Tidak Berhaji Tapi Jadi Haji Mabrur: Kisah Ali al-Muwaffaq
Dalam berbagai kisah kaum muslim, ada yang cukup terkenal yaitu berkenaan Ali al-Muwaffaq, seorang tukang sol sepatu dari Damaskus yang meskipun tidak berangkat haji, tetapi mendapat ganjaran haji mabrur karena keikhlasannya menolong tetangganya yang kelaparan. Kisah ini banyak dinukil dalam literatur klasik Islam, seperti Siyar A‘lām an-Nubalā’ karya Adz-Dzahabi dan al-Bidāyah wa an-Nihāyah karya Ibnu Katsir. Melalui pendekatan dakwah ilmiah, artikel ini menelaah nilai keikhlasan, prioritas amal sosial, dan hubungan antara syariat serta hakikat ibadah. Hasil telaah menunjukkan bahwa meskipun kisah ini tidak bersandar pada hadis sahih, ia tetap relevan sebagai hikayat yang memberi motivasi moral dan spiritual. Kisah Ali al-Muwaffaq menegaskan bahwa kepedulian sosial merupakan bagian integral dari misi dakwah Islam.
Haji merupakan rukun Islam kelima yang diwajibkan bagi Muslim yang mampu secara fisik, finansial, dan keamanan perjalanan. Al-Qur’an menegaskan:
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali Imran [3]: 97).
Namun, di tengah kewajiban ini, terdapat kisah menarik dari sejarah Islam yang memperlihatkan bahwa nilai haji mabrur tidak semata-mata ditentukan oleh perjalanan fisik menuju tanah suci, melainkan juga oleh keikhlasan amal. Kisah itu adalah kisah Ali al-Muwaffaq, seorang tukang sol sepatu Damaskus, yang riwayatnya tersebar melalui hikayat para ulama.
Dari perspektif dakwah, dengan menyoroti nilai-nilai keikhlasan, amal sosial, dan hakikat ibadah, kisah Ali al-Muwaffaq dinukil oleh beberapa ulama klasik, di antaranya:
– Adz-Dzahabi dalam Siyar A‘lām an-Nubalā’ (jilid 8, hlm. 418).
– Ibnu Katsir dalam al-Bidāyah wa an-Nihāyah (jilid 10, hlm. 251).
– Abu Nu‘aim al-Ashbahani dalam Hilyatul Auliya’ (jilid 8, hlm. 167).
Riwayat tersebut tidak berstatus hadis, melainkan hikayat yang datang melalui mimpi Abdullah bin al-Mubarak. Para ulama seperti Ibnu Hajar al-‘Asqalani menegaskan bahwa kisah berbasis mimpi tidak dapat dijadikan dalil syar‘i, namun dapat diambil sebagai ibrah (pelajaran moral).
Sehingga dapat kita pelajari bersama bahwa:
1. Keikhlasan sebagai Hakikat Ibadah
Keputusan Ali al-Muwaffaq untuk membatalkan hajinya demi menolong tetangga menunjukkan keikhlasan yang tinggi. Ia lebih mengutamakan kebutuhan mendesak orang lain dibanding ibadah personal. Hal ini selaras dengan prinsip ikhlas lillāh yang menjadi syarat diterimanya amal.
2. Amal Sosial sebagai Prioritas Dakwah
Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad, no. 23408). Memberi makan orang lapar, menolong fakir miskin, dan peduli terhadap tetangga merupakan bagian dari maqāṣid al-syarī‘ah dalam menjaga jiwa (ḥifẓ an-nafs). Dari perspektif dakwah, amal sosial adalah bentuk nyata keberislaman yang memudahkan penyebaran nilai Islam.
3. Syariat dan Hakikat dalam Ibadah
Kisah ini tidak membatalkan kewajiban haji bagi yang mampu, tetapi menunjukkan bahwa hakikat haji mabrur adalah transformasi diri menuju kepedulian sosial. Dengan kata lain, syariat (haji secara fisik) harus berbuah pada hakikat (perubahan moral dan kepedulian sosial).
4. Relevansi untuk Dakwah Kontemporer
Dalam konteks dakwah modern, kisah ini relevan sebagai narasi yang mengajarkan bahwa Islam bukan hanya ritual, melainkan juga etika sosial. Di tengah fenomena meningkatnya ibadah ritual tetapi melemahnya solidaritas sosial, kisah Ali al-Muwaffaq dapat menjadi strategi dakwah berbasis uswah (keteladanan).
Kesimpulan
Kisah Ali al-Muwaffaq meskipun tidak bersumber dari hadis sahih, tetap memiliki nilai moral yang tinggi. Ia menegaskan bahwa keikhlasan dan amal sosial dapat bernilai setara dengan ibadah besar. Dari perspektif dakwah, kisah ini mengajarkan:
1. Keikhlasan adalah inti dari setiap ibadah.
2. Amal sosial dapat menguatkan dimensi kemanusiaan Islam.
3. Syariat dan hakikat harus saling melengkapi dalam praktik beragama.
4. Dakwah kontemporer dapat memanfaatkan kisah ini untuk menumbuhkan kepedulian sosial.
Dengan demikian, kisah Ali al-Muwaffaq menjadi inspirasi bagi dakwah Islam untuk selalu menekankan keseimbangan antara ibadah ritual dan ibadah sosial
Penulis: Mabdaul Basar (Tendik FIAI UII)
Daftar Pustaka
- Ahmad bin Hanbal. al-Musnad. Mu’assasah ar-Risalah, 2001.
- Adz-Dzahabi, Syamsuddin. Siyar A‘lām an-Nubalā’. Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1985.
- Ibnu Katsir, Ismail bin Umar. al-Bidāyah wa an-Nihāyah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997.
- Abu Nu‘aim al-Ashbahani. Hilyatul Auliya’ wa Thabaqat al-Asfiya’. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988.
- Ibnu Hajar al-‘Asqalani. al-Ishabah fi Tamyiz al-Sahabah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!