Saat ini kita hidup di era digital, dimana segala hal yang awalnya manual menjadi praktis dan modern. Dari sisi teknologi informasi dengan cepat kita bisa melihat dan mendengar berbagai informasi yang tersaji di media yang datang dari berbagai daerah, bahkan dari luar negeri. Tidak jarang berita yang tersaji terkait kehidupan seseorang terutama tentang kekayaan, kesuksesan yang didapat dengan mudah tanpa hambatan, seolah-olah hidupnya berjalan sangat mulus dan tidak ada halangan. Sedangkan orang tersebut tidak pernah beribadah, penuh maksiat bahkan ada yang tidak mempercayai adanya tuhan. Apakah ini yang dinamakan ujian dari Allah Swt.?

Secara bahasa, istidraj berasal dari kata daraja, yang berarti ‘bertahap’ atau ‘berangsur-angsur’. Adapun istidraj juga dapat bermakna sebagai sebuah ‘ujian’ yang diberikan Allah Swt. secara berangsur-angsur kepada hamba-Nya. Ujian itu bisa berupa jabatan atau harta yang melimpah yang diberikan Allah terus-menerus meskipun seseorang itu jauh dari jalan kebenaran dan akhirnya akan mengantarkannya pada malapetaka yang lebih besar. Hal itu disebutkan dalam hadis berikut: “Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” (HR. Ahmad).

Kondisi istidraj ini juga telah dijelaskan dalam Al Qur’an “Maka serahkanlah kepada-Ku (urusannya) dan orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al Qur’an). Kelak akan Kami hukum mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui” (Qs Al-Qalam:44). Seseorang yang mengalami istidraj tidak akan menyadari jika perbuatannya telah membuat Allah murka, sebaliknya mereka menganggap kenikmatan yang diperoleh merupakan anugerah dari Allah.

Salah satu tanda istidraj pada diri seseorang yang mencolok yaitu selalu mendapatkan kenikmatan yang berlimpah padahal jarang melakukan ibadah, selalu melakukan kemaksiatan namun hidupnya selalu sukses, saat melakukan kesalahan tidak merasa berdosa, serta dalam hidupnya hampir tidak pernah diberikan cobaan. Ketika seseorang merasa kualitas ibadahnya turun namun kenikmatannya terus meningkat, hal itu jelas merupakan ciri-ciri sebuah Istidraj. Allah membiarkan orang-orang yang lalai dan bermaksiat itu semakin tersesat dan semakin dimanjakan dengan berbagai kenikmatan duniawi. Kenikmatan yang diberikan oleh Allah Swt. tersebut sebenarnya bukan bentuk kasih sayang terhadap hamba-Nya, melainkan murka-Nya.

Istidraj ini dapat dengan mudah kita temui di lingkungan masyarakat, bahkan banyak contohnya yang terpampang jelas. Seperti pejabat-pejabat negara yang diberikan amanah mendapatkan jabatan atau pangkat tinggi namun tidak menggunakan tugas dan wewenangnya dengan baik. Bahkan menyalahgunakan jabatan atau pangkatnya untuk memperkaya diri sendiri dengan melakukan kebijakan yang sangat merugikan rakyat. Mereka sebagian besar hidupnya mewah, bergelimang harta dan diberikan kenikmatan berkuasa dalam waktu yang lama.

Istidraj merupakan ujian yang sangat berbahaya bagi umat manusia. Pasalnya, istidraj adalah tipu daya yang Allah berikan kepada hamba-Nya yang telah lalai dan tersesat dari jalan yang benar. Semakin seseorang itu jauh dari Allah dan terlena dengan berbagai kenikmatan yang Allah berikan semakin bertambah pula kesenangan yang didapat oleh orang tersebut. Mereka mengira bahwa mereka mendapatkan nikmat karena keberhasilan atau usaha mereka sendiri. Mereka tidak bersyukur kepada Allah Swt. atas segala karunia-Nya. Hal ini dapat mendatangkan azab yang lebih berat.

Sebagai seorang muslim, kita diminta selalu waspada dan berhati-hati dalam menjalani hidup di dunia. Kenikmatan yang Allah berikan kepada hamba-Nya harus didasari dengan keimanan yang kuat. Selalu bersyukur kepada Allah atas segala karunia yang diberikan dan menjauhi semua hal yang mengandung maksiat. Selain itu, juga meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah antara lain melaksanakan shalat lima waktu tepat waktu, membaca Al-Qur’an, menghafal dan mengamalkannya, serta selalu berdoa dan memohon perlindungan Allah dari segala godaan dan fitnah dunia.

Penulis: Arum Huda Nurjanatun, S.IP (Tendik FIAI UII)

Pendahuluan
Kementerian Agama Republik Indonesia menggagas penerapan kurikulum cinta sebagai bentuk penanaman nilai-nilai cinta kepada Tuhan, sesama manusia, lingkungan, dan bangsa sejak usia dini. Inisiatif ini disebut sebagai respons terhadap meningkatnya intoleransi dan konflik sosial berbasis agama di Indonesia. Di saat yang sama, Buku Teks Utama (BTU) Pendidikan Pancasila, hasil kolaborasi Kemendikbudristek dan BPIP, diperkenalkan sebagai upaya membentuk Pelajar Pancasila, dengan mengaruskan program moderasi beragama sebagai inti dari Kurikulum Merdeka.
Namun, baik kurikulum cinta maupun moderasi beragama menuai kritik karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Islam secara kaffah. Keduanya dicurigai sebagai bentuk rekayasa ideologis yang menyusupkan nilai-nilai liberalisme, pluralisme, dan sekularisme ke dalam tubuh pendidikan Islam di Indonesia.
Konsep dan Latar Belakang
Kurikulum cinta diperkenalkan sebagai elemen tambahan dalam sistem pendidikan madrasah dan nasional, bukan untuk menggantikan pelajaran yang ada, tetapi untuk mengintegrasikan nilai-nilai kemanusiaan serta toleransi. Lima nilai utama yang dikembangkan meliputi: kasih kepada Allah, kasih kepada Rasul, kasih antar sesama manusia, kasih terhadap lingkungan, dan kasih terhadap tanah air.
Sementara itu, moderasi beragama telah menjadi program prioritas sejak 2019 dan kini diimplementasikan dalam kurikulum formal. Dinyatakan sebagai cara untuk menangkal radikalisme dan intoleransi, program ini diujicobakan di ribuan sekolah penggerak dan menjadi materi wajib dalam Program Guru Penggerak.
Namun, kritik utama datang dari pemahaman bahwa istilah “moderat” dan “radikal” adalah konstruksi asing yang menyesatkan. Strategi global ini dipandang sebagai upaya untuk menyesuaikan ajaran Islam dengan nilai-nilai demokrasi, HAM, dan pluralisme yang tidak bersumber dari wahyu. Klasifikasi Islam ke dalam kelompok radikal, moderat, tradisional, dan liberal merupakan rekayasa yang bertujuan melemahkan keteguhan umat terhadap penerapan Islam secara kaffah.

Kritik Teologis dan Konseptual
Secara teologis, baik kurikulum cinta maupun moderasi beragama dianggap menciptakan ambiguitas terhadap ajaran Islam. Penghapusan atau reinterpretasi terhadap konsep-konsep seperti jihad, hudud, qishash, dan hukum murtad dipandang sebagai bentuk pelunturan akidah. Ada kekhawatiran bahwa pendekatan reflective learning dan multikulturalisme dalam kurikulum cinta akan membentuk keraguan terhadap syariat Islam.
Penerapan nilai-nilai universal seperti kesetaraan agama dan toleransi kebablasan diyakini dapat menciptakan generasi Muslim yang ragu terhadap kebenaran tunggal Islam. Konsep pluralisme yang menganggap semua agama sama benar bertentangan dengan ajaran Islam yang memerintahkan umat untuk berpegang teguh pada satu kebenaran.
Kritik ini juga menyasar akar ideologis kurikulum cinta yang diyakini berasal dari proyek ideologis global untuk merombak cara berpikir umat Islam. Narasi cinta, humanisme, dan nasionalisme sekuler secara halus menggantikan nilai-nilai transendental yang bersumber dari wahyu.
Konsekuensi Sosiologis dan Pendidikan
Kedua kebijakan ini berdampak secara sosiologis dan historis:
– Teologis: Konsep cinta dan toleransi disinyalir menjauhkan siswa dari pemahaman kaffah tentang syariat.
– Normatif: Pelajaran-pelajaran penting dalam Islam dikaburkan atau dihapus dengan alasan moderasi.
– Sosiologis: Terjadi pergeseran nilai dalam praktik ibadah dan identitas keislaman; seperti keterlibatan Muslim dalam perayaan keagamaan non-Muslim.
– Historis: Syariat dan daulah hanya diposisikan sebagai fenomena sejarah, bukan sistem yang hidup dan relevan.
Lebih dari itu, pendekatan moderasi mengaburkan batas antara kebenaran dan kebatilan. Hal ini menyebabkan generasi muda kehilangan jati diri sebagai Muslim. Padahal Islam menuntut penerapan syariat secara menyeluruh sebagai solusi tunggal atas seluruh problem kehidupan, termasuk pendidikan. Sistem pendidikan yang benar menurut Islam harus bertujuan membentuk kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah), yaitu pola pikir dan pola sikap yang bersumber dari akidah Islam

Islam dan Toleransi: Sudut Pandang Asli

Islam sejak awal adalah agama yang menjunjung tinggi perbedaan. QS Al-Baqarah:256 dan QS Al-An’am:108 menunjukkan bahwa Islam melarang pemaksaan dalam agama dan menjunjung tinggi kebebasan berkeyakinan. Dalam sejarahnya, umat Islam hidup berdampingan dengan non-Muslim dengan prinsip keadilan dan kedamaian.
Toleransi dalam Islam bukan hasil benturan sejarah, seperti halnya di Eropa, melainkan bersumber dari wahyu. Maka, toleransi Islam tidak memerlukan reinterpretasi atau penyusupan nilai-nilai asing. Islam telah mengatur interaksi antarumat beragama dengan prinsip yang jelas dan adil. Pengaburan makna toleransi ini hanya akan membuka pintu kompromi terhadap syariat dan menggiring umat untuk menerima sistem nilai non-Islami.
Penutup
Baik kurikulum cinta maupun program moderasi beragama perlu dikaji ulang secara mendalam. Keduanya terindikasi sebagai strategi halus untuk menjauhkan umat Islam dari penerapan Islam secara total. Penyusupan nilai-nilai sekuler, pluralis, dan humanis ke dalam pendidikan Islam adalah upaya sistemik yang membahayakan generasi masa depan.
Sebagai alternatif, pendidikan harus dikembalikan kepada dasar Islam secara menyeluruh—bukan hanya sebagai pelengkap, tetapi sebagai fondasi utama. Pendidikan berbasis syariat harus dikembangkan untuk membentuk generasi yang memiliki pemahaman yang sahih, akidah yang kuat, serta kesiapan untuk menerapkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan.
Wallahu a’lam.

Penulis: M. Darzan Hanan M. (Tendik FIAI UII)

Kesehatan adalah hal yang penting. Menjaga kesehatan adalah bagian dari ibadah. Islam memandang kesehatan sangat penting karena kesehatan adalah hak asasi manusia, sesuatu yang sesuai dengan fitrah manusia. Ada istilah lebih baik mencegah daripada mengobati, yang dapat diartikan juga tubuh manusia adalah aset yang diamanahkan Allah kepada makhluk ciptaan-Nya untuk dijaga dengan baik. Bahkan ada ungkapan “harta yang paling berharga adalah kesehatan” yang dapat dimaknai bahwa kesehatan jauh lebih berharga daripada materi atau kekayaan duniawi. Merawat dan menjaga hak-hak tubuh sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia. Dengan anggota tubuh yang kita miliki inilah maka kita dapat berpikir, berinovasi, berusaha, dan bekerja, serta beribadah kepada Allah Swt. Tentu saja supaya tubuh kita berfungsi secara maksimal maka tubuh kita harus sehat. Tanpa kesehatan yang baik, seseorang tidak akan mampu menikmati hidup yang telah Allah berikan dengan sepenuhnya. Bagaimana seorang manusia mampu menikmati harta dunianya jika ia sakit-sakitan, bagaimana seorang manusia menjalankan pekerjaannya jika tubuhnya tidak bugar. Kesehatan adalah investasi jangka panjang.

Salah satu upaya menjaga kesehatan adalah dengan berolahraga. Bahkan Rasullullah pun melakukan berbagai jenis aktivitas fisik seperti berkuda, berlari, berjalan, berenang dan juga memanah. Dalam pelaksanaannya terdapat unsur bermain, ada rasa senang, dilakukan pada waktu luang, dan terdapat kepuasan tersendiri. Olahraga melibatkan interaksi antara satu individu dengan individu lainnya, atau bahkan dengan alam sekalipun. Tujuan utama dari olahraga ialah untuk meningkatkan energi tubuh dan meningkatkan imun (sistem daya tubuh), serta untuk mendapatkan kesehatan pada dalam diri.

Melakukan olahraga atau aktivitas fisik memberikan manfaat untuk kesehatan jasmani maupun rohani. Olahraga memiliki dimensi spiritual yang berfungsi untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, membentuk akhlak bahkan mampu mempererat ukhuah islamiyah. Olahraga membantu meningkatkan kesehatan jasmani dengan mengurangi risiko penyakit jantung, mengendalikan berat badan, serta memperkuat otot dan tulang. Secara mental, olahraga meredakan stres, meningkatkan suasana hati, dan memperbaiki pola tidur. Di sisi spiritual, olahraga dilakukan dengan niat ibadah dapat mendekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan kesejahteraan batin (Azmi, 2024). Manfaat olahraga yang dijalankan dengan baik, dapat memberikan kontribusi bagi seorang hamba untuk melaksanakan ibadah, seperti shalat, puasa bahkan ibadah haji dengan optimal.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, beliau berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allâh Azza wa Jalla daripada Mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allâh (dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali engkau merasa lemah. Apabila engkau tertimpa musibah, janganlah engkau berkata, Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini dan begitu, tetapi katakanlah, ini telah ditakdirkan Allâh, dan Allâh berbuat apa saja yang Dia kehendaki, karena ucapan seandainya akan membuka (pintu) perbuatan syaitan (HR Muslim no 2664). Olahraga adalah salah satu cara efektif untuk menjaga kesehatan dan kekuatan fisik. Kuat yang dimaksud adalah kuat bukan hanya fisik, namun juga mental dan spiritualnya yang diraih melalui pola hidup sehat. Olahraga juga berperan merawat kesehatan mental. Aktivitas fisik dapat membantu mengurangi stres, meningkatkan mood, dan memperbaiki kualitas tidur. Hal ini penting, karena Islam menganjurkan umatnya selalu berada dalam kondisi mental yang baik, agar mampu beribadah dengan khusyuk.

Olahraga adalah kegiatan yang mengutamakan sportivitas, yang juga berkaitan erat dengan kejujuran, sementara kejujuran adalah pondasi seorang insan. Dalam praktiknya, banyak olahraga yang dimainkan secara tim, seperti sepak bola, basket, atau voli. Olahraga ini mengajarkan kerja sama, saling membantu, dan kepemimpinan. Dalam konteks ini, umat diajarkan tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa.

Islam menjadikan kesehatan dan kekuatan tubuh sebagai salah satu faktor kemenangan, rasa semangat dalam beribadah, dan keunggulan seorang manusia. Sudah sepantasnya seorang muslim menjaga tubuhnya dengan berolahraga, sehingga dirinya kuat di dalam menajalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Umat Islam dapat saja berpartisipasi dalam aktivitas olahraga yang bermanfaat, yang sesuai dengan ajaran dan teladan Rasulullah saw.

 

Ditulis oleh
Rani Dwi Alfita Sari, S.KM

(Tendik FIAI UII)

 

Referensi

Azmi, Muhammad, 2024. “Menggali Hikmah Olahraga dalam Kehidupan Beragama Islam”. Journal Islamic Education, Vol 3 no 2, hal 304-315

https://almanhaj.or.id/12492-mukmin-yang-kuat-lebih-baik-dan-lebih-dicintai-oleh-allah-subhanahu-wa-taala-2.html

https://kemenag.go.id/islam/pentingnya-menjaga-pola-hidup-sehat-AAbIu

https://dsi.acehprov.go.id/berita/kategori/mimbar-baiturrahman/olahraga-dalam-pandangan-syariat-islam

https://muslim.or.id/99234-agar-olahraga-bernilai-ibadah.html

 

 

 

 

 

 Era digital memberikan perubahan besar terhadap kehidupan manusia dalam hal berinteraksi, berkomunikasi, mencari informasi dan juga belajar. Berkembangnya teknologi yang semakin pesat tentu memberikan dampak positif, namun juga berpotensi menjadi negatif apabila tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya.

Pesatnya kemajuan teknologi memberikan tantangan besar terhadap kemunduran nilai-nilai moral, khususnya generasi muda yang sebagian besar merupakan pengguna media sosial.Pada awal tahun 2025, pengguna internet di Indonesia mencapai 221 juta atau setara 79,5 persen dari total penduduk Indonesia. Survei dari National Center on Missing and Exploited Children (NCMEC), Indonesia menempati peringkat empat secara global dan kedua pada ASEAN dalam kasus pornografi anak di ruang digital. Data tersebut sangat memprihatinkan dan perlu mendapat respons yang serius dari pemerintah dan orang tua anak.

Tantangan Krisis Moral pada Era Digital

Berikut beberapa tantangan krisis moral yang dapat terjadi akibat pesatnya kemajuan teknologi apabila tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya:

Satu, Terpapar Konten Negatif

Mudahnya dalam mengakses berbagai media dan sumber pada internet, dapat berpotensi terpapar konten negatif yang seharusnya belum dapat dikonsumsi pada usianya. Tanpa adanya pengawasan dan filter, risiko terpapar konten pornografi, hoaks, kriminalitas dan ujaran kebencian akan semakin tinggi, sehingga dapat merusak karakter, menurunkan nilai moral, serta memicu perilaku menyimpang.


Dua, Cyberbullyiing atau Perundungan Dunia Maya

Pengguna aktif media sosial berpotensi mengalami cyberbullying apabila tidak membatasi dalam membagikan informasi pribadinya atau memposting konten yang menimbulkan kontroversi yang dapat menimbulkan reaksi komentar kasar atau penghinaan oleh individu atau suatu kelompok.


Tiga, Lunturnya Norma Sosial

Lunturnya norma sosial pada era digital, terjadi ketika batas-batas etika dan sopan santun semakin diabaikan ketika menggunakan media sosial yang tanpa batas. Konten-konten pornografi, ujaran kebencian, hoaks, hedonistik berpotensi menyebabkan pergeseran dan lunturnya norma agama, kesopanan dan norma hukum dalam masyarkat.

Empat, Mudah Terpengaruh Tren dan Hedonisme

Mudahnya terpengaruh gaya hidup hedonisme dan tren yang sedang  viral di media sosial membuat banyak orang  rela menghabiskan waktu dan uangnya untuk mengikuti pola hidup materialistik dan konsumtif demi mendapatkan pengakuan sosial di masyarakat.

Solusi Mengatasi Terjadinya Krisis Moral pada Era Digital

Menghadapi berbagai tantangan krisis moral pada era digital tersebut, berikut beberapa solusi dalam mengatasi terjadinya krisis moral pada era digital:

Satu, Pendidikan Moral Sejak Dini

Pendidikan moral sejak dini sangat penting dalam membentuk karakter individu yang mempunyai etika, empati dan bertanggung jawab. Orang tua merupakan pendidik pertama yang berperan dalam memberikan teladan bagi anak-anaknya sejak dini. Selain itu, pendidik sekolah juga mempunyai peran strategis dalam  hal menanamkan pendidikan karakter di sekolah.

Dua, Penguatan Pendidikan Agama

Penguatan pendidikan agama sejak dini sangat penting dalam membentuk spiritualitas anak, fondasi moral, karakter yang beriman, berakhlak mulia sehingga siap dalam menghadapi tantangan pada era digital.

Tiga, Pendampingan dan Pengawasan dalam Penggunaan Teknologi

Orang tua dan orang terdekat berperan aktif dalam pendampingan dan pengawasan terhadap akses penggunaan teknologi. Pembatasan waktu dan filter akses dapat mengurangi terkena paparan konten negatif.

Empat, Pengembangan Keterampilan dan Berpikir Kritis dalam Pemanfaatan Teknologi

Teknologi apabila dimanfaatkan secara bijak, menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan kualitas pendidikan, memperluas wawasan, meningkatkan komunikasi, mendorong inovasi dan produktivitas individu dalam berbagai aspek kehidupan. Selain itu, teknologi apabila dimanfaatkan secara bijak dapat membantu dalam meningkatkan daya saing pada era digital.

Pentingnya keterampilan dan berpikir kritis dalam pemanfaatan teknologi, dapat membantu individu dalam mengelola dan menyaring informasi secara bijak, sehingga dapat membedakan fakta dari opini, mengenali bias, tidak mudah terjebak hoaks dan konten yang menyesatkan.

Kesimpulan:

Krisis moral pada era digital merupakan sebuah tantangan bagi semua pihak. Perlunya kolaborasi dari orang tua, satuan pendidikan, masyarakat dan pemerintah dalam menciptakan lingkungan yang kondusif melalui pendidikan moral, literasi digital serta perlunya menerapkan regulasi khusus guna melindungi generasi muda dari paparan konten negatif dan membentuk karakter yang berakhlak mulia.

Penulis: Desi Rahmawati (Tendik FIAI UII)

 

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Hari ini kita hidup di zaman yang sibuk. Kita bangun pagi-pagi untuk kerja, sekolah, atau kegiatan lain. Kita terbiasa melihat layar handphone, laptop, dan TV hampir setiap hari. Kadang, tanpa sadar, kita lupa untuk menjaga hati kita. Padahal, hati adalah bagian penting dari hidup kita sebagai seorang Muslim.

Dalam sebuah      hadis, Rasulullah saw. bersabda:

“Ketahuilah bahwa di dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, itulah hati” (HR. Bukhari dan Muslim).

hadits ini mengingatkan kita betapa pentingnya hati. Hati kita seperti pusat kendali. Kalau hati kita penuh dengan kebaikan, maka seluruh perilaku kita juga akan baik. Tapi kalau hati kita dipenuhi keburukan, maka perilaku kita pun ikut rusak.

Namun pertanyaannya, bagaimana cara kita menjaga hati di zaman sekarang ini?

Pertama, kita harus dekat dengan Allah. Dekat dengan Allah bukan hanya soal shalat lima waktu, tapi juga menjaga hubungan kita dengan-Nya setiap saat. Misalnya, dengan membaca Al-Qur’an walau hanya satu ayat sehari, berzikir di waktu senggang, atau merenung tentang nikmat yang telah Allah beri. Hal-hal kecil ini bisa menjadi penjaga hati kita agar tetap lembut.

Kedua, kita harus hati-hati dalam memilih tontonan, bacaan, dan pergaulan. Saat ini, banyak sekali hiburan yang menarik tapi bisa menjauhkan kita dari Allah. Tontonan yang mengandung kekerasan, aurat, atau hal-hal yang tidak bermanfaat bisa membuat hati kita menjadi keras.

Ketiga, kita perlu bersyukur dan tidak mudah mengeluh. Banyak dari kita yang sibuk membandingkan hidup dengan orang lain di media sosial. Kita merasa orang lain lebih bahagia, lebih kaya, lebih cantik, atau lebih sukses. Padahal, kita tidak tahu apa yang sebenarnya mereka alami. Bersyukurlah atas apa yang kita punya hari ini.

Keempat, sering-seringlah bergaul dengan orang-orang yang baik, yang bisa mengingatkan kita kepada Allah. Teman itu sangat berpengaruh pada hati. Jika kita berada di lingkungan yang baik, hati kita akan ikut menjadi baik.

Saudaraku, menjaga hati bukanlah perkara sekali jadi. Ini adalah proses seumur hidup. Kadang iman kita naik turun, kadang semangat ibadah, kadang juga malas. Tapi yang penting adalah kita terus berusaha. Jangan menyerah hanya karena merasa belum sempurna. Allah mencintai hamba-Nya yang terus berjuang memperbaiki diri.

Terakhir, mari kita jadikan hati kita tempat yang bersih. Tempat yang hanya berisi cinta kepada Allah, kasih sayang kepada sesama, dan harapan akan ampunan-Nya. Jika hati kita bersih, maka insya Allah hidup kita juga akan terasa lebih tenang dan bahagia.

Semoga kita semua bisa menjadi hamba yang hatinya dijaga oleh Allah Swt.      Aamiin ya rabbal ‘alamin.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ditulis oleh
Mulyadi – Tendik FIAI UII

 

Pendahuluan

Di era digital saat ini, kita menyaksikan perkembangan teknologi Artficial Intelligence (AI) yang begitu

pesat. Chatbot yang mampu berkomunikasi layaknya manusia, sistem pengenalan wajah yang semakin

akurat, hingga asisten virtual yang dapat membantu berbagai tugas sehari-hari telah menjadi bagian dari

kehidupan kita.

Namun di balik kemajuan teknologi yang menakjubkan ini, umat Muslim perlu menjaga keseimbangan

antara pemanfaatan teknologi dan keteguhan iman. Tantangan terbesar yang dihadapi adalah bagaimana

tetap mempertahankan kesadaran spiritual di tengah arus digitalisasi yang kian deras.

Dengan pemahaman yang tepat, teknologi AI dapat menjadi alat yang mendukung peningkatan kualitas

ibadah dan pemahaman agama, bukan malah menjauhkan kita dari nilai-nilai keislaman yang

fundamental.

 

Pemahaman Iman dalam Konteks Teknologi AI

Iman dalam Islam merupakan keyakinan yang tertanam dalam hat, diucapkan dengan lisan, dan

dibuktkan melalui perbuatan. Di era digital, makna iman tetap sama namun menghadapi tantangan yang

berbeda. Kehadiran kecerdasan buatan telah mengubah cara kita berinteraksi, belajar, dan menjalani

kehidupan sehari-hari.

Refleksi Spiritual di Era Digital

  • Menjaga kekhusyukan ibadah tanpa gangguan notfikasi
  • Meluangkan waktu untuk tadabbur Al-Qur’an
  • Menerapkan nilai-nilai Islam dalam penggunaan teknologi

Kesadaran spiritual menjadi benteng pentng menghadapi arus teknologi AI. Umat Muslim perlu

menyeimbangkan penggunaan teknologi dengan praktk keagamaan. Ketka AI menawarkan kemudahan,

kita perlu tetap menjaga connecton dengan Allah Swt. melalui:

  • Membatasi waktu penggunaan gadget
  • Memprioritaskan ibadah di atas kesibukan digital
  • Menggunakan AI sebagai alat bantu, bukan penggant pemahaman agama

Ketergantungan berlebihan pada dunia digital dapat mengikis kesadaran rohani. Pentng bagi kita untuk membangun digital mindfulness – kesadaran penuh dalam menggunakan teknologi tanpa mengorbankan nilai-nilai keimanan.

 Penulis: Wahyudi Kusumo Nugroho, S.Kom (Tendik FIAI UII)

Etika dan moral menjadi salah satu tantangan yang dihadapi pelaku usaha di tengah kondisi ekonomi saat ini dan kompetitor yang bersaing dalam profitabilitas. Bahkan dengan kondisi terpuruk, pelaku usaha dihadapkan pada pilihan tetap berpegang pada sifat Qur’ani agar memperoleh berkah dari Allah Swt. atau hanya menargetkan untung tanpa mempertahankan etika dan moral dalam berbisnis.

Praktik dakwah dalam kegiatan berbisnis tidak bisa hanya dengan menunggu kedatangan pemuka agama ataupun seseorang karyawan menjadi ustadz ataupun ustadzah. Dakwah bisa dimulai dari diri sendiri atau yang disebut dengan dakwah nafsiyah untuk sarana instropeksi agar bisa memperbaiki diri dan menjadi pribadi berkualitas yang Islami (Rostilawati, 2019:22). Rasulullah saw. sebagai pebisnis dapat dijadikan motivasi dengan prinsipnya yang berpegang teguh pada kejujuran, sifat amanah yang dapat bertanggung jawab dengan profesinya dan menjaga kepercayaan dari konsumen, menjauhi gharar yakni transaksi tidak jelas objek, kepemilikan misalnya menjual barang curian, barang yang belum ada wujudnya, tidak melakukan al-ghab (penipuan), ihtikar (menimbun barang), dan tadlis (menipu dengan menyembunyikan kecacatan).

Penerapan dakwah dalam berbisnis dapat diaplikasikan tidak hanya pada individu pekerja saja yang menjadi sumber daya manusia yang menjalankan operasional dengan penguatan etika bisnis dan moral, namun juga dapat diwujudkan penerapan dakwah dalam sektor bisnis yang digeluti. Seperti kebijakan manajemen kantor melaksanakan program kajian rutin sebagai pembinaan spiritual untuk karyawan, meluangkan sedikit waktu untuk karyawan mengaji bersama sebelum memulai kegiatan. Adapun CSR yang disesuaikan dengan praktik keislaman untuk mengikat hubungan baik antara karyawan, pemilik usaha, kostumer, lembaga umum, masyarakat di lingkungan domisili usaha. Contohnya kegiatan amal, pengajian akbar, program pengecekan kesehatan di hari nasional yang bekerjasama dengan lembaga kesehatan. Pada hari besar keagamaan misalnya turut andil penyembelihan hewan Qurban, program penyuluhan dan pemberdayaan dalam mengelolaan limbah sampah. Hal-hal tersebut sekiranya dapat menjadi salah satu solusi dalam berbagai masalah kekinian di tengah masyarakat. Dampak positif yang secara tidak langsung dapat diperoleh yaitu munculnya ide bisnis baru untuk warga sekitar. Dengan begitu tujuan dari dakwah membawa hal kebaikan di lingkungannya dengan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat sekitarnya.

Kebijakan itu membutuhkan anggaran khusus ataupun sumber dana di luar target profit atau yang dirumuskan usaha dagang atau pebisnis.Hal ini menjadi tantangan yang dapat mendorong tim lebih bersemangat dalam bekerja meningkatkan omset agar mendapatkan keberkahan dari Allah Swt. Saat karyawan merasa profesi yang dijalani memiliki makna dalam kehidupan sehari hari, diharapkan akan tetap loyal untuk bekerja di unit usaha dagang tersebut. Dakwah pun bisa terserap dalam produk yang dihasilkan oleh badan usaha. Upaya mengedepankan produk bersertifikat halal, pemasaran produk dengan desain produk yang   realpic, sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang ambigu pada produk yang diiklankan. Tips dan trik saat iklanpun dapat dikemas dengan konten iklan di media yang memaparkan sumber bahan baku produk dari sumber yang baik. Sehingga akan menarik minat konsumen karena awareness keamanan, kesehatan yang didapatkan dari kemajuan informasi dan teknologi. Bukan berarti semua produk barang dan jasa harus dihasilkan dan diiklankan dengan branding yang islami tetapi dengan cara yang baikpun tanpa menyinggung produk lain sudah menjadi nilai positif dalam beriklan.

Dengan upaya dakwah yang disisipkan dalam kegiatan operasionalnya diharapkan dapat menuntun pekerja dan pelaku usaha untuk menjalankan etika bisnis Islam dengan baik sesuai ajaran Islam. Moral karyawan dan pelaku usaha di dalamnya akan mengikuti tuntunan agama sehingga dapat mendatangkan keuntungan materiil dan ridha Allah Swt. dalam menjalankan usaha, bahagia di dunia dan akhirat. Aamin

 

Fausiah, Najim Nur, https://www.icdx.co.id/news-detail/publication/apa-itu-gharar-bagaimana-hukumnya-dalam-islam (2024).

Rostilawati, (2019). Dakwah dalam Pembinaan Akhlak Pedagang Ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Lappa Kabupaten Sinjai, 22.