Kita, Dakwah, dan Peradaban
Kita, Dakwah, dan Peradaban
Oleh: M. Husnaini
“Agama itu apa sih, Guru?” tanya seorang murid yang tengah belajar di surau milik KH Ahmad Dahlan.
Yang ditanya tak menjawab. Ia kemudian meraih dan memainkan biola. Gesekan biola yang syahdu membuat sang murid memejamkan mata, menyungging senyum.
“Islam itu indah, membawa kesejukan dan kedamaian bila dipelajari dengan benar, dan sebaliknya akan terjadi kekacauan bila tidak dipahami dengan benar,” ujar Kiai Dahlan.
Melalui salah satu adegan dalam film Sang Pencerah itu, Kiai Dahlan tampak tak banyak mengumbar kata dalam dakwah. Ia lebih menonjolkan sosok pemikir yang visioner nan penuh wibawa.
Berdakwah itu jangan terlalu menonjolkan khilafiah (fikih) sambil merendahkan pendapat yang tidak sejalan. Agama itu untuk diamalkan, bukan dijadikan bahan (amunisi) perdebatan.
Misalnya, karena ngotot berpendapat bahwa musik/lagu adalah haram, lantas merendahkan pihak lain yang berpendapat bahwa hukum asal musik/lagu tidaklah haram.
Padahal, hukum terkait musik/lagu dari dulu hingga sekarang memang masuk wilayah khilafiah. Muhammadiyah & NU juga tidak menghukumi musik/lagu sebagai haram. Di sinilah para dai harus belajar untuk mampu menerima khilafiah secara bijak tanpa mendaku sebagai “yang paling” karena sikap begitu, bagi orang berilmu, justru tampak lucu.
Selama ratusan tahun, kesibukan utama umat Islam Nusantara adalah melawan penjajah. Cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid pernah menyatakan bahwa secara sosio-kultural, kita dibesarkan dalam semangat berjuang “melawan”. Reaktif dan proaktifnya kurang sekali karena memang tidak sempat.
Selain itu, umat Islam Indonesia, dari segi budaya dan ilmu pengetahuan, juga baru sampai tingkat konsumen. Tidak pernah menjadi produsen. Di antara indikasinya, objek-objek turisme di Indonesia adalah bangunan-bangunan Hindu.
Karena umat Islam dibesarkan dan ditumbuhkan dalam semangat perjuangan “melawan”, maka umat Islam paling ahli dalam berpidato. Padahal, menurut Cak Nur, pidato tidak dapat memecahkan masalah. Yang dapat memecahkan masalah adalah ilmu.
Cak Nur juga mengingatkan bahwa dalam situasi-situasi tertentu, nahi mungkar itu lebih sulit dari amar makruf, karena harus melawan. Tetapi, dalam banyak hal, amar makruf lebih sulit dari nahi mungkar, karena nahi mungkar cukup dengan semangat, sementara amar makruf perlu ilmu.
Agama mengajarkan kemampuan mengendalikan diri, bukan melampiaskan. Pengendalian diri itulah inti ajaran puasa sebulan penuh selama Ramadan. Semoga dengan pemahaman lebih luas dan mendalam tentang agama, kita dapat terus memperbaiki kualitas. Dakwah berlandaskan ilmu dan kebijaksanaan akan lebih efektif dalam membangun peradaban yang maju dan harmonis.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!