Assalamu’alaikum wr wb.
Teman-teman yang berbahagia semoga kita selalu dalam lindungan Allah Yang Maha Kuasa. Teman-teman, kita baru saja masuk tahun baru Islam, memasuki bulan pertama,
yaitu bulan Muharam 1447 Hijriah. Seperti kita ketahui, bulan Muharam merupakan salah satu dari empat bulan haram (suci) dalam Islam. Bulan-bulan suci yang lain adalah
Ramadhan, Rajab, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah. Sebagai salah satu bulan suci dalam Islam, bulan Muharam dikenal sebagai “bulannya
Allah” atau Syahrullah. Mengapa? Karena bulan Muharam memiliki keistimewaan dan kesucian, serta ditetapkannya sebagai bulan pembuka dalam tahun Islam. Selain itu
bulan Muharam juga menandai hijrahnya umat Islam ke Madinah dan berdirinya negara Islam pertama pada tahun 622 Masehi .
Dalam menjalani bulan Muharam ini, banyak sekali amalan yang dianjurkan untuk
dikerjakan oleh umat Islam karena banyak sekali kebaikan yang bisa kita ambil.

Amalan-amalan yang dianjurkan antara lain :
1. Berpuasa di penghujung bulan Dzulhijjah. Puasa pada hari terakhir bulan Dzulhijjah bertujuan untuk memohon ampunan Allah
Swt. Pada tahun ini jatuh pada tanggal 26 Juli 2025.
2. Membaca doa akhir tahun .Doa akhir tahun dibaca waktu selesai shalat Asar atau menjelang shalat Magrib.
3. Membaca doa awal tahun. Membaca doa awal tahun di awal bulan Muharam dibaca setelah shalat Magrib
sebanyak tiga kali pada malam 1 Muharam.
4. Menghidupkan malam pertama bulan Muharam dengan Qiyamul Lail. Yang dimaksud dengan Qiyamul lail adalah ibadah salat sunnah yang dilakukan pada
malam hari setelah shalat Isya hingga menjelang Subuh.
Di bawah ini amalan yang bisa kita lakukan untuk menghidupkan malam 1 Muharam:
• Memperbanyak membaca Al-Qur’an.
• Memperbanyak zikir kepada Allah Swt.
• Mengerjakan shalat sunnah seperti shalat Hajat, Tahajud, Taubat, dan shalat
sunnah lainnya.
• Melaksanakan shalat sunnah seratus rakaat, dengan membaca Al-Fatihah dan
surat Al-Ikhlas pada setiap rakaat.
• Mengerjakan shalat sunnah dua rakaat; pada rakaat pertama membaca Al-Fatihah
dan surat Al-An’am, serta pada rakaat kedua membaca Al-Fatihah dan surat
Yasin.

5. Amalan setelah shalat Subuh
Dalam Islam dilarang keras tidur kembali setelah shalat Subuh. Alangkah baiknya waktu setelah shalat Subuh kita manfaatkan dengan memperbanyak zikir dan
membaca Al-Qur’an

6. Berpuasa di hari pertama bulan Muharam
Puasa ini bertujuan untuk mengawali tahun baru Hijriah dengan amalan baik,mendapatkan pahala dari Allah Swt, dan membersihkan diri dari dosa-dosa kecil dan
juga sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Tanun ini 1 Muharam jatuh pada tanggal 27 Juni 2025.

7. Puasa Tasu’a
Puasa Tasu’a dikerjakan pada tanggal 9 Muharam. Puasa ini sebagai pelengkap puasa Asyura yang jatuh pada tanggal 10 Muharam. Puasa Tasu’a bertujuan menjadi
pembeda umat Islam dengan umat Yahudi yang sama-sama melakukan puasa di hari Asyura.

8. Puasa Asyura
Puasa Asyura adalah puasa yang dilakukan pada hari istimewa di bulan Muharam yaitu pada tanggal 10 yang saat ini bertepatan dengan tanggal 6 Juli 2025. Puasa
Asyura juga memiliki keistimewaan tambahan yaitu menghapus dosa setahun yang lalu dan meneladani Nabi besar Muhammad saw.

9. Amalan kebaikan pada hari Asyura
Pada hari Asyura sebagai umat Nabi Muhammad saw kita sangat dianjurkan untuk
memperbanyak amal kebaikan.
Kita bisa lakukan hal-hal di bawah ini :
• Menyantuni anak yatim.
• Memuliakan dan membantu fakir miskin
• Memberikan ilmu atau manfaat kepada orang lain
• Bersedekah.
• Melapangkan rezeki keluarga seperti memberikan hadiah kepada anak serta istri.
• Melaksanakan mandi sunnah.
• Menggunakan celak (bercelak).
• Menjamu orang yang berbuka puasa.
• Memperbanyak shalat sunnah empat rakaat.
• Memperbanyak bacaan: Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’man
nashir.
• Membaca surat Al-Ikhlas sebanyak 1000 kali.
• Mengerjakan shalat Tasbih.
• Menjalin silaturahmi dengan siapa saja, baik keluarga, kerabat dekat, tetangga,
maupun para ulama.

10. Membaca doa Asyura
Doa Asyura dibaca setelah mengerjakan shalat Magrib. Bisa langsung dibaca ataudidahului dengan shalat sunnah 4 rakaat.

11. Puasa tanggal 11 Muharam
Selain puasa Tasu’a dan Asyura, umat Islam juga dianjurkan untuk puasa pada tanggal 11 Muharam. Puasa ini bertujuan untuk menyelisihi atau membedakan
dengan puasa kaum Yahudi.

12. Puasa Ayyamul Bidh pada tanggal 13, 14, dan 15 Muharam
Sebagaimana pada bulan bulan yang lain, pada bulan Muharam umat Islam sangat dianjurkan untuk melakukan puasa sunnah tengah bulan yaitu pada tanggal 13, 14,
dan 15. Keutamaan puasa Ayyamul Bidh sangat banyak, antara lain mendapatkan pahala seperti puasa sepanjang tahun, meneladani sunnah Rasulullah saw dan
mendapatkan pintu khusus di surga-Nya Allah Swt.
Demikian sedikit yang bisa saya sampaikan, semoga bermanfaat. Jika ada salah kata dan salah tulis mohon dimaafkan. Teriring doa semoga di akhirat kelak kita
mendapatkan syafaat dari Nabi besar Muhammad saw dan beliau mengenali kita sebagai pengikutnya yang setia. Akhir kata Wassalamu’alaikum wr wb.

Ditulis: Siti Komariyah (Tendik FIAI UII)
Sumber: www.detik.com dan media lainnya

Di tengah gemuruh dunia yang makin cepat, kita sering lupa untuk berhenti sejenak dan bernapas, melihat ke dalam diri, dan bertanya : “Apa kabar hatiku hari ini? Apa hal yang membuatku senang hari ini? Adakah yang menyakiti hatiku hari ini?” Tak sedikit di antara kita yang terlihat kuat dari luar, namun rapuh di dalam. Lalu muncullah istilah self healing, sebuah ajakan untuk menyembuhkan diri sendiri. Tapi bagi seorang muslim, self healing bukan sekadar liburan, minum kopi, shopping. Islam menawarkan proses penyembuhan yang lebih dalam, lebih bermakna, dan tentu lebih menyentuh, melalui sabar, syukur, dan tawakal
Sabar membuat kita tetap berdiri meski dunia rasanya runtuh. Sabar bukan berarti tak boleh menangis, tapi tetap percaya bahwa di balik tangis, ada hikmah yang Allah siapkan. Setiap orang pasti diuji, entah dalam bentuk kehilangan, tekanan hidup, atau luka batin. Tapi Islam mengajarkan bahwa sabar adalah kunci pertama untuk bertahan, bukan pasrah, tapi bentuk kekuatan tertinggi dari dalam diri.
Mensyukuri apa yang kita miliki tentu membuat hati jauh lebih tenang. Di saat kita melihat yang masih tersisa, mata yang bisa melihat ini, napas yang masih berhembus, iman yang belum lepas dari hati, tetapi di situlah penyembuhan dimulai.
Sering kali kita lelah bukan karena masalah, melainkan karena ingin mengendalikan segalanya Kita lupa bahwa setelah semua usaha dilakukan, ada satu hal yang harus dilepaskan: hasil. Tawakal adalah titik ketika hati berhenti menggenggam terlalu erat—karena kita tahu, segala urusan akhirnya kembali kepada Allah.
Self healing dalam Islam bukan sekadar proses untuk move on, tapi sebuah perjalanan kembali kepada Allah. Sebuah panggilan untuk menenangkan hati yang gundah dengan zikir, memperkuat sabar dengan shalat, menumbuhkan syukur lewat tafakur, dan melepaskan segala beban melalui tawakal.

 

Ditulis: Tutias Ekawati (Tendik UII)

Sumber
Al-Qur’an: QS. Al-Baqarah: 153, 155; QS. Ibrahim: 7; QS. At-Talaq: 3; QS. Ar-Ra’d: 28, Hadis: HR. Bukhari no. 52; Muslim no. 1599, Kitab: Ihya Ulumuddin – Imam Al-Ghazali, Tokoh & Ceramah: Ust. Adi Hidayat, Ust. Hanan Attaki, Buya Yahya

Idul Adha dan Semangat Qurban

Idul Adha adalah momentum penting dalam kalender umat Islam yang sarat dengan nilai-nilai tauhid, pengorbanan, dan keteladanan. Peristiwa Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s. menjadi inspirasi sepanjang zaman tentang kepatuhan total kepada Allah Swt. Dalam Al-Qur’an disebutkan:

“Maka ketika anak itu sampai pada (umur) sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab: ‘Wahai ayahku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’”
(QS. Ash-Shaffat: 102)

Ketaatan Nabi Ismail a.s. dan keikhlasan Nabi Ibrahim a.s. menjadi dasar spiritual ibadah qurban. Di balik ritual penyembelihan, terdapat pesan mendalam tentang keikhlasan, kesabaran, dan ujian iman. Maka dakwah tentang qurban seharusnya tidak hanya menjelaskan aspek hukum, tetapi juga menghidupkan nilai-nilai ruhaniah ini di tengah masyarakat.

Era Digital dan Perubahan Pola Dakwah

Dunia dakwah mengalami pergeseran besar di era digital. Penyampaian pesan Islam tidak lagi terbatas pada mimbar dan majelis taklim, tapi telah merambah ruang virtual seperti Instagram, TikTok, YouTube, hingga WhatsApp. Di platform inilah dai, lembaga zakat, dan komunitas Islam berperan penting dalam menyampaikan pesan Idul Adha secara menarik dan komunikatif.

Nabi Muhammad SAW mengajarkan bahwa dakwah harus disampaikan dengan cara yang bijak:

“Sampaikanlah dariku walau satu ayat.”
(HR. Bukhari)

Prinsip ini tetap relevan dalam konteks digital: menyampaikan kebaikan, sekecil apa pun, bisa memberi pengaruh luas jika dilakukan dengan niat dan strategi yang tepat. Dai digital tidak lagi hanya berperan sebagai penyampai ceramah, tapi juga sebagai kreator konten, manajer interaksi, hingga penjaga akhlak publik.

Konten Dakwah dan Edukasi Qurban di Media Sosial

Media sosial telah melahirkan beragam bentuk konten edukatif tentang Idul Adha. Misalnya:

  • Infografis tata cara menyembelih hewan qurban sesuai syariat.
  • Video singkat yang menceritakan sejarah qurban secara menarik dan visual.
  • Live streaming proses penyembelihan dari lembaga zakat.
  • Cerita inspiratif penerima manfaat di pelosok negeri.

Bahkan, kini lembaga-lembaga Islam memanfaatkan media sosial untuk mengumpulkan donasi qurban dengan sistem yang transparan dan interaktif. Penyumbang dapat melihat dokumentasi penyembelihan dan distribusi, serta mendapatkan laporan digital. Ini menunjukkan bahwa digitalisasi tidak mengurangi nilai ibadah, justru bisa memperkuat akuntabilitas dan kepercayaan publik.

Namun, dalam mengemas konten dakwah, penting untuk menjaga nilai adab dan sensitivitas publik. Menampilkan proses penyembelihan hewan, misalnya, harus dilakukan dengan cara yang mendidik dan tidak menimbulkan trauma visual. Etika digital menjadi bagian tak terpisahkan dari kesuksesan dakwah di media sosial.

Dampak dan Tantangan Dakwah Qurban Digital

Dakwah Idul Adha di media sosial memiliki dampak yang luas. Banyak masyarakat, terutama generasi muda, yang menjadi lebih sadar tentang pentingnya berqurban. Akses terhadap informasi keagamaan yang dulu sulit kini menjadi sangat mudah. Video satu menit bisa menjelaskan satu hadis. Infografis bisa merangkum satu bab fiqh.

Namun, transformasi ini juga menghadirkan tantangan serius:

  1. Komersialisasi ibadah– Qurban dikemas lebih sebagai ‘produk’ daripada ‘pengorbanan’. Kadang, lembaga-lembaga lebih menonjolkan brand daripada nilai ibadah itu sendiri.
  2. Krisis otoritas keilmuan– Siapa saja kini bisa berdakwah, termasuk yang belum memiliki kapasitas keilmuan syar’i. Ini dapat menimbulkan penyesatan atau kesalahpahaman hukum agama.
  3. Sikap instan dalam beragama– Informasi yang serba cepat bisa mendorong pemahaman yang dangkal jika tidak dibarengi pembelajaran mendalam.

Maka dari itu, dai dan konten kreator muslim perlu bersinergi: yang satu kuat di bidang ilmu, yang lain kuat di bidang media. Dakwah yang berdampak adalah dakwah yang menggabungkan substansi syariat, estetika digital, dan strategi komunikasi yang kontekstual.

Allah Swt berfirman:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang paling baik.”
(QS. An-Nahl: 125)

Dakwah Digital yang Humanis dan Menyentuh

Di balik teknologi, dakwah digital harus tetap menyentuh sisi insani. Konten qurban yang baik adalah yang membangkitkan empati: bagaimana daging qurban menjadi hadiah bagi keluarga dhuafa yang tak mampu membeli daging sepanjang tahun, atau bagaimana qurban menjadi ladang amal bagi peternak kecil yang diberdayakan.

Kisah-kisah ini menghidupkan makna qurban sebagai jembatan kemanusiaan, bukan sekadar ritual. Inilah bentuk dakwah bil hal, dakwah melalui aksi nyata dan teladan.

Penutup: Menguatkan Dakwah Qurban di Era Digital

Idul Adha di era digital adalah tantangan sekaligus peluang. Media sosial bisa menjadi sarana efektif untuk menguatkan dakwah dan edukasi qurban, asal dijalankan dengan hikmah dan tanggung jawab.

Dai dan pegiat dakwah hari ini dituntut bukan hanya memahami teks-teks agama, tapi juga konteks media, psikologi digital, dan etika publik. Tujuannya satu: agar pesan Idul Adha tidak sekadar viral, tapi juga membekas dalam hati dan mengubah perilaku umat menuju ketakwaan yang lebih mendalam.

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu…”
(QS. Al-Hajj: 37)

Maka, mari jadikan momentum Idul Adha sebagai ajang dakwah yang menyentuh jiwa, mempererat ukhuwah, dan membangun peradaban Islam yang rahmatan lil ‘alamin, bahkan dari balik layar gawai.

Penulis: Kusprayitna Widianta (Tendik FIAI)

Dalam berbagai kisah kaum muslim, ada yang cukup terkenal yaitu berkenaan Ali al-Muwaffaq, seorang tukang sol sepatu dari Damaskus yang meskipun tidak berangkat haji, tetapi mendapat ganjaran haji mabrur karena keikhlasannya menolong tetangganya yang kelaparan. Kisah ini banyak dinukil dalam literatur klasik Islam, seperti Siyar A‘lām an-Nubalā’ karya Adz-Dzahabi dan al-Bidāyah wa an-Nihāyah karya Ibnu Katsir. Melalui pendekatan dakwah ilmiah, artikel ini menelaah nilai keikhlasan, prioritas amal sosial, dan hubungan antara syariat serta hakikat ibadah. Hasil telaah menunjukkan bahwa meskipun kisah ini tidak bersandar pada hadis sahih, ia tetap relevan sebagai hikayat yang memberi motivasi moral dan spiritual. Kisah Ali al-Muwaffaq menegaskan bahwa kepedulian sosial merupakan bagian integral dari misi dakwah Islam.

Haji merupakan rukun Islam kelima yang diwajibkan bagi Muslim yang mampu secara fisik, finansial, dan keamanan perjalanan. Al-Qur’an menegaskan:
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali Imran [3]: 97).
Namun, di tengah kewajiban ini, terdapat kisah menarik dari sejarah Islam yang memperlihatkan bahwa nilai haji mabrur tidak semata-mata ditentukan oleh perjalanan fisik menuju tanah suci, melainkan juga oleh keikhlasan amal. Kisah itu adalah kisah Ali al-Muwaffaq, seorang tukang sol sepatu Damaskus, yang riwayatnya tersebar melalui hikayat para ulama.
Dari perspektif dakwah, dengan menyoroti nilai-nilai keikhlasan, amal sosial, dan hakikat ibadah, kisah Ali al-Muwaffaq dinukil oleh beberapa ulama klasik, di antaranya:
– Adz-Dzahabi dalam Siyar A‘lām an-Nubalā’ (jilid 8, hlm. 418).
– Ibnu Katsir dalam al-Bidāyah wa an-Nihāyah (jilid 10, hlm. 251).
– Abu Nu‘aim al-Ashbahani dalam Hilyatul Auliya’ (jilid 8, hlm. 167).
Riwayat tersebut tidak berstatus hadis, melainkan hikayat yang datang melalui mimpi Abdullah bin al-Mubarak. Para ulama seperti Ibnu Hajar al-‘Asqalani menegaskan bahwa kisah berbasis mimpi tidak dapat dijadikan dalil syar‘i, namun dapat diambil sebagai ibrah (pelajaran moral).

Sehingga dapat kita pelajari bersama bahwa:
1. Keikhlasan sebagai Hakikat Ibadah
Keputusan Ali al-Muwaffaq untuk membatalkan hajinya demi menolong tetangga menunjukkan keikhlasan yang tinggi. Ia lebih mengutamakan kebutuhan mendesak orang lain dibanding ibadah personal. Hal ini selaras dengan prinsip ikhlas lillāh yang menjadi syarat diterimanya amal.
2. Amal Sosial sebagai Prioritas Dakwah
Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad, no. 23408). Memberi makan orang lapar, menolong fakir miskin, dan peduli terhadap tetangga merupakan bagian dari maqāṣid al-syarī‘ah dalam menjaga jiwa (ḥifẓ an-nafs). Dari perspektif dakwah, amal sosial adalah bentuk nyata keberislaman yang memudahkan penyebaran nilai Islam.
3. Syariat dan Hakikat dalam Ibadah
Kisah ini tidak membatalkan kewajiban haji bagi yang mampu, tetapi menunjukkan bahwa hakikat haji mabrur adalah transformasi diri menuju kepedulian sosial. Dengan kata lain, syariat (haji secara fisik) harus berbuah pada hakikat (perubahan moral dan kepedulian sosial).
4. Relevansi untuk Dakwah Kontemporer
Dalam konteks dakwah modern, kisah ini relevan sebagai narasi yang mengajarkan bahwa Islam bukan hanya ritual, melainkan juga etika sosial. Di tengah fenomena meningkatnya ibadah ritual tetapi melemahnya solidaritas sosial, kisah Ali al-Muwaffaq dapat menjadi strategi dakwah berbasis uswah (keteladanan).
Kesimpulan

Kisah Ali al-Muwaffaq meskipun tidak bersumber dari hadis sahih, tetap memiliki nilai moral yang tinggi. Ia menegaskan bahwa keikhlasan dan amal sosial dapat bernilai setara dengan ibadah besar. Dari perspektif dakwah, kisah ini mengajarkan:
1. Keikhlasan adalah inti dari setiap ibadah.
2. Amal sosial dapat menguatkan dimensi kemanusiaan Islam.
3. Syariat dan hakikat harus saling melengkapi dalam praktik beragama.
4. Dakwah kontemporer dapat memanfaatkan kisah ini untuk menumbuhkan kepedulian sosial.
Dengan demikian, kisah Ali al-Muwaffaq menjadi inspirasi bagi dakwah Islam untuk selalu menekankan keseimbangan antara ibadah ritual dan ibadah sosial

Penulis: Mabdaul Basar (Tendik FIAI UII)

 

Daftar Pustaka

  • Ahmad bin Hanbal. al-Musnad. Mu’assasah ar-Risalah, 2001.
  • Adz-Dzahabi, Syamsuddin. Siyar A‘lām an-Nubalā’. Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1985.
  • Ibnu Katsir, Ismail bin Umar. al-Bidāyah wa an-Nihāyah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997.
  • Abu Nu‘aim al-Ashbahani. Hilyatul Auliya’ wa Thabaqat al-Asfiya’. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988.
  • Ibnu Hajar al-‘Asqalani. al-Ishabah fi Tamyiz al-Sahabah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995.

Saat ini kita hidup di era digital, dimana segala hal yang awalnya manual menjadi praktis dan modern. Dari sisi teknologi informasi dengan cepat kita bisa melihat dan mendengar berbagai informasi yang tersaji di media yang datang dari berbagai daerah, bahkan dari luar negeri. Tidak jarang berita yang tersaji terkait kehidupan seseorang terutama tentang kekayaan, kesuksesan yang didapat dengan mudah tanpa hambatan, seolah-olah hidupnya berjalan sangat mulus dan tidak ada halangan. Sedangkan orang tersebut tidak pernah beribadah, penuh maksiat bahkan ada yang tidak mempercayai adanya tuhan. Apakah ini yang dinamakan ujian dari Allah Swt.?

Secara bahasa, istidraj berasal dari kata daraja, yang berarti ‘bertahap’ atau ‘berangsur-angsur’. Adapun istidraj juga dapat bermakna sebagai sebuah ‘ujian’ yang diberikan Allah Swt. secara berangsur-angsur kepada hamba-Nya. Ujian itu bisa berupa jabatan atau harta yang melimpah yang diberikan Allah terus-menerus meskipun seseorang itu jauh dari jalan kebenaran dan akhirnya akan mengantarkannya pada malapetaka yang lebih besar. Hal itu disebutkan dalam hadis berikut: “Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” (HR. Ahmad).

Kondisi istidraj ini juga telah dijelaskan dalam Al Qur’an “Maka serahkanlah kepada-Ku (urusannya) dan orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al Qur’an). Kelak akan Kami hukum mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui” (Qs Al-Qalam:44). Seseorang yang mengalami istidraj tidak akan menyadari jika perbuatannya telah membuat Allah murka, sebaliknya mereka menganggap kenikmatan yang diperoleh merupakan anugerah dari Allah.

Salah satu tanda istidraj pada diri seseorang yang mencolok yaitu selalu mendapatkan kenikmatan yang berlimpah padahal jarang melakukan ibadah, selalu melakukan kemaksiatan namun hidupnya selalu sukses, saat melakukan kesalahan tidak merasa berdosa, serta dalam hidupnya hampir tidak pernah diberikan cobaan. Ketika seseorang merasa kualitas ibadahnya turun namun kenikmatannya terus meningkat, hal itu jelas merupakan ciri-ciri sebuah Istidraj. Allah membiarkan orang-orang yang lalai dan bermaksiat itu semakin tersesat dan semakin dimanjakan dengan berbagai kenikmatan duniawi. Kenikmatan yang diberikan oleh Allah Swt. tersebut sebenarnya bukan bentuk kasih sayang terhadap hamba-Nya, melainkan murka-Nya.

Istidraj ini dapat dengan mudah kita temui di lingkungan masyarakat, bahkan banyak contohnya yang terpampang jelas. Seperti pejabat-pejabat negara yang diberikan amanah mendapatkan jabatan atau pangkat tinggi namun tidak menggunakan tugas dan wewenangnya dengan baik. Bahkan menyalahgunakan jabatan atau pangkatnya untuk memperkaya diri sendiri dengan melakukan kebijakan yang sangat merugikan rakyat. Mereka sebagian besar hidupnya mewah, bergelimang harta dan diberikan kenikmatan berkuasa dalam waktu yang lama.

Istidraj merupakan ujian yang sangat berbahaya bagi umat manusia. Pasalnya, istidraj adalah tipu daya yang Allah berikan kepada hamba-Nya yang telah lalai dan tersesat dari jalan yang benar. Semakin seseorang itu jauh dari Allah dan terlena dengan berbagai kenikmatan yang Allah berikan semakin bertambah pula kesenangan yang didapat oleh orang tersebut. Mereka mengira bahwa mereka mendapatkan nikmat karena keberhasilan atau usaha mereka sendiri. Mereka tidak bersyukur kepada Allah Swt. atas segala karunia-Nya. Hal ini dapat mendatangkan azab yang lebih berat.

Sebagai seorang muslim, kita diminta selalu waspada dan berhati-hati dalam menjalani hidup di dunia. Kenikmatan yang Allah berikan kepada hamba-Nya harus didasari dengan keimanan yang kuat. Selalu bersyukur kepada Allah atas segala karunia yang diberikan dan menjauhi semua hal yang mengandung maksiat. Selain itu, juga meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah antara lain melaksanakan shalat lima waktu tepat waktu, membaca Al-Qur’an, menghafal dan mengamalkannya, serta selalu berdoa dan memohon perlindungan Allah dari segala godaan dan fitnah dunia.

Penulis: Arum Huda Nurjanatun, S.IP (Tendik FIAI UII)

Pendahuluan
Kementerian Agama Republik Indonesia menggagas penerapan kurikulum cinta sebagai bentuk penanaman nilai-nilai cinta kepada Tuhan, sesama manusia, lingkungan, dan bangsa sejak usia dini. Inisiatif ini disebut sebagai respons terhadap meningkatnya intoleransi dan konflik sosial berbasis agama di Indonesia. Di saat yang sama, Buku Teks Utama (BTU) Pendidikan Pancasila, hasil kolaborasi Kemendikbudristek dan BPIP, diperkenalkan sebagai upaya membentuk Pelajar Pancasila, dengan mengaruskan program moderasi beragama sebagai inti dari Kurikulum Merdeka.
Namun, baik kurikulum cinta maupun moderasi beragama menuai kritik karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Islam secara kaffah. Keduanya dicurigai sebagai bentuk rekayasa ideologis yang menyusupkan nilai-nilai liberalisme, pluralisme, dan sekularisme ke dalam tubuh pendidikan Islam di Indonesia.
Konsep dan Latar Belakang
Kurikulum cinta diperkenalkan sebagai elemen tambahan dalam sistem pendidikan madrasah dan nasional, bukan untuk menggantikan pelajaran yang ada, tetapi untuk mengintegrasikan nilai-nilai kemanusiaan serta toleransi. Lima nilai utama yang dikembangkan meliputi: kasih kepada Allah, kasih kepada Rasul, kasih antar sesama manusia, kasih terhadap lingkungan, dan kasih terhadap tanah air.
Sementara itu, moderasi beragama telah menjadi program prioritas sejak 2019 dan kini diimplementasikan dalam kurikulum formal. Dinyatakan sebagai cara untuk menangkal radikalisme dan intoleransi, program ini diujicobakan di ribuan sekolah penggerak dan menjadi materi wajib dalam Program Guru Penggerak.
Namun, kritik utama datang dari pemahaman bahwa istilah “moderat” dan “radikal” adalah konstruksi asing yang menyesatkan. Strategi global ini dipandang sebagai upaya untuk menyesuaikan ajaran Islam dengan nilai-nilai demokrasi, HAM, dan pluralisme yang tidak bersumber dari wahyu. Klasifikasi Islam ke dalam kelompok radikal, moderat, tradisional, dan liberal merupakan rekayasa yang bertujuan melemahkan keteguhan umat terhadap penerapan Islam secara kaffah.

Kritik Teologis dan Konseptual
Secara teologis, baik kurikulum cinta maupun moderasi beragama dianggap menciptakan ambiguitas terhadap ajaran Islam. Penghapusan atau reinterpretasi terhadap konsep-konsep seperti jihad, hudud, qishash, dan hukum murtad dipandang sebagai bentuk pelunturan akidah. Ada kekhawatiran bahwa pendekatan reflective learning dan multikulturalisme dalam kurikulum cinta akan membentuk keraguan terhadap syariat Islam.
Penerapan nilai-nilai universal seperti kesetaraan agama dan toleransi kebablasan diyakini dapat menciptakan generasi Muslim yang ragu terhadap kebenaran tunggal Islam. Konsep pluralisme yang menganggap semua agama sama benar bertentangan dengan ajaran Islam yang memerintahkan umat untuk berpegang teguh pada satu kebenaran.
Kritik ini juga menyasar akar ideologis kurikulum cinta yang diyakini berasal dari proyek ideologis global untuk merombak cara berpikir umat Islam. Narasi cinta, humanisme, dan nasionalisme sekuler secara halus menggantikan nilai-nilai transendental yang bersumber dari wahyu.
Konsekuensi Sosiologis dan Pendidikan
Kedua kebijakan ini berdampak secara sosiologis dan historis:
– Teologis: Konsep cinta dan toleransi disinyalir menjauhkan siswa dari pemahaman kaffah tentang syariat.
– Normatif: Pelajaran-pelajaran penting dalam Islam dikaburkan atau dihapus dengan alasan moderasi.
– Sosiologis: Terjadi pergeseran nilai dalam praktik ibadah dan identitas keislaman; seperti keterlibatan Muslim dalam perayaan keagamaan non-Muslim.
– Historis: Syariat dan daulah hanya diposisikan sebagai fenomena sejarah, bukan sistem yang hidup dan relevan.
Lebih dari itu, pendekatan moderasi mengaburkan batas antara kebenaran dan kebatilan. Hal ini menyebabkan generasi muda kehilangan jati diri sebagai Muslim. Padahal Islam menuntut penerapan syariat secara menyeluruh sebagai solusi tunggal atas seluruh problem kehidupan, termasuk pendidikan. Sistem pendidikan yang benar menurut Islam harus bertujuan membentuk kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah), yaitu pola pikir dan pola sikap yang bersumber dari akidah Islam

Islam dan Toleransi: Sudut Pandang Asli

Islam sejak awal adalah agama yang menjunjung tinggi perbedaan. QS Al-Baqarah:256 dan QS Al-An’am:108 menunjukkan bahwa Islam melarang pemaksaan dalam agama dan menjunjung tinggi kebebasan berkeyakinan. Dalam sejarahnya, umat Islam hidup berdampingan dengan non-Muslim dengan prinsip keadilan dan kedamaian.
Toleransi dalam Islam bukan hasil benturan sejarah, seperti halnya di Eropa, melainkan bersumber dari wahyu. Maka, toleransi Islam tidak memerlukan reinterpretasi atau penyusupan nilai-nilai asing. Islam telah mengatur interaksi antarumat beragama dengan prinsip yang jelas dan adil. Pengaburan makna toleransi ini hanya akan membuka pintu kompromi terhadap syariat dan menggiring umat untuk menerima sistem nilai non-Islami.
Penutup
Baik kurikulum cinta maupun program moderasi beragama perlu dikaji ulang secara mendalam. Keduanya terindikasi sebagai strategi halus untuk menjauhkan umat Islam dari penerapan Islam secara total. Penyusupan nilai-nilai sekuler, pluralis, dan humanis ke dalam pendidikan Islam adalah upaya sistemik yang membahayakan generasi masa depan.
Sebagai alternatif, pendidikan harus dikembalikan kepada dasar Islam secara menyeluruh—bukan hanya sebagai pelengkap, tetapi sebagai fondasi utama. Pendidikan berbasis syariat harus dikembangkan untuk membentuk generasi yang memiliki pemahaman yang sahih, akidah yang kuat, serta kesiapan untuk menerapkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan.
Wallahu a’lam.

Penulis: M. Darzan Hanan M. (Tendik FIAI UII)

Kesehatan adalah hal yang penting. Menjaga kesehatan adalah bagian dari ibadah. Islam memandang kesehatan sangat penting karena kesehatan adalah hak asasi manusia, sesuatu yang sesuai dengan fitrah manusia. Ada istilah lebih baik mencegah daripada mengobati, yang dapat diartikan juga tubuh manusia adalah aset yang diamanahkan Allah kepada makhluk ciptaan-Nya untuk dijaga dengan baik. Bahkan ada ungkapan “harta yang paling berharga adalah kesehatan” yang dapat dimaknai bahwa kesehatan jauh lebih berharga daripada materi atau kekayaan duniawi. Merawat dan menjaga hak-hak tubuh sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia. Dengan anggota tubuh yang kita miliki inilah maka kita dapat berpikir, berinovasi, berusaha, dan bekerja, serta beribadah kepada Allah Swt. Tentu saja supaya tubuh kita berfungsi secara maksimal maka tubuh kita harus sehat. Tanpa kesehatan yang baik, seseorang tidak akan mampu menikmati hidup yang telah Allah berikan dengan sepenuhnya. Bagaimana seorang manusia mampu menikmati harta dunianya jika ia sakit-sakitan, bagaimana seorang manusia menjalankan pekerjaannya jika tubuhnya tidak bugar. Kesehatan adalah investasi jangka panjang.

Salah satu upaya menjaga kesehatan adalah dengan berolahraga. Bahkan Rasullullah pun melakukan berbagai jenis aktivitas fisik seperti berkuda, berlari, berjalan, berenang dan juga memanah. Dalam pelaksanaannya terdapat unsur bermain, ada rasa senang, dilakukan pada waktu luang, dan terdapat kepuasan tersendiri. Olahraga melibatkan interaksi antara satu individu dengan individu lainnya, atau bahkan dengan alam sekalipun. Tujuan utama dari olahraga ialah untuk meningkatkan energi tubuh dan meningkatkan imun (sistem daya tubuh), serta untuk mendapatkan kesehatan pada dalam diri.

Melakukan olahraga atau aktivitas fisik memberikan manfaat untuk kesehatan jasmani maupun rohani. Olahraga memiliki dimensi spiritual yang berfungsi untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, membentuk akhlak bahkan mampu mempererat ukhuah islamiyah. Olahraga membantu meningkatkan kesehatan jasmani dengan mengurangi risiko penyakit jantung, mengendalikan berat badan, serta memperkuat otot dan tulang. Secara mental, olahraga meredakan stres, meningkatkan suasana hati, dan memperbaiki pola tidur. Di sisi spiritual, olahraga dilakukan dengan niat ibadah dapat mendekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan kesejahteraan batin (Azmi, 2024). Manfaat olahraga yang dijalankan dengan baik, dapat memberikan kontribusi bagi seorang hamba untuk melaksanakan ibadah, seperti shalat, puasa bahkan ibadah haji dengan optimal.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, beliau berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allâh Azza wa Jalla daripada Mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allâh (dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali engkau merasa lemah. Apabila engkau tertimpa musibah, janganlah engkau berkata, Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini dan begitu, tetapi katakanlah, ini telah ditakdirkan Allâh, dan Allâh berbuat apa saja yang Dia kehendaki, karena ucapan seandainya akan membuka (pintu) perbuatan syaitan (HR Muslim no 2664). Olahraga adalah salah satu cara efektif untuk menjaga kesehatan dan kekuatan fisik. Kuat yang dimaksud adalah kuat bukan hanya fisik, namun juga mental dan spiritualnya yang diraih melalui pola hidup sehat. Olahraga juga berperan merawat kesehatan mental. Aktivitas fisik dapat membantu mengurangi stres, meningkatkan mood, dan memperbaiki kualitas tidur. Hal ini penting, karena Islam menganjurkan umatnya selalu berada dalam kondisi mental yang baik, agar mampu beribadah dengan khusyuk.

Olahraga adalah kegiatan yang mengutamakan sportivitas, yang juga berkaitan erat dengan kejujuran, sementara kejujuran adalah pondasi seorang insan. Dalam praktiknya, banyak olahraga yang dimainkan secara tim, seperti sepak bola, basket, atau voli. Olahraga ini mengajarkan kerja sama, saling membantu, dan kepemimpinan. Dalam konteks ini, umat diajarkan tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa.

Islam menjadikan kesehatan dan kekuatan tubuh sebagai salah satu faktor kemenangan, rasa semangat dalam beribadah, dan keunggulan seorang manusia. Sudah sepantasnya seorang muslim menjaga tubuhnya dengan berolahraga, sehingga dirinya kuat di dalam menajalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Umat Islam dapat saja berpartisipasi dalam aktivitas olahraga yang bermanfaat, yang sesuai dengan ajaran dan teladan Rasulullah saw.

 

Ditulis oleh
Rani Dwi Alfita Sari, S.KM

(Tendik FIAI UII)

 

Referensi

Azmi, Muhammad, 2024. “Menggali Hikmah Olahraga dalam Kehidupan Beragama Islam”. Journal Islamic Education, Vol 3 no 2, hal 304-315

https://almanhaj.or.id/12492-mukmin-yang-kuat-lebih-baik-dan-lebih-dicintai-oleh-allah-subhanahu-wa-taala-2.html

https://kemenag.go.id/islam/pentingnya-menjaga-pola-hidup-sehat-AAbIu

https://dsi.acehprov.go.id/berita/kategori/mimbar-baiturrahman/olahraga-dalam-pandangan-syariat-islam

https://muslim.or.id/99234-agar-olahraga-bernilai-ibadah.html

 

 

 

 

 

 Era digital memberikan perubahan besar terhadap kehidupan manusia dalam hal berinteraksi, berkomunikasi, mencari informasi dan juga belajar. Berkembangnya teknologi yang semakin pesat tentu memberikan dampak positif, namun juga berpotensi menjadi negatif apabila tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya.

Pesatnya kemajuan teknologi memberikan tantangan besar terhadap kemunduran nilai-nilai moral, khususnya generasi muda yang sebagian besar merupakan pengguna media sosial.Pada awal tahun 2025, pengguna internet di Indonesia mencapai 221 juta atau setara 79,5 persen dari total penduduk Indonesia. Survei dari National Center on Missing and Exploited Children (NCMEC), Indonesia menempati peringkat empat secara global dan kedua pada ASEAN dalam kasus pornografi anak di ruang digital. Data tersebut sangat memprihatinkan dan perlu mendapat respons yang serius dari pemerintah dan orang tua anak.

Tantangan Krisis Moral pada Era Digital

Berikut beberapa tantangan krisis moral yang dapat terjadi akibat pesatnya kemajuan teknologi apabila tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya:

Satu, Terpapar Konten Negatif

Mudahnya dalam mengakses berbagai media dan sumber pada internet, dapat berpotensi terpapar konten negatif yang seharusnya belum dapat dikonsumsi pada usianya. Tanpa adanya pengawasan dan filter, risiko terpapar konten pornografi, hoaks, kriminalitas dan ujaran kebencian akan semakin tinggi, sehingga dapat merusak karakter, menurunkan nilai moral, serta memicu perilaku menyimpang.


Dua, Cyberbullyiing atau Perundungan Dunia Maya

Pengguna aktif media sosial berpotensi mengalami cyberbullying apabila tidak membatasi dalam membagikan informasi pribadinya atau memposting konten yang menimbulkan kontroversi yang dapat menimbulkan reaksi komentar kasar atau penghinaan oleh individu atau suatu kelompok.


Tiga, Lunturnya Norma Sosial

Lunturnya norma sosial pada era digital, terjadi ketika batas-batas etika dan sopan santun semakin diabaikan ketika menggunakan media sosial yang tanpa batas. Konten-konten pornografi, ujaran kebencian, hoaks, hedonistik berpotensi menyebabkan pergeseran dan lunturnya norma agama, kesopanan dan norma hukum dalam masyarkat.

Empat, Mudah Terpengaruh Tren dan Hedonisme

Mudahnya terpengaruh gaya hidup hedonisme dan tren yang sedang  viral di media sosial membuat banyak orang  rela menghabiskan waktu dan uangnya untuk mengikuti pola hidup materialistik dan konsumtif demi mendapatkan pengakuan sosial di masyarakat.

Solusi Mengatasi Terjadinya Krisis Moral pada Era Digital

Menghadapi berbagai tantangan krisis moral pada era digital tersebut, berikut beberapa solusi dalam mengatasi terjadinya krisis moral pada era digital:

Satu, Pendidikan Moral Sejak Dini

Pendidikan moral sejak dini sangat penting dalam membentuk karakter individu yang mempunyai etika, empati dan bertanggung jawab. Orang tua merupakan pendidik pertama yang berperan dalam memberikan teladan bagi anak-anaknya sejak dini. Selain itu, pendidik sekolah juga mempunyai peran strategis dalam  hal menanamkan pendidikan karakter di sekolah.

Dua, Penguatan Pendidikan Agama

Penguatan pendidikan agama sejak dini sangat penting dalam membentuk spiritualitas anak, fondasi moral, karakter yang beriman, berakhlak mulia sehingga siap dalam menghadapi tantangan pada era digital.

Tiga, Pendampingan dan Pengawasan dalam Penggunaan Teknologi

Orang tua dan orang terdekat berperan aktif dalam pendampingan dan pengawasan terhadap akses penggunaan teknologi. Pembatasan waktu dan filter akses dapat mengurangi terkena paparan konten negatif.

Empat, Pengembangan Keterampilan dan Berpikir Kritis dalam Pemanfaatan Teknologi

Teknologi apabila dimanfaatkan secara bijak, menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan kualitas pendidikan, memperluas wawasan, meningkatkan komunikasi, mendorong inovasi dan produktivitas individu dalam berbagai aspek kehidupan. Selain itu, teknologi apabila dimanfaatkan secara bijak dapat membantu dalam meningkatkan daya saing pada era digital.

Pentingnya keterampilan dan berpikir kritis dalam pemanfaatan teknologi, dapat membantu individu dalam mengelola dan menyaring informasi secara bijak, sehingga dapat membedakan fakta dari opini, mengenali bias, tidak mudah terjebak hoaks dan konten yang menyesatkan.

Kesimpulan:

Krisis moral pada era digital merupakan sebuah tantangan bagi semua pihak. Perlunya kolaborasi dari orang tua, satuan pendidikan, masyarakat dan pemerintah dalam menciptakan lingkungan yang kondusif melalui pendidikan moral, literasi digital serta perlunya menerapkan regulasi khusus guna melindungi generasi muda dari paparan konten negatif dan membentuk karakter yang berakhlak mulia.

Penulis: Desi Rahmawati (Tendik FIAI UII)

 

Saudaraku yang dirahmati Allah, setiap manusia pasti ingin dicintai. Namun, tidak ada cinta yang lebih agung, lebih tulus, dan lebih bermanfaat daripada cinta Allah Subhanahu wa Ta’ala. Cinta Allah adalah sumber dari segala kebaikan dan keselamatan, baik di dunia ini maupun di akhirat nanti.

Jika manusia mencintai kita, maka mungkin kita akan merasa dihargai dan bahagia. Tapi jika Allah yang mencintai kita, maka hidup kita akan diberkahi, dilimpahi rahmat, dijaga dari keburukan, dan diberikan tempat yang mulia di sisi-Nya kelak.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 195:

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik (muhsinin).”

Sementara Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang bertakwa, yang kaya (hati), dan yang menyembunyikan amalnya.”
(HR. Muslim)

Melalui ayat dan hadits ini, kita diajarkan bahwa cinta Allah dapat diraih dengan tiga kunci utama, yaitu:

  1. Berbuat Baik (Ihsan)

Berbuat baik atau ihsan adalah memberikan manfaat kepada orang lain dengan ikhlas karena Allah. Kebaikan ini tidak hanya terbatas pada sesama muslim, tetapi juga kepada seluruh makhluk Allah — termasuk non-muslim, hewan, bahkan alam. Menyingkirkan duri dari jalan, memberi makan orang yang kelaparan, menolong yang lemah, dan berkata yang baik adalah contoh-contoh ihsan yang sangat Allah cintai.

  1. Bertakwa

Takwa adalah sikap takut dan cinta kepada Allah yang diwujudkan dalam ketaatan. Seorang yang bertakwa akan berhati-hati dalam hidupnya, selalu berusaha menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Takwa menjadikan seseorang rendah hati, tidak sombong, dan selalu sadar bahwa hidup ini adalah ujian dari Allah.

Dalam Surah Al-Hujurat ayat 13, Allah menegaskan bahwa:

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.”

  1. Kaya Hati dan Menyembunyikan Amal

Orang yang kaya hati adalah orang yang merasa cukup, tidak tamak terhadap dunia, dan memiliki sikap qana’ah. Ia tidak mudah iri terhadap nikmat orang lain, dan selalu bersyukur atas apa yang dimilikinya.

Selain itu, Allah mencintai hamba yang menyembunyikan amal shalihnya. Artinya, amal dilakukan semata-mata karena Allah, bukan untuk dipamerkan atau mencari pujian dari manusia. Orang seperti ini sangat menjaga keikhlasan, dan inilah salah satu sifat hamba yang paling dicintai oleh Allah.

Saudaraku,
Menjadi manusia yang dicintai Allah adalah sebuah cita-cita yang tinggi dan mulia. Namun, cita-cita itu bukan mustahil untuk diraih. Allah itu Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan tidak pernah menyia-nyiakan usaha hamba-Nya. Sekecil apa pun kebaikan yang kita lakukan, jika diniatkan dengan ikhlas dan istiqamah, maka akan menjadi jalan menuju cinta Allah.

Kita bisa mulai dari hal-hal kecil:

  • Selalu berkata jujur.
  • Membantu orang tua dan tetangga.
  • Shalat tepat waktu.
  • Menghindari ghibah dan fitnah.
  • Tersenyum kepada orang lain.

Semua itu, bila dilakukan dengan keikhlasan dan niat karena Allah, menjadi bagian dari upaya mencintai dan dicintai oleh-Nya.

Bayangkan, betapa luar biasanya menjadi hamba yang dicintai Allah — dijaga langkahnya, dilindungi hatinya, dan dimudahkan segala urusannya.

Maka mari kita jaga hati, perbaiki amal, dan terus bertumbuh dalam keimanan.
Jangan menyerah untuk memperbaiki diri, meski pelan-pelan. Allah mencintai hamba yang terus berusaha. Selama kita hidup, masih ada kesempatan untuk meraih cinta-Nya.

Wallahu a’lam bishawab.

Penulis : Dafik Hermanto  (Tendik FIAI UII)

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Hari ini kita hidup di zaman yang sibuk. Kita bangun pagi-pagi untuk kerja, sekolah, atau kegiatan lain. Kita terbiasa melihat layar handphone, laptop, dan TV hampir setiap hari. Kadang, tanpa sadar, kita lupa untuk menjaga hati kita. Padahal, hati adalah bagian penting dari hidup kita sebagai seorang Muslim.

Dalam sebuah      hadis, Rasulullah saw. bersabda:

“Ketahuilah bahwa di dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, itulah hati” (HR. Bukhari dan Muslim).

hadits ini mengingatkan kita betapa pentingnya hati. Hati kita seperti pusat kendali. Kalau hati kita penuh dengan kebaikan, maka seluruh perilaku kita juga akan baik. Tapi kalau hati kita dipenuhi keburukan, maka perilaku kita pun ikut rusak.

Namun pertanyaannya, bagaimana cara kita menjaga hati di zaman sekarang ini?

Pertama, kita harus dekat dengan Allah. Dekat dengan Allah bukan hanya soal shalat lima waktu, tapi juga menjaga hubungan kita dengan-Nya setiap saat. Misalnya, dengan membaca Al-Qur’an walau hanya satu ayat sehari, berzikir di waktu senggang, atau merenung tentang nikmat yang telah Allah beri. Hal-hal kecil ini bisa menjadi penjaga hati kita agar tetap lembut.

Kedua, kita harus hati-hati dalam memilih tontonan, bacaan, dan pergaulan. Saat ini, banyak sekali hiburan yang menarik tapi bisa menjauhkan kita dari Allah. Tontonan yang mengandung kekerasan, aurat, atau hal-hal yang tidak bermanfaat bisa membuat hati kita menjadi keras.

Ketiga, kita perlu bersyukur dan tidak mudah mengeluh. Banyak dari kita yang sibuk membandingkan hidup dengan orang lain di media sosial. Kita merasa orang lain lebih bahagia, lebih kaya, lebih cantik, atau lebih sukses. Padahal, kita tidak tahu apa yang sebenarnya mereka alami. Bersyukurlah atas apa yang kita punya hari ini.

Keempat, sering-seringlah bergaul dengan orang-orang yang baik, yang bisa mengingatkan kita kepada Allah. Teman itu sangat berpengaruh pada hati. Jika kita berada di lingkungan yang baik, hati kita akan ikut menjadi baik.

Saudaraku, menjaga hati bukanlah perkara sekali jadi. Ini adalah proses seumur hidup. Kadang iman kita naik turun, kadang semangat ibadah, kadang juga malas. Tapi yang penting adalah kita terus berusaha. Jangan menyerah hanya karena merasa belum sempurna. Allah mencintai hamba-Nya yang terus berjuang memperbaiki diri.

Terakhir, mari kita jadikan hati kita tempat yang bersih. Tempat yang hanya berisi cinta kepada Allah, kasih sayang kepada sesama, dan harapan akan ampunan-Nya. Jika hati kita bersih, maka insya Allah hidup kita juga akan terasa lebih tenang dan bahagia.

Semoga kita semua bisa menjadi hamba yang hatinya dijaga oleh Allah Swt.      Aamiin ya rabbal ‘alamin.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ditulis oleh
Mulyadi – Tendik FIAI UII