Prof Dr. Drs. Amir Mu’allim, BA. MIS merupakan guru besar pertama di Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII). Tahun 2024 ini merupakan perjalanan karir yang ke-47 tahun Prof Amir, ditandai dengan peluncuran buku biografinya. Penyusunan buku diprakarsai oleh Prodi Doktor Hukum Islam juga Prodi Ahwal Syakhshiyah berjudul “Pencari Rumput Jadi Profesor, Biografi Prof. Dr. Drs. Amir Mu’allim, BA. MIS”. Dalam buku ini juga disertai kesan testimoni persahabatan dari 16 sahabat Prof Amir, salah satunya dari Sri Purnomo, Bupati Sleman periode 2010-2015 dan 2016-2021
Untuk acara bedah bukunya, diprakarsai Wakil Dekan Bidang Sumber Daya, Prodi Doktor Hukum Islam dan Jurusan Studi Islam. Menurut Anton Priyo Nugroho, S.E.,M.M,, Ketua Jurusan Studi Islam, kinerja Prof Amir patut menjadi teladan bagi masyarakat.
“Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari kinerja Prof Amir selama di FIAI. Ada sisi keteladanan dari Prof Amir Mu’allim yang dapat menjadi contoh perilaku bagi penerusnya juga masyarakat. Daya juangnya, kemandiriannya dan kesabaran beliau,” kata Anton.
Bedah buku diselenggarakan di Gedung KHA Wahid Hasyim FIAI UII lantai III, Rabu (6/11/2024) dihadiri pimpinan fakultas, dosen, tenaga kependidikan dan mahasiswa program doktor. Dalam sambutan pembukanya, Dekan FIAI UII, Dr. Drs. Asmuni MA sampaikan rasa syukur.
“Tentu kita bersyukur pada pertemuan hari ini, Pak Amir adalah salah satu pejuang di FIAI. Selama di UII Prof Amir selalu menjabat, kecuali ketika sedang menempuh kuliah. Bedah buku kali ini akan membahas dari hulu ke hilir kehidupan Prof Amir, sejak dari pencari rumput di Kebumen hingga menjadi profesor,” kata Asmuni.
Untuk mengungkap isi buku, dihadirkan 2 pembahas yakni Prof. Dr. H. Khoiruddin Nasution, MA dari UIN Sunan Kalijaga dan dan Dr. Dra. Junanah. MIS dari FIAI UII. Selain sebagai pembedah, Prof Khoiruddin adalah teman kuliah Prof Amir saat menempuh program doktor di UIN Sunan Kalijaga. Sedangkan Dr Junanah adalah teman kuliah saat menempuh program magister di Malaysia.
”Dari buku ini menggambarkan Prof Amir memang berdikari. Tidak menuntut orangtua harus ini itu. Dari kecil sudah berusaha mandiri. Maaf, ada beda dengan anak zaman sekarang yang mungkin minta ini itu dijawab orangtunya iya, minta dibelikan ini itu, dijawab orangtua dengan iya. Sehingga menjadikan generasi anak rebahan. Dampaknya daya juang jadi lemah. Saya sama dengan Prof Amir di masa itu, ketika kuliah dan kursus, berangkat harus jalan kaki,” kata Prof Khoirudin.
Tidak kalah menariknya, Dr Junanah juga ungkapkan, bahwa sesuai dalam isi buku, perjalanan menempuh kuliah di Malaysia itu banyak kejadian yang lucu. “Sesampai di Malaysia, kami mau diantar, tapi pengantar bilang nanti harus pusing sampai asrama, kata pengantar. Eh Mas Amir langsung jawab: tidak, saya sudah biasa naik motor tidak akan pusing,” cerita Junanah.
Lanjutnya, bahwa yang dimaksud pengantar dengan kata pusing itu adalah memutar dahulu. Kata pusing kalau di Indonesia itu sakit kepala, kalau di Malaysia artinya memutar. Jadi yang mengantar itu menyampaikan bahwa ini nanti perjalanan sampai asrama harus pusing, itu artinya harus memutar rute perjalanannya.
Di luar apa yang disampaikan 2 narasumber bedah buku, secara sekilas buku ini menceritakan masa kecil Prof Amir di Desa Petanahan Kebumen, penuh perjuangan. Buku yang terdiri dari 10 bab ini, dimulai dari perjalanan Prof. Amir Mu’allim dari desa Petanahan Kebumen, saat sekolah dasar, Sekolah Pendidikan Guru Agama, hingga mengabdi di UII mulai dari staf akademik, dilanjutkan menjadi dosen, dan berhasil meraih gelar profesor.
Seusia anak yang masih di bangku sekolah dasar, sepulang sekolah mencari rumput untuk mempertahankan siklus perekonomian ayahnya yang seorang kusir dokar. Rumput yang dikumpulkan Amir untuk pakan kuda, dokar ayahnya. Sore hari Amir membantu ibunya yang berdagang hasil tani di desanya, dengan membantu distribusi dagangan.
Pada bab tengah bahasan buku menggambarkan sisi spiritual Prof Amir, karir dan eksistensi dalam bidang keilmuannya. Juga pada penekanan ibadah, menjelaskan kebiasaan yang dilakukan Prof Amir, mulai sholat rawatib dengan disiplin, sholat dengan tepat waktu dan sholat hajat untuk mendapatkan kemudahan dari Allah. Dalam kondisi terdesak, ada ibadah khusus yang dilakukan sebagai upaya memohon kemudahan dari Tuhan.
Dari sisi eksistensi, buku ini juga berisi tentang perjalanan karir, dari dosen, praktisi bidang ekonomi syariah, hingga komisaris sebuah BPRS di Sleman. Pada bab Dedikasi untuk Bangsa dan Ilmu menggambarkan karya buku, karya tulis, dalam pemikiran dan sumber inspirasi bagi masyarakat.
Di bab akhir, buku ini berisi dorongan spiritual, bahwa kesuksesan bukan karena faktor potensi jasmaniahnya, tapi karena kemudahan dari Tuhan, dengan segala upaya ibadah yang ditekuninya. Amir menyakini bahwa suksesnya kehidupan manusia di dunia ini bukan karena kecerdasan, kekayaan dan jabatan, namun sukses bersumber dari kemampuan diri terus berprasangka baik kepada Allah.
Buku biografi Prof Amir Mu’allim diterbitkan oleh Penerbit UII yang juga tergabung pada Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), bekerjasama dengan FIAI UII. Buku biografi ini, ditulis oleh Ipan Pranashakti, berdasar penuturan langsung Prof Amir juga sahabatnya, termasuk teman semasa kuliah dan kerja di UII. Buku biografi akan dicetak dan dibagikan kepada segenap relasi Prof Amir. (IPK)
Luluk Raih IPK 4,0 dan Pin Emas UII, Tempuh Program Magister 1 Tahun 7 Bulan di FIAI
Luluk Makrifatul Madani mahasiswa Program Magister Ilmu Agama Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam Indonesia (FIAI), Universitas Islam Indonesia (UII) berhasil meraih indeks prestasi komulatif 4.0 sekaligus menyabet Pin Emas UII. Pin Emas UII merupakan penghargaan yang diberikan kepada mahasiswa yang telah menyelesaikan masa studi sesuai batas waktu dengan indeks prestasi kumulatif sempurna yaitu 4.0. Pin Emas diserahkan oleh rektor kepada wisudawan pada gelaran Wisuda UII.
Luluk Makrifatul Madani mahasiswa Program Magister Ilmu Agama Islam angkatan tahun 2023, dan wisuda tanggal 27 Juli 2024, di Auditorium Prof. K.H. Abdul Kahar Mudzakkir. Wisuda UII Periode VI Tahun Akademik 2023/2024 ini, mewisuda 970 lulusan terdiri dari 2 doktor, 78 magister, 868 sarjana, 18 sarjana terapan, dan 4 ahli madia. Tercatat hingga periode kelulusan ini UII telah memiliki 127.042 alumni.
Luluk merupakan anak dari pasangan guru di Purworejo. Ayahnya, Supriyatno Jati Riyanto merupakan purna tugas PNS guru. Ibunya, Marwiyah saat ini masih PNS guru.
“Alhamdulillah saya bisa lulus program magister di FIAI UII selama 1 tahun 7 bulan. Semua ini berkat dukungan Program Magister FIAI UII yang memberikan program-program yang luar biasa untuk membantu mahasiswa seperti saya agar lulus tepat waktu. Banyak sih, misal seperti pada saat awal seleksi menjadi mahasiswa baru, sudah diwajibkan untuk membuat rencana tesis sehingga sudah nyicil dengan rancangan. Termasuk saya, dari awal sudah dibimbing memikirkan rencana tesis, dan bagaimana cara menyelesaikan dengan waktu yang tersisa, ke depannya,” kata Luluk
Tambahnya, Luluk juga berusaha mengembangkan hasil dari rancangan tesis yang disusun sejak semester awal kuliah program magister. Setelah matang dengan rancangannya, Luluk berusaha rutin konsultasikan rencana tesisnya, utamanya saat mengikuti mata kuliah metodologi penelitian. Hasil dari rutin melakukan konsultasi ini, Luluk mampu ajukan seminar proposal pada semester 2. Menurutnya, salah satu pendorong wawasan dan matangnya perencanaan tesis adalah karena dukungan FIAI UII dan Program Tesis Camp dari Magister FIAI UII untuk menambah wawasan dan mencari solusi dari persoalan tesisnya.
”Selama perkuliahan saya bersungguh-sungguh supaya mendapatkan nilai yang maksimal dan tidak mengulang mata kuliah sehingga dapat lulus tepat waktu. Selama masa perkuliahan saya juga menyicil mengerjakan tesis sehingga ketika selesai semua mata kuliah tesis saya juga selesai,” kata Luluk (IPK)
47 Tahun Perjalanan Karir Prof Amir Mu’allim FIAI UII, Ditandai dengan Bedah Buku Biografinya
Prof Dr. Drs. Amir Mu’allim, BA. MIS merupakan guru besar pertama di Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII). Tahun 2024 ini merupakan perjalanan karir yang ke-47 tahun Prof Amir, ditandai dengan peluncuran buku biografinya. Penyusunan buku diprakarsai oleh Prodi Doktor Hukum Islam juga Prodi Ahwal Syakhshiyah berjudul “Pencari Rumput Jadi Profesor, Biografi Prof. Dr. Drs. Amir Mu’allim, BA. MIS”. Dalam buku ini juga disertai kesan testimoni persahabatan dari 16 sahabat Prof Amir, salah satunya dari Sri Purnomo, Bupati Sleman periode 2010-2015 dan 2016-2021
Untuk acara bedah bukunya, diprakarsai Wakil Dekan Bidang Sumber Daya, Prodi Doktor Hukum Islam dan Jurusan Studi Islam. Menurut Anton Priyo Nugroho, S.E.,M.M,, Ketua Jurusan Studi Islam, kinerja Prof Amir patut menjadi teladan bagi masyarakat.
“Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari kinerja Prof Amir selama di FIAI. Ada sisi keteladanan dari Prof Amir Mu’allim yang dapat menjadi contoh perilaku bagi penerusnya juga masyarakat. Daya juangnya, kemandiriannya dan kesabaran beliau,” kata Anton.
Bedah buku diselenggarakan di Gedung KHA Wahid Hasyim FIAI UII lantai III, Rabu (6/11/2024) dihadiri pimpinan fakultas, dosen, tenaga kependidikan dan mahasiswa program doktor. Dalam sambutan pembukanya, Dekan FIAI UII, Dr. Drs. Asmuni MA sampaikan rasa syukur.
“Tentu kita bersyukur pada pertemuan hari ini, Pak Amir adalah salah satu pejuang di FIAI. Selama di UII Prof Amir selalu menjabat, kecuali ketika sedang menempuh kuliah. Bedah buku kali ini akan membahas dari hulu ke hilir kehidupan Prof Amir, sejak dari pencari rumput di Kebumen hingga menjadi profesor,” kata Asmuni.
Untuk mengungkap isi buku, dihadirkan 2 pembahas yakni Prof. Dr. H. Khoiruddin Nasution, MA dari UIN Sunan Kalijaga dan dan Dr. Dra. Junanah. MIS dari FIAI UII. Selain sebagai pembedah, Prof Khoiruddin adalah teman kuliah Prof Amir saat menempuh program doktor di UIN Sunan Kalijaga. Sedangkan Dr Junanah adalah teman kuliah saat menempuh program magister di Malaysia.
”Dari buku ini menggambarkan Prof Amir memang berdikari. Tidak menuntut orangtua harus ini itu. Dari kecil sudah berusaha mandiri. Maaf, ada beda dengan anak zaman sekarang yang mungkin minta ini itu dijawab orangtunya iya, minta dibelikan ini itu, dijawab orangtua dengan iya. Sehingga menjadikan generasi anak rebahan. Dampaknya daya juang jadi lemah. Saya sama dengan Prof Amir di masa itu, ketika kuliah dan kursus, berangkat harus jalan kaki,” kata Prof Khoirudin.
Tidak kalah menariknya, Dr Junanah juga ungkapkan, bahwa sesuai dalam isi buku, perjalanan menempuh kuliah di Malaysia itu banyak kejadian yang lucu. “Sesampai di Malaysia, kami mau diantar, tapi pengantar bilang nanti harus pusing sampai asrama, kata pengantar. Eh Mas Amir langsung jawab: tidak, saya sudah biasa naik motor tidak akan pusing,” cerita Junanah.
Lanjutnya, bahwa yang dimaksud pengantar dengan kata pusing itu adalah memutar dahulu. Kata pusing kalau di Indonesia itu sakit kepala, kalau di Malaysia artinya memutar. Jadi yang mengantar itu menyampaikan bahwa ini nanti perjalanan sampai asrama harus pusing, itu artinya harus memutar rute perjalanannya.
Di luar apa yang disampaikan 2 narasumber bedah buku, secara sekilas buku ini menceritakan masa kecil Prof Amir di Desa Petanahan Kebumen, penuh perjuangan. Buku yang terdiri dari 10 bab ini, dimulai dari perjalanan Prof. Amir Mu’allim dari desa Petanahan Kebumen, saat sekolah dasar, Sekolah Pendidikan Guru Agama, hingga mengabdi di UII mulai dari staf akademik, dilanjutkan menjadi dosen, dan berhasil meraih gelar profesor.
Seusia anak yang masih di bangku sekolah dasar, sepulang sekolah mencari rumput untuk mempertahankan siklus perekonomian ayahnya yang seorang kusir dokar. Rumput yang dikumpulkan Amir untuk pakan kuda, dokar ayahnya. Sore hari Amir membantu ibunya yang berdagang hasil tani di desanya, dengan membantu distribusi dagangan.
Pada bab tengah bahasan buku menggambarkan sisi spiritual Prof Amir, karir dan eksistensi dalam bidang keilmuannya. Juga pada penekanan ibadah, menjelaskan kebiasaan yang dilakukan Prof Amir, mulai sholat rawatib dengan disiplin, sholat dengan tepat waktu dan sholat hajat untuk mendapatkan kemudahan dari Allah. Dalam kondisi terdesak, ada ibadah khusus yang dilakukan sebagai upaya memohon kemudahan dari Tuhan.
Dari sisi eksistensi, buku ini juga berisi tentang perjalanan karir, dari dosen, praktisi bidang ekonomi syariah, hingga komisaris sebuah BPRS di Sleman. Pada bab Dedikasi untuk Bangsa dan Ilmu menggambarkan karya buku, karya tulis, dalam pemikiran dan sumber inspirasi bagi masyarakat.
Di bab akhir, buku ini berisi dorongan spiritual, bahwa kesuksesan bukan karena faktor potensi jasmaniahnya, tapi karena kemudahan dari Tuhan, dengan segala upaya ibadah yang ditekuninya. Amir menyakini bahwa suksesnya kehidupan manusia di dunia ini bukan karena kecerdasan, kekayaan dan jabatan, namun sukses bersumber dari kemampuan diri terus berprasangka baik kepada Allah.
Buku biografi Prof Amir Mu’allim diterbitkan oleh Penerbit UII yang juga tergabung pada Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), bekerjasama dengan FIAI UII. Buku biografi ini, ditulis oleh Ipan Pranashakti, berdasar penuturan langsung Prof Amir juga sahabatnya, termasuk teman semasa kuliah dan kerja di UII. Buku biografi akan dicetak dan dibagikan kepada segenap relasi Prof Amir. (IPK)
Mengapa Pendidikan Agama Penting Diajarkan Sejak Dini?
FIAI UII Tuan Rumah Diskusi Lintas Umat Beragama Bahas Wacana KUA Tempat Pencatatan Perkawinan Semua Agama
Berawal dari ungkapan Menteri Agama Republik Indonesia (RI), Yaqut Chalil Qoumas, 23 Februari 2024 pada Rapat Kerja Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam bertajuk ‘Transformasi Layanan dan Bimbingan Keagamaan Islam sebagai Fondasi Pembangunan Nasional yang Berkelanjutan’ dengan pernyataannya, “Kita sudah sepakat sejak awal, bahwa KUA ini akan kita jadikan sebagai sentral pelayanan keagamaan bagi semua agama. KUA bisa digunakan untuk tempat pernikahan semua agama”, Tim Peneliti PKHBI FIAI UII melakukan penelitian berkaitan model kebijakan pencatatan perkawinan inklusif di Kantor Urusan Agama (KUA) yang dapat melayani semua agama.
Selain itu, dalam pernyataan lainnya, Menteri Agama RI Yaqut Chalil Qoumas juga mendukung inklusivitas dalam pelayanan publik dengan semangat mendorong reformasi birokrasi di Kementerian Agama RI agar lebih inklusif, termasuk gagasan untuk menjadikan KUA sebagai tempat pencatatan perkawinan untuk semua agama. Menurut Yaqut Chalil, inisiatif ini adalah bagian dari upaya untuk menghapus diskriminasi dan memastikan layanan yang setara bagi semua warga negara, tanpa memandang agama.
Menindaklanjuti ungkapan Menteri Agama RI Yaqut Chalil Qoumas, Tim Peneliti PKBHI FIAI UII melakukan penelitian dengan tema ‘Model Pengembangan Kebijakan Inklusif Pencatatan Perkawinan Semua Agama di Kantor Urusan Agama Indonesia’. Peneliti terdiri dari dari 3 dosen yakni Dr. Mukhsin Achmad M.Ag, Krismono, S.HI., M.SI dan Dr. Anisah Budiwati, S.H.I., M.S.I.
Dalam upaya mendukung penelitiannya, telah diselenggarakan 2 kegiatan FGD (Focus Group Discussion). FGD pertama diselenggarakan beberapa minggu lalu menghadirkan unsur KUA dari beberapa kota di Indonesia. FGD kedua, diselenggarakan hari ini menghadirkan 5 perwakilan umat beragama, yakni dari Islam, Hindu, Budha, Kristen dan Katolik yang tergabung di SRILI (Srikandi Lintas Iman) dan FKUB Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
FGD yang diselenggarakan di Gedung KHA Wahid Hasyim FIAI UII Kamis (26/9/2024) dengan moderator Muhammad Miqdam Makfi, Lc., MIRKH, mendengarkan paparan untuk menjadi masukan penelitian. Pemikiran dan pandangan juga disampaikan oleh Didik Widya Putra, SE. MM dari Pembimas Hindu Kanwil Kemenag DIY. Dari penganut Kristen disampaikan oleh Pendeta Heru Sumbodo, Jemaat di GKJ Maguwoharjo, Sleman, serta umat beragama lainnya diberikan kesempatan menyampaikan pandangan atas wacana optimalisas peran KUA ini.
Dr. Mukhsin Achmad,M.Ag salah satu anggota dari Tim Peneliti PKBHI FIAI UII, paparkan harapan atas adanya penelitian ini.
”Harapan dari penelitian ini adalah terbentuknya model kebijakan pencatatan perkawinan inklusif di KUA yang dapat diimplementasikan secara nasional. Juga, teridentifikasinya hambatan regulasi dan sosial serta solusi yang efektif untuk mengatasinya. Kesiapan KUA dalam melayani pencatatan perkawinan lintas agama, dengan infrastruktur yang memadai dan sumber daya manusia yang terlatih. Terakhir, peningkatan kesetaraan dalam pelayanan publik dan harmonisasi sosial melalui kebijakan inklusif ini,” kata Dr Mukhsin.
Dari sisi tujuan penelitian, Dr Mukhsin juga sebut perlunya pengembangkan model kebijakan pencatatan perkawinan inklusif di KUA yang dapat melayani semua agama.
”Perlunya mengevaluasi kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia di KUA untuk mendukung kebijakan ini,” kata Dr Mukhsin.
Anggota Tim Peneliti PKBHI UII yang lain, Dr. Anisah Budiwati menambahi, bahwa setelah terselenggaranya 2 kali FGD ini, akan dilakukan observasi lapangan di Pulau Bali. Hal ini untuk melihat kondisi nyata dalam ranah implementasinya. (IPK)
7 Pintu Rezeki
Alissa Wahid Singgung Solusi Ketertiban Dunia di FIAI
Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid, S.Psi., M.Psi yang juga dikenal dengan panggilan Alissa Wahid, anak pertama Gus Dur (Mantan Presiden RI, Abdurrahman Wahid) menjadi narasumber Muktamar Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat yang diselenggarakan di Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII). Alissa Wahid yang merupakan Koordinator Gusdurian Indonesia menyampaikan mengenai pesantren dan pemberdayaan masyarakat berkaca dari kiprah KH. Hasyim Asy’ari yang dilanjutkan oleh penerusnya KH. A. Wahid Hasyim, dan KH. Abdurrahman Wahid. Dihadiri 300 peserta, muktamar diselenggarakan di Gedung Wahid Hasyim FIAI UII, Jumat (21/9/2024) kerjasama FIAI UII dengan Ikatan Keluarga Alumni Pesantren Tebuireng (IKAPETE) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
“Kegiatan-kegiatan seperti ini dilakukan secara masif, supaya kita mendapatkan kekayaan pandangan dari berbagai sudut. Barangkali kita yang hadir di UII melihat dari sisi yang ini, yang ini, lalu teman-teman yang melihat akan membahas dari sisi yang berbeda. Itu akan menambah kekayaan pemahaman kita atas teladan Hadratussyaikh KH. Hasyim Ashari,” kata Allisa
Alissa Wahid tambahkan kalau ingin meneladani seorang tokoh ada 3 hal. Pertama, karakter atau wataknya. Kedua, pemikirannya. Ketiga, gerakannya.
“Yang dominan dalam pemikiran KH. Hasyim Asy’ari adalah ukhuwah. Islam sebagai rahmat wujudnya harus riil, apalagi rahmatnya bukan lagi lil muslimin tapi rahmatan lil alamin. Jadi ini dirasakan di berbagai ruang. Untuk itu betul bahwa KH. Hasyim Asy’ari pendidikan akhlak menjadi prioritas utama, tetapi juga yang kedua pesantren adalah tempat mencetak alim yang juga arif yang hidup di dalam masyarakat dan memimpin masyarakatnya, menjadi jujukan. Jadi pesantren tidak hanya menjadi lembaga pendidikan tetapi juga menjadi lembaga masyarakat dan lembaga pemberdayaan masyarakat. Bahkan pada zaman beliau menjadi locus perjuangan,” kata Alissa Wahid.
Menurutnya, Hadratussyaikh KH. Hasyim Ashari fokusnya memang ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan Islam. Dalam banyak tulisan KH. Hasyim mengangkat tentang persatuan Islam. Seperti yang disampaikan oleh KH Abdul Hakim Mahfudz membahas Hadratussyaikh KH. Hasyim Ashari menjembatani antara kelompok-kelompok Islam di Indonesia, dan KHA Wahid Hasyim kuat di ukhuwah wathoniyah. Beliau sebagai salah satu pendiri Republik Indonesia harus mendudukan keislaman sebagai motor atau penggerak dalam kebangsaan,
“Pernah ada tulisan KH. Hasyim Asy’ari dimuat pada Koran Soeara Moeslimin tahun 1944 yang mengutip Imam Mawardi bahwa dunia akan tertib bila 6 hal bisa dijaga. Satu, ajaran agama ditaati. Kedua, pemerintah yang berpengaruh, kalau pemerintah yang berpengaruh berarti bicara soal apakah rakyat percaya pada pemerintahnya. Pemerintahnya yang dipercaya. Ketiga, keadilan yang merata. Keempat, ketentraman yang meluas. Kelima, tanah yang dikuasai atau kedaulatan rakyat atas tanah kalau istilah zaman sekarang. Keenam, cita-cita yang luhur. Jadi ada visi kedepan yang ingin diwujudkan,” kata Alissa.
Imbuhnya, ketika Mbah KH. Hasyim Ashari membawa 6 hal itu dalam tulisan tentang pertanian dan petani, bisa dilihat bahwa sebetulnya pesantren tidak diletakkan sebagai institusi yang kemudian punya jarak dengan masyarakat tetapi justru pesantren menjadi jujukan masyarakat. Justru pesantren harus responsif terhadap masyarakat.
Selain Alissa Wahid, penyelenggara FIAI UII dan IKAPETE juga hadirkan narasumber lain yakni KH Abdul Hakim Muhfudz, Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Prof. Zuhri UIN Sunan Kalijaga, Dr. Arif Akhyat Universitas Gajah Mada dan Dr. Muhammad Roy Purwanto Universitas Islam Indonesia.
Di UII, Alissa Wahid juga menandatangani prasasti gedung KHA Wahid Hasyim yang tempati FIAI. Alissa Wahid merupakan cucu dari KHA Wahid Hasyim, nama yang digunakan Yayasan Badan Wakaf UII untuk gedung yang digunakan FIAI. (IPK)
FIAI UII Tuan Rumah Muktamar Pemikiran KH Hasyim Asy’ari Pendiri NU
Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) bekerjasama dengan Ikatan Keluarga Alumni Pesantren Tebuireng (IKAPETE) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selenggarakan Muktamar Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat. KH. Hasyim Asy’ari merupakan pendiri ormas keagamaan Islam Nahdlatul Ulama (NU). Muktamar diikuti oleh 300 peserta dari unsur pengurus pondok pesantren, alumni santri Pondok Pesantren Tebuireng, mahasiswa dan dosen UII di Auditorium Gedung KHA.Wahid Hasyim FIAI Kampus Terpadu UII Jl. Kaliurang KM. 14,5 Sleman, Jum’at (20/09/2024).
Muktamar menghadirkan 5 narasumber, KH Abdul Hakim Mahfudz, Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid, S.Psi., M.Psi., Prof. Zuhri, UIN Sunan Kalijaga, Dr. Arif Akhyat dari UGM dan Dr. Muhammad Roy Purwanto dari UII.
Rektor UII, Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD salam sambutan pembukanya, menyampaikan kaitan UII dengan KH. Hasyim Asy’ari.
”UII rumah besar bagi keragaman pemikiran Islam. “UII yang sebelumnya bernama Sekolah Tinggi Islam (STI) merupakan kampus nasional pertama di Indonesia yang didirikan oleh para tokoh bangsa dalam Masyumi atau Majelis Syuro Muslimin Indonesia yang waktu itu ketuai oleh KH. Hasyim Asy’ari, yang mana sebelumnya bernama Majelis Islam A’la Indonesia disingkat MIAI,” kata Prof Fathul.
Imbuhnya, Masyumi ini merupakan organisasi yang didirikan waktu Jepang yang menggantikan MIAI. Dalam sidang Masyumi beberapa organisasi agama, salah satunya Nahdlatul Ulama. Salah satunya ada KH. A. Wahid Hasyim dan KH. A. Wahab Hasbullah, dan mbah Wahid Hasyim termasuk yang memberikan sambutan ketika Sekolah Tinggi Islam dibuka 8 Juli tahun 45 mewakili Masyumi. Saya masih menyimpan beritanya, di Harian Asia Raya tanggal 9 Juli 1945,”
Sebagai keynote speaker, KH Abdul Hakim Muhfudz yang merupakan pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jawa Timur, membuka diskusi dengan paparannya.
“Apa yang saya sampaikan ini cukup panjang sebetulnya, jadi ini satu perjalanan panjang Hadratussyaikh. Kita bisa lihat dari turats atau buku peninggalan beliau, ada di Tebuireng. Bahkan sekarang ada di sini kumpulan tulisan beliau, kitab Irsyadus Sari. Setiap tulisan beliau merupakan sebuah harokah atau pergerakan yang merespon dari fenomena sosial yang saat itu terjadi. Salah satunya bejudul Dhaul Misbah sebuah kitab tentang perkawinan yang merespon banyak masyarakat yang tidak paham mengenai perkawinan.
KH Abdul Hakim Mahfudz yang hadir bersama istri, menambahni bahwa KH. Hasyim Asy’ari yang layaknya dikagumi yakni dengan dengan keilmuan yang besar tapi mampy menuliskan kitab yang sangat sederhana, sangat tipis. Hal itu karena ternyata hukum-hukum perkawinan itu ada di buku-buku tebal, dan masyarakat tidak memahaminya. Selain itu, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dengan kemampuan keilmuannya mampu mengumpulkan semua umat Islam yang beda faham dalam 1 majelis. Masalahnya saat ini yang 1 paham saja sering berdebat. Ini perlu menjadi muhasabah, apa yang harus dilakukan.
Di sela acara muktamar, diselenggarakan penandatanganan prasasti gedung oleh Alissa Wahid. Prasasti akan disematkan pada Gedung KHA Wahid Hasyim yang tempati FIAI UII. Alisa Wahid merupakan cucu dari KHA Wahid Hasyim, nama yang digunakan Yayasan Badan Wakaf UII untuk gedung yang digunakan FIAI. (IPK)
Rektor di FIAI Tegaskan UII sebagai Rumah Besar bagi Keragaman Pemikiran Islam
Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia bekerjasama dengan Ikatan Keluarga Alumni Pesantren Tebuireng (IKAPETE) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyelenggarakan Muktamar Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat yang diselenggarakan di Gedung KHA. Wahid Hasyim Kampus Terpadu UII pada Jum’at (20/9/2024). Sebagai narasumber dalam acara muktamar yakni Alissa Wahid, Koordinator GusDur-ian, KH Abdul Hakim Mahfudz, Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Prof. Zuhri UIN Sunan Kalijaga, Dr. Arif Akhyat Universitas Gajah Mada dan Dr. Muhammad Roy Purwanto Universitas Islam Indonesia.
Acara dibuka oleh Rektor UII Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D sekaligus memberikan sambutan pembuka.
”UII rumah besar bagi keragaman pemikiran Islam. “UII yang sebelumnya bernama Sekolah Tinggi Islam (STI) merupakan kampus nasional pertama di Indonesia yang didirikan oleh para tokoh bangsa dalam Masyumi atau Majelis Syuro Muslimin Indonesia yang waktu itu ketuai oleh KH. Hasyim Asy’ari, yang mana sebelumnya bernama Majelis Islam A’la Indonesia disingkat MIAI.”
Rektor tambahkan bahwa Masyumi ini merupakan organisasi yang didirikan waktu Jepang yang menggantikan MIAI. Dalam sidang Masyumi beberapa organisasi agama, salah satunya Nahdlatul Ulama. Salah satunya ada KH. A. Wahid Hasyim dan KH. A. Wahab Hasbullah, dan mbah Wahid Hasyim termasuk yang memberikan sambutan ketika Sekolah Tinggi Islam dibuka 8 Juli tahun 45 mewakili Masyumi. Saya masih menyimpan beritanya, di Harian Asia Raya tanggal 9 Juli 1945.
”Selain Nahdlatul Ulama, ada dari Muhammadiyah, Perserikatan Umat Islam, dan Kaum Nasionalis yang mendirikan STI atau UII merupakan kampus pertama di Indonesia yang tidak lepas dari sumbangsih pemikiran dan pergerakan KH. Hasyim Asy’ari.” kata Prof Fathul.
Imbuhnya pada saat itu hadir pula dari Muhammadiyah diantaranya ada KH. Mas Mansyur, Ki Bagus Hadikusumo. Ada yang dari Perikatan Umat Islam, PUI. Wakilnya adalah KH. Abdul Halim yang memiliki Pondok Pesantren di Majalengka namanya Pondok Pesantren Mufidah Santri Asromo yang masih memakai bahasa Arab kuno. Kemudian juga ada KH. Ahmad Sanusi. Kemudian tokoh-tokoh nasionalis, Mr. Mohammad Yamin, Mohammad Roem, dan lain-lain. Termasuk ada perwakilan dari pemerintah Jepang saat itu Kementerian Agamanya, ada 3 yaitu KH. Muhammad Adnan, Prof. KH. Abdul Kahar Muzakir, KH. Imam Zarkasy. Sehingga UII sejak awal terbuka tentang keberagaman pemikiran Islam. Saat itu, para pendahulu, sabiqunal awalun dalam konteks UII ini mengedepankan persamaan dan mengesampingkan perbedaan.
“Kalau tanpa itu saya yakin, Sekolah Tinggi Islam atau Universitas Islam Indonesia tidak akan pernah berdiri. Dan itu tidak terlepas dari pemikiran para pendahulu termasuk pendiri Nahdlatul Ulama, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari yang pemikirannya melampaui zamannya. Mudah-mudahan kita dapat gunakan untuk menjemput masa depan dengan optimisme, itu yang penting. Pemikiran Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari bisa kita kontekstualisasi, bukan untuk kembali ke masa lampau tapi untuk menjemput masa depan yang lebih baik. Peradaban Indonesia yang lebih bermartabat, peradaban Islam yang lebih bermanfaat. Menjadi tuan rumah peradaban di depan peradaban lain,” tukas Prof Fathul
Muktamar dihadiri sekitar 300 peserta terdiri dari pengurus pondok pesantren, alumni santri Pesantren Tebuireng Jatim, pengurus Ikatan Keluarga Alumni Pesantren Tebuireng (IKAPETE, mahasiswa dan dosen UII. (IPK)
Bijak Mendidik Anak Sesuai Ajaran Islam
Anak milik Allah, bukan milik orangtuanya. Sebagai muslim, harus memahami, hakekatnya anak adalah titipan Allah. Seorang anak akan memberikan banyak syafaat kepada orangtua jika dia dirawat dan dididik dengan baik. Sebaliknya, jika salah urus akan menjadi beban di dunia dan akhirat.
Dunia anak berbeda dengan orangtuanya atau orang dewasa lainnya. Mendidik anak mengikutkan ego orangtua merupakan kesalahan terbesar yang banyak dilakukan orangtua. Mendidik anak adalah amanah besar yang diberikan Allah SWT kepada setiap orang tua. Dalam Islam, pendidikan anak bukan hanya sekadar memberikan ilmu pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai keagamaan dan moral yang kuat. Pendidikan ini dimulai sejak dini, bahkan sejak anak masih dalam kandungan. Berikut ini adalah panduan mendidik anak dalam Islam serta bagaimana memahami kemauan anak dengan bijak.
Mendidik penuh kasih sayang
Kasih sayang adalah landasan utama dalam mendidik anak. Rasulullah SAW selalu menunjukkan kasih sayang kepada anak-anak, baik kepada anaknya sendiri maupun kepada anak-anak sahabatnya. Beliau bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا
“Bukan golongan kami orang yang tidak menyayangi yang lebih muda atau tidak menghormati yang lebih tua.” (HR. at-Tirmidzi no. 1842)
Orang tua harus memberikan cinta dan perhatian yang tulus kepada anak-anak mereka. Kasih sayang ini bukan hanya dalam bentuk fisik seperti pelukan dan ciuman, tetapi juga dalam perhatian terhadap kebutuhan emosional dan psikologis anak. Anak yang merasa dicintai dan diperhatikan akan tumbuh dengan rasa percaya diri yang kuat.
Mengajarkan nilai-nilai islam
Pendidikan agama adalah fondasi utama dalam kehidupan seorang Muslim. Orang tua bertanggung jawab mengajarkan anak-anak mereka tentang Allah, rukun iman, rukun Islam, serta nilai-nilai moral yang diajarkan dalam Al-Quran dan Hadits. Pendidikan agama ini dimulai sejak anak masih kecil dengan cara yang menyenangkan dan mudah dipahami, seperti melalui cerita-cerita nabi, lagu-lagu Islami, dan permainan edukatif.
Beberapa hal yang bisa diajarkan sejak dini antara lain:
Menjadi panutan yang baik
Anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat dan dengar setiap hari. Oleh karena itu, orang tua harus menjadi contoh yang baik dalam segala aspek kehidupan. Jika orang tua ingin anak-anak mereka menjadi individu yang sholeh dan sholehah, mereka harus menjalani kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam. Misalnya, jika orang tua ingin anaknya rajin shalat, mereka harus menunjukkan bahwa mereka sendiri tidak pernah meninggalkan shalat.
Contoh teladan yang baik meliputi:
Kemauan anak harus dipahami
Setiap anak memiliki keunikan dan kemauan yang berbeda. Memahami kemauan anak adalah kunci untuk mendidik mereka dengan bijak. Orang tua harus peka terhadap kebutuhan, minat, dan bakat anak-anak mereka. Berikut beberapa cara untuk memahami dan mendukung kemauan anak:
Menggunakan metode disiplin yang bijak
Disiplin adalah bagian penting dalam mendidik anak, namun harus diterapkan dengan bijak dan penuh kasih sayang. Islam mengajarkan untuk tidak menggunakan kekerasan dalam mendidik anak. Metode disiplin yang efektif meliputi:
Mendoakan anak
Doa adalah senjata terkuat bagi seorang Muslim. Selalu doakan kebaikan dan keberhasilan anak-anak. Doa orang tua memiliki kekuatan yang luar biasa dalam menjaga dan membimbing anak-anak ke jalan yang benar. Beberapa doa yang bisa diamalkan untuk anak antara lain:
Kesimpulan
Mendidik anak dalam Islam adalah proses yang memerlukan kasih sayang, kesabaran, dan kebijaksanaan. Dengan memberikan pendidikan yang baik, menjadi contoh yang baik, dan memahami kemauan anak, orang tua bisa membentuk karakter anak-anak mereka menjadi individu yang sholeh dan sholehah. Pendidikan yang dimulai sejak dini akan menjadi fondasi kuat bagi anak-anak dalam menjalani kehidupan mereka. Semoga Allah SWT memberikan kita kekuatan dan petunjuk dalam mendidik anak-anak kita. Amin.
Penulis: Mufti Dedy Wirawan, S.Kom, Tendik FIAI UII
Islam Melarang Judi dan Riba Pinjaman Online
Harta sangat penting untuk dibahas sesuai ajaran Islam. Harta memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan seorang muslim atau muslimah. Islam sangat memperhatikan tiga aspek mengenai harta. Pertama darimana harta didapat, kedua bagaimana proses dalam mendapatkan harta tersebut.Ketiga adalah untuk apa harta tersebut digunakan. Harta yang diperoleh dengan cara yang halal dan penuh keberkahan tidak hanya memberikan manfaat di dunia, tetapi juga menjadi bekal unuk kehidupan di akhirat kelak. Oleh karena itu, Islam sangat menekankan pentingnya memperoleh harta dari sumber yang halal dan menghindari segala bentuk transaksi yang meragukan atau haram, seperti judi online dan
pinjaman online (pinjol).
Saat ini judi online (judol) dan pinjol menjadi trending dan banyak diminati. Akhirnya tidak sedikit
sebagian masyarakat yang terjerat hutang pinjol sampai mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, karena ketidakmampuan membayar. Untuk itu sangat penting untuk disampaikan bahaya pinjol dan judol agar masyarakat memiliki pemahaman serta
kepekaan terhadap bahayanya terutama merujuk pada syariat Islam.
Rezeki yang Halal dan Berkah
Umat muslim yang taat selalu mengharapkan mendapatkan rezeki yang halal dan berkah. Rezeki yang halal adalah harta yang diperoleh dengan cara yang dibenarkan oleh syariat Islam. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.”
(QS. Al-Baqarah: 168)
Ayat ini menegaskan pentingnya mencari rezeki dari sumber yang halal. Rezeki yang halal membawa keberkahan dalam hidup, menenangkan hati, dan menjauhkan kita dari berbagai musibah. Sebaliknya, rezeki yang diperoleh dari jalan yang haram, seperti yang didapat ketika melakukan judi online dan pinjol, tidak akan pernah membawa kebahagiaan sejati dan justru dapat mendatangkan malapetaka.
Bahaya Judi Online dalam Islam
Maysir atau judi dalam bentuk apapun, termasuk judi online, adalah perbuatan yang sangat
dilarang dalam Islam. Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkurban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan.
Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (QS. Al-Ma’idah: 90)
Judi online, yang kini semakin marak dan mudah diakses melalui internet, memberikan
ancaman serius bagi masyarakat. Selain menjerumuskan seseorang ke dalam dosa, judi online
juga dapat menghancurkan perekonomian keluarga, merusak hubungan sosial, dan menimbulkan
ketergantungan yang sulit dihentikan.
Studi yang dilakukan (Zurohman, 2016) menyatakan bahwa dampak judi online berpengaruh terhadap melemahnya nilai-nilai sosial pada remaja, yakni nilai material ditandai dengan habisnya materi yang dimiliki, termasuk uang dan barang serta berpengaruh juga terhadap nilai keruhanian dengan meninggalkan kewajiban sholat, puasa serta melanggar norma-norma sosial di masyarakat seperti mabuk-mabukan.
Pinjaman Online dan Riba dalam Islam
Fenomena pinjaman online atau pinjol yang saat ini marak memberikan
dampak buruk bagi masyarakat, meskipun tampak mudah dan praktis, sering kali pinjol
menjerumuskan dalam praktik riba yang dilarang Islam. Riba adalah tambahan atau bunga yang dikenakan pada pokok utang, dan ini merupakan salah satu dosa besar yang sangat dikecam dalam Islam. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali ‘Imran: 130)
Serta dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda:
“Riba itu mempunyai 70 macam dosa, yang paling ringan di antaranya adalah seperti seseorang
yang menzinai ibu kandungnya sendiri.” (HR. Ibn Majah)
Dari kedua sumber hukum di atas, bisa disimpulkan bahwa riba sangat mengerikan dan
memiliki efek yang luar biasa buruknya, dan salah satu faktor nasyarakat terjerat riba adalah
karena bertranaksi dengan pinjol. Dalam praktiknya pinjol sering kali menawarkan bunga sangat
tinggi yang pada akhirnya memberatkan peminjam dan menjebak mereka dalam lingkaran hutang
yang sulit keluar. Hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan dalam
Islam.
Penelitian yang diterbitkan (Saepul Alam, 2023) menyimpulkan bahwa riba yang terdapat
dalam pinjaman online secara nyata telah menimbulkan dampak buruk terhadap psikologis
masyarakat. Psikologis buruk tersebut diantaranya adalah stess, depresi, panik, gelisah, malu,
bingung, takut, tegang, dan menyesal. Akibat dari psikologis buruk ini telah menjadikan sebagian
korban untuk secara terpaksa melakukan bunuh diri.
Menjaga Keberkahan dengan Menjauhi yang Haram
Sebagai muslim, menjaga keberkahan dalam harta adalah tanggung jawab kita. Ini bisa
dicapai dengan senantiasa memastikan bahwa setiap transaksi yang dilakukan sesuai dengan
syariat Islam. Menghindari judi online dan pinjol adalah langkah penting dalam menjaga
keberkahan rezeki.
Selain itu, penting bagi kita untuk selalu meningkatkan kesadaran diri dan keluarga akan
bahaya dari perbuatan haram seperti judi dan riba. Pendidikan dan penanaman nilai-nilai Islam
sejak dini adalah kunci untuk membentuk generasi yang memahami pentingnya harta yang halal
dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan.
Penutup
Dalam kehidupan yang penuh dengan godaan dan tantangan ini, penting bagi kita untuk
selalu mengingat bahwa harta yang halal dan penuh berkah adalah sumber kebahagiaan sejati.
Menghindari judi online dan pinjaman online yang riba adalah salah satu cara untuk menjaga
keberkahan rezeki kita. Dengan demikian, kita dapat hidup dengan tenang, bahagia, dan diridhai
oleh Allah SWT, baik di dunia maupun di akhirat.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kita petunjuk untuk selalu berada di jalan yang
benar dan meridhai setiap usaha kita dalam mencari rezeki yang halal. Aamiin.
Penulis: Ryan Yuniawan, Tendik FIAI UII
Sumber Rujukan
PSIKOLOGIS MASYARAKAT. AN NUQUD, 2(2), 1–15.
https://doi.org/10.51192/annuqud.v2i2.420
pada Remaja (Studi di Campusnet Data Media Cabang Sadewa Kota Semarang).