Diskusi Lintas Umat Beragama di Gedung KHA Wahid Hasyim FIAI UII

Berawal dari ungkapan Menteri Agama Republik Indonesia (RI), Yaqut Chalil Qoumas, 23 Februari 2024 pada Rapat Kerja Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam bertajuk ‘Transformasi Layanan dan Bimbingan Keagamaan Islam sebagai Fondasi Pembangunan Nasional yang Berkelanjutan’ dengan pernyataannya, “Kita sudah sepakat sejak awal, bahwa KUA ini akan kita jadikan sebagai sentral pelayanan keagamaan bagi semua agama. KUA bisa digunakan untuk tempat pernikahan semua agama”, Tim Peneliti PKHBI FIAI UII melakukan penelitian berkaitan model kebijakan pencatatan perkawinan inklusif di Kantor Urusan Agama (KUA) yang dapat melayani semua agama.

Selain itu, dalam pernyataan lainnya, Menteri Agama RI Yaqut Chalil Qoumas juga mendukung inklusivitas dalam pelayanan publik dengan semangat mendorong reformasi birokrasi di Kementerian Agama RI agar lebih inklusif, termasuk gagasan untuk menjadikan KUA sebagai tempat pencatatan perkawinan untuk semua agama. Menurut Yaqut Chalil, inisiatif ini adalah bagian dari upaya untuk menghapus diskriminasi dan memastikan layanan yang setara bagi semua warga negara, tanpa memandang agama.

Menindaklanjuti ungkapan Menteri Agama RI Yaqut Chalil Qoumas,  Tim Peneliti PKBHI FIAI UII melakukan penelitian dengan tema ‘Model Pengembangan Kebijakan Inklusif Pencatatan Perkawinan Semua Agama di Kantor Urusan Agama Indonesia’. Peneliti terdiri dari dari 3 dosen yakni Dr. Mukhsin Achmad M.Ag, Krismono, S.HI., M.SI dan Dr. Anisah Budiwati, S.H.I., M.S.I.

Dalam upaya mendukung penelitiannya, telah diselenggarakan 2 kegiatan FGD (Focus Group Discussion). FGD pertama diselenggarakan beberapa minggu lalu menghadirkan unsur KUA dari beberapa kota di Indonesia. FGD kedua, diselenggarakan hari ini menghadirkan 5 perwakilan umat beragama, yakni dari Islam, Hindu, Budha, Kristen dan Katolik yang tergabung di SRILI (Srikandi Lintas Iman) dan FKUB Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

FGD yang diselenggarakan di Gedung KHA Wahid Hasyim FIAI UII Kamis (26/9/2024) dengan moderator Muhammad Miqdam Makfi, Lc., MIRKH, mendengarkan paparan untuk menjadi masukan penelitian. Pemikiran dan pandangan juga disampaikan oleh Didik Widya Putra, SE. MM dari Pembimas Hindu Kanwil Kemenag DIY. Dari penganut Kristen disampaikan oleh Pendeta Heru Sumbodo, Jemaat di GKJ Maguwoharjo, Sleman, serta umat beragama lainnya diberikan kesempatan menyampaikan pandangan atas wacana optimalisas peran KUA ini.

Dr. Mukhsin Achmad,M.Ag salah satu anggota dari Tim Peneliti PKBHI FIAI UII, paparkan harapan atas adanya penelitian ini.
”Harapan dari penelitian ini adalah terbentuknya model kebijakan pencatatan perkawinan inklusif di KUA yang dapat diimplementasikan secara nasional. Juga, teridentifikasinya hambatan regulasi dan sosial serta solusi yang efektif untuk mengatasinya. Kesiapan KUA dalam melayani pencatatan perkawinan lintas agama, dengan infrastruktur yang memadai dan sumber daya manusia yang terlatih. Terakhir, peningkatan kesetaraan dalam pelayanan publik dan harmonisasi sosial melalui kebijakan inklusif ini,” kata Dr Mukhsin.

Dari sisi tujuan penelitian, Dr Mukhsin juga sebut perlunya pengembangkan model kebijakan pencatatan perkawinan inklusif di KUA yang dapat melayani semua agama.
”Perlunya mengevaluasi kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia di KUA untuk mendukung kebijakan ini,” kata Dr  Mukhsin.

Anggota Tim Peneliti PKBHI UII yang lain, Dr. Anisah Budiwati menambahi, bahwa setelah terselenggaranya 2 kali FGD ini, akan dilakukan observasi lapangan di Pulau Bali. Hal ini untuk melihat kondisi nyata dalam ranah implementasinya. (IPK)

Alissa Wahid narasumber Muktamar Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari di FIAI UII (foto: IPK)

Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid, S.Psi., M.Psi yang juga dikenal dengan panggilan Alissa Wahid, anak pertama Gus Dur (Mantan Presiden RI, Abdurrahman Wahid) menjadi narasumber Muktamar Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat yang diselenggarakan di Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII). Alissa Wahid yang merupakan Koordinator Gusdurian Indonesia menyampaikan mengenai pesantren dan pemberdayaan masyarakat berkaca dari kiprah KH. Hasyim Asy’ari yang dilanjutkan oleh penerusnya KH. A. Wahid Hasyim, dan KH. Abdurrahman Wahid. Dihadiri 300 peserta, muktamar diselenggarakan di Gedung Wahid Hasyim FIAI UII, Jumat (21/9/2024) kerjasama FIAI UII dengan Ikatan Keluarga Alumni Pesantren Tebuireng (IKAPETE) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

“Kegiatan-kegiatan seperti ini dilakukan secara masif, supaya kita mendapatkan kekayaan pandangan dari berbagai sudut. Barangkali kita yang hadir di UII melihat dari sisi yang ini, yang ini, lalu teman-teman yang melihat akan membahas dari sisi yang berbeda. Itu akan menambah kekayaan pemahaman kita atas teladan Hadratussyaikh KH. Hasyim Ashari,” kata Allisa

Alissa Wahid tambahkan kalau ingin meneladani seorang tokoh ada 3 hal. Pertama, karakter atau wataknya. Kedua, pemikirannya. Ketiga, gerakannya.

“Yang dominan dalam pemikiran  KH. Hasyim Asy’ari  adalah ukhuwah. Islam sebagai rahmat wujudnya harus riil, apalagi rahmatnya bukan lagi lil muslimin tapi rahmatan lil alamin. Jadi ini dirasakan di berbagai ruang. Untuk itu betul bahwa KH. Hasyim Asy’ari  pendidikan akhlak menjadi prioritas utama, tetapi juga yang kedua pesantren adalah tempat mencetak alim yang juga arif yang hidup di dalam masyarakat dan memimpin masyarakatnya, menjadi jujukan. Jadi pesantren tidak hanya menjadi lembaga pendidikan tetapi juga menjadi lembaga masyarakat dan lembaga pemberdayaan masyarakat. Bahkan pada zaman beliau menjadi locus perjuangan,” kata Alissa Wahid.

Menurutnya, Hadratussyaikh KH. Hasyim Ashari fokusnya memang ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan Islam. Dalam banyak tulisan KH. Hasyim mengangkat tentang persatuan Islam. Seperti yang disampaikan oleh KH Abdul Hakim Mahfudz membahas Hadratussyaikh KH. Hasyim Ashari menjembatani antara kelompok-kelompok Islam di Indonesia, dan KHA Wahid Hasyim kuat di ukhuwah wathoniyah. Beliau sebagai salah satu pendiri Republik Indonesia harus mendudukan keislaman sebagai motor atau penggerak dalam kebangsaan,

“Pernah ada tulisan KH. Hasyim Asy’ari dimuat pada Koran Soeara Moeslimin tahun 1944 yang mengutip Imam Mawardi bahwa dunia akan tertib bila 6 hal bisa dijaga. Satu, ajaran agama ditaati. Kedua, pemerintah yang berpengaruh, kalau pemerintah yang berpengaruh berarti bicara soal apakah rakyat percaya pada pemerintahnya. Pemerintahnya yang dipercaya. Ketiga, keadilan yang merata. Keempat, ketentraman yang meluas. Kelima, tanah yang dikuasai atau kedaulatan rakyat atas tanah kalau istilah zaman sekarang. Keenam, cita-cita yang luhur. Jadi ada visi kedepan yang ingin diwujudkan,” kata Alissa.

Imbuhnya, ketika Mbah KH. Hasyim Ashari membawa 6 hal itu dalam tulisan tentang pertanian dan petani, bisa dilihat bahwa sebetulnya pesantren tidak diletakkan sebagai institusi yang kemudian punya jarak dengan masyarakat tetapi justru pesantren menjadi jujukan masyarakat. Justru pesantren harus responsif terhadap masyarakat.

Selain Alissa Wahid, penyelenggara FIAI UII dan IKAPETE juga hadirkan narasumber lain yakni KH Abdul Hakim Muhfudz, Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Prof. Zuhri UIN Sunan Kalijaga, Dr. Arif Akhyat Universitas Gajah Mada dan Dr. Muhammad Roy Purwanto Universitas Islam Indonesia.

Di UII, Alissa Wahid juga menandatangani prasasti gedung KHA Wahid Hasyim yang tempati FIAI. Alissa Wahid merupakan cucu dari KHA Wahid Hasyim, nama yang digunakan Yayasan Badan Wakaf UII untuk gedung yang digunakan FIAI. (IPK)

FIAI UII Tuan Rumah Muktamar Pemikiran KH Hasyim Asy’ari (foto: IPK)

Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) bekerjasama dengan Ikatan Keluarga Alumni Pesantren Tebuireng (IKAPETE) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selenggarakan Muktamar Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat. KH. Hasyim Asy’ari  merupakan pendiri ormas keagamaan Islam Nahdlatul Ulama (NU). Muktamar diikuti oleh 300 peserta dari unsur pengurus pondok pesantren, alumni santri Pondok Pesantren Tebuireng, mahasiswa dan dosen UII di Auditorium Gedung KHA.Wahid Hasyim FIAI Kampus Terpadu UII Jl. Kaliurang KM. 14,5 Sleman, Jum’at (20/09/2024).

Muktamar menghadirkan 5 narasumber, KH Abdul Hakim Mahfudz, Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid, S.Psi., M.Psi., Prof. Zuhri, UIN Sunan Kalijaga, Dr. Arif Akhyat dari UGM dan Dr. Muhammad Roy Purwanto dari UII.

Rektor UII, Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD salam sambutan pembukanya, menyampaikan kaitan UII dengan KH. Hasyim Asy’ari.

”UII rumah besar bagi keragaman pemikiran Islam. “UII yang sebelumnya bernama Sekolah Tinggi Islam (STI) merupakan kampus nasional pertama di Indonesia yang didirikan oleh para tokoh bangsa dalam Masyumi atau Majelis Syuro Muslimin Indonesia yang waktu itu ketuai oleh KH. Hasyim Asy’ari, yang mana sebelumnya bernama Majelis Islam A’la Indonesia disingkat MIAI,” kata Prof Fathul.

Imbuhnya, Masyumi ini merupakan organisasi yang didirikan waktu Jepang yang menggantikan MIAI. Dalam sidang Masyumi beberapa organisasi agama, salah satunya Nahdlatul Ulama. Salah satunya ada KH. A. Wahid Hasyim dan KH. A. Wahab Hasbullah, dan mbah Wahid  Hasyim termasuk yang memberikan sambutan ketika  Sekolah Tinggi Islam dibuka 8 Juli tahun 45  mewakili Masyumi. Saya masih menyimpan beritanya, di Harian Asia Raya tanggal 9 Juli 1945,”

Sebagai keynote speaker, KH Abdul Hakim Muhfudz yang merupakan pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jawa Timur, membuka diskusi dengan paparannya.
“Apa yang saya sampaikan ini cukup panjang sebetulnya, jadi ini satu perjalanan panjang Hadratussyaikh. Kita bisa lihat dari turats atau buku peninggalan beliau, ada di Tebuireng. Bahkan sekarang ada di sini kumpulan tulisan beliau, kitab Irsyadus Sari. Setiap tulisan beliau merupakan sebuah harokah atau pergerakan yang merespon dari fenomena sosial yang saat itu terjadi. Salah satunya bejudul Dhaul Misbah sebuah kitab tentang perkawinan yang merespon banyak masyarakat yang tidak paham mengenai perkawinan.

KH Abdul Hakim Mahfudz yang hadir bersama istri, menambahni bahwa KH. Hasyim Asy’ari yang layaknya dikagumi yakni dengan dengan keilmuan yang besar tapi mampy menuliskan kitab yang sangat sederhana, sangat tipis. Hal itu karena ternyata hukum-hukum perkawinan itu ada di buku-buku tebal, dan masyarakat tidak memahaminya. Selain itu, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dengan kemampuan keilmuannya mampu mengumpulkan semua umat Islam  yang beda faham dalam 1 majelis. Masalahnya saat ini yang 1 paham saja sering berdebat. Ini perlu menjadi muhasabah, apa yang harus dilakukan.

Di sela acara muktamar, diselenggarakan penandatanganan prasasti gedung oleh Alissa Wahid. Prasasti akan disematkan pada Gedung KHA Wahid Hasyim yang tempati FIAI UII. Alisa Wahid merupakan cucu dari KHA Wahid Hasyim, nama yang digunakan Yayasan Badan Wakaf UII untuk gedung yang digunakan FIAI. (IPK)

Rektor UII Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D di FIAI dalam sambutan muktamar (foto:IPK)

Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia bekerjasama dengan  Ikatan Keluarga Alumni Pesantren Tebuireng (IKAPETE) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyelenggarakan Muktamar Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat yang diselenggarakan di Gedung KHA. Wahid Hasyim Kampus Terpadu UII pada Jum’at (20/9/2024). Sebagai narasumber  dalam acara muktamar yakni  Alissa Wahid, Koordinator GusDur-ian, KH Abdul Hakim Mahfudz, Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Prof. Zuhri UIN Sunan Kalijaga, Dr. Arif Akhyat Universitas Gajah Mada dan Dr. Muhammad Roy Purwanto Universitas Islam Indonesia.

Acara dibuka oleh Rektor UII Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D sekaligus memberikan sambutan pembuka.
”UII rumah besar bagi keragaman pemikiran Islam. “UII yang sebelumnya bernama Sekolah Tinggi Islam (STI) merupakan kampus nasional pertama di Indonesia yang didirikan oleh para tokoh bangsa dalam Masyumi atau Majelis Syuro Muslimin Indonesia yang waktu itu ketuai oleh KH. Hasyim Asy’ari, yang mana sebelumnya bernama Majelis Islam A’la Indonesia disingkat MIAI.”

Rektor tambahkan bahwa Masyumi ini merupakan organisasi yang didirikan waktu Jepang yang menggantikan MIAI. Dalam sidang Masyumi beberapa organisasi agama, salah satunya Nahdlatul Ulama. Salah satunya ada KH. A. Wahid Hasyim dan KH. A. Wahab Hasbullah, dan mbah Wahid  Hasyim termasuk yang memberikan sambutan ketika  Sekolah Tinggi Islam dibuka 8 Juli tahun 45  mewakili Masyumi. Saya masih menyimpan beritanya, di Harian Asia Raya tanggal 9 Juli 1945.

”Selain Nahdlatul Ulama, ada dari Muhammadiyah, Perserikatan Umat Islam, dan Kaum Nasionalis yang mendirikan STI atau UII merupakan kampus pertama di Indonesia yang tidak lepas dari sumbangsih pemikiran dan pergerakan KH. Hasyim Asy’ari.” kata Prof Fathul.

Imbuhnya pada saat itu hadir pula  dari Muhammadiyah diantaranya ada KH. Mas Mansyur, Ki Bagus Hadikusumo. Ada yang dari Perikatan Umat Islam, PUI. Wakilnya adalah KH. Abdul Halim yang memiliki Pondok Pesantren di Majalengka namanya Pondok Pesantren Mufidah Santri Asromo yang masih memakai bahasa Arab kuno. Kemudian juga ada KH. Ahmad Sanusi. Kemudian tokoh-tokoh nasionalis, Mr. Mohammad Yamin, Mohammad Roem, dan lain-lain. Termasuk ada perwakilan dari pemerintah Jepang saat itu Kementerian Agamanya, ada 3 yaitu KH. Muhammad Adnan, Prof. KH. Abdul Kahar Muzakir, KH. Imam Zarkasy. Sehingga UII sejak awal terbuka tentang keberagaman pemikiran Islam. Saat itu, para pendahulu, sabiqunal awalun dalam konteks UII ini mengedepankan persamaan dan mengesampingkan perbedaan.

“Kalau tanpa itu saya yakin, Sekolah Tinggi Islam atau Universitas Islam Indonesia tidak akan pernah berdiri. Dan itu tidak terlepas dari pemikiran para pendahulu termasuk pendiri Nahdlatul Ulama, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari yang pemikirannya melampaui zamannya. Mudah-mudahan kita dapat gunakan untuk menjemput masa depan dengan optimisme, itu yang penting. Pemikiran Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari bisa kita kontekstualisasi, bukan untuk kembali ke masa lampau tapi untuk menjemput masa depan yang lebih baik. Peradaban Indonesia yang lebih bermartabat, peradaban Islam yang lebih bermanfaat. Menjadi tuan rumah peradaban di depan peradaban lain,” tukas Prof Fathul

Muktamar dihadiri sekitar 300 peserta terdiri dari pengurus pondok pesantren, alumni santri Pesantren Tebuireng Jatim, pengurus Ikatan Keluarga Alumni Pesantren Tebuireng (IKAPETE, mahasiswa dan dosen UII. (IPK)

Anak milik Allah, bukan milik orangtuanya. Sebagai muslim, harus memahami, hakekatnya anak adalah titipan Allah. Seorang anak akan memberikan banyak syafaat kepada orangtua jika dia dirawat dan dididik dengan baik. Sebaliknya, jika salah urus akan menjadi beban di dunia dan akhirat.

Dunia anak  berbeda dengan orangtuanya atau orang dewasa lainnya. Mendidik anak mengikutkan ego orangtua merupakan kesalahan terbesar yang banyak dilakukan orangtua. Mendidik anak adalah amanah besar yang diberikan Allah SWT kepada setiap orang tua. Dalam Islam, pendidikan anak bukan hanya sekadar memberikan ilmu pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai keagamaan dan moral yang kuat. Pendidikan ini dimulai sejak dini, bahkan sejak anak masih dalam kandungan. Berikut ini adalah panduan mendidik anak dalam Islam serta bagaimana memahami kemauan anak dengan bijak.

Mendidik penuh kasih sayang

Kasih sayang adalah landasan utama dalam mendidik anak. Rasulullah SAW selalu menunjukkan kasih sayang kepada anak-anak, baik kepada anaknya sendiri maupun kepada anak-anak sahabatnya. Beliau bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا

“Bukan golongan kami orang yang tidak menyayangi yang lebih muda atau tidak menghormati yang lebih tua.” (HR. at-Tirmidzi no. 1842)

Orang tua harus memberikan cinta dan perhatian yang tulus kepada anak-anak mereka. Kasih sayang ini bukan hanya dalam bentuk fisik seperti pelukan dan ciuman, tetapi juga dalam perhatian terhadap kebutuhan emosional dan psikologis anak. Anak yang merasa dicintai dan diperhatikan akan tumbuh dengan rasa percaya diri yang kuat.

Mengajarkan nilai-nilai islam

Pendidikan agama adalah fondasi utama dalam kehidupan seorang Muslim. Orang tua bertanggung jawab mengajarkan anak-anak mereka tentang Allah, rukun iman, rukun Islam, serta nilai-nilai moral yang diajarkan dalam Al-Quran dan Hadits. Pendidikan agama ini dimulai sejak anak masih kecil dengan cara yang menyenangkan dan mudah dipahami, seperti melalui cerita-cerita nabi, lagu-lagu Islami, dan permainan edukatif.

Beberapa hal yang bisa diajarkan sejak dini antara lain:

  • Shalat:Mengajarkan anak untuk mengenal dan melaksanakan shalat sejak usia dini. Mulailah dengan mengajak anak melihat orang tua shalat dan kemudian mengikutinya.
  • Doa harian:Mengajarkan doa-doa harian seperti doa sebelum dan sesudah makan, doa sebelum tidur, dan doa ketika bangun tidur.
  • Akhlak mulia:Menanamkan sifat-sifat mulia seperti jujur, amanah, sabar, dan rendah hati.

Menjadi panutan yang baik

Anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat dan dengar setiap hari. Oleh karena itu, orang tua harus menjadi contoh yang baik dalam segala aspek kehidupan. Jika orang tua ingin anak-anak mereka menjadi individu yang sholeh dan sholehah, mereka harus menjalani kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam. Misalnya, jika orang tua ingin anaknya rajin shalat, mereka harus menunjukkan bahwa mereka sendiri tidak pernah meninggalkan shalat.

Contoh teladan yang baik meliputi:

  • Kejujuran:Selalu berbicara jujur kepada anak dan orang lain.
  • Kedisiplinan:Menunjukkan kedisiplinan dalam beribadah dan menjalani kehidupan sehari-hari.
  • Kerendahan hati:Menunjukkan sikap rendah hati dalam berinteraksi dengan orang lain.

Kemauan anak harus dipahami

Setiap anak memiliki keunikan dan kemauan yang berbeda. Memahami kemauan anak adalah kunci untuk mendidik mereka dengan bijak. Orang tua harus peka terhadap kebutuhan, minat, dan bakat anak-anak mereka. Berikut beberapa cara untuk memahami dan mendukung kemauan anak:

  • Mendengarkan anak:Luangkan waktu untuk mendengarkan cerita, keluhan, dan pendapat anak tanpa menghakimi. Ini akan membuat anak merasa dihargai dan didengar.
  • Memberikan ruang untuk berkembang:Biarkan anak-anak mengeksplorasi minat dan bakat mereka. Jika mereka tertarik pada seni, olahraga, atau sains, dukung mereka dengan memberikan fasilitas dan bimbingan yang diperlukan.
  • Bersabar dan tidak mudah marah:Tunjukkan kesabaran ketika anak membuat kesalahan. Gunakan kesempatan ini untuk mengajari mereka dengan cara yang positif. Misalnya, jika anak membuat kesalahan, jelaskan mengapa itu salah dan bagaimana cara memperbaikinya.

Menggunakan metode disiplin yang bijak

Disiplin adalah bagian penting dalam mendidik anak, namun harus diterapkan dengan bijak dan penuh kasih sayang. Islam mengajarkan untuk tidak menggunakan kekerasan dalam mendidik anak. Metode disiplin yang efektif meliputi:

  • Konsistensi:Terapkan aturan yang konsisten sehingga anak memahami batasan yang jelas. Konsistensi ini juga membantu anak belajar tentang konsekuensi dari tindakan mereka.
  • Pujian dan penghargaan:Berikan pujian dan penghargaan ketika anak melakukan hal baik. Ini akan memotivasi mereka untuk terus berbuat baik. Misalnya, puji anak ketika mereka menyelesaikan tugas dengan baik atau menunjukkan sikap yang baik.
  • Penjelasan yang jelas:Jelaskan alasan di balik setiap aturan dan konsekuensi yang diberikan. Anak-anak akan lebih mudah menerima dan memahami jika mereka tahu alasannya. Misalnya, jelaskan mengapa penting untuk tidur tepat waktu atau mengapa harus berbagi dengan saudara.

Mendoakan anak

Doa adalah senjata terkuat bagi seorang Muslim. Selalu doakan kebaikan dan keberhasilan anak-anak. Doa orang tua memiliki kekuatan yang luar biasa dalam menjaga dan membimbing anak-anak ke jalan yang benar. Beberapa doa yang bisa diamalkan untuk anak antara lain:

  • Doa meminta kebaikan:“Ya Allah, berikanlah anak-anakku kebaikan di dunia dan di akhirat.”
  • Doa meminta perlindungan:“Ya Allah, lindungilah anak-anakku dari segala keburukan dan bencana.”
  • Doa meminta ilmu yang bermanfaat:“Ya Allah, berikanlah anak-anakku ilmu yang bermanfaat dan jadikan mereka orang-orang yang beramal sholeh.”

Kesimpulan

Mendidik anak dalam Islam adalah proses yang memerlukan kasih sayang, kesabaran, dan kebijaksanaan. Dengan memberikan pendidikan yang baik, menjadi contoh yang baik, dan memahami kemauan anak, orang tua bisa membentuk karakter anak-anak mereka menjadi individu yang sholeh dan sholehah. Pendidikan yang dimulai sejak dini akan menjadi fondasi kuat bagi anak-anak dalam menjalani kehidupan mereka. Semoga Allah SWT memberikan kita kekuatan dan petunjuk dalam mendidik anak-anak kita. Amin.

Penulis: Mufti Dedy Wirawan, S.Kom, Tendik FIAI UII

Bahaya Judi Pinjaman Online Pinjol

Harta sangat penting untuk dibahas sesuai ajaran Islam. Harta memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan seorang muslim atau muslimah. Islam sangat memperhatikan tiga aspek mengenai harta. Pertama darimana harta didapat, kedua bagaimana proses dalam mendapatkan harta tersebut.Ketiga adalah untuk apa harta tersebut digunakan. Harta yang diperoleh dengan cara yang halal dan penuh keberkahan tidak hanya memberikan manfaat di dunia, tetapi juga menjadi bekal unuk kehidupan di akhirat kelak. Oleh karena itu, Islam sangat menekankan pentingnya memperoleh harta dari sumber yang halal dan menghindari segala bentuk transaksi yang meragukan atau haram, seperti judi online dan
pinjaman online (pinjol).
Saat ini judi online (judol) dan pinjol menjadi trending dan banyak diminati. Akhirnya tidak sedikit
sebagian masyarakat yang terjerat hutang pinjol sampai mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, karena ketidakmampuan membayar. Untuk itu sangat penting untuk disampaikan bahaya pinjol dan judol agar masyarakat memiliki pemahaman serta
kepekaan terhadap bahayanya terutama merujuk pada syariat Islam.

Rezeki yang Halal dan Berkah
Umat muslim yang taat selalu mengharapkan mendapatkan rezeki yang halal dan berkah. Rezeki yang halal adalah harta yang diperoleh dengan cara yang dibenarkan oleh syariat Islam. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.”
(QS. Al-Baqarah: 168)
Ayat ini menegaskan pentingnya mencari rezeki dari sumber yang halal. Rezeki yang halal membawa keberkahan dalam hidup, menenangkan hati, dan menjauhkan kita dari berbagai musibah. Sebaliknya, rezeki yang diperoleh dari jalan yang haram, seperti yang didapat ketika melakukan judi online dan pinjol, tidak akan pernah membawa kebahagiaan sejati dan justru dapat mendatangkan malapetaka.

Bahaya Judi Online dalam Islam
Maysir atau judi dalam bentuk apapun, termasuk judi online, adalah perbuatan yang sangat
dilarang dalam Islam. Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkurban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan.
Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (QS. Al-Ma’idah: 90)
Judi online, yang kini semakin marak dan mudah diakses melalui internet, memberikan
ancaman serius bagi masyarakat. Selain menjerumuskan seseorang ke dalam dosa, judi online
juga dapat menghancurkan perekonomian keluarga, merusak hubungan sosial, dan menimbulkan
ketergantungan yang sulit dihentikan.

Studi yang dilakukan (Zurohman, 2016) menyatakan bahwa dampak judi online berpengaruh terhadap melemahnya nilai-nilai sosial pada remaja, yakni nilai material ditandai dengan habisnya materi yang dimiliki, termasuk uang dan barang serta berpengaruh juga terhadap nilai keruhanian dengan meninggalkan kewajiban sholat, puasa serta melanggar norma-norma sosial di masyarakat seperti mabuk-mabukan.

Pinjaman Online dan Riba dalam Islam
Fenomena pinjaman online atau pinjol yang saat ini marak memberikan
dampak buruk bagi masyarakat, meskipun tampak mudah dan praktis, sering kali pinjol
menjerumuskan dalam praktik riba yang dilarang Islam. Riba adalah tambahan atau bunga yang dikenakan pada pokok utang, dan ini merupakan salah satu dosa besar yang sangat dikecam dalam Islam. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali ‘Imran: 130)

Serta dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda:
“Riba itu mempunyai 70 macam dosa, yang paling ringan di antaranya adalah seperti seseorang
yang menzinai ibu kandungnya sendiri.” (HR. Ibn Majah)
Dari kedua sumber hukum di atas, bisa disimpulkan bahwa riba sangat mengerikan dan
memiliki efek yang luar biasa buruknya, dan salah satu faktor nasyarakat terjerat riba adalah
karena bertranaksi dengan pinjol. Dalam praktiknya pinjol sering kali menawarkan bunga sangat
tinggi yang pada akhirnya memberatkan peminjam dan menjebak mereka dalam lingkaran hutang
yang sulit keluar. Hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan dalam
Islam.

Penelitian yang diterbitkan (Saepul Alam, 2023) menyimpulkan bahwa riba yang terdapat
dalam pinjaman online secara nyata telah menimbulkan dampak buruk terhadap psikologis
masyarakat. Psikologis buruk tersebut diantaranya adalah stess, depresi, panik, gelisah, malu,
bingung, takut, tegang, dan menyesal. Akibat dari psikologis buruk ini telah menjadikan sebagian
korban untuk secara terpaksa melakukan bunuh diri.

Menjaga Keberkahan dengan Menjauhi yang Haram
Sebagai muslim, menjaga keberkahan dalam harta adalah tanggung jawab kita. Ini bisa
dicapai dengan senantiasa memastikan bahwa setiap transaksi yang dilakukan sesuai dengan
syariat Islam. Menghindari judi online dan pinjol adalah langkah penting dalam menjaga
keberkahan rezeki.
Selain itu, penting bagi kita untuk selalu meningkatkan kesadaran diri dan keluarga akan
bahaya dari perbuatan haram seperti judi dan riba. Pendidikan dan penanaman nilai-nilai Islam
sejak dini adalah kunci untuk membentuk generasi yang memahami pentingnya harta yang halal
dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan.

Penutup
Dalam kehidupan yang penuh dengan godaan dan tantangan ini, penting bagi kita untuk
selalu mengingat bahwa harta yang halal dan penuh berkah adalah sumber kebahagiaan sejati.
Menghindari judi online dan pinjaman online yang riba adalah salah satu cara untuk menjaga
keberkahan rezeki kita. Dengan demikian, kita dapat hidup dengan tenang, bahagia, dan diridhai
oleh Allah SWT, baik di dunia maupun di akhirat.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kita petunjuk untuk selalu berada di jalan yang
benar dan meridhai setiap usaha kita dalam mencari rezeki yang halal. Aamiin.

Penulis: Ryan Yuniawan, Tendik FIAI UII



Sumber Rujukan

  1. Saepul Alam, S. (2023). DAMPAK RIBA PADA BUNGA PINJAMAN ONLINE TERHADAP
    PSIKOLOGIS MASYARAKAT. AN NUQUD, 2(2), 1–15.
    https://doi.org/10.51192/annuqud.v2i2.420
  2. Zurohman, A. (2016). Dampak Fenomena Judi Online terhadap Melemahnya Nilai-nilai Sosial
    pada Remaja (Studi di Campusnet Data Media Cabang Sadewa Kota Semarang).
FIAI UII

FIAI – Optimalisasi pemanfaatan fasilitas penunjang untuk mahasiswa menjadi perhatian Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) dengan tujuan untuk kelancaran studi. Kurang lebih 30.000 mahasiswa di UII saat ini menempuh studi pada 8 fakultas, salah satunya di FIAI.

Untuk peningkatan pemanfaatan fasilitas dan mendorong kelancaran studi para mahasiswa, melalui Divisi Administrasi Akademik dan Teknologi Informasi (DAATI) didukung Wakil Dekan Bidang Keagamaan, Kemahasiswaan dan Alumni FIAI UII menyelenggarakan kegiatan Pelatihan Optimalisasi Microsoft Office 365 dan Sosialisasi Key-in Semester Ganjil 2024/2025 untuk mahasiswa FIAI UII, Kamis 15 Agustus 2024. Kegiatan dilakukan secara daring dengan Zoom Meeting diikuti oleh lebih dari 130 mahasiswa dari berbagai prodi di FIAI UII.

Dalam kegiatan diskusi dan sosialisasi, menghadirkan 2 narasumber, yakni Heru Sudjanto dari FIAI dan Agus Hermanta  dari Badan Sistem Informasi UII. Kegiatan dibuka oleh  Prayitna Kuswidianta, Kepala Divisi Administrasi Akademik dan Teknologi Informasi FIAI UII.

”Pelatihan literasi digital untuk mahasiswa, ke depan akan dilaksanakan beberapa kali, berkelanjutan agar mahasiswa tidak tertinggal perkembangan teknologi, misal penggunaan UII Gateway. Serta kepentingan lain misal membuat desain-desain, juga dukungan untuk skripsi, misal pemanfaatan AI atau Artificial intelligence ketika mahasiswa masih bingung proses pembuatan proposal. Layanaan UII Gateway 24 jam, harapannya mengurangi tingkat stres mahasiswa, karena tidak harus menunggu layanan tatap muka tersedia,” kata Kuswidianta.

Heru Sudjanto menyampaikan materi berkenaan Key In Rencana Akademik Semester (Key in RAS).  
”Key in RAS merupakan fasilitas dari UII untuk memudahkan mahasiswa berkenaan proses memasukkan data rencana akademik atau perkuliahan semester di aplikasi UIIRAS. Setiap awal semester, mahasiswa yang akan mengikuti kegiatan akademik dan kegiatan lainnya wajib mendaftarkan diri atau registrasi ulang melalui UII RAS,” kata Heru.

Agus Hermanta menekankan arti penting pemanfatan fasilitas gratis untuk mahasiswa.
”Saat ini UII menyedikan dukungan fasilitas IT yang mumpuni. Baik kecepatan internet berkecapatan tinggi, sistem informasi semua lini, baik pembelajaran, akademis, administrasi, keuangan, dan dukungan literasi isal langgan jurnal internasional. Tak kalah menarik, salah satunya fasilitas Microsft Office 365, sehingga mahasiswa bisa mendapatkan lisensis resmi dari produk Microsoft, juga One Drive layanan simpan data online hingga 50 giga byte per mahasiswa, juga pemanfatan secara online untuk Office, Excell, Powerpoint dan lain sebagainya. Selain itu setiap mahasiwa bisa meanfaatkan fasilitas lisensi resmi Microsoft Windows 10 dan 11 secara cuma-cuma untuk 3 perangkat,” kata Agus

Rencana kegiatan pelatihan dan edukasi akan diselenggarakan secara berkelanjutan pada tema lain sebagai edukasi dan literasi mahasiswa di waktu mendatanga, untuk mendukung kelancaran mahasiswa FIAI UII. (IPK)

Begitu Tim Sepakbola Nasional Indonesia U-19 menjuarai Piala AFF U-19 2024, Sang Komandan Pelatih Indra Syafri langsung melakukan sujud syukur. Begitu juga diikuti oleh beberapa pemain mengikuti pelatihnya, sujud syukur. Kondisi dilihat oleh jutaan pemirsa TV dan streaming online, tentunya juga ribuan penonton di lapangan sepakbola. Ini sudah bagian dari syiar agama dalam kegiatan sepakbola.

Semangat menerapkan perintah dalam ajaran agama, juga menerapkan nilai-nilai spiritual dalam sepakbola seperti yang dicontohkan tim nasional  sepakbola akan mampu mempengaruhi banyak orang termasuk anak-anak dan remaja. Akan berbeda dengan pola merayakan kemenangan di luar negeri yang berteriak-teriak, minuman keras dan tarian seksi oleh penonton.

Syiar dan dakwah melalui kegiatan sepakbola, juga diamini oleh Gus Baha yang bernama asli Kyai Haji Bahauddin Nursalim dari Rembang. Gus Baha ungkapkan dalam instagramnya.

“Orang di Inggris, kenal Islam lewat Mohammad Salah, pemain bola, karena mereka tidak mengamati kiai yang diamati itu pemain bola. Dulu tuh, pemain muslim mau sholat susah mau puasa susah. Terus mereka minta hak puasa kalau bulan puasa. Tapi menjadi mudah di luar perkiraan. Sekarang dibikin gampang, Manchester City dibeli orang islam, Sulaiman Al Fahim. Akhirnya malah ada masjid. Pelatihnya kalau ada pemain yang puasa monggo-monggo ndereaken (silakan). Kalau tidak boleh nanti bisa dipecat. Mau apa coba,”

Kemenangan dalam  pertandingan sepakbola, semuanya datang karena Allah. Sehingga setiap pemain sepakbola muslim, tidak  merasa kemenangannya hanya karena dirinya. Kemenangan dalam kejuaraan sepakbola patut disyukuri sebagai ungkapan syukur dan ingatan kepada Allah, sebagaimana firman Allah  dalam surat Al-Baqarah ayat 122 yang artinya,

“Ingatlah nikmat yang telah Aku berikan kepadamu.”

Harapannya syiar dan dakwah juga terus digencarkan untuk berbagai cabang olahraga. Di Kampus UII Yogyakarta, dalam acara pertandingan Milad ke-81 tahun 2024, dilakukan doa bersama sebelum bertanding, ucap syukur dan sujud syukur saat beberapa pemain memenangkan pertandingan cabang olahraga, juga menjadi contoh bagi banyak pihak termasuk mahasiswa.

Lebih dalam berkenaan dalil sujud syukur, Rasulullah pernah mencontohkan secara langsung.

عَنْ أَبِى بَكْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ كَانَ إِذَا جَاءَهُ أَمْرُ سُرُورٍ أَوْ بُشِّرَ بِهِ خَرَّ سَاجِدًا شَاكِرًا لِلَّهِ.

“Dari Abu Bakroh, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu ketika beliau mendapati hal yang menggembirakan atau dikabarkan berita gembira, beliau tersungkur untuk sujud pada Allah Ta’ala.” (HR Abu Dawud nomor 2774. Syekh Al Albani mengatakan hadits ini shahih)

Jika Rasulullah sudah mencontohkan sujud syukur, maka sepantasnyalah umat Islam menerapkan di berbagai kepentingan, dan kondisi yang menggembirakan.  Sehingga tawuran antar supporter olahraga, perkelahian di lapangan sepakbola bisa dikurangi karena pengaruh positif dari penerapan nilai-nilai keagamaan yang dicontohkan Rasulullah.

Syiar dan dakwah tidak harus selamanya dilaksanakan di masjid, gedung megah tapi juga perlu diterapkan di berbagai aktivitas. Sehingga mengajak kebaikan di berbagai kegiatan itu bagian yang harus dilakukan umat muslim.

Sehingga apa yang dilakukan oleh pemain sepakbola, juga dalam olah raga lain yang melibatkan nilai-nilai agama, dapat digolongkan dalam upaya menunjukkan kebaikan dan mengajak pada kebaikan. Kebaikan itu antara lain sujud syukur, mengajak sholat berjamaah para pemain sepakbola dan ajakan mengingat Allah dalam setiap kegiatan olahraga.  Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah,

Diriwayatkan dari Abi Mas’ud al-Anshari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang menunjukkan kebaikan, maka ia mendapatkan pahala sepadan dengan orang yang melakukannya.” (HR Abu Dawud)

Berbagai pihak bisa memulai kebaikan sesuai profesi dan kegiatan baiknya. Semua dimulai dari hal kecil hingga kebaikan menjadi kebiasaan.

Penulis: Mochammad Rizal Nasrullah

FGD FIAI UII: Bencana Bukan Azab tapi Kasih Sayang

epanjang tahun 2023 ada 5400 bencana terjadi di Indonesia, menurut buku Kilas Bencana Indonesia 2023 terbitan Badan Nasional Penanggulan Bencana Republik Indonesia (BNPB RI). Seiring kondisi tersebut, Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) menyiapkan serangkaian kegiatan akademik dan penulisan buku berkenaan Fikih Bencana. Sebelum buku disusun, diawali dengan menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) Manajemen Bencana dari Perspektif Islam Sesi IV dengan mengusung tema “Membangun Kerangka Teoritis Islam bagi Manajemen Bencana”. FGD diselenggarakan 6 Agustus 2024, di ruang sidang Dekanat FIAI, Gedung KHA Wahid Hasyim, Kampus Terpadu UII Jalan Kaliurang km 14,4 Sleman.

FGD dihadiri oleh dosen, tenaga kependidikan, Dekan FIAI juga oleh UII Peduli – Simpul Pemberdayaan Masyarakat untuk Ketangguhan Bencana (SPMKB) UII. Dalam sambutan pembukanya, Dr. Asmuni, MA, Dekan FIAI UII mendukung relevansi tema FGD dengan kondisi Indonesia saat ini.
”Tema diskusi tentang Fikih Bencana dengan tema Membangun Kerangka Teoritis Fikih Bencana sangat relevan untuk merumuskan kerangka teoritis fikih bencana terutama dari isyarat-isyarat ilmiah Al Qur’an, karena Al Qur’an sebagai sumber ajaran Islam dan sumber ilmu pengetahuan sekaligus memiliki beberapa sifat antara lain Al-Karim artinya Al Qur’an akan selalu memberi ilmu kepada kita tanpa henti. Al Qur’an tidak akan lapuk oleh zaman. Sifat kedua Al-Maknun artinya Al Qur’an menyimpan khazanah ilmu pengetahuan yang masih terpendam sehingga perlu diungkap oleh para kaum intelektual,” kata Dr. Asmuni

Imbuhnya, sifat lain dari Al Qur’an adalah Al-Majid artinya makna yang diberikan oleh Al Qur’an selalu baru sesuai dengan perkembangan zaman. Dari ketiga sifat Al Qur’an ini menunjukkan bahwa kitab mukjizat Nabi Muhammad ini merupakan kitab yang setara secara obyektif dengan semesta. Kitab ini mengandung isyarat ilmiah untuk mengantar kita melakukan penelitian terhadap beragam fenomena di alam semesta meliputi fenomena sosial keagamaan dan fenomena kealaman.

FGD menghadirkan 2 narasumber internal dari unsur dosen FIAI UII. Narasumber pertama Dr. Mukhsin Achmad,M.Ag, dosen FIAI UII lulusan program Doktor UIN Sunan Kalijaga pada Prodi Studi Islam, dengan konsentrasi Islamic Thought and Muslim Society mengusung tema Pendekatan Psikososial Religi dalam Penanggulangan Bencana Menurut Perspektif Maqasid Syari’ah. Dr Mukhsin Ahmad juga merupakan relawan pada bencana gempa di Aceh tahun 2005 dan gempa di Yogya tahun 2006.

Selanjutnya, narasumber kedua M. Husnaini, S.Pd.I., M.Pd.I., Ph.D. dosen Program Magister FIAI UII lulusan Program Doktor International Islamic University Malaysia Prodi Pendidikan Islam, mengusung tema FGD Epistemologi Fikih Kebencanaan: Perspektif Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.

Pada sesi diskusi diawali paparan pemantik dari Dr. Mukhsin Achmad.
”Manajemen bencana penting dan tidak perlu menyesal tinggal di Indonesia. Indonesia merupakan kawasan pertemuan tiga lempeng bumi, yaitu lempeng Eurasia, Pasifik dan Indo-Australia. Indonesia juga masuk kawasan sabuk api atau ring of fire terdiri 187 gunung api. Indonesia memiliki resiko bencana tsunami rangking ke-1 dari 265 negara. Resiko tanah longsor rangking ke-1 dari 162 negara. Resiko gempa bumi rangking ke-3 dari 153 negara. Resiko banjir rangking ke-6 dari 162 negara,” kata Dr. Mukhsin

Tambahnya, bahwa bencana sebagai bentuk kasih sayang Allah, bukan bentuk amarah dan ketidakadilan Allah. Manusia pasti diuji diantaranya bencana. Setiap manusia dihadapkan masalah. Sikap terbaik adalah bagaimana menghadapi masalah bukan mempersoalkan masalah. Semua peritiwa berdasar kebaikan, ketetapan dan hukum Allah. Bencana berfungsi sebagai media intropeksi dan berbenah. Setiap perbuatan manusia ada dampaknya, diantaranya bencana juga menimbulkan dampak positif misal membangun tata kota yang lebih baik, abu gunung berapi membawa kesuburan.

“Terdapat 4 cara untuk mencapai kesehatan mental melalui psikospiritual sufistik yakni taubat, zuhud, sabar tawakal dan ridha,” tambah Dr. Mukhsin.

Dr. Mukhsin melengkapi penjelasan 4 elemen psikospiritual. Pertama adalah taubat, menurut Ibn al-Qayyimal-Jauziyyah adalah kembalinya seorang hamba kepada Allah dengan meninggalkan jalan orang-orang yang dimurkai Tuhan dan jalan orang-orang yang tersesat. Dia tidak mudah memperolehnya kecuali dengan hidayah Allah agar dia mengikuti sirat al-Mustaqim jalan yang lurus merujuk Ibnul Qoyyim Al Jauwziyyah dalam kitab Madarijus Salikin.

Kedua adalah zuhud, Al-Junaid al-Baghdadi mengatakan Zuhud adalah ketika tangan tidak memiliki apa-apa pun dan pengosongan hati dari cita-cita. Di sini seorang sufi tidak memiliki sesuatu yang berharga melainkan Tuhan yang dirasakannya dekat dengan dirinya.

Ketiga adalah sabar, dalam pengertian lughawi artinya menahan atau bertahan. Makna sabar sendiri adalah menahan diri dari rasa gelisah, cemas dan marah, menahan lidah dari keluh kesah serta menahan anggota tubuh dari kekacauan.

Keempat adalah ridha, artinya terikat dengan nilai penyerahan diri kepada Tuhan yang bergantung kepada usaha manusia dalam berhubungan dengan Tuhannya, agar senantiasa dekat dengan Tuhannya. Syeikh Abu Ali al-Daqqaq menyatakan bahwa seorang sufi tidak merasa terbeban dengan hukum dan qadar Allah Ta’ala.

Narasumber pemantik kedua, M. Husnaini, S.Pd.I., M.Pd.I., Ph.D mengawali diskusi dengan memantik pada definisi bencana menurut organisasi kemasyarakatan, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU).

”Muhammadiyah mendefinikasikan bencana sebagai gangguan serius yang disebabkan baik oleh faktor alam maupun faktor manusia, yang bisa melumpuhkan fungsi-fungsi masyarakat yang dibangun untuk menopang keberlangsungan hidup, melindungi aset-aset, kelestarian lingkungan dan menjamin martabatnya sebagai manusia, sebagai bagian dari perintah agama. Lumpuhnya fungsi tersebut karena terjadinya kerugian dari sisi manusia, materi, ekonomi atau lingkungan yang meluas yang melampaui kemampuan komunitas atau masyarakat yang terkena dampak untuk mengatasi dengan menggunakan sumber daya mereka sendiri. Untuk Nahdlatul Ulama mendefinikan bencana sebagai sesuatu yang menyebabkan atau menimbulkan kesusahan, kerugian, penderitaan, malapetaka, kecelakaan, dan marabahaya, serta dapat juga berarti gangguan, godaan, dan tipuan,” kata Dr. Husnaini mengutip buku fikih kebencanaan terbitan ormas Muhammadiyah 2015 & ormas NU 2019.

Dilengkapi oleh Dr. Husnaini, bahwa Muhammadiyah dan NU sepakat bahwa bencana bukan azab. Hal ini karena balasan suatu dosa hanya akan terjadi pada hari kiamat. Bencana menimpa siapa saja, baik itu untuk manusia yang sholeh maupun tidak. Bencana juga bisa menimpa orang beriman maupun tidak. Dalam konteks bencana, dunia adalah tempat beramal, bukan tempat pembalasan. Bencana diartikan sebagai suatu musibah diturunkan karena menjadi proses yang terbaik bagi manusia (IPK)