Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang tak henti-hentinya telah memberikan nikmat iman, islam kepada kita sampai saat ini. Sholawat serta salam selalu junjungan Nabi Muhammad SAW, beserta seluruh keluarga dan sahabatnya.

Sudah semestinya sebagai umat Islam kita selalu di ingatkan dan di arahkan untuk “amar ma’ruf nahi mungkar” perintah berbuat baik dan mencegah kepada hal yang buruk. Kalimat pertama yaitu “amar ma’ruf” yang artinya sebuah perintah yang dilakukan mengajak orang untuk melakukan ha-hal yang baik, dengan memulai berbuat kebaikan dari diri sendiri setelah itu kita melanjutkan dengan “nahi mungkar” yang artinya melarang pada hal-hal yang buruk, dengan kita memberikan contoh hal yang baik terlebih dahulu akan lebih bisa diterima oleh jamaah. Dalam agama islam perintah untuk mengajak berbuat baik lebih sering dikenal dengan sebutan Dakwah/ nasihat, seperti yang sudah dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW dan juga sudah ditegaskan diperintahkan oleh Allah SWT.

Hal ini sudah tertulis dalam Al Quran Surat An Nahl:125;

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

Artinya ; “ Serulah ( manusia ) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yag baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia ( pula ) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk ”.

Berdakwah adalah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil manusia untuk beriman dan taat kepada Allah SWT sesuai dengan akidah, akhlak dan syariat islam secara sadar dan tulus ikhlas. Dakwah memainkan peran kunci dalam membentuk citra islam. Sebab, banyak orang mengenal ajaran islam dalam kegiatan pemberdayaan umat melalui aktivitas para da’i, baik melalui dakwah lisan maupun dakwah yang langsung melibatkan masyarakat. Namun, di Indonesia, fenomena dakwah masih di dominasi oleh dakwah lisan yang biasanya dilakukan dalam acara-acara formal keagamaan atau pengajian. Tujuan utama dari dakwah adalah mencari kebahagian di dunia dan akhirat. Banyak macam cara kegiatan dakwah kita agar di terima oleh orang lain yang menjadi audiens kita. Maka dari itu kita harus merencanakan dan mengkonsep  dakwah dengan baik agar berhasil. Dakwah dengan baik berarti mengajak orang lain menuju kebaikan melalui pendekatan yang bijak, penuh hikmah, dan sesuai dengan ajaran Islam. Di tengah ke anekaragaman bangsa, suku, budaya, dan adat istiadat kegiatan dakwah perlu kita konsep secara kebhinekaan yang harmonis saling menghormati dan menjunjung tinggi toleransi serta tidak saling menyakiti dan menghakimi keyakinan dan kepercayaan orang lain.  Dengan konsep dakwah yang baik tersebut akan menciptakan suasana yang indah dan penuh kasih sayang dan dapat menumbuhkan rasa aman tenteram dan damai dalam menjalankan ibadah sesuai syariah Islam.

Berikut adalah beberapa langkah untuk berdakwah secara efektif :

  • Sebelum berdakwah niatkan hati kita hanya untuk mencari ridha Allah SWT, bukan untuk popularitas atau tujuan pribadi lainnya.
  • Kuasai ilmu agama secara mendalam, termasuk Al-Qur’an, hadits, fiqih, dan syariah. Dengan pengetahuan yang luas, dakwah dapat disampaikan secara benar dan sesuai dengan ajaran Islam.
  • Pahamilah madzhab dan latar belakang yang dianut oleh mayoritas jamaah untuk memudahkan penerimaan dakwah. Hindari perdebatan tentang perbedaan madzhab yang dapat memicu perpecahan.
  • Pahami karakter, kebutuhan, dan tingkat pemahaman jamaah agar dakwah bisa disesuaikan dengan kondisi mereka. Pastikan materi disiapkan dengan baik agar mudah dipahami dan sesuai dengan kebutuhan jamaah yang relevan dengan konteks saat ini.

Dalam penyampaian dakwah harus mengedepankan sikap toleransi, bijaksana, lemah lembut dan menghargai, hindari kekerasan, paksaan, atau celaan. Adapun cara ini sudah diperintahkan kepada nabi Muhammad SAW dan tertulis dalam surat Al Imron ayat : 159;

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِك…… آل الآية

Artinya; “ Maka berkat rahmat Allah engkau ( Nabi Muhammad ) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu ”.

Adapun metode seperti ayat diatas sudah di praktikkan oleh da’i pendahulu dalam berdakwah yang sudah dikenal semua orang yaitu para Wali Songo, para wali ini adalah seorang da’i yang menyampaikan dakwah nya dengan mengkolaborasi tradisi, dan juga kesenian yang dilakukan masyarakat pada umumnya. Beliau para wali tersebut mengubah tradisi dan seni menjadi amal ibadah, yang awalnya dilarang oleh syariah Islam kemudian diubah menjadi Ibadah yang sesuai dengan syariah Islam. Sebagai contoh adalah budaya sesajen yang lengkap dengan bunga dan do’a kepada leluhur kemudian di ubah sesajen dengan hal yang bisa di konsumsi oleh peserta dan doa yang dibaca di ubah dengan doa kepada Allah SWT. Dalam berdakwah alangkah baiknya menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan contoh yang relevan. Sampaikan nasihat dengan kasih sayang dan hindari sikap menghakimi. Ketika ada jamaah yang bertanya maka jawab dan jelaskan dengan sopan, Jika ada perbedaan pendapat, sampaikan dengan cara yang baik dan hindari perdebatan yang memicu perpecahan. Sebagai Penyampai Dakwah kita harus menjadi teladan yang baik dengan cara menunjukkan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari agar menjadi contoh bagi jamaah.

Dengan perkembangan zaman dan teknologi, kegiatan dakwah saat ini banyak inovasi dalam berdakwah seperti ceramah, tulisan, video, atau media sosial untuk menyampaikan dakwah. Sehingga memudahkan kita untuk terus konsisten dan istiqomah dalam berdakwah. Dengan tidak mudah putus asa, selalu belajar dan memperbaiki diri agar dakwah semakin berkualitas. Pastikan dakwah yang disampaikan sesuai dengan syariat Islam dan akhlak yang baik. Kemudian ajak jamaah untuk bertindak dan melakukan perubahan.

Penulis: Taufiq Hidayanto, Tendik FIAI UII

Bekerja dapat dimaknai sebagai bagian aktifitas manusia yang paling banyak menyita waktu lak-laki, selain berdagang. Dari 24 jam jatah hidup manusia dalam 1 hari, berapa banyak yang dimanfaatkan untuk kepentingan bekerja, untuk keluarga dan istirahat? Jika sehari menggunakan 8 jam jatah hidup sehari yang diberikan Allah. Apakah sudah bemakna ibadah? Seharusnya bekerja sejatinya adalah ibadah.

Meskipun saat ini pemahaman kerja masih dianggap sebagai sarana mencari penghasilan, namun juga ada yang menganggap cara menjemput rezeki. Selain itu ada juga yang berprinsip bekerja sebagai beribadah di dunia. Dampak perbedaan pemahaman ini, menjadikan perilaku dalam bekerja.

Bagi seorang laki-laki muslim, bekerja sejatinya bisa menghapus dosa. Hal tersebut sesuai sabda Rasulullah.

“Barangsiapa yang di waktu sore merasa capek (lelah) lantaran pekerjaan kedua tangannya (mencari nafkah) maka di saat itu diampuni dosa baginya.” (HR. Thabrani).

Tentu lelah dalam bekerja diniati sebagai jalan ibadah, sehingga niat ikhlas, jujur dan amanah juga mendukung nilai manfaat dalam bekerja

 

Bekerja amanah, merupakah perintah Allah sesuai firman-NYa dalam Al Qur’an surah Al-Ahzab ayat 72 yang artinya:
“Sesungguhnya kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat). Lalu dipikullah amanah itu oleh manusia. Sungguh manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh”.

Dari sisi makna etimologi amanah dari bahasa Arab dalam bentuk mashdar dari amina amanatan yang berarti jujur, dan dalam hal ini juga sifat perbuatan yang dapat dipercaya. Dari makna bahasa Indonesia amanah berarti pesan, perintah. Sehingga ketika bekerja yang amanah  bisa dimaknai dengan berbagai sudut pandang, salah satunya dari Ahmad Musthafa Al-Maraghi yang memaknai amanah sebagai sesuatu yang harus dipelihara dan dijaga agar sampai kepada yang berhak memilikinya.

Menggapai Ridho Allah
Bekerja tidak serta merta tentang penghasilan, gaji, dan jabatan. Dalam Islam bekerja adalah cara beribadah kepada Allah dan lautan kebaikan untuk keluarganya.  Keyakinan akan rezeki dari Allah adalah landasan semangat dalam bekerja layaknya seekor burung yang terbang menjemput rezeki tanpa sedikitpun berprasangka buruk kepada Allah.

Semangat ini sesuai dengan sabda Rasulullah,
Dari Umar Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kalau kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, maka niscaya Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana Allah memberi rezeki kepada burung; ia pergi pagi hari dalam keadaan perutnya kosong, lalu pulang pada sore hari dalam keadaan kenyang”. [HR Tirmidzi, no. 2344; Ahmad (I/30); Ibnu Majah, no. 4164]

Lelah dalam bekerja bagi seorang pria, resiko dalam bekerja dan semangat untuk menjalani karena Allah, akan menjadikan Allah senang, sehingga bekerja bagian dari menjaga hubungan manusia dengan Allah. Dapat menjadi pedoman bersama atas sabda Rasulullah,
“Sesungguhnya Allah Ta’ala senang melihat hamba-Nya bersusah-payah (lelah) dalam mencari rezeki yang halal.” (HR. Ad-Dailami).

Bekerja secara ikhlas meraih ridho Allah. Ikhlas dalam hal ini maknanya mengutamakan kepentingan kolektif tempatnya bekerja, misal instansi perguruan tinggi seperti UII, maka kepentingan UII menjadi utama di atas kepentingan pribadi.  Misal menjadi Pegawai Negeri Sipil Republik Indonesia, maka kebaikan instansi pemerintah dan negara menjadi utama. Sehingga keikhlasan dalam bekerja mendorong kemajuan dan kebaikan tempat bekerja. Ikhlas mengesampingkan urusan pribadi, sehingga jika diterapkan maka negara ini jauh dari korupsi, perebutan jabatan dan bangsa akan menjadi lebih baik.

Penulis: Joko Wahyudi

Dalan perspektif Islam, bekerja merupakan ibadah. Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin memandang bekerja bukan hanya sebagai aktivitas duniawi, tetapi juga sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT. Aspek duniawinya, bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Aspek akhiratnya, bekerja sebagai bentuk representasi ibadah yaitu ketika meraih pendapatan yang halala thayiban, maka kadarnya setara dengan berjihad di jalan Allah dalam rangka melaksanakan rukun Islam.  Bekerja selama tidak menghalangi dan melalaikan kewajiban lain kepada Allah akan bernilai ibadah dan mendapat pahala dari Allah.

Disiplin merupakan hal yang penting dalam bekerja, selain merupakan bagian dari etos kerja Islami, disiplin juga cerminan dari ajaran Rasulullah. Disiplin dalam bekerja menurut perspektif Islam bukan hanya tentang produktivitas atau keuntungan material semata, tetapi juga berkaitan erat dengan nilai-nilai spiritual, etika, dan tanggung jawab sebagai hamba Allah SWT.
Menggabungkan disiplin dalam ibadah dan bekerja, menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, memperbaiki kualitas diri, dan memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Disiplin dalam bekerja dapat juga bermakna melaksanakan ibadah dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an:

وَقُلِ اعْمَلُوْا فَسَيَرَى اللّٰهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُوْلُهٗ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ وَسَتُرَدُّوْنَ اِلٰى عٰلِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَۚ

“Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu.” (At-Taubah: 105)

Beberapa alasan seseorang harus disiplin dalam bekerja menurut pandangan Islam diantaranya:


Pertama
, Amanah dan Tanggung Jawab.
Islam mengajarkan bahwa setiap pekerjaan adalah amanah yang harus dijaga dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Disiplin dalam bekerja merupakan wujud dari menjaga amanah tersebut. Rasulullah SAW bersabda:

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedua : Ihsan (Berbuat yang Terbaik)
Konsep Ihsan dalam Islam mengajarkan untuk melakukan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya. Dalam konteks pekerjaan, disiplin merupakan salah satu cara untuk mencapai kualitas kerja terbaik. Allah SWT berfirman:

۞ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.” (An-Nahl: 90)

Ketiga : Manajemen Waktu
Islam sangat menekankan pentingnya memanfaatkan waktu dengan baik. Disiplin dalam bekerja membantu seseorang mengelola waktunya secara efektif. Allah SWT berfirman:

وَالْعَصْرِۙ ۝١

اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ ۝٢

اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ۝٣

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh.” (Al-‘Asr: 1-3)

Keempat : Profesionalisme

Islam mendorong umatnya untuk bekerja secara profesional. Disiplin adalah salah satu ciri profesionalisme. Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya Allah mencintai jika seseorang melakukan suatu pekerjaan yang dilakukannya dengan itqan (tepat, terarah, dan tuntas).” (HR. Thabrani)


Kelima : Berkah dan Rezeki
Disiplin dalam bekerja dapat membuka pintu berkah dan rezeki. Islam mengajarkan bahwa rezeki datang dari Allah, namun manusia harus berusaha dengan sungguh-sungguh. Allah SWT berfirman:

وَاَنْ لَّيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعٰىۙ ۝٣٩

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (An-Najm: 39)

Keenam : Keteladanan
Disiplin dalam bekerja dapat menjadi teladan bagi orang lain, terutama bagi sesama Muslim. Ini sejalan dengan ajaran Islam untuk saling menasihati dalam kebaikan.

Dalam perspektif Islam, seseorang yang disiplin dalam bekerja akan menerima berbagai kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat. Berikut diantara kebaikan-kebaikan tersebut:

Pertama : Pahala dan Ridha Allah SWT
Bekerja dengan disiplin menjadi bagian ibadah, sehingga yang melakukannya akan mendapatkan pahala, selain itu melaksanakan pekerjaan dengan baik merupakan bentuk ketaatan kepada Allah SWT.

Kedua : Keberkahan dalam Rezeki
Islam mengajarkan disiplin dan kerja keras dapat membuka pintu rezeki. Keberkahan yang didapakan tidak hanya dalam bentuk materi, tapi juga ketenangan dan kepuasan batin.

Ketiga : Peningkatan Kualitas Diri
Disiplin juga membantu seseorang mengembangkan karakter positif seperti kejujuran, tanggung jawab, dan ketekunan. Hal ini sejalan dengan konsep tazkiyatun nafs (penyucian diri) dalam Islam.

Keempat : Kesuksesan Duniawi
Disiplin kerja juga mengarahkan seseorang pada prestasi dan kemajuan dalam karir, baik berupa promosi, peningkatan penghasilan, atau pengakuan profesional.

Kelima : Ketenangan Hati
Dengan melakukan pekerjaan secara disiplin dan sebaik-baiknya memberikan rasa puas dan ketenangan. Ketenangan ini merupakan nikmat tersendiri dalam pandangan Islam.

Keenam : Menjadi Teladan
Melakukan disiplin kerja yang baik dapat menjadi contoh bagi orang lain, terutama keluarga dan rekan kerja. Menjadi teladan dalam kebaikan memiliki nilai tinggi dalam Islam.

Ketujuh : Keseimbangan Hidup
Disiplin dalam bekerja membantu menciptakan keseimbangan antara kerja, ibadah, dan kehidupan pribadi. Islam mengajarkan pentingnya keseimbangan dalam semua aspek kehidupan.

Kedelapan : Terhindar dari Sifat Malas
Disiplin dalam bekerja membantu menjauhkan diri dari sifat malas yang dicela dalam Islam. Rasulullah SAW sering berdoa memohon perlindungan dari sifat malas.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam perspektif Islam, disiplin dalam bekerja tidak hanya membawa keuntungan material, tetapi juga spiritual dan sosial. Hal ini mencerminkan ajaran Islam yang komprehensif, mencakup kesejahteraan dunia dan akhirat.

Penulis : Edu Shinta Dewi, S.Ak. Tendik FIAI UII

Kematian adalah suatu kenyataan yang pasti dihadapi oleh setiap makhluk hidup, tanpa bisa menebak kapan terjadinya. Sebagai seorang muslim, selalu diajarkan untuk memaknai kematian bukan hanya sebagai akhir dari kehidupan di dunia, tetapi juga sebagai pintu gerbang menuju kehidupan yang lebih abadi di akherat. Melalui Al-Qur’an dan hadits, Islam memberikan panduan bagaimana seharusnya memandang kematian dan apa yang bisa dipelajari darinya.

Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,“Renungkanlah wahai manusia, (sebenarnya) kamu akan dapati dirimu dalam bahaya, karena kematian tidak ada batas waktu yang kita ketahui, terkadang seorang manusia keluar dari rumahnya dan tidak kembali kepadanya (karena mati), terkadang manusia duduk di atas kursi kantornya dan tidak bisa bangun lagi (karena mati), terkadang seorang manusia tidur di atas kasurnya, akan tetapi dia malah dibawa dari kasurnya ke tempat pemandian mayatnya (karena mati). Hal ini merupakan sebuah perkara yang mewajibkan kita untuk menggunakan sebaiknya kesempatan umur, dengan taubat kepada Allah Azza wa Jalla. Dan sudah sepantasnya manusia selalu merasa dirinya bertaubat, kembali, menghadap kepada Allah, sehingga datang ajalnya dan dia dalam sebaik-baiknya keadaan yang diinginkan.” (Lihat Majmu’ fatawa wa Rasa-il Ibnu Utsaimin, 8/474).

Dalam Islam, kematian adalah ketetapan Allah yang tidak bisa ditolak atau dihindari. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.” (QS. Al-Ankabut: 57).

Ayat ini menegaskan bahwa kematian adalah kepastian yang akan dialami oleh setiap makhluk. Tidak ada yang bisa menolak atau menghindarinya. Dengan menyadari hal ini, seorang Muslim seharusnya selalu bersiap diri dan menjalani kehidupan di dunia ini dengan penuh kesadaran bahwa segala sesuatu yang dimiliki hanyalah titipan sementara.

Kematian juga merupakan pengingat yang kuat bagi kita untuk selalu berbuat kebaikan. Rasulullah SAW bersabda:

“Orang yang cerdas adalah orang yang mengendalikan dirinya dan bekerja untuk kehidupan setelah mati.” (HR. Tirmidzi).

Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang bijak adalah mereka yang menyadari bahwa kehidupan dunia ini hanya sementara, dan kehidupan yang abadi adalah di akhirat. Oleh karena itu, mereka akan selalu berusaha untuk memperbanyak amal shaleh, karena hanya amal kebaikan yang akan menjadi bekal di alam kubur dan akhirat kelak.

Kematian mengingatkan kita akan hakikat kehidupan yang sesungguhnya. Hidup di dunia ini hanyalah perjalanan singkat menuju kehidupan yang lebih kekal. Rasulullah SAW bersabda:

“Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau seorang pengembara.” (HR. Bukhari).

Hadits ini mengajarkan kita untuk tidak terlalu terikat dengan kehidupan dunia, karena dunia ini bukanlah tujuan akhir. Seorang Muslim seharusnya selalu menyadari bahwa kehidupan dunia ini sementara dan tujuan hidup yang sejati adalah mencapai kebahagiaan di akhirat.

Dengan menyadari bahwa kematian bisa datang kapan saja, seorang Muslim seharusnya lebih rajin dalam beribadah dan selalu mengingat Allah dalam setiap langkah hidupnya. Salah satu cara untuk mengingat Allah adalah dengan selalu mengingat kematian. Rasulullah SAW bersabda:

“Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan (kematian).” (HR. Tirmidzi).

Dengan mengingat kematian, hati akan menjadi lebih lembut dan jiwa akan terhindar dari kesombongan dan cinta dunia yang berlebihan. Kita akan lebih fokus pada tujuan hidup yang sesungguhnya, yaitu mencari ridha Allah dan mempersiapkan bekal untuk kehidupan setelah mati.

Bagi seorang Muslim yang beriman dan beramal shaleh, kematian bukanlah sesuatu yang ditakuti, tetapi justru dinantikan sebagai awal dari kehidupan yang lebih baik. Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami ialah Allah,’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.'” (QS. Fussilat: 30).

Ayat ini memberikan harapan bagi setiap Muslim yang menjalani hidup dengan penuh keimanan dan ketaatan kepada Allah, bahwa kematian adalah pintu menuju surga, tempat dimana segala kebahagiaan yang abadi menanti.

 Kematian adalah bagian dari kehidupan yang harus kita terima dengan penuh kesadaran dan keikhlasan. Sebagai seorang Muslim, memaknai kematian dengan benar akan membuat kita lebih bijak dalam menjalani hidup. Kita akan lebih fokus pada tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu mencari ridha Allah dan mempersiapkan bekal untuk kehidupan setelah mati. Semoga kita semua termasuk orang-orang yang selalu siap menghadapi kematian dengan penuh keimanan dan amal shaleh. Amin.

Penulis : Tutias Ekawati, Tendik FIAI UII

Pada tahun 2024, bersamaan dengan momentum Hari Ulang Tahun ke-79 Republik Indonesia, dengan semangat kemerdekaan, menjadi penting merenungkan peran strategis mahasiswa sebagai agen perubahan atau agent of change, terutama di Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (FIAI UII). Sesungguhnya, peran mahasiswa memiliki potensi besar untuk membawa perubahan positif menjadikan kondisi masyarakat lebih baik, terutama dalam upaya membangun bangsa yang berlandaskan nilai-nilai Islam.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)

Dari ayat di atas jelas sekali, bahwa perubahan harus dimulai dari diri kita sendiri. Sebagai mahasiswa, dapat mengawali perubahan dengan memperbaiki diri dalam aspek spiritual, moral, dan intelektual. Saat ini, mahasiswa harus menjadi teladan dalam sikap dan perilaku sehari-hari, sehingga dapat menginspirasi orang lain untuk mengikuti jejak kebaikan pendahulu, dan membangun kebaikan di masa mendatang. Mahasiswa sangat potensial membawa arah bangsa menjadi semakin baik.

Di FIAI UII, kita mempelajari ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ilmu ini bukan hanya untuk dipahami, tetapi juga untuk diamalkan dan disebarkan di tengah masyarakat. Seperti dalam firman Allah SWT:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)

Mahasiswa dituntut untuk menjaga integritas dalam keilmuan, artinya menggunakan ilmu yang diperoleh untuk memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi masyarakat, selalu berlandaskan prinsip-prinsip Islam, dan tidak tergoda oleh kepentingan pribadi semata, tapi untuk kebaikan masyarakat, keluarga, agama dan bangsa.

Mahasiswa sebagai agen perubahan harus terlibat aktif dalam kegiatan sosial dan dakwah di masyarakat. Menguatkan pengaruh agar elemen masyarakat menyeru kepada kebaikan, setidaknya diawali dari pemahaman dan niat.
Seperti firman Allah:
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)

Mahasiswa bersosial dan terus berdakwah merupakan bagian penting dalam proses perubahan masyarakat. Sebagai agen perubahan menuju kebaikan, mahasiswa dapat berkontribusi melalui organisasi kemahasiswaan, komunitas dakwah, atau kegiatan sosial lainnya yang bertujuan untuk memberikan manfaat bagi masyarakat luas.

Memahami dan Menghargai Keberagaman
Indonesia adalah negara kaya dengan potensi keberagaman suku, budaya, maupun agama, karena itu mahasiswa muslim harus terus menerus memperbaiki kualitas diri serta menjadi teladan dalam upaya bersama menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Mengembangkan diri dengan berbagai kompetensi baik hardskill maupun softskill untuk mendukung niat baik, dan implementasi, sehingga berdakwah tidak semata tatap muka mungkin juga dengan dukungan media dan digitalisasi. Semata agar bisa menjangkau kelompok masyarakat di seluruh penjuru Indonesia. Akhirnya bisa meningkatkan ukhuwah islamiyah, saling mengenal meski diawali dari sarana digital.
Allah SWT berfirman:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Dari ayat di atas, menjadi dorongan bagi umat Islam, juga untuk mahasiswa agar terus memahami dan menghargai keberagaman ini. Kondisi keberagaman Indonesia dapat dijadikan sebagai sarana untuk saling memperluas kekuatan serta makin mengenal, memahami, dan bekerja sama demi kemajuan untuk tanggungjawab bersama menjadikan Indonesia yang luas ini semakin baik.

Menjaga Spiritualitas dan Ketakwaan
Apapun upaya perubahan harus didasari dengan menjaga hubungan baik dengan Allah. Baik selalu menjalankan perintahnya, dan menjauhi segala larangannya. Inilah wujud ketakwaan sebagai fondasi utama. Menjadi agen perubahan yang Islami, sehingga mendapatkan manfaat dunia dan akhirat.
Allah SWT berfirman:

وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا
“Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar.” (QS. At-Talaq: 2)

Dengan bertakwa, kita akan selalu berada di jalan yang benar dan mendapatkan pertolongan dari Allah dalam setiap usaha yang kita lakukan. Harapannya selalu mendapat solusi kebaikan dari Allah, termasuk saat menemukan hambatan dalam bersosial dan berdakwah.
Kesimpulan
Menjadi mahasiswa FIAI UII bukan hanya tentang menuntut ilmu, tetapi juga tentang mengambil peran aktif sebagai agen perubahan yang membawa kebaikan bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan bangsa. Dengan berpegang pada nilai-nilai Islam, mahasiswa dapat berkontribusi dalam membangun Indonesia yang lebih baik, adil, dan sejahtera. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita dalam setiap langkah menuju perubahan yang positif. Amin ya Rabbal Alamin.

Penulis: Prayitna Kuswidianta, Tendik FIAI

Kehidupan modern yang serba cepat  bisa berdampak pada kebaikan dan tekanan, sehingga  memperhatikan kesehatan mental menjadi sangat penting. Tantangan sehari-hari, baik yang bersifat pribadi maupun sosial, seringkali memicu stres dan kecemasan. Banyak individu mencari cara untuk mengelola kesehatan mental mereka melalui berbagai metode, baik yang bersifat klinis maupun spiritual. Dalam Islam, kesejahteraan jiwa tidak hanya melibatkan perawatan fisik dan psikologis, tetapi juga penekanan pada aspek spiritual yang mendalam. Prinsip-prinsip seperti tawakal, sabar, dan syukur memberikan landasan yang kokoh untuk mengelola stres, menghadapi kesulitan, dan membangun ketenangan batin.

Konsep tawakal mengajarkan kita untuk berusaha semaksimal mungkin dalam setiap usaha dan menyerahkan hasil akhirnya kepada Allah. Dengan berusaha secara maksimal, kita menggunakan semua kemampuan dan sumber daya yang kita miliki. Namun, setelah usaha dilakukan, tawakal mengajarkan kita untuk percaya bahwa hasil akhir berada di tangan Allah, yang menentukan apa yang terbaik bagi kita. Keyakinan ini membantu mengurangi kecemasan karena kita tidak lagi tertekan oleh ketidakpastian hasil. Sebaliknya, kita merasa lebih tenang karena percaya bahwa segala sesuatu sudah ditentukan oleh kebijaksanaan Allah. Dengan demikian, tawakal mengurangi beban psikologis, meningkatkan keikhlasan, dan memberikan ketenteraman batin dengan memahami bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah bagian dari rencana-Nya yang lebih besar.

Kesabaran, dalam pandangan Islam, melibatkan kemampuan untuk tetap tenang dan stabil ketika menghadapi berbagai cobaan. Al-Qur’an menekankan bahwa kesabaran adalah sifat mulia yang sangat dihargai dan dapat menjadi sumber kekuatan besar. Kesabaran membantu seseorang tetap fokus dan tidak menyerah dalam menghadapi tantangan hidup. Dalam Surah Al-Baqarah [2:153], Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”.

Rasa syukur juga memiliki peranan penting dalam menjaga keseimbangan emosional. Ketika seseorang secara aktif menghargai dan mengakui nikmat serta rahmat yang diberikan oleh Allah, mereka cenderung mengalami penurunan dalam perasaan ketidakpuasan dan stres. Hal ini karena sikap syukur membantu memusatkan perhatian pada apa yang sudah dimiliki, bukan pada kekurangan atau kesulitan yang ada. Dengan menghargai nikmat, seseorang dapat mengubah pola pikir dan emosi mereka secara positif.

Praktik ibadah pendorong spiritual  seperti shalat, doa, puasa, membaca Al-Qur’an, dan dzikir juga berkontribusi besar terhadap kesehatan mental. Shalat bukan hanya bentuk ibadah, tetapi juga kesempatan untuk refleksi pribadi yang menciptakan ruang untuk ketenangan batin dan kedamaian spiritual. Setiap kali kita melaksanakan shalat, kita berhenti sejenak dari aktivitas sehari-hari dan mengarahkan perhatian kita sepenuhnya kepada Allah. Momen ini memberikan kesempatan untuk introspeksi, merenungkan makna hidup, serta hubungan kita dengan Allah dan sesama. Dengan melaksanakan shalat secara konsisten, kita dapat meraih ketenangan di tengah kesulitan, mengurangi stres, menyusun kembali fokus, dan mendapatkan energi baru untuk menghadapi berbagai tantangan hidup.

Doa adalah bentuk ketergantungan dan pengharapan kepada Allah, yang menunjukkan kedekatan dan hubungan spiritual antara hamba dan Penciptanya. Melalui doa, seseorang mengungkapkan kebutuhan, keinginan, dan masalah mereka kepada Allah, yang pada gilirannya memperkuat ikatan dengan-Nya. Ketika seseorang berdoa, mereka merasa didukung dan diperhatikan oleh Allah, yang meningkatkan kepercayaan diri dan memberikan rasa aman. Doa juga membantu mencapai ketenangan hati dengan mengekspresikan perasaan, kecemasan, serta meminta petunjuk dan bimbingan dari Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surah Al-Baqarah [2:186], “Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran”.

Puasa, baik yang dilakukan di bulan Ramadhan maupun puasa sunah, memiliki banyak manfaat bagi kesehatan mental dan spiritual. Selain sebagai ibadah, puasa mengajarkan pengendalian diri dan disiplin melalui penahanan diri dari makan dan minum sepanjang hari. Dari sudut pandang psikologis, puasa dapat membantu mengurangi stres dan meningkatkan rasa percaya diri saat seseorang berhasil menyelesaikannya. Hal ini juga mendorong sikap bersyukur dan empati, yang memperbaiki hubungan sosial dan keseimbangan emosional.

Selain itu, membaca dan merenungkan Al-Qur’an memberikan panduan berharga serta ketenangan hati. Al-Qur’an mengandung hikmah dan nasihat yang relevan untuk berbagai situasi hidup, memberikan motivasi dan inspirasi dalam menghadapi tantangan. Sebagaimana dijelaskan dalam Surah Al-Isra [17:82], “Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang mukmin, sedangkan bagi orang-orang zalim (Al-Qur’an itu) hanya akan menambah kerugian”.

Dzikir, yang merupakan praktik menyebut nama Allah secara terus-menerus, juga memberikan manfaat besar. Aktivitas ini sangat efektif untuk menenangkan jiwa, mengurangi kecemasan, dan memperkuat hubungan spiritual dengan Allah. Dengan melakukan dzikir secara rutin, seseorang dapat merasakan kedekatan yang lebih besar dengan Allah dan lebih siap dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. Dalam Surah Ar-Ra’d [13:28], Allah berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram”.

Dalam menghadapi kompleksitas dan tantangan kehidupan modern, prinsip-prinsip Islam menyediakan kerangka kerja komprehensif untuk menjaga kesejahteraan jiwa. Dengan mengintegrasikan ajaran tentang tawakal, sabar, syukur, serta praktik-praktik spiritual seperti shalat, doa, puasa, membaca Al-Qur’an, dan dzikir, individu dapat membangun ketahanan mental dan emosional yang kuat. Pendekatan ini tidak hanya membantu mengatasi stres dan kecemasan tetapi juga memfasilitasi pencapaian keseimbangan batin yang lebih mendalam. Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini dalam kehidupan sehari-hari, seseorang dapat memperoleh ketenangan batin dan kesejahteraan yang lebih baik di tengah dinamika kehidupan yang penuh tantangan.

Penulis: Siti Rofiah, S.Ak, Tendik FIAI UII

Faktanya, ketika membuka mata di pagi hari hingga terpejamnya mata ketika malam, manusia tidak pernah lepas dari rasa khawatir. Salah satu hal yang paling sering menjadi sumber kekhawatiran bagi manusia adalah rezeki. Banyak orang yang bekerja keras, berangkat pagi dan pulang malam, hanya demi menjemput rezeki, bahkan hingga melupakan amalan untuk akhirat. Namun, hasil yang didapat sering kali tidak sebanding dengan usaha yang dikeluarkan, sehingga muncul pertanyaan, benarkah rezeki tidak akan tertukar? Bagaimana rezeki kita esok hari? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, rezeki berarti segala sesuatu yang digunakan untuk memelihara kehidupan (diberikan oleh Tuhan); makanan sehari-hari; nafkah. Rezeki adalah anugerah, karunia, serta segala pemberian Allah yang bermanfaat sebagai sumber kehidupan bagi semua makhluk.

Bersinggungan dengan rezeki yang dianggap hanya dalam bentuk harta, belakangan ini platform media sosial diramaikan dengan tren flexing para artis, pejabat, dan para sultan misalnya. Konten yang menampilkan kekayaan dan penghasilan yang sangat fantastis hingga nampak begitu mudah mereka mendapatkannya. Padahal gaya hidup yang terlihat jauh dari jalan yang Allah tentukan. Apakah semua itu benar-benar rezeki dari Allah untuk mereka? Hal ini kemudian menjadi gambaran ketimpangan, ketika ada seseorang yang sejak lahir sudah memiliki kekayaan melimpah, sementara ada yang harus berjuang dan bekerja keras seumur hidup untuk memperoleh harta. Di sisi lain, ada orang yang bekerja keras sepanjang hidupnya tetapi tetap tidak mendapatkan hasil yang memadai. Ada juga yang bermalas-malasan, namun dalam sekejap bisa menjadi kaya raya. Kita pun bertanya-tanya, mengapa hal seperti ini bisa terjadi?

Seringkali manusia beranggapan bahwa rezeki adalah harta benda yang dipunya, uang yang melimpah, kendaraan mewah, ataupun rumah yang megah. Manusia luput dalam menyadari bahwa rezeki adalah nikmat Allah yang sangat luas dan bukan hanya sebatas harta benda. Rezeki juga bisa berupa nikmat dari hal-hal kecil sekalipun seperti bernafas, berkedip, ataupun bersin yang tanpa kita memintanya Allah telah otomatis berikan. Harta tidak selalu tentang uang dan benda mewah tetapi kesehatan, ilmu, anak saleh, hingga umur yang manfaat pun juga termasuk harta. Muslim Ahmad meriwayatkan dalam sebuah hadis, Manusia sering kali membanggakan, “hartaku… hartaku…” padahal pada kenyataannya, harta  tidak bisa dibawa mati namun bisa bermanfaat kekal  jika sudah disedekahkan untuk keselamatan akhirat. Allah memberikan rezeki tanpa memandang siapa penerimanya, bisa jadi rezeki itu diberikan kepada orang yang Ia cintai atau kepada yang tidak Ia cintai. Demikian pula, Allah bisa menyempitkan rezeki bagi siapa saja, baik yang Ia cintai maupun yang tidak. Nikmat dan rezeki yang diperoleh bisa jadi adalah istidraj, sebagai ujian dari Allah tanpa kita sadari. Penting untuk diingat bahwa rezeki adalah amanah yang bisa diambil kembali oleh Allah kapan saja.

Tidak ada satupun yang bergerak di muka bumi ini kecuali Allah yang menanggung rezekinya seperti janji Allah dalam Al-Qur’an Surah Hud ayat 6. Jika rezeki sudah diatur kenapa kita harus mencarinya? Lalu untuk apa kita bersusah payah? Pada dasarnya, meskipun rezeki telah diatur, kita tetap diharuskan untuk menjemputnya dengan berusaha. Misalnya kita mempunyai buah mangga yang sudah matang di pohon. Apakah kemudian kita hanya diam saja sambil berharap dan menunggu buah itu jatuh tanpa tahu kapan waktunya? Ataukah kita panjat pohon itu lalu memetik buahnya? atau membuat galah dari bambu untuk memetiknya? Tentu kita akan memilih untuk memetik dan mengambilnya dengan berbagai upaya yg bisa kita lakukan. Begitulah hakikat dari rezeki yang Allah berikan. Allah ingin kita berusaha untuk menjemput keluasan rezeki dan anugerah-Nya. Allah menjawab keraguan manusia terhadap rezeki dalam Al-Qur’an Surah Ar-Rum ayat 40,

“Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezeki lalu mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu dapat berbuat demikian? Maha Suci Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutuan.” (Q.S. Ar-Rum [30]: 40)

Perihal kadar rezeki yang berbeda-beda Allah Yang Maha Mengetahui, Ia menakdirkan sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya. Allah Maha Mengetahui atas segala yang Ia berikan kepada hambanya. Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surah Asy-Syura ayat 27,

“Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (Q.S. Asy-Syura [25]: 27)

Manusia sebagai seorang hamba hendaklah senantiasa bersyukur atas apa yang telah Allah berikan. Janji Allah dalam Al-Qur’an Surat Ibrahim ayat 7, apabila kita bersyukur Allah akan tambah nikmat untuk kita. Namun sebaliknya, apabila kita mengingkari nikmat yang Allah berikan, azab Allah sangat pedih. Segala ketentuan dan takaran yang Allah berikan mungkin adalah yang terbaik untuk kita, meskipun kita belum menyadarinya. Apa yang belum Allah kabulkan mungkin justru dapat membawa keburukan atau bukan yang terbaik bagi kita. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Bukankah jika kita khawatir akan rezeki kita di masa depan, itu berarti kita meragukan kekuasaan Allah? Ketika kita yakin bahwa  Allah sebagai Zat Yang Maha Kaya, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang  yang pasti menjamin rezeki kita, mengapa kita masih merasa cemas? Yang terpenting ialah kita tetap berprasangka baik, berikhtiar dengan berusaha semaksimal mungkin, tawakal dengan berserah diri kepada Allah, takwa dengan mengikuti semua yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi larangan-Nya, kemudian senantiasa bersyukur, berdoa dan beristighfar dalam sebuah hadis diriwayatkan,

“Barangsiapa memperbanyak istighfar (mohon ampun kepada Allah), niscaya Allah menjadikan untuk setiap kesedihannya jalan keluar dan untuk setiap kesempitannya Allah jadikan kelapangan dan Allah akan memberinya rezeki (yang halal) dari arah yang tiada disangka-sangka” (Hadis Riwayat Ahmad dari Ibnu Abbas)

 Penulis: Seiga Khuzaema Cahyati, Tendik FIAI

Daftar Pustaka

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, K. P. (2016). Retrieved from KBBI Daring: https://kbbi.kemdikbud.go.id/

Daffa, A. (2021, Mei 11). Apakah Benar Rezeki Tidak Akan Tertukar? Ini Penjelasannya! Retrieved from dompetdhuafa.org: https://www.dompetdhuafa.org/rezeki-tidak-akan-tertukar/

Izharuddin, M. (n.d.). Kultum: Jika Rezeki telah Allah Atur, Mengapa Kita Perlu Bekerja. Retrieved from walisongoonline.com: https://walisongoonline.com/kultum-jika-rezeki-telah-allah-atur-mengapa-kita-perlu-bekerja/

Tuasikal, M. A. (2016, April 22). Rezeki itu Ujian. Retrieved from Rumayshi.com: https://rumaysho.com/13335-rezeki-itu-ujian.html

Media sosial atau biasa kita sebut medsos kini tak terpisahkan dari kehidupan kita. Kita gunakan untuk berbagi, mencari info, dan terhubung dengan orang lain. Namun, medsos bisa jadi sarana fitnah dan informasi palsu. Sebagai umat Muslim, kita harus waspada. Islam ajarkan kita pakai teknologi, termasuk medsos, dengan bijak. Islam ajarkan kita gunakan teknologi untuk memperluas jaringan dan menyebarkan kebaikan, bukan keburukan.

Dampak Media Sosial dalam Kehidupan Umat Islam

Medsos sangat penting di era globalisasi. Kebebasan berbicara meningkat setelah era reformasi. Smartphone mengubah cara kita berkomunikasi.

Penggunaan medsos yang salah menyebabkan masalah. Misalnya, penyebaran berita palsu (hoax).

Di era globalisasi, media sangat penting. Al-Qur’an mengatur etika penggunaan medsos. Ini penting untuk menggunakan media dengan bijak.

Manfaat Media Sosial bagi Umat Islam

Medsos punya dampak negatif dan positif. Beberapa manfaatnya untuk umat Islam adalah:

  • Sarana pembelajaran online dan diskusi
  • Tempat berbagi informasi penting dan bermanfaat
  • Wadah untuk menyalurkan hobi menulis
  • Alat untuk syiar amar ma’ruf nahi munkar yang menjamin dan mengatur kebebasan berekspresi

Memakai medsos dengan bijak membantu umat Muslim. Ini memaksimalkan manfaat teknologi digital dalam kehidupan sehari-hari.

Etika Bermedia Sosial Menurut Pandangan Islam

Dalam ajaran Islam, penggunaan medsos harus dilandasi dengan etika yang baik. Ada beberapa hal penting yang ditekankan dalam etika bermedia sosial menurut pandangan Islam:

Menjadikan Media Sosial sebagai Sarana Menebar Kebaikan

  • Berupaya agar informasi yang disebarkan di medsos berkhazanah Islam dan bermanfaat bagi sesama.
  • Memanfaatkan medsos untuk menyebarkan kebaikan dan menginspirasi orang lain.
  • Membagikan konten-konten positif yang dapat menambah pengetahuan dan kecerdasan bagi pengikut.

Mengingat Hisab (Pertanggungjawaban) atas Setiap Perbuatan

Setiap aktivitas di medsos, termasuk ucapan, tindakan, dan konten yang disebarkan, akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Kesadaran akan hisab (pertanggungjawaban) ini harus menjadi prinsip utama dalam bermedia sosial.

Melakukan Tabayyun (Klarifikasi) sebelum Berpendapat

Sebelum menyebarkan informasi atau berpendapat di medsos, penting untuk melakukan tabayyun (klarifikasi) terlebih dahulu. Hal ini bertujuan untuk menghindari penyebaran berita hoaks yang dapat menimbulkan fitnah dan perpecahan.

Dengan menerapkan etika bermedia sosial yang sesuai dengan ajaran Islam, kita dapat memanfaatkan teknologi digital dengan bijak. Kita juga bisa menjadikannya sebagai sarana untuk menyebarkan kebaikan di tengah masyarakat.

Media sosial dalam Islam, Etika penggunaan teknologi, Mencegah fitnah digital

Medsos boleh digunakan dalam Islam, tapi harus dengan etika yang benar. Teknologi komunikasi berkembang cepat. Ini mengubah cara kita berinteraksi, termasuk di kalangan Muslim.

Medsos bisa menyebar fitnah atau nama baik yang tercemar. Ini melanggar ajaran Islam tentang kasih sayang dan persaudaraan. Jadi, kita harus hati-hati dan hindari perbuatan yang bikin perpecahan.

Etika teknologi dalam Islam ada di Al-Quran, seperti Surah Al-Ahzab ayat 70.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.”

Ini soal berbicara dengan baik. Kita juga harus klarifikasi informasi sebelum menyebar, agar tidak ada kesalahpahaman.

Dengan etika bermedia sosial yang benar, kita bisa manfaatkan teknologi. Ini untuk mengingatkan kita pada kebaikan, kuatkan ukhuwah Islamiyah, dan raih nilai-nilai Islam yang rahmat.

Peran Orang Tua dan Masyarakat dalam Mengawasi Media Sosial

Kita, sebagai orangtua dan masyarakat, harus mengawasi penggunaan medsos anak-anak. Ini penting untuk mencegah penyalahgunaan yang merusak moral dan perilaku mereka.

Pentingnya Pengawasan Penggunaan Media Sosial pada Anak

Penelitian menunjukkan 52% anak-anak mengalami cyberbullying juga mengalami sexual harassment di media sosial. Banyak orang tua tidak tahu dampak negatif ini.

Lebih lanjut, penggunaan teknologi berlebihan bisa jadi berbahaya. Ini bisa menyebabkan masalah kesehatan mata, otak, tangan, dan gangguan tidur. Oleh karena itu, peran orang tua dan masyarakat sangat penting untuk mengawasi anak-anak.

“Dengan pendidikan dan pengawasan orang tua yang baik, diharapkan dampak negatif penggunaan medsos dan internet yang berlebihan dapat dipahami anak-anak sejak dini.”

Orang tua harus mengajarkan dampak medsos, nilai sopan santun, privasi, dan bagaimana mengidentifikasi berita hoaks. Mereka juga harus menjadi teladan dengan tidak bermain medsos saat beribadah, mengunggah konten positif, dan membatasi waktu penggunaan.

Orang tua juga harus membatasi waktu, membuat jadwal harian, dan memonitor aplikasi yang digunakan anak. Dengan pemahaman dan pengawasan yang baik, harapannya anak-anak bisa memanfaatkan medsos dengan bijak.

Batasan dan Hukum Media Sosial dalam Islam

Sebagai umat Islam, kita harus tahu batasan penggunaan medsos yang benar. Islam memberi panduan untuk teknologi, termasuk medsos, dengan bijak. Aktivitas di medsos yang merusak nama baik atau menimbulkan permusuhan adalah haram.

Penelitian “Etika Media Sosial Berdasarkan Perspektif Al-Qur’an dan Hukum Negara” menunjukkan banyak hoaks di medsos. Ini menunjukkan kekurangan etika komunikasi dan konflik di kalangan netizen.

Umat Islam harus menjaga etika dan tidak menyebar fitnah. Medsos harus digunakan untuk kebaikan. Prinsip Islam seperti kejujuran dan kesopanan penting dalam menilai konten digital.

Ada banyak konten negatif di medsos, seperti hoaks dan fitnah. Sebagai umat Islam, kita harus bijak dan pastikan konten yang kita bagikan sesuai dengan nilai-nilai Islam.

 

Meluruskan Niat dalam Bermedia Sosial

Dalam Islam, setiap perbuatan dinilai dari niatnya. Kita harus meluruskan niat, tidak hanya mencari popularitas. Kita berniat untuk menyebarkan kebaikan, membantu sesama, dan mengajak pada hal yang positif.

Internet telah menjangkau 78,19% di Indonesia pada tahun 2023. Ini menunjukkan pentingnya menggunakan medsos dengan niat yang baik. Tindakan positif seperti berbagi informasi yang akurat bisa memberikan pahala jariyah.

Medsos yang bertanggung jawab dan beretika sangat penting dalam Islam. Tujuannya adalah membimbing individu ke arah perilaku yang terpuji. Ini juga meminimalkan tindakan negatif di platform digital.

Rasulullah SAW juga memanfaatkan media tulis untuk menyebarkan ajaran Islam. Ini menunjukkan bahwa pemanfaatan medsos untuk tujuan yang bermanfaat memiliki preseden historis dalam Islam.

Dengan memahami pentingnya niat yang baik, kita bisa menjadikan medsos untuk melakukan kebaikan, membantu sesama, dan mengajak pada hal-hal yang positif. Ini bermanfaat bukan hanya untuk kita, tapi juga untuk orang lain dan masyarakat.

Kesimpulan

Perkembangan teknologi dan medsos membuat kita sebagai umat Islam berada di posisi yang unik. Kita harus menggunakan medsos dengan bijak. Ini berarti menjunjung tinggi etika dan tidak menyebarkan fitnah.

Orang tua dan masyarakat berperan penting dalam mengawasi penggunaan medsos, terutama pada anak-anak. Dengan mengamalkan ajaran Islam, kita bisa memanfaatkan teknologi untuk kebaikan.

Kesimpulannya, memahami penggunaan medsos yang bijak adalah kunci. Dengan kesimpulan media sosial dalam islam, kita bisa menjadi umat yang baik dan berakhlak.

Penulis: Wahyudi Kusumo Nugroho, Tendik FIAI UII

Segala puji bagi Allah Yang Maha Penyayang. Allah pasti menyanyangi hambaNYA dalam segala kondisi. Sehingga ketika menghadapi ujian dan cobaan jangan berpikir Allah pemarah. Ujian kehidupan dengan berbagai persoalan dan kenikmatan di mata manusia, sebenarnya merupakan cara Allah untuk menguji hambaNYA juga untuk menaikkan derajatnya.

Sebagai hamba dengan terus mengingat sifat-sifat baik Allah, maka akan merasa tenang meski menghadapi badai masalah sekuat apapun.  Hakekatnya,  musibah atau kenikmatan berkadar sama yaitu sebagai ujian hidup dari Allah untuk orang beriman. Hal ini sesuai  firman Allah yang artinya, “Setiap jiwa pasti akan mati. Dan Kami uji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan; kepada Kamilah kalian kembali.” (QS Al-Anbiya’: 35).

Sebagai muslim wajib meyakini bahwa  setiap ujian baik berupa keburukan maupun kebaikan adalah cara Allah untuk meningkatkan derajat manusia di hadapan Allah.

Salah satu ujian yang sering dirasakan manusia adalah deraan fitnah dunia, apalagi di era digital saat ini, komunikasi dan informasi bisa menyebar ke seluruh dunia dalam hitungan detik. Dampaknya informasi yang tidak benar, hoax dan fitnah pun bisa secara kilat menyebar dan menyerang reputasi dan nama baik seseorang, golongan dan kelompok tertentu.

Untuk itulah, setiap manusia rentan terhadap fitnah yang akan menerpanya. Namun ketika fitnah menerpa diri kita, bahkan fitnah hadir bagaikan badai menyapu pasir. Yakinlah, semua itu semata ujian yang harus dilalui dengan tenang tidak perlu panik.

Dosa bagi Pemfitnah

Fitnah adalah dosa besar, dan pemfitnah terancam hukuman berat di Neraka Jahanam. Merujuk pada firman Allah dalam At Taubah ayat 49 yang artinya.

“Di antara mereka ada orang yang berkata, “Berilah aku izin (tidak pergi berperang) dan janganlah engkau (Nabi Muhammad) menjerumuskan aku ke dalam fitnah.” Ketahuilah, bahwa mereka (dengan keengganannya pergi berjihad) telah terjerumus ke dalam fitnah. Sesungguhnya (neraka) Jahanam benar-benar meliputi orang-orang kafir.”

Pemfitnah akan masuk neraka, juga terhalang menerima syafaat Rasulullah. Pemfitnah setara dengan perilaku syaithan, yaitu dusta dan menyesatkan.

Firman Allah dalam Surat Al Kahfi ayat 28
“Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia; dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti keinginannya dan keadaannya sudah melewati batas.”

Allah adalah segala solusi atas segala masalah kehidupan. Di Akhirat, ketika amal dan dosa ditimbang, pemfitnah harus bertanggungjawab atas kepada korban fitnahannya. Bisa saja semua pahala atas kebaikan pemfitnah semasa di dunia, akan diberikan kepada korban fitnah. Bahkan jika pemfitnah kehabisan pahala kebaikan, maka dosa korban fitnah akan dibebankan kepada pemfitnah.

Allah mempertegas fitnah lebih kejam dari pembunuhan, melalui firmanNYA dalam Surat Al Baqarah ayat 191.
“Dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan”

Begitu besar dampak, resiko dan dosa atas fitnah dunia.

Hadapi Fitnah dengan Sabar

Kenapa kita harus tenang dan tidak panik saat diterpa fitnah? Semua karena ada Allah. Jika yakin pada posisi benar, maka tenanglah saat fitnah menerpa, yakin bahwa Allah Maha Melihat dan pasti melihat apapun yang terjadi di dunia ini, bahkan tetesan air di sungai pun Allah melihatnya, dan bagian kehendak-NYA. Tenangkan diri, jangan sampai diperbudak emosi, hingga  memperburuk keadaan dan membuat kehilangan kendali. Kembalikan semua kepada Allah, biarlah Allah yang atur semuanya untuk menjadi lebih baik. Tetaplah berbuat baik, jangan sampai perilaku buruk orang lain, menyebabkan diri kita juga makin berperilaku buruk. Kondisi diperbudak emosi, adalah kondisi dimana kebenaran akan menjauh dalam hati dan pikiran.

Yakin akan pengadilan Allah, semua fitnah yang menerpa, jika diterima dengan sabar, kelak berpeluang menjadikan bobot pahala meningkat. Bahkan difitnah adalah cara mendapatkan pahala, cukup ikhlas, sabar dan yakin akan ketentuan Allah.

Jelas sekali atas perintah sabar dan jangan membalas fitnah dengan keburukan. Justru tinggalkan fitnah tersebut, genggam sabar  dan tegar selalu mengingat Allah. Bergantung hanya kepada Allah. Sabar merupakan salah satu solusi untuk meraih pertolongan Allah.

Firman Allah dalam Al Baqarah ayat 45
”Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat. “
Dari ayat di atas jelas tegas bahwa sabar dan sholat adalah cara merah pertolongan dari Allah dan bukan membalas keburukan fitnah dengan keburukan yang lain.

Hadapi Fitnah dengan Tingkatkan Ketakwaan

Ketika fitnah datang, abaikan saja, jangan sampai terpaan fitnah  menjadikan emosi tidak terkendali, karena pemfitnah akan merasa tujuannya berhasil. Maka kembalikan kepada Allah, justru ketika badai fitnah menerpa, tingkatkan ketakwaan kepada Allah. Raih nikmat atas ketakwaan kepada Allah, hingga semua badai fitnah serasa angin halus menerpa lalu pergi tanpa bisa melukai batin, fisik kita. Kuat karena Allah.

Dalam hadapi segala permasalah dunia, termasuk fitnah, marilah kita tingkatkan takwa kepada Allah, insya Allah semua urusan akan mendapatkan jalan keluar dan kemudahanNYA. Sesuai firman Allah dalam Surah Al Thalaq ayat 2 dan 3.

“Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya dan menganugerahkan kepadanya rezeki dari arah yang tidak dia duga. Siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allahlah yang menuntaskan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah membuat ketentuan bagi setiap sesuatu.”

Bersyukur atas ketegaran sebagai muslim, karena  Islam telah membimbing  kepada akhlak terbaik dan adab yang paling sempurna. Semoga Allah melindungi kita semua dari fitnah dan segala bahayanya.

Penulis: Ipan Pranashakti