Makna Hijrah
Narasumber : Kurniawan Dwi Saputra, Lc., M.Hum
Alhamdulillah, wa al-syukru lillah, wa al-shalatu wa al-salamu ala rasulillah, wa ‘ala alihi wa ashabihi wa man wallah, amma bakdu.
Dalam bahasa Arab, hijrah berasal dari kata haajara-yuhaajiru yang bermakna meninggalkan suatu tempat atau berpindah dari padanya.
Sementara itu, asal maddah kata hijrah ini, menurut Syekh Ali Jum’ah mengandung makna pergerakan dan perpindahan.
Adapun hijrah dalam Islam merujuk pada peristiwa perpindahan Rasulullah Saw dari Mekah ke Madinah.
Peristiwa ini menandai tahapan penting dalam dakwah Islam yang memulai tahapan perkembangan agama Islam.
Karena pentingnya peristiwa ini, Umar ibn Khattab Ra kemudian menetapkannya sebagai permulaan bagi penanggalan tahun umat Muslim, pada tahun 17 H.
Sementara itu, dalam al-Qur’an, hijrah selalu memiliki makna peninggalan atau perpindahan dari sesuatu yang buruk kepada sesuatu atau untuk suatu tujuan yang baik.
Hal ini misalnya dinyatakan dalam Surat al-Muddatstsir ayat 5 yaitu:
وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ
“dan perbuatan dosa tinggalkanlah!”
Demikian juga dalam sunnah. Terdapat sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim yang menyebutkan bahwa orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang Allah darinya.
Dari peristiwa hijrah ini, umat muslim dan umat manusia sekalian dapat mengambil beberapa pelajaran penting bagi hidup mereka.
1.Pelajaran pertama adalah untuk dapat istiqamah pada tujuan yang mulia.
Hijrah memang memiliki makna perubahan atau perpindahan, akan tetapi perubahan dan perpindahan tersebut pada dasarnya dalam rangka istiqamah terhadap tujuan yang mulia.
Hijrahnya Rasulullah Saw bersama para sahabat dari Mekah dan Madinah, bukan sekadar pindah, atau sebagai bentuk keputusasaan, melainkan sebagai bentuk keteguhan mereka terhadap agama Islam dan kewajiban dakwah.
Keteguhan terhadap tujuan yang mulia tersebut dibuktikan dengan harga yang harus dibayar dengan hijrahnya mereka, yaitu meninggalkan amwalahum wa anfusahum, harta benda serta pengorbanan jiwa mereka dalam bentuk kesusahpayahan yang mereka alami.
2. Pelajaran kedua adalah muhasabah.
Peristiwa hijrah mengajarkan kita semua bahwa meskipun kita memiliki tujuan yang mulia, tidak serta merta tujuan itu dapat terwujud.
Kesuksesan kita dalam menggapai tujuan yang mulia itu dibantu juga oleh ikhtiar manusiawi yang kita tempuh. Ada kalanya, cara-cara ikhtiar yang kita lakukan bukan merupakan jalan terbaik.
Oleh karena itu, setiap dari kita seyogyanya memiliki waktu bermusahabah untuk mengevaluasi apa-apa yang mungkin keliru dari ikhtiar kita.
Terdapat sebuah nasehat menarik dari Umar Ra berkaitan dengan tindakan ini, yaitu:
حاسبوا أنفسكم قبل أن تحاسبوا حاسبوا أنفسكم قبل أن تحاسبوا، وزنوها قبل أن توزنوا، فإن أهون عليكم في الحساب غداً أن تحاسبوا أنفسكم اليوم، وتزينوا للعرض الأكبر، يومئذ تعرضون لا تخفى منكم خافية
“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab!”
Atau evaluasilah diri kalian sebelum kalian dievaluasi, karena hal itu akan lebih baik bagi hisab kalian kelak.
Ini selaras dengan pesan kandungan dari ayat al-Qur’an surat al-Hasyr ayat 18 agar setiap individu hendaknya melihat apa yang telah diperbuatnya untuk mempersiapkan hari esok.
3. Dalam peristiwa hijrah ini, penting juga untuk ditekankan bahwa harus ada perencanaan yang matang untuk menjalankannya.
Rasulullah Saw bersama para sahabat dalam peristiwa hijrah telah merancangnya dengan sedemikian matang sehingga dapat berhasil dengan baik.
Ada masa-masa di mana para Muhajirin menunggu kesiapan penduduk Yatsrib untuk menerima Islam sebelum berhijrah, bahkan untuk melancarkan proses hijrah, mereka saling bahu membahu, ada yang menjadi penunjuk jalan, ada yang menghapus jejak unta di perjalanan, ada yang menggantikan Rasulullah Saw di rumahnya, yaitu Sahabat Ali Ra.
Hal-ihwal tersebut menunjukkan bahwa hijrah bukanlah tindakan yang dilakukan asal-asalan.
Ini menjadi pelajaran bagi kita, terutama orang-orang yang mendaku ingin berhijrah untuk mempersiapkan semuanya dengan baik.
Jangan sampai hijrah dilakukan namun menimbulkan mudharat yang lebih besar. Misalnya meninggalkan anak dan istri tanpa nafkah.
Hijrah, menurut Syekh Ali Jum’ah, juga mengajarkan kepada umat Islam untuk mengembangkan dakwah dengan cara-cara yang baru.
Ini kita teladani dari peristiwa hijrah Rasulullah Saw yang merupakan upaya untuk meneruskan tugas dakwah, namun dengan tahapan dakwah dan metode dakwah yang berbeda dari sebelumnya.
Hal ini lumrah karena tantangan dalam berdakwah selalu berkembang bersama perbedaan waktu dan tempat dan karakter objek dakwah.
Pesan ini dapat kita temukan misalnya dalam hadis Rasulullah Saw yang mengingatkan kita semua untuk menyesuaikan perkataan kita dengan lawan bicara.
Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dari Ibnu Mas’ud Ra Rasulullah Saw bersabda:
ما أنْتَ بمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا لا تَبْلُغُهُ عُقُولُهُمْ، إلّا كانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً
Sesungguhnya kamu tidak dapat menyampaikan perkataan kepada orang yang tidak sampai (kadar) akalnya, kecuali akan menyebabkan fitnah (HR. Muslim).
Maka ada istilah, sampaikanlah sesuatu kepada seseorang sesuai dengan kadar akalnya.
Demikian juga halnya dengan dakwah, harus selalu berkembang cara-caranya dan peristiwa hijrah mengajarkan kita tentang hal itu.
اللهم إن هذا عام جديد قد أقبل وسنة جديدة قد أقبلت نسألك من خيرها، ونعوذ بك من شرها ونستكفيك فواتها وشغلها فارزقنا العصمة فيها من الشيطان الرجيم
Wallahu ta’ala a’lam.