Keutamaan Disiplin dalam Bekerja
/in FIAI Berdakwah/by IPKDalan perspektif Islam, bekerja merupakan ibadah. Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin memandang bekerja bukan hanya sebagai aktivitas duniawi, tetapi juga sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT. Aspek duniawinya, bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Aspek akhiratnya, bekerja sebagai bentuk representasi ibadah yaitu ketika meraih pendapatan yang halala thayiban, maka kadarnya setara dengan berjihad di jalan Allah dalam rangka melaksanakan rukun Islam. Bekerja selama tidak menghalangi dan melalaikan kewajiban lain kepada Allah akan bernilai ibadah dan mendapat pahala dari Allah.
Disiplin merupakan hal yang penting dalam bekerja, selain merupakan bagian dari etos kerja Islami, disiplin juga cerminan dari ajaran Rasulullah. Disiplin dalam bekerja menurut perspektif Islam bukan hanya tentang produktivitas atau keuntungan material semata, tetapi juga berkaitan erat dengan nilai-nilai spiritual, etika, dan tanggung jawab sebagai hamba Allah SWT.
Menggabungkan disiplin dalam ibadah dan bekerja, menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, memperbaiki kualitas diri, dan memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Disiplin dalam bekerja dapat juga bermakna melaksanakan ibadah dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an:
وَقُلِ اعْمَلُوْا فَسَيَرَى اللّٰهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُوْلُهٗ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ وَسَتُرَدُّوْنَ اِلٰى عٰلِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَۚ
“Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu.” (At-Taubah: 105)
Beberapa alasan seseorang harus disiplin dalam bekerja menurut pandangan Islam diantaranya:
Pertama, Amanah dan Tanggung Jawab.
Islam mengajarkan bahwa setiap pekerjaan adalah amanah yang harus dijaga dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Disiplin dalam bekerja merupakan wujud dari menjaga amanah tersebut. Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kedua : Ihsan (Berbuat yang Terbaik)
Konsep Ihsan dalam Islam mengajarkan untuk melakukan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya. Dalam konteks pekerjaan, disiplin merupakan salah satu cara untuk mencapai kualitas kerja terbaik. Allah SWT berfirman:
۞ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.” (An-Nahl: 90)
Ketiga : Manajemen Waktu
Islam sangat menekankan pentingnya memanfaatkan waktu dengan baik. Disiplin dalam bekerja membantu seseorang mengelola waktunya secara efektif. Allah SWT berfirman:
وَالْعَصْرِۙ ١
اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ ٢
اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ٣
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh.” (Al-‘Asr: 1-3)
Keempat : Profesionalisme
Islam mendorong umatnya untuk bekerja secara profesional. Disiplin adalah salah satu ciri profesionalisme. Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah mencintai jika seseorang melakukan suatu pekerjaan yang dilakukannya dengan itqan (tepat, terarah, dan tuntas).” (HR. Thabrani)
Kelima : Berkah dan Rezeki
Disiplin dalam bekerja dapat membuka pintu berkah dan rezeki. Islam mengajarkan bahwa rezeki datang dari Allah, namun manusia harus berusaha dengan sungguh-sungguh. Allah SWT berfirman:
وَاَنْ لَّيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعٰىۙ ٣٩
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (An-Najm: 39)
Keenam : Keteladanan
Disiplin dalam bekerja dapat menjadi teladan bagi orang lain, terutama bagi sesama Muslim. Ini sejalan dengan ajaran Islam untuk saling menasihati dalam kebaikan.
Dalam perspektif Islam, seseorang yang disiplin dalam bekerja akan menerima berbagai kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat. Berikut diantara kebaikan-kebaikan tersebut:
Pertama : Pahala dan Ridha Allah SWT
Bekerja dengan disiplin menjadi bagian ibadah, sehingga yang melakukannya akan mendapatkan pahala, selain itu melaksanakan pekerjaan dengan baik merupakan bentuk ketaatan kepada Allah SWT.
Kedua : Keberkahan dalam Rezeki
Islam mengajarkan disiplin dan kerja keras dapat membuka pintu rezeki. Keberkahan yang didapakan tidak hanya dalam bentuk materi, tapi juga ketenangan dan kepuasan batin.
Ketiga : Peningkatan Kualitas Diri
Disiplin juga membantu seseorang mengembangkan karakter positif seperti kejujuran, tanggung jawab, dan ketekunan. Hal ini sejalan dengan konsep tazkiyatun nafs (penyucian diri) dalam Islam.
Keempat : Kesuksesan Duniawi
Disiplin kerja juga mengarahkan seseorang pada prestasi dan kemajuan dalam karir, baik berupa promosi, peningkatan penghasilan, atau pengakuan profesional.
Kelima : Ketenangan Hati
Dengan melakukan pekerjaan secara disiplin dan sebaik-baiknya memberikan rasa puas dan ketenangan. Ketenangan ini merupakan nikmat tersendiri dalam pandangan Islam.
Keenam : Menjadi Teladan
Melakukan disiplin kerja yang baik dapat menjadi contoh bagi orang lain, terutama keluarga dan rekan kerja. Menjadi teladan dalam kebaikan memiliki nilai tinggi dalam Islam.
Ketujuh : Keseimbangan Hidup
Disiplin dalam bekerja membantu menciptakan keseimbangan antara kerja, ibadah, dan kehidupan pribadi. Islam mengajarkan pentingnya keseimbangan dalam semua aspek kehidupan.
Kedelapan : Terhindar dari Sifat Malas
Disiplin dalam bekerja membantu menjauhkan diri dari sifat malas yang dicela dalam Islam. Rasulullah SAW sering berdoa memohon perlindungan dari sifat malas.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam perspektif Islam, disiplin dalam bekerja tidak hanya membawa keuntungan material, tetapi juga spiritual dan sosial. Hal ini mencerminkan ajaran Islam yang komprehensif, mencakup kesejahteraan dunia dan akhirat.
Penulis : Edu Shinta Dewi, S.Ak. Tendik FIAI UII
Makna Kematian bagi Muslim
/in FIAI Berdakwah/by IPKKematian adalah suatu kenyataan yang pasti dihadapi oleh setiap makhluk hidup, tanpa bisa menebak kapan terjadinya. Sebagai seorang muslim, selalu diajarkan untuk memaknai kematian bukan hanya sebagai akhir dari kehidupan di dunia, tetapi juga sebagai pintu gerbang menuju kehidupan yang lebih abadi di akherat. Melalui Al-Qur’an dan hadits, Islam memberikan panduan bagaimana seharusnya memandang kematian dan apa yang bisa dipelajari darinya.
Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,“Renungkanlah wahai manusia, (sebenarnya) kamu akan dapati dirimu dalam bahaya, karena kematian tidak ada batas waktu yang kita ketahui, terkadang seorang manusia keluar dari rumahnya dan tidak kembali kepadanya (karena mati), terkadang manusia duduk di atas kursi kantornya dan tidak bisa bangun lagi (karena mati), terkadang seorang manusia tidur di atas kasurnya, akan tetapi dia malah dibawa dari kasurnya ke tempat pemandian mayatnya (karena mati). Hal ini merupakan sebuah perkara yang mewajibkan kita untuk menggunakan sebaiknya kesempatan umur, dengan taubat kepada Allah Azza wa Jalla. Dan sudah sepantasnya manusia selalu merasa dirinya bertaubat, kembali, menghadap kepada Allah, sehingga datang ajalnya dan dia dalam sebaik-baiknya keadaan yang diinginkan.” (Lihat Majmu’ fatawa wa Rasa-il Ibnu Utsaimin, 8/474).
Dalam Islam, kematian adalah ketetapan Allah yang tidak bisa ditolak atau dihindari. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.” (QS. Al-Ankabut: 57).
Ayat ini menegaskan bahwa kematian adalah kepastian yang akan dialami oleh setiap makhluk. Tidak ada yang bisa menolak atau menghindarinya. Dengan menyadari hal ini, seorang Muslim seharusnya selalu bersiap diri dan menjalani kehidupan di dunia ini dengan penuh kesadaran bahwa segala sesuatu yang dimiliki hanyalah titipan sementara.
Kematian juga merupakan pengingat yang kuat bagi kita untuk selalu berbuat kebaikan. Rasulullah SAW bersabda:
“Orang yang cerdas adalah orang yang mengendalikan dirinya dan bekerja untuk kehidupan setelah mati.” (HR. Tirmidzi).
Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang bijak adalah mereka yang menyadari bahwa kehidupan dunia ini hanya sementara, dan kehidupan yang abadi adalah di akhirat. Oleh karena itu, mereka akan selalu berusaha untuk memperbanyak amal shaleh, karena hanya amal kebaikan yang akan menjadi bekal di alam kubur dan akhirat kelak.
Kematian mengingatkan kita akan hakikat kehidupan yang sesungguhnya. Hidup di dunia ini hanyalah perjalanan singkat menuju kehidupan yang lebih kekal. Rasulullah SAW bersabda:
“Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau seorang pengembara.” (HR. Bukhari).
Hadits ini mengajarkan kita untuk tidak terlalu terikat dengan kehidupan dunia, karena dunia ini bukanlah tujuan akhir. Seorang Muslim seharusnya selalu menyadari bahwa kehidupan dunia ini sementara dan tujuan hidup yang sejati adalah mencapai kebahagiaan di akhirat.
Dengan menyadari bahwa kematian bisa datang kapan saja, seorang Muslim seharusnya lebih rajin dalam beribadah dan selalu mengingat Allah dalam setiap langkah hidupnya. Salah satu cara untuk mengingat Allah adalah dengan selalu mengingat kematian. Rasulullah SAW bersabda:
“Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan (kematian).” (HR. Tirmidzi).
Dengan mengingat kematian, hati akan menjadi lebih lembut dan jiwa akan terhindar dari kesombongan dan cinta dunia yang berlebihan. Kita akan lebih fokus pada tujuan hidup yang sesungguhnya, yaitu mencari ridha Allah dan mempersiapkan bekal untuk kehidupan setelah mati.
Bagi seorang Muslim yang beriman dan beramal shaleh, kematian bukanlah sesuatu yang ditakuti, tetapi justru dinantikan sebagai awal dari kehidupan yang lebih baik. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami ialah Allah,’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.'” (QS. Fussilat: 30).
Ayat ini memberikan harapan bagi setiap Muslim yang menjalani hidup dengan penuh keimanan dan ketaatan kepada Allah, bahwa kematian adalah pintu menuju surga, tempat dimana segala kebahagiaan yang abadi menanti.
Kematian adalah bagian dari kehidupan yang harus kita terima dengan penuh kesadaran dan keikhlasan. Sebagai seorang Muslim, memaknai kematian dengan benar akan membuat kita lebih bijak dalam menjalani hidup. Kita akan lebih fokus pada tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu mencari ridha Allah dan mempersiapkan bekal untuk kehidupan setelah mati. Semoga kita semua termasuk orang-orang yang selalu siap menghadapi kematian dengan penuh keimanan dan amal shaleh. Amin.
Penulis : Tutias Ekawati, Tendik FIAI UII
Peran Mahasiswa Membangun Bangsa Bernilai Islam
/in FIAI Berdakwah/by IPKPada tahun 2024, bersamaan dengan momentum Hari Ulang Tahun ke-79 Republik Indonesia, dengan semangat kemerdekaan, menjadi penting merenungkan peran strategis mahasiswa sebagai agen perubahan atau agent of change, terutama di Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (FIAI UII). Sesungguhnya, peran mahasiswa memiliki potensi besar untuk membawa perubahan positif menjadikan kondisi masyarakat lebih baik, terutama dalam upaya membangun bangsa yang berlandaskan nilai-nilai Islam.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Dari ayat di atas jelas sekali, bahwa perubahan harus dimulai dari diri kita sendiri. Sebagai mahasiswa, dapat mengawali perubahan dengan memperbaiki diri dalam aspek spiritual, moral, dan intelektual. Saat ini, mahasiswa harus menjadi teladan dalam sikap dan perilaku sehari-hari, sehingga dapat menginspirasi orang lain untuk mengikuti jejak kebaikan pendahulu, dan membangun kebaikan di masa mendatang. Mahasiswa sangat potensial membawa arah bangsa menjadi semakin baik.
Di FIAI UII, kita mempelajari ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ilmu ini bukan hanya untuk dipahami, tetapi juga untuk diamalkan dan disebarkan di tengah masyarakat. Seperti dalam firman Allah SWT:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Mahasiswa dituntut untuk menjaga integritas dalam keilmuan, artinya menggunakan ilmu yang diperoleh untuk memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi masyarakat, selalu berlandaskan prinsip-prinsip Islam, dan tidak tergoda oleh kepentingan pribadi semata, tapi untuk kebaikan masyarakat, keluarga, agama dan bangsa.
Mahasiswa sebagai agen perubahan harus terlibat aktif dalam kegiatan sosial dan dakwah di masyarakat. Menguatkan pengaruh agar elemen masyarakat menyeru kepada kebaikan, setidaknya diawali dari pemahaman dan niat.
Seperti firman Allah:
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)
Mahasiswa bersosial dan terus berdakwah merupakan bagian penting dalam proses perubahan masyarakat. Sebagai agen perubahan menuju kebaikan, mahasiswa dapat berkontribusi melalui organisasi kemahasiswaan, komunitas dakwah, atau kegiatan sosial lainnya yang bertujuan untuk memberikan manfaat bagi masyarakat luas.
Memahami dan Menghargai Keberagaman
Indonesia adalah negara kaya dengan potensi keberagaman suku, budaya, maupun agama, karena itu mahasiswa muslim harus terus menerus memperbaiki kualitas diri serta menjadi teladan dalam upaya bersama menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Mengembangkan diri dengan berbagai kompetensi baik hardskill maupun softskill untuk mendukung niat baik, dan implementasi, sehingga berdakwah tidak semata tatap muka mungkin juga dengan dukungan media dan digitalisasi. Semata agar bisa menjangkau kelompok masyarakat di seluruh penjuru Indonesia. Akhirnya bisa meningkatkan ukhuwah islamiyah, saling mengenal meski diawali dari sarana digital.
Allah SWT berfirman:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Dari ayat di atas, menjadi dorongan bagi umat Islam, juga untuk mahasiswa agar terus memahami dan menghargai keberagaman ini. Kondisi keberagaman Indonesia dapat dijadikan sebagai sarana untuk saling memperluas kekuatan serta makin mengenal, memahami, dan bekerja sama demi kemajuan untuk tanggungjawab bersama menjadikan Indonesia yang luas ini semakin baik.
Menjaga Spiritualitas dan Ketakwaan
Apapun upaya perubahan harus didasari dengan menjaga hubungan baik dengan Allah. Baik selalu menjalankan perintahnya, dan menjauhi segala larangannya. Inilah wujud ketakwaan sebagai fondasi utama. Menjadi agen perubahan yang Islami, sehingga mendapatkan manfaat dunia dan akhirat.
Allah SWT berfirman:
وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا
“Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar.” (QS. At-Talaq: 2)
Dengan bertakwa, kita akan selalu berada di jalan yang benar dan mendapatkan pertolongan dari Allah dalam setiap usaha yang kita lakukan. Harapannya selalu mendapat solusi kebaikan dari Allah, termasuk saat menemukan hambatan dalam bersosial dan berdakwah.
Kesimpulan
Menjadi mahasiswa FIAI UII bukan hanya tentang menuntut ilmu, tetapi juga tentang mengambil peran aktif sebagai agen perubahan yang membawa kebaikan bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan bangsa. Dengan berpegang pada nilai-nilai Islam, mahasiswa dapat berkontribusi dalam membangun Indonesia yang lebih baik, adil, dan sejahtera. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita dalam setiap langkah menuju perubahan yang positif. Amin ya Rabbal Alamin.
Penulis: Prayitna Kuswidianta, Tendik FIAI
Kesehatan Mental: Hanya Allah Tempat Bergantung
/in FIAI Berdakwah/by IPKKehidupan modern yang serba cepat bisa berdampak pada kebaikan dan tekanan, sehingga memperhatikan kesehatan mental menjadi sangat penting. Tantangan sehari-hari, baik yang bersifat pribadi maupun sosial, seringkali memicu stres dan kecemasan. Banyak individu mencari cara untuk mengelola kesehatan mental mereka melalui berbagai metode, baik yang bersifat klinis maupun spiritual. Dalam Islam, kesejahteraan jiwa tidak hanya melibatkan perawatan fisik dan psikologis, tetapi juga penekanan pada aspek spiritual yang mendalam. Prinsip-prinsip seperti tawakal, sabar, dan syukur memberikan landasan yang kokoh untuk mengelola stres, menghadapi kesulitan, dan membangun ketenangan batin.
Konsep tawakal mengajarkan kita untuk berusaha semaksimal mungkin dalam setiap usaha dan menyerahkan hasil akhirnya kepada Allah. Dengan berusaha secara maksimal, kita menggunakan semua kemampuan dan sumber daya yang kita miliki. Namun, setelah usaha dilakukan, tawakal mengajarkan kita untuk percaya bahwa hasil akhir berada di tangan Allah, yang menentukan apa yang terbaik bagi kita. Keyakinan ini membantu mengurangi kecemasan karena kita tidak lagi tertekan oleh ketidakpastian hasil. Sebaliknya, kita merasa lebih tenang karena percaya bahwa segala sesuatu sudah ditentukan oleh kebijaksanaan Allah. Dengan demikian, tawakal mengurangi beban psikologis, meningkatkan keikhlasan, dan memberikan ketenteraman batin dengan memahami bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah bagian dari rencana-Nya yang lebih besar.
Kesabaran, dalam pandangan Islam, melibatkan kemampuan untuk tetap tenang dan stabil ketika menghadapi berbagai cobaan. Al-Qur’an menekankan bahwa kesabaran adalah sifat mulia yang sangat dihargai dan dapat menjadi sumber kekuatan besar. Kesabaran membantu seseorang tetap fokus dan tidak menyerah dalam menghadapi tantangan hidup. Dalam Surah Al-Baqarah [2:153], Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”.
Rasa syukur juga memiliki peranan penting dalam menjaga keseimbangan emosional. Ketika seseorang secara aktif menghargai dan mengakui nikmat serta rahmat yang diberikan oleh Allah, mereka cenderung mengalami penurunan dalam perasaan ketidakpuasan dan stres. Hal ini karena sikap syukur membantu memusatkan perhatian pada apa yang sudah dimiliki, bukan pada kekurangan atau kesulitan yang ada. Dengan menghargai nikmat, seseorang dapat mengubah pola pikir dan emosi mereka secara positif.
Praktik ibadah pendorong spiritual seperti shalat, doa, puasa, membaca Al-Qur’an, dan dzikir juga berkontribusi besar terhadap kesehatan mental. Shalat bukan hanya bentuk ibadah, tetapi juga kesempatan untuk refleksi pribadi yang menciptakan ruang untuk ketenangan batin dan kedamaian spiritual. Setiap kali kita melaksanakan shalat, kita berhenti sejenak dari aktivitas sehari-hari dan mengarahkan perhatian kita sepenuhnya kepada Allah. Momen ini memberikan kesempatan untuk introspeksi, merenungkan makna hidup, serta hubungan kita dengan Allah dan sesama. Dengan melaksanakan shalat secara konsisten, kita dapat meraih ketenangan di tengah kesulitan, mengurangi stres, menyusun kembali fokus, dan mendapatkan energi baru untuk menghadapi berbagai tantangan hidup.
Doa adalah bentuk ketergantungan dan pengharapan kepada Allah, yang menunjukkan kedekatan dan hubungan spiritual antara hamba dan Penciptanya. Melalui doa, seseorang mengungkapkan kebutuhan, keinginan, dan masalah mereka kepada Allah, yang pada gilirannya memperkuat ikatan dengan-Nya. Ketika seseorang berdoa, mereka merasa didukung dan diperhatikan oleh Allah, yang meningkatkan kepercayaan diri dan memberikan rasa aman. Doa juga membantu mencapai ketenangan hati dengan mengekspresikan perasaan, kecemasan, serta meminta petunjuk dan bimbingan dari Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surah Al-Baqarah [2:186], “Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran”.
Puasa, baik yang dilakukan di bulan Ramadhan maupun puasa sunah, memiliki banyak manfaat bagi kesehatan mental dan spiritual. Selain sebagai ibadah, puasa mengajarkan pengendalian diri dan disiplin melalui penahanan diri dari makan dan minum sepanjang hari. Dari sudut pandang psikologis, puasa dapat membantu mengurangi stres dan meningkatkan rasa percaya diri saat seseorang berhasil menyelesaikannya. Hal ini juga mendorong sikap bersyukur dan empati, yang memperbaiki hubungan sosial dan keseimbangan emosional.
Selain itu, membaca dan merenungkan Al-Qur’an memberikan panduan berharga serta ketenangan hati. Al-Qur’an mengandung hikmah dan nasihat yang relevan untuk berbagai situasi hidup, memberikan motivasi dan inspirasi dalam menghadapi tantangan. Sebagaimana dijelaskan dalam Surah Al-Isra [17:82], “Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang mukmin, sedangkan bagi orang-orang zalim (Al-Qur’an itu) hanya akan menambah kerugian”.
Dzikir, yang merupakan praktik menyebut nama Allah secara terus-menerus, juga memberikan manfaat besar. Aktivitas ini sangat efektif untuk menenangkan jiwa, mengurangi kecemasan, dan memperkuat hubungan spiritual dengan Allah. Dengan melakukan dzikir secara rutin, seseorang dapat merasakan kedekatan yang lebih besar dengan Allah dan lebih siap dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. Dalam Surah Ar-Ra’d [13:28], Allah berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram”.
Dalam menghadapi kompleksitas dan tantangan kehidupan modern, prinsip-prinsip Islam menyediakan kerangka kerja komprehensif untuk menjaga kesejahteraan jiwa. Dengan mengintegrasikan ajaran tentang tawakal, sabar, syukur, serta praktik-praktik spiritual seperti shalat, doa, puasa, membaca Al-Qur’an, dan dzikir, individu dapat membangun ketahanan mental dan emosional yang kuat. Pendekatan ini tidak hanya membantu mengatasi stres dan kecemasan tetapi juga memfasilitasi pencapaian keseimbangan batin yang lebih mendalam. Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini dalam kehidupan sehari-hari, seseorang dapat memperoleh ketenangan batin dan kesejahteraan yang lebih baik di tengah dinamika kehidupan yang penuh tantangan.
Penulis: Siti Rofiah, S.Ak, Tendik FIAI UII
Jangan Kawatir Datangnya Rezeki
/in FIAI Berdakwah/by IPKFaktanya, ketika membuka mata di pagi hari hingga terpejamnya mata ketika malam, manusia tidak pernah lepas dari rasa khawatir. Salah satu hal yang paling sering menjadi sumber kekhawatiran bagi manusia adalah rezeki. Banyak orang yang bekerja keras, berangkat pagi dan pulang malam, hanya demi menjemput rezeki, bahkan hingga melupakan amalan untuk akhirat. Namun, hasil yang didapat sering kali tidak sebanding dengan usaha yang dikeluarkan, sehingga muncul pertanyaan, benarkah rezeki tidak akan tertukar? Bagaimana rezeki kita esok hari? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, rezeki berarti segala sesuatu yang digunakan untuk memelihara kehidupan (diberikan oleh Tuhan); makanan sehari-hari; nafkah. Rezeki adalah anugerah, karunia, serta segala pemberian Allah yang bermanfaat sebagai sumber kehidupan bagi semua makhluk.
Bersinggungan dengan rezeki yang dianggap hanya dalam bentuk harta, belakangan ini platform media sosial diramaikan dengan tren flexing para artis, pejabat, dan para sultan misalnya. Konten yang menampilkan kekayaan dan penghasilan yang sangat fantastis hingga nampak begitu mudah mereka mendapatkannya. Padahal gaya hidup yang terlihat jauh dari jalan yang Allah tentukan. Apakah semua itu benar-benar rezeki dari Allah untuk mereka? Hal ini kemudian menjadi gambaran ketimpangan, ketika ada seseorang yang sejak lahir sudah memiliki kekayaan melimpah, sementara ada yang harus berjuang dan bekerja keras seumur hidup untuk memperoleh harta. Di sisi lain, ada orang yang bekerja keras sepanjang hidupnya tetapi tetap tidak mendapatkan hasil yang memadai. Ada juga yang bermalas-malasan, namun dalam sekejap bisa menjadi kaya raya. Kita pun bertanya-tanya, mengapa hal seperti ini bisa terjadi?
Seringkali manusia beranggapan bahwa rezeki adalah harta benda yang dipunya, uang yang melimpah, kendaraan mewah, ataupun rumah yang megah. Manusia luput dalam menyadari bahwa rezeki adalah nikmat Allah yang sangat luas dan bukan hanya sebatas harta benda. Rezeki juga bisa berupa nikmat dari hal-hal kecil sekalipun seperti bernafas, berkedip, ataupun bersin yang tanpa kita memintanya Allah telah otomatis berikan. Harta tidak selalu tentang uang dan benda mewah tetapi kesehatan, ilmu, anak saleh, hingga umur yang manfaat pun juga termasuk harta. Muslim Ahmad meriwayatkan dalam sebuah hadis, Manusia sering kali membanggakan, “hartaku… hartaku…” padahal pada kenyataannya, harta tidak bisa dibawa mati namun bisa bermanfaat kekal jika sudah disedekahkan untuk keselamatan akhirat. Allah memberikan rezeki tanpa memandang siapa penerimanya, bisa jadi rezeki itu diberikan kepada orang yang Ia cintai atau kepada yang tidak Ia cintai. Demikian pula, Allah bisa menyempitkan rezeki bagi siapa saja, baik yang Ia cintai maupun yang tidak. Nikmat dan rezeki yang diperoleh bisa jadi adalah istidraj, sebagai ujian dari Allah tanpa kita sadari. Penting untuk diingat bahwa rezeki adalah amanah yang bisa diambil kembali oleh Allah kapan saja.
Tidak ada satupun yang bergerak di muka bumi ini kecuali Allah yang menanggung rezekinya seperti janji Allah dalam Al-Qur’an Surah Hud ayat 6. Jika rezeki sudah diatur kenapa kita harus mencarinya? Lalu untuk apa kita bersusah payah? Pada dasarnya, meskipun rezeki telah diatur, kita tetap diharuskan untuk menjemputnya dengan berusaha. Misalnya kita mempunyai buah mangga yang sudah matang di pohon. Apakah kemudian kita hanya diam saja sambil berharap dan menunggu buah itu jatuh tanpa tahu kapan waktunya? Ataukah kita panjat pohon itu lalu memetik buahnya? atau membuat galah dari bambu untuk memetiknya? Tentu kita akan memilih untuk memetik dan mengambilnya dengan berbagai upaya yg bisa kita lakukan. Begitulah hakikat dari rezeki yang Allah berikan. Allah ingin kita berusaha untuk menjemput keluasan rezeki dan anugerah-Nya. Allah menjawab keraguan manusia terhadap rezeki dalam Al-Qur’an Surah Ar-Rum ayat 40,
“Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezeki lalu mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu dapat berbuat demikian? Maha Suci Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutuan.” (Q.S. Ar-Rum [30]: 40)
Perihal kadar rezeki yang berbeda-beda Allah Yang Maha Mengetahui, Ia menakdirkan sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya. Allah Maha Mengetahui atas segala yang Ia berikan kepada hambanya. Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surah Asy-Syura ayat 27,
“Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (Q.S. Asy-Syura [25]: 27)
Manusia sebagai seorang hamba hendaklah senantiasa bersyukur atas apa yang telah Allah berikan. Janji Allah dalam Al-Qur’an Surat Ibrahim ayat 7, apabila kita bersyukur Allah akan tambah nikmat untuk kita. Namun sebaliknya, apabila kita mengingkari nikmat yang Allah berikan, azab Allah sangat pedih. Segala ketentuan dan takaran yang Allah berikan mungkin adalah yang terbaik untuk kita, meskipun kita belum menyadarinya. Apa yang belum Allah kabulkan mungkin justru dapat membawa keburukan atau bukan yang terbaik bagi kita. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Bukankah jika kita khawatir akan rezeki kita di masa depan, itu berarti kita meragukan kekuasaan Allah? Ketika kita yakin bahwa Allah sebagai Zat Yang Maha Kaya, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang yang pasti menjamin rezeki kita, mengapa kita masih merasa cemas? Yang terpenting ialah kita tetap berprasangka baik, berikhtiar dengan berusaha semaksimal mungkin, tawakal dengan berserah diri kepada Allah, takwa dengan mengikuti semua yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi larangan-Nya, kemudian senantiasa bersyukur, berdoa dan beristighfar dalam sebuah hadis diriwayatkan,
“Barangsiapa memperbanyak istighfar (mohon ampun kepada Allah), niscaya Allah menjadikan untuk setiap kesedihannya jalan keluar dan untuk setiap kesempitannya Allah jadikan kelapangan dan Allah akan memberinya rezeki (yang halal) dari arah yang tiada disangka-sangka” (Hadis Riwayat Ahmad dari Ibnu Abbas)
Penulis: Seiga Khuzaema Cahyati, Tendik FIAI
Daftar Pustaka
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, K. P. (2016). Retrieved from KBBI Daring: https://kbbi.kemdikbud.go.id/
Daffa, A. (2021, Mei 11). Apakah Benar Rezeki Tidak Akan Tertukar? Ini Penjelasannya! Retrieved from dompetdhuafa.org: https://www.dompetdhuafa.org/rezeki-tidak-akan-tertukar/
Izharuddin, M. (n.d.). Kultum: Jika Rezeki telah Allah Atur, Mengapa Kita Perlu Bekerja. Retrieved from walisongoonline.com: https://walisongoonline.com/kultum-jika-rezeki-telah-allah-atur-mengapa-kita-perlu-bekerja/
Tuasikal, M. A. (2016, April 22). Rezeki itu Ujian. Retrieved from Rumayshi.com: https://rumaysho.com/13335-rezeki-itu-ujian.html
Media Sosial dan Fitnah: Bagaimana Islam Mengajarkan Penggunaan Teknologi dengan Bijak
/in FIAI Berdakwah/by IPKMedia sosial atau biasa kita sebut medsos kini tak terpisahkan dari kehidupan kita. Kita gunakan untuk berbagi, mencari info, dan terhubung dengan orang lain. Namun, medsos bisa jadi sarana fitnah dan informasi palsu. Sebagai umat Muslim, kita harus waspada. Islam ajarkan kita pakai teknologi, termasuk medsos, dengan bijak. Islam ajarkan kita gunakan teknologi untuk memperluas jaringan dan menyebarkan kebaikan, bukan keburukan.
Dampak Media Sosial dalam Kehidupan Umat Islam
Medsos sangat penting di era globalisasi. Kebebasan berbicara meningkat setelah era reformasi. Smartphone mengubah cara kita berkomunikasi.
Penggunaan medsos yang salah menyebabkan masalah. Misalnya, penyebaran berita palsu (hoax).
Di era globalisasi, media sangat penting. Al-Qur’an mengatur etika penggunaan medsos. Ini penting untuk menggunakan media dengan bijak.
Manfaat Media Sosial bagi Umat Islam
Medsos punya dampak negatif dan positif. Beberapa manfaatnya untuk umat Islam adalah:
- Sarana pembelajaran online dan diskusi
- Tempat berbagi informasi penting dan bermanfaat
- Wadah untuk menyalurkan hobi menulis
- Alat untuk syiar amar ma’ruf nahi munkar yang menjamin dan mengatur kebebasan berekspresi
Memakai medsos dengan bijak membantu umat Muslim. Ini memaksimalkan manfaat teknologi digital dalam kehidupan sehari-hari.
Etika Bermedia Sosial Menurut Pandangan Islam
Dalam ajaran Islam, penggunaan medsos harus dilandasi dengan etika yang baik. Ada beberapa hal penting yang ditekankan dalam etika bermedia sosial menurut pandangan Islam:
Menjadikan Media Sosial sebagai Sarana Menebar Kebaikan
- Berupaya agar informasi yang disebarkan di medsos berkhazanah Islam dan bermanfaat bagi sesama.
- Memanfaatkan medsos untuk menyebarkan kebaikan dan menginspirasi orang lain.
- Membagikan konten-konten positif yang dapat menambah pengetahuan dan kecerdasan bagi pengikut.
Mengingat Hisab (Pertanggungjawaban) atas Setiap Perbuatan
Setiap aktivitas di medsos, termasuk ucapan, tindakan, dan konten yang disebarkan, akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Kesadaran akan hisab (pertanggungjawaban) ini harus menjadi prinsip utama dalam bermedia sosial.
Melakukan Tabayyun (Klarifikasi) sebelum Berpendapat
Sebelum menyebarkan informasi atau berpendapat di medsos, penting untuk melakukan tabayyun (klarifikasi) terlebih dahulu. Hal ini bertujuan untuk menghindari penyebaran berita hoaks yang dapat menimbulkan fitnah dan perpecahan.
Dengan menerapkan etika bermedia sosial yang sesuai dengan ajaran Islam, kita dapat memanfaatkan teknologi digital dengan bijak. Kita juga bisa menjadikannya sebagai sarana untuk menyebarkan kebaikan di tengah masyarakat.
Media sosial dalam Islam, Etika penggunaan teknologi, Mencegah fitnah digital
Medsos boleh digunakan dalam Islam, tapi harus dengan etika yang benar. Teknologi komunikasi berkembang cepat. Ini mengubah cara kita berinteraksi, termasuk di kalangan Muslim.
Medsos bisa menyebar fitnah atau nama baik yang tercemar. Ini melanggar ajaran Islam tentang kasih sayang dan persaudaraan. Jadi, kita harus hati-hati dan hindari perbuatan yang bikin perpecahan.
Etika teknologi dalam Islam ada di Al-Quran, seperti Surah Al-Ahzab ayat 70.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.”
Ini soal berbicara dengan baik. Kita juga harus klarifikasi informasi sebelum menyebar, agar tidak ada kesalahpahaman.
Dengan etika bermedia sosial yang benar, kita bisa manfaatkan teknologi. Ini untuk mengingatkan kita pada kebaikan, kuatkan ukhuwah Islamiyah, dan raih nilai-nilai Islam yang rahmat.
Peran Orang Tua dan Masyarakat dalam Mengawasi Media Sosial
Kita, sebagai orangtua dan masyarakat, harus mengawasi penggunaan medsos anak-anak. Ini penting untuk mencegah penyalahgunaan yang merusak moral dan perilaku mereka.
Pentingnya Pengawasan Penggunaan Media Sosial pada Anak
Penelitian menunjukkan 52% anak-anak mengalami cyberbullying juga mengalami sexual harassment di media sosial. Banyak orang tua tidak tahu dampak negatif ini.
Lebih lanjut, penggunaan teknologi berlebihan bisa jadi berbahaya. Ini bisa menyebabkan masalah kesehatan mata, otak, tangan, dan gangguan tidur. Oleh karena itu, peran orang tua dan masyarakat sangat penting untuk mengawasi anak-anak.
“Dengan pendidikan dan pengawasan orang tua yang baik, diharapkan dampak negatif penggunaan medsos dan internet yang berlebihan dapat dipahami anak-anak sejak dini.”
Orang tua harus mengajarkan dampak medsos, nilai sopan santun, privasi, dan bagaimana mengidentifikasi berita hoaks. Mereka juga harus menjadi teladan dengan tidak bermain medsos saat beribadah, mengunggah konten positif, dan membatasi waktu penggunaan.
Orang tua juga harus membatasi waktu, membuat jadwal harian, dan memonitor aplikasi yang digunakan anak. Dengan pemahaman dan pengawasan yang baik, harapannya anak-anak bisa memanfaatkan medsos dengan bijak.
Batasan dan Hukum Media Sosial dalam Islam
Sebagai umat Islam, kita harus tahu batasan penggunaan medsos yang benar. Islam memberi panduan untuk teknologi, termasuk medsos, dengan bijak. Aktivitas di medsos yang merusak nama baik atau menimbulkan permusuhan adalah haram.
Penelitian “Etika Media Sosial Berdasarkan Perspektif Al-Qur’an dan Hukum Negara” menunjukkan banyak hoaks di medsos. Ini menunjukkan kekurangan etika komunikasi dan konflik di kalangan netizen.
Umat Islam harus menjaga etika dan tidak menyebar fitnah. Medsos harus digunakan untuk kebaikan. Prinsip Islam seperti kejujuran dan kesopanan penting dalam menilai konten digital.
Ada banyak konten negatif di medsos, seperti hoaks dan fitnah. Sebagai umat Islam, kita harus bijak dan pastikan konten yang kita bagikan sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Meluruskan Niat dalam Bermedia Sosial
Dalam Islam, setiap perbuatan dinilai dari niatnya. Kita harus meluruskan niat, tidak hanya mencari popularitas. Kita berniat untuk menyebarkan kebaikan, membantu sesama, dan mengajak pada hal yang positif.
Internet telah menjangkau 78,19% di Indonesia pada tahun 2023. Ini menunjukkan pentingnya menggunakan medsos dengan niat yang baik. Tindakan positif seperti berbagi informasi yang akurat bisa memberikan pahala jariyah.
Medsos yang bertanggung jawab dan beretika sangat penting dalam Islam. Tujuannya adalah membimbing individu ke arah perilaku yang terpuji. Ini juga meminimalkan tindakan negatif di platform digital.
Rasulullah SAW juga memanfaatkan media tulis untuk menyebarkan ajaran Islam. Ini menunjukkan bahwa pemanfaatan medsos untuk tujuan yang bermanfaat memiliki preseden historis dalam Islam.
Dengan memahami pentingnya niat yang baik, kita bisa menjadikan medsos untuk melakukan kebaikan, membantu sesama, dan mengajak pada hal-hal yang positif. Ini bermanfaat bukan hanya untuk kita, tapi juga untuk orang lain dan masyarakat.
Kesimpulan
Perkembangan teknologi dan medsos membuat kita sebagai umat Islam berada di posisi yang unik. Kita harus menggunakan medsos dengan bijak. Ini berarti menjunjung tinggi etika dan tidak menyebarkan fitnah.
Orang tua dan masyarakat berperan penting dalam mengawasi penggunaan medsos, terutama pada anak-anak. Dengan mengamalkan ajaran Islam, kita bisa memanfaatkan teknologi untuk kebaikan.
Kesimpulannya, memahami penggunaan medsos yang bijak adalah kunci. Dengan kesimpulan media sosial dalam islam, kita bisa menjadi umat yang baik dan berakhlak.
Penulis: Wahyudi Kusumo Nugroho, Tendik FIAI UII
Tegar Hadapi Fitnah
/in FIAI Berdakwah/by IPKSegala puji bagi Allah Yang Maha Penyayang. Allah pasti menyanyangi hambaNYA dalam segala kondisi. Sehingga ketika menghadapi ujian dan cobaan jangan berpikir Allah pemarah. Ujian kehidupan dengan berbagai persoalan dan kenikmatan di mata manusia, sebenarnya merupakan cara Allah untuk menguji hambaNYA juga untuk menaikkan derajatnya.
Sebagai hamba dengan terus mengingat sifat-sifat baik Allah, maka akan merasa tenang meski menghadapi badai masalah sekuat apapun. Hakekatnya, musibah atau kenikmatan berkadar sama yaitu sebagai ujian hidup dari Allah untuk orang beriman. Hal ini sesuai firman Allah yang artinya, “Setiap jiwa pasti akan mati. Dan Kami uji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan; kepada Kamilah kalian kembali.” (QS Al-Anbiya’: 35).
Sebagai muslim wajib meyakini bahwa setiap ujian baik berupa keburukan maupun kebaikan adalah cara Allah untuk meningkatkan derajat manusia di hadapan Allah.
Salah satu ujian yang sering dirasakan manusia adalah deraan fitnah dunia, apalagi di era digital saat ini, komunikasi dan informasi bisa menyebar ke seluruh dunia dalam hitungan detik. Dampaknya informasi yang tidak benar, hoax dan fitnah pun bisa secara kilat menyebar dan menyerang reputasi dan nama baik seseorang, golongan dan kelompok tertentu.
Untuk itulah, setiap manusia rentan terhadap fitnah yang akan menerpanya. Namun ketika fitnah menerpa diri kita, bahkan fitnah hadir bagaikan badai menyapu pasir. Yakinlah, semua itu semata ujian yang harus dilalui dengan tenang tidak perlu panik.
Dosa bagi Pemfitnah
Fitnah adalah dosa besar, dan pemfitnah terancam hukuman berat di Neraka Jahanam. Merujuk pada firman Allah dalam At Taubah ayat 49 yang artinya.
“Di antara mereka ada orang yang berkata, “Berilah aku izin (tidak pergi berperang) dan janganlah engkau (Nabi Muhammad) menjerumuskan aku ke dalam fitnah.” Ketahuilah, bahwa mereka (dengan keengganannya pergi berjihad) telah terjerumus ke dalam fitnah. Sesungguhnya (neraka) Jahanam benar-benar meliputi orang-orang kafir.”
Pemfitnah akan masuk neraka, juga terhalang menerima syafaat Rasulullah. Pemfitnah setara dengan perilaku syaithan, yaitu dusta dan menyesatkan.
Firman Allah dalam Surat Al Kahfi ayat 28
“Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia; dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti keinginannya dan keadaannya sudah melewati batas.”
Allah adalah segala solusi atas segala masalah kehidupan. Di Akhirat, ketika amal dan dosa ditimbang, pemfitnah harus bertanggungjawab atas kepada korban fitnahannya. Bisa saja semua pahala atas kebaikan pemfitnah semasa di dunia, akan diberikan kepada korban fitnah. Bahkan jika pemfitnah kehabisan pahala kebaikan, maka dosa korban fitnah akan dibebankan kepada pemfitnah.
Allah mempertegas fitnah lebih kejam dari pembunuhan, melalui firmanNYA dalam Surat Al Baqarah ayat 191.
“Dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan”
Begitu besar dampak, resiko dan dosa atas fitnah dunia.
Hadapi Fitnah dengan Sabar
Kenapa kita harus tenang dan tidak panik saat diterpa fitnah? Semua karena ada Allah. Jika yakin pada posisi benar, maka tenanglah saat fitnah menerpa, yakin bahwa Allah Maha Melihat dan pasti melihat apapun yang terjadi di dunia ini, bahkan tetesan air di sungai pun Allah melihatnya, dan bagian kehendak-NYA. Tenangkan diri, jangan sampai diperbudak emosi, hingga memperburuk keadaan dan membuat kehilangan kendali. Kembalikan semua kepada Allah, biarlah Allah yang atur semuanya untuk menjadi lebih baik. Tetaplah berbuat baik, jangan sampai perilaku buruk orang lain, menyebabkan diri kita juga makin berperilaku buruk. Kondisi diperbudak emosi, adalah kondisi dimana kebenaran akan menjauh dalam hati dan pikiran.
Yakin akan pengadilan Allah, semua fitnah yang menerpa, jika diterima dengan sabar, kelak berpeluang menjadikan bobot pahala meningkat. Bahkan difitnah adalah cara mendapatkan pahala, cukup ikhlas, sabar dan yakin akan ketentuan Allah.
Jelas sekali atas perintah sabar dan jangan membalas fitnah dengan keburukan. Justru tinggalkan fitnah tersebut, genggam sabar dan tegar selalu mengingat Allah. Bergantung hanya kepada Allah. Sabar merupakan salah satu solusi untuk meraih pertolongan Allah.
Firman Allah dalam Al Baqarah ayat 45
”Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat. “
Dari ayat di atas jelas tegas bahwa sabar dan sholat adalah cara merah pertolongan dari Allah dan bukan membalas keburukan fitnah dengan keburukan yang lain.
Hadapi Fitnah dengan Tingkatkan Ketakwaan
Ketika fitnah datang, abaikan saja, jangan sampai terpaan fitnah menjadikan emosi tidak terkendali, karena pemfitnah akan merasa tujuannya berhasil. Maka kembalikan kepada Allah, justru ketika badai fitnah menerpa, tingkatkan ketakwaan kepada Allah. Raih nikmat atas ketakwaan kepada Allah, hingga semua badai fitnah serasa angin halus menerpa lalu pergi tanpa bisa melukai batin, fisik kita. Kuat karena Allah.
Dalam hadapi segala permasalah dunia, termasuk fitnah, marilah kita tingkatkan takwa kepada Allah, insya Allah semua urusan akan mendapatkan jalan keluar dan kemudahanNYA. Sesuai firman Allah dalam Surah Al Thalaq ayat 2 dan 3.
“Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya dan menganugerahkan kepadanya rezeki dari arah yang tidak dia duga. Siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allahlah yang menuntaskan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah membuat ketentuan bagi setiap sesuatu.”
Bersyukur atas ketegaran sebagai muslim, karena Islam telah membimbing kepada akhlak terbaik dan adab yang paling sempurna. Semoga Allah melindungi kita semua dari fitnah dan segala bahayanya.
Penulis: Ipan Pranashakti
Mengenal 6 Hak Sesama Muslim
/in FIAI Berdakwah/by IPKPemenuhan hak-hak sesama muslim menjadi salah satu upaya dalam menjalin persaudaraan yang indah dan menjaga ukhuwah Islamiyah. Mari sebagai muslim yang baik, seharusnyalah kita selalu berusaha meningkatkan nilai ibadah di hadapan Allah dan meningkatkan hubungan sesama dengan sebaik- baiknya
Penulis: Siti Komariah, Tendik FIAI UII
Degradasi Moral Remaja di Era Digital
/in FIAI Berdakwah/by adminPerkembangan teknologi yang semakin pesat, memiliki dampak positif dan negatif. Bahkan ada yang membuat makin kawatir. Salah satu contohnya, hanya dengan genggaman tangan atau smartphone, semua informasi dari dalam maupun luar negeri, dengan berbagai macam jenis informasi dapat di akses oleh anak-anak hingga dewasa, baik itu konte positif maupun negatif. Konten negatif bisa saja mempengaruhi perilaku dan cara pandang seseorang, terutama anak dan remaja.
Teknologi itu prinsipnya jika diperlakukan untuk kebaikan, maka akan berdaya guna, namun apabila dimanfaatkan untuk keburukan, akan berikan kerugian baik secara material maupun immaterial. Sebagai contoh, secara material, teknologi memberikan kemudahan untuk menjangkau pasar atau konsumen, misalnya dengan memanfaatkan platform belanja online seperti shopee untuk menjual produk. Sedangkan, manfaat teknologi secara immaterial salah satunya memberikan kemudahan dalam mendapatkan informasi, pengetahuan. Namun, adanya teknologi, apabila tidak dimanfaatkan secara baik, juga dapat membawa kemudharatan bagi manusia.
Remaja adalah kelompok usia yang rentan terhadap pengaruh teknologi. Pada tahap ini, mereka sedang dalam proses mencari jati diri dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Masa remaja merupakan fase peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Fase transisi ini sering kali menghadapkan individu pada situasi yang berubah-ubah, di mana di satu sisi mereka masih bersikap seperti anak-anak, namun di sisi lain, mereka diharapkan bertindak seperti orang dewasa. Konflik semacam ini bisa memunculkan perilaku yang aneh, canggung, dan jika tidak dikendalikan, dapat mengarah pada kenakalan remaja. (Rulmuzu, 2021). Kemudahan dalam mengakses segala informasi dan rasa keingintahuan yang tinggi pada remaja, apabila tidak dikontrol, mereka dapat mengakses konten yang tidak sesuai dengan usianya dan mengarah pada budaya barat. Contohnya, konten pornografi, kriminalisme, judge, kekerasan. Kebebasan tersebut, menimbulkan terjadinya kasus-kasus degradasi moral pada kalangan remaja, seperti tawuran, penggunaan narkoba, pergaulan bebas, bullying, hingga kriminalisme.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) makna kata degradasi berarti kemunduran, kemerosotan, penurunan. Degradasi moral adalah penurunan akhlak atau budi pekerti seseorang. Degradasi moral dapat terjadi pada semua kalangan usia, namun usia yang paling rentan adalah remaja, dikarenakan mereka sedang berada pada masa peralihan mencari identitas diri. Belakangan ini, kita dikejutkan dengan kasus pembunuhan seorang siswi SMP di Mojokerto oleh teman sekelasnya, yang juga mengalami pemerkosaan setelah meninggal. (www.kompasiana.com). Siswi tersebut dibunuh oleh temannya dengan motif dendam, karena selalu ditagih membayar iuran kelas Rp 5.000. Setelah dibunuh dengan cara dicekik, teman pelaku yang ikut melancarkan aksinya, memperkosa korban yang sudah meninggal. Perilaku tersebut sudah sangat jauh dari nilai-nilai pancasila dan ajaran agama Islam.
Masa muda dalam Al Quran digambarkan sebagai fase yang memiliki fisik yang kuat dan tangguh, dibandingkan dengan fase-fase sebelum dan sesudahnya. Hal tersebut dijelaskan dalam Q.S Ar-Rum ayat 54: yang artinya “Allah-lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dan Dia Maha Mengetahui, Maha Kuasa”.
Peran anak muda dalam sejarah Islam yang sangat luar biasa digambarkan oleh sosok Muhammad al-Fatih. Muhammad al-Fatih adalah seorang sultan Kerajaan Utsmani. Beliau dengan umur yang masih belia yaitu 23 tahun, berhasil menaklukkan Kekaisaran Romawi Timur yang telah berkuasa selama 11 abad..
Peran keluarga dan lembaga pendidikan sangat krusial dalam mencegah penurunan moral pada remaja. Keluarga berfungsi sebagai fondasi awal dalam membentuk karakter dan nilai-nilai remaja. Dengan memberikan dukungan emosional, pendidikan, dan pengawasan yang memadai, keluarga dapat membimbing remaja dalam menghadapi berbagai masalah dan tantangan sehari-hari. Selain itu, sekolah juga memiliki peran penting dalam membentuk moral remaja. Program rehabilitasi, pelatihan keterampilan, mentoring, dan kegiatan komunitas di sekolah dapat membantu remaja membuat pilihan yang positif. Melalui kerjasama antara keluarga, sekolah, dan lingkungan, masa depan remaja dapat dibentuk menjadi lebih stabil, memiliki pola pikir positif, dan penuh potensi.(Bobyanti, 2023).
Degradasi moral akan terjadi pada kondisi ketika semua nasihat agama, nasihat orangtua tidak bisa lagi merasuk pada pikiran dan hati remaja, namun konten digital yang buruk menjadi ide untuk ditiru, jadi panutan meski itu sebenarnya tidak sesuai ajaran agama.
Penulis: Desi Rahmawati, Tendik FIAI UII
Fakultas Ilmu Agama Islam
Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia
Jl. Kaliurang km. 14,5 Sleman, Yogyakarta 55584 Indonesia Email: [email protected]
Telp: 0274-7070200 Ext. 5400