Tag Archive for: Puasa

Sudahkah Kita Bertadarus? Husnaini FIAI UII

Sudahkah Kita Bertadarus?

Oleh: M. Husnaini

Al-Quran adalah pedoman utama bagi umat Islam. Namun, sejauh mana kita benar-benar berinteraksi dengan kitab suci ini? Ada empat model interaksi yang bisa kita lakukan terhadap Al-Quran: tilawah, qiraah, tadarus, dan tadabur. Semakin tinggi tingkat interaksi kita, semakin besar manfaat yang bisa kita peroleh dalam kehidupan sehari-hari.

Ya, ada empat model interaksi kita dengan Kitab Suci Al-Quran. Yang pertama adalah tilawah. Tilawah merupakan tahap paling dasar dalam berinteraksi dengan Al-Quran, yaitu sekadar melafalkan ayat-ayat suci tanpa memahami maknanya. Meskipun tilawah memiliki pahala tersendiri, jika tidak diiringi dengan pemahaman, maka manfaatnya tidak optimal.

Tingkatan interaksi di atas itu ialah qiraah, yaitu membaca Al-Quran dengan memahami maknanya melalui terjemahan. Ini merupakan langkah awal untuk menjadikan Al-Quran sebagai petunjuk hidup. Dengan memahami arti ayat-ayat yang dibaca, seseorang dapat mulai menghubungkan pesan Al-Quran dengan kehidupan sehari-hari.

Yang lebih tinggi derajatnya dari dua model di atas adalah tadarus. Model interaksi yang ketiga ini tidak cukup dengan menengok terjemahannya, tetapi juga meneliti tafsir dan sebab turun ayat. Interaksi pada tahap ini membuat Al-Quran terasa lebih relevan dengan kehidupan. Ayat-ayat yang turun 14 abad lalu di Makkah terasa seperti baru saja diwahyukan untuk kita saat ini.

Kemudian, yang paling keren adalah tadabur. Inilah tingkat interaksi tertinggi, yaitu mencari jawaban atas berbagai persoalan hidup melalui Al-Quran. Tadabur mengajak kita untuk menggali hikmah di balik setiap ayat dan mengaplikasikannya dalam kehidupan. Jika umat Islam mampu mencapai tahap ini, maka Al-Quran akan benar-benar menjadi way of life yang membimbing setiap langkah hidup.

Kebanyakan umat Islam baru sampai pada model interaksi tingkat pertama, yaitu tilawah. Tidak heran jika Al-Quran belum menjadi way of life. Di antara penyebabnya barangkali karena kurangnya motivasi untuk memahami makna Al-Quran. Banyak orang merasa cukup hanya dengan membaca tanpa berusaha memahami isinya.

Keterbatasan akses terhadap tafsir juga faktor lain. Artinya, tidak semua orang Islam memiliki kesempatan untuk belajar tafsir, terutama yang berbahasa Arab. Yang tidak boleh lupa disebut juga ialah kebiasaan membaca Al-Quran tanpa mau berpikir. Sebagian besar orang Islam ini, tidak disangkal, membaca Al-Quran hanya sebagai ritual tanpa mencoba merenungkan maknanya. Yang penting mendapatkan pahala.

Lebih parah lagi, masih ada orang Islam yang bahkan buta huruf Al-Quran. Dengan kata lain, baru pada tingkat tilawah atau sekadar melafalkan bacaan Al-Quran saja, belum semua kita bisa.

KH Ahmad Dahlan, pendiri Persyarikatan Muhammadiyah, memberikan kiat praktis dalam mempelajari Al-Quran. Yaitu ambillah beberapa ayat, bacalah dengan tartil, kemudian dikaji: Bagaimana arti ayat tersebut? Bagaimana tafsirnya? Apa maksudnya? Apakah ayat tersebut berisi perintah atau larangan? Jika itu perintah, apakah sudah dikerjakan? Jika larangan, apakah sudah ditinggalkan?

Metode ini sangat praktis dan bisa diterapkan oleh siapa saja. Terlebih lagi, saat ini sudah banyak kitab tafsir dan buku asbabun nuzul yang tersedia dalam bahasa Indonesia, bagi yang tidak mampu mengakses kitab-kitab tafsir berbahasa Arab.

Sudah saatnya umat Islam meningkatkan kualitas interaksi dengan Al-Quran. Jangan hanya puas dengan tilawah, apalagi jika membacanya dengan terburu-buru dan tidak fasih. Mulailah dengan qiraah, lanjutkan ke tadarus, dan berusahalah mencapai tadabur. Dengan demikian, Al-Quran akan menjadi sumber inspirasi dalam menjalani kehidupan.

Jangan sampai generasi kita hanya sekadar bisa melafalkan Al-Quran, tetapi tidak memahami isinya. Ajaklah keluarga, teman, dan masyarakat untuk bersama-sama mendekatkan diri kepada Al-Quran dengan pemahaman yang lebih mendalam. Sebab, Al-Quran bukan hanya untuk dibaca, tetapi juga untuk direnungkan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

 

 

Penerimaan Mahasiswa Baru FIAI UII

Menjadi Insan Ulul Albab M. Husnaini, S.Pd.I., M.Pd.I., Ph.D FIAI UII

Menjadi Insan Ulul Albab

Oleh: M. Husnaini

Pembahasan tentang Ulul Albab kian relevan di tengah maraknya praktik bernegara yang kerap mempertontonkan kontradiksi antara praktik pengejawantahan akal dan hati. Kita menyaksikan orang-orang cerdas yang terjerumus dalam korupsi dan kejahatan struktural, sementara mereka yang berhati baik justru lugu, kurang memahami, atau bahkan tak tertarik pada kajian ilmu.

Inilah yang diangkat Prof Mahfud MD dalam kajian FITRAH (Fokus Ilmu & Tarawih) di Masjid Ulil Albab Universitas Islam Indonesia. Berikut adalah poin-poin yang sempat saya catat dalam kajian malam ketiga yang berlangsung sekitar 45 menit tersebut.

Ulul Albab, dalam bahasa Prof Mahfud MD, adalah orang yang akalnya sehat, kalbunya sehat. Jika akal sehat tapi kalbunya sakit, orang akan menjadi sangat berbahaya. Contohnya adalah orang yang mengoplos Pertamax dengan Pertalite.

Akal yang sehat selalu berpikir. Kalbu yang sehat selalu berzikir. Ulul Albab, sebagaimana dilukiskan dalam surah Ali Imran: 190-191, adalah mereka yang menyelaraskan akal dan hati dalam harmoni, sehingga mampu menangkap keindahan ciptaan Allah dalam setiap aspek kehidupan.

Kata Prof Mahfud MD, sebab turun tersebut sangat mengharukan. Suatu pagi, Nabi tidak kunjung datang ke masjid sampai azan subuh berkumandang. Padahal rumah Nabi dan masjid terbilang dekat. Para sahabat gelisah. Bilal pun datang ke rumah Nabi, dan mendapati beliau menangis. Ditanya Bilal, Nabi menjawab bahwa beliau khawatir jika umat ini tidak menjadi Ulul Albab.

Nabi khawatir kalau umat ini berzikir saja tapi tidak berpikir. Hatinya hidup tapi tidak berilmu menyebabkan umat gampang ditipu dan dibohongi. Demikian pula sangat bahaya jika umat hanya sibuk berpikir tapi tidak berzikir, sebagaimana disebutkan di bagian atas.

Perintah berpikir mendorong orang terus mencari dan mengembangkan ilmu. Ini sangat penting bagi kehidupan. Namun, ilmu harus dikawal dengan agama. Dan itu hanya terjadi jika umat ini menghidupkan radar kalbu dengan terus berzikir.

Akhirnya, Ulul Albab adalah impelementasi dari kecerdasan intelektual dan spiritual secara bersamaan. Kita semua dituntut menjadi insan Ulul Albab, sebagaimana telah dirumuskan Universitas Islam Indonesia dalam kurikulumnya sebagai insan yang berkepribadian Islami, berpengetahuan integratif, berkepemimpinan profetik dan berketerampilan transformatif.

 

Penerimaan Mahasiswa Baru FIAI UII

Kurniawan Dwi Saputra FIAI UII

Puasa sebagai Ritual Kemanusiaan

Oleh Kurniawan Dwi Saputra – Dosen Prodi Pendidikan Agama Islam

 

Sudah jamak diketahui bahwa puasa adalah ibadah mahdhah. Dalam salah satu hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra dijelaskan bahwa puasa adalah milik Allah, dan Allah pula yang akan membalas (ukuran) ganjarannya. Akan tetapi, di samping dimensi itu, puasa juga mengandung sebuah nilai kemanusiaan yang penting. Dalam surat al-Baqarah 183, Allah Swt menjelaskan sekilas tentang genealogi puasa:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. Al-Baqarah 183).

Dalam menafsirkan ayat ini, Syekh Abdul Hakim Murad menjelaskan bahwa puasa adalah ibadah umat manusia. Dari ayat di atas tersurat jelas bahwa puasa diwajibkan kepada umat-umat sebelum umat Islam. Menurut beliau, hal ini berarti puasa telah diketahui oleh semua umat manusia sepanjang sejarah, bukan hanya umat Nasrani dan Yahudi seperti yang jamak diketahui.

Dalil bahwa puasa sebagai ibadah umat manusia adalah fakta bahwa hewan tidak bisa berpuasa dengan sengaja. Sebagai makhluk hidup, manusia dan hewan sama-sama membutuhkan makanan. Akan tetapi berbeda dengan manusia, hewan hanya akan menahan lapar dan haus dalam keadaan terpaksa, misalnya karena ketiadaan makanan atau melewati siklus biologis tertentu. Puasa, kata Alija Izetbegovic, seorang filsuf muslim Bosnia, adalah pilihan yang hanya bisa dibuat manusia dan oleh karena itu merupakan ekspresi tertinggi dari kehendak bebas.

Puasa adalah ritual kemanusiaan karena melibatkan ciri kemanusiaan, yaitu intensionalitas, kesadaran atau bahasa awamnya, niat. Karena itu, niat merupakan salah satu rukun puasa yang tak bisa ditinggalkan. Dalam penjelasan mengenai hadis niat, disebutkan bahwa niat ada dua jenis. Pertama, niyyatu al-amal, niat melakukan ibadah. Ini merupakan pembahasan para ahli fikih yang sebagian merumuskannya menjadi lafal niat yang kita kenal, nawaitu shauma ghadin dst. Kedua, niyyatu al-ma’mul lahu, yaitu tujuan dari ibadah yang dilakukan. Aspek ini merupakan pembahasan para ahli tasawuf dan tazkiyah. Niat jenis kedua ini berhubungan dengan tujuan ibadah kita apakah Ikhlas lillahi ta’ala atau untuk tujuan lainnya.

Ikhlas adalah perkara batin yang menjadi urusan pribadi manusia dengan Allah. Namun, secara zahir, ikhlasnya niat seseorang dalam berpuasa ditandai dengan tercapainya hikmah puasa, seperti yang tersurat dalam al-Baqarah 183 di atas, yaitu meningkatnya kualitas ketakwaan seseorang. Maka, seseorang yang puasanya Ikhlas, maka seseorang akan menjadi lebih bertakwa. Sedangkan indikasi dari kualitas ketakwaan yang tampak adalah dengan menjalankan perintah-perintah agama dan menjauhi larangan-larangannya.

Sebaliknya, kesalahan niat dalam puasa dapat mengakibatkan kita menjalani puasa binatang yang hanya merasakan lapar dan haus. Nabi Muhammad Saw bersabda dalam hadis dari Abu Hurairah Ra:

رب صائم ليس له من صيامه إلا الجوع ورُبَّ قائمٍ ليس له من قيامِه إلا السَّهرُ

Artinya: berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar, dan berapa banyak orang yang mendirikan (malam untuk beribadah) tidak mendapatkan apapun darinya kecuali (rasa kantuk dan lelah) keterjagaan (HR. Ibnu Majah).

Oleh karena itu, dalam momentum puasa Ramadhan kali ini, mari kita bersama-sama meluruskan niat puasa. Pertama-tama, dari aspek niyyatu al-amal, jangan sampai kita melupakan niat puasa Ramadhan kita pada malam hari sebelum terbit fajar, terlepas dari perbedaan pendapat apakah harus dilafalkan atau tidak. Kedua dan yang terpenting, pada aspek niyyatu al-ma’mul lah, mari kita ikhlaskan puasa Ramadhan tahun ini semata hanya untuk Allah, sembari mencoba memperbaiki ketakwaan kita, lewat pemenuhan segala perintahnya dan penjauhan segala larangannya. Wallahu ta’ala a’lam.

 

 

Penerimaan Mahasiswa Baru FIAI UII

Rasulullah saw biasanya memberi kabar gembira kepada para sahabatnya dengan bersabda, “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan kepadamu puasa di dalamnya, pada bulan ini pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan para setan diikat, juga terdapat pada bulan ini malam yang lebih baik dari seribu bulan, barangsiapa tidak memperoleh kebaikannya maka dia tidak memperoleh apa-apa.

(HR Ahmad dan al-Nasâ’i)

Marhaban yâ Ramadhân

Bulan Ramadhan adalah bulan suci yang benar-benar penuh dengan berkah dan keutamaan, bulan yang sangat diistimewakan oleh Allah SWT, di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan, di dalamnya penuh dengan rahmat, ampunan dan pembebasan dari api neraka, bulan yang dirindukan kedatangannya dan ditangisi kepergiannya oleh orang- orang yang shalih. Pada bulan Ramadhan inilah kaum muslim seharusnya melakukan pengembaraan ruhani dengan mengekang nafsu syahwat dan mengisi dengan amal-amal yang mulia. Semua itu merupakan momen dan sekaligus sarana yang baik untuk mencapai puncak ketaqwaan kepada Allah SWT. Dosa dan kekhilafan juga merupakan sasaran yang akan kita hapuskan dalam bulan suci Ramadhan ini.

Read more