban di Era Digital

Idul Adha di era digital adalah tantangan sekaligus peluang. Media sosial bisa menjadi sarana efektif untuk menguatkan dakwah dan edukasi qurban, asal dijalankan dengan hikmah dan tanggung jawab.

Dai dan pegiat dakwah hari ini dituntut bukan hanya memahami teks-teks agama, tapi juga konteks media, psikologi digital, dan etika publik. Tujuannya satu: agar pesan Idul Adha tidak sekadar viral, tapi juga membekas dalam hati dan mengubah perilaku umat menuju ketakwaan yang lebih mendalam.

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu…”
(QS. Al-Hajj: 37)

Maka, mari jadikan momentum Idul Adha sebagai ajang dakwah yang menyentuh jiwa, mempererat ukhuwah, dan membangun peradaban Islam yang rahmatan lil ‘alamin, bahkan dari balik layar gawai.

Penulis: Kusprayitna Widianta (Tendik FIAI)