Moderasi Beragama dan Kurikulum Cinta sebagai Upaya Reinterpretasi Islam dalam Pendidikan
Pendahuluan
Kementerian Agama Republik Indonesia menggagas penerapan kurikulum cinta sebagai bentuk penanaman nilai-nilai cinta kepada Tuhan, sesama manusia, lingkungan, dan bangsa sejak usia dini. Inisiatif ini disebut sebagai respons terhadap meningkatnya intoleransi dan konflik sosial berbasis agama di Indonesia. Di saat yang sama, Buku Teks Utama (BTU) Pendidikan Pancasila, hasil kolaborasi Kemendikbudristek dan BPIP, diperkenalkan sebagai upaya membentuk Pelajar Pancasila, dengan mengaruskan program moderasi beragama sebagai inti dari Kurikulum Merdeka.
Namun, baik kurikulum cinta maupun moderasi beragama menuai kritik karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Islam secara kaffah. Keduanya dicurigai sebagai bentuk rekayasa ideologis yang menyusupkan nilai-nilai liberalisme, pluralisme, dan sekularisme ke dalam tubuh pendidikan Islam di Indonesia.
Konsep dan Latar Belakang
Kurikulum cinta diperkenalkan sebagai elemen tambahan dalam sistem pendidikan madrasah dan nasional, bukan untuk menggantikan pelajaran yang ada, tetapi untuk mengintegrasikan nilai-nilai kemanusiaan serta toleransi. Lima nilai utama yang dikembangkan meliputi: kasih kepada Allah, kasih kepada Rasul, kasih antar sesama manusia, kasih terhadap lingkungan, dan kasih terhadap tanah air.
Sementara itu, moderasi beragama telah menjadi program prioritas sejak 2019 dan kini diimplementasikan dalam kurikulum formal. Dinyatakan sebagai cara untuk menangkal radikalisme dan intoleransi, program ini diujicobakan di ribuan sekolah penggerak dan menjadi materi wajib dalam Program Guru Penggerak.
Namun, kritik utama datang dari pemahaman bahwa istilah “moderat” dan “radikal” adalah konstruksi asing yang menyesatkan. Strategi global ini dipandang sebagai upaya untuk menyesuaikan ajaran Islam dengan nilai-nilai demokrasi, HAM, dan pluralisme yang tidak bersumber dari wahyu. Klasifikasi Islam ke dalam kelompok radikal, moderat, tradisional, dan liberal merupakan rekayasa yang bertujuan melemahkan keteguhan umat terhadap penerapan Islam secara kaffah.
Kritik Teologis dan Konseptual
Secara teologis, baik kurikulum cinta maupun moderasi beragama dianggap menciptakan ambiguitas terhadap ajaran Islam. Penghapusan atau reinterpretasi terhadap konsep-konsep seperti jihad, hudud, qishash, dan hukum murtad dipandang sebagai bentuk pelunturan akidah. Ada kekhawatiran bahwa pendekatan reflective learning dan multikulturalisme dalam kurikulum cinta akan membentuk keraguan terhadap syariat Islam.
Penerapan nilai-nilai universal seperti kesetaraan agama dan toleransi kebablasan diyakini dapat menciptakan generasi Muslim yang ragu terhadap kebenaran tunggal Islam. Konsep pluralisme yang menganggap semua agama sama benar bertentangan dengan ajaran Islam yang memerintahkan umat untuk berpegang teguh pada satu kebenaran.
Kritik ini juga menyasar akar ideologis kurikulum cinta yang diyakini berasal dari proyek ideologis global untuk merombak cara berpikir umat Islam. Narasi cinta, humanisme, dan nasionalisme sekuler secara halus menggantikan nilai-nilai transendental yang bersumber dari wahyu.
Konsekuensi Sosiologis dan Pendidikan
Kedua kebijakan ini berdampak secara sosiologis dan historis:
– Teologis: Konsep cinta dan toleransi disinyalir menjauhkan siswa dari pemahaman kaffah tentang syariat.
– Normatif: Pelajaran-pelajaran penting dalam Islam dikaburkan atau dihapus dengan alasan moderasi.
– Sosiologis: Terjadi pergeseran nilai dalam praktik ibadah dan identitas keislaman; seperti keterlibatan Muslim dalam perayaan keagamaan non-Muslim.
– Historis: Syariat dan daulah hanya diposisikan sebagai fenomena sejarah, bukan sistem yang hidup dan relevan.
Lebih dari itu, pendekatan moderasi mengaburkan batas antara kebenaran dan kebatilan. Hal ini menyebabkan generasi muda kehilangan jati diri sebagai Muslim. Padahal Islam menuntut penerapan syariat secara menyeluruh sebagai solusi tunggal atas seluruh problem kehidupan, termasuk pendidikan. Sistem pendidikan yang benar menurut Islam harus bertujuan membentuk kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah), yaitu pola pikir dan pola sikap yang bersumber dari akidah Islam
Islam dan Toleransi: Sudut Pandang Asli
Islam sejak awal adalah agama yang menjunjung tinggi perbedaan. QS Al-Baqarah:256 dan QS Al-An’am:108 menunjukkan bahwa Islam melarang pemaksaan dalam agama dan menjunjung tinggi kebebasan berkeyakinan. Dalam sejarahnya, umat Islam hidup berdampingan dengan non-Muslim dengan prinsip keadilan dan kedamaian.
Toleransi dalam Islam bukan hasil benturan sejarah, seperti halnya di Eropa, melainkan bersumber dari wahyu. Maka, toleransi Islam tidak memerlukan reinterpretasi atau penyusupan nilai-nilai asing. Islam telah mengatur interaksi antarumat beragama dengan prinsip yang jelas dan adil. Pengaburan makna toleransi ini hanya akan membuka pintu kompromi terhadap syariat dan menggiring umat untuk menerima sistem nilai non-Islami.
Penutup
Baik kurikulum cinta maupun program moderasi beragama perlu dikaji ulang secara mendalam. Keduanya terindikasi sebagai strategi halus untuk menjauhkan umat Islam dari penerapan Islam secara total. Penyusupan nilai-nilai sekuler, pluralis, dan humanis ke dalam pendidikan Islam adalah upaya sistemik yang membahayakan generasi masa depan.
Sebagai alternatif, pendidikan harus dikembalikan kepada dasar Islam secara menyeluruh—bukan hanya sebagai pelengkap, tetapi sebagai fondasi utama. Pendidikan berbasis syariat harus dikembangkan untuk membentuk generasi yang memiliki pemahaman yang sahih, akidah yang kuat, serta kesiapan untuk menerapkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan.
Wallahu a’lam.
Penulis: M. Darzan Hanan M. (Tendik FIAI UII)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!