Memaknai Ikhlas
Memaknai Ikhlas
Oleh: M. Husnaini
Salah satu istilah agama yang sering disalahartikan adalah kata ini. Ada yang menyangka ikhlas itu melakukan sesuatu ala kadarnya. Misalnya, kalau ditanya, “Kenapa Anda bersedekah cuma seribu?” dia menjawab, “Lebih baik seribu tetapi ikhlas ketimbang sejuta tetapi tidak ikhlas.”
Yang lucu, ikhlas juga dimaknai sebagai sikap menolak imbalan atas sebuah jasa. Jadi, kalau ada mubalig berceramah kok mau dikasih amplop, dia dituduh tidak ikhlas. Rupanya ada yang tidak beres dengan pemahaman sebagian kita tentang ikhlas.
Sejenak saya ajak Anda untuk menyimak kisah berikut.
Seorang lelaki setengah baya masuk mal. Membawa koper cukup besar. Dia naik eskalator. Tergugup-gugup. Mungkin belum terbiasa menyesuaikan kaki dan badannya dengan mekanisme dan irama tangga berjalan itu.
Sedemikian rupa sehingga dia terjatuh. Kopernya menggelinding ke bawah, terbuka, dan isinya terbaur keluar. Isi koper itu ternyata beribu-ribu lembaran uang sepuluh ribuan.
Tanpa sadar orang-orang yang berkerumun dan lalu lalang di sekitar tempat itu langsung menyerbu dan meroyok lembaran-lembaran uang yang berhamburan itu.
Lelaki setengah baya tersebut berteriak-teriak. Kemudian dia menangis dan menutupi mukanya.
“Uang saya diroyok orang! Uang saya diroyok orang…” sambatnya.
Tak ada yang memperhatikannya, sampai akhirnya tak ada orang tahu juga tatkala dia menghilang.
Ternyata dia sengaja. Dia ingin beramal, tapi jangan sampai ketahuan kalau beramal. Dia pura-pura menangis dan eman uangnya hilang, agar tak seorang pun menyangka bahwa sebenarnya dia sengaja melakukan itu. Dia ingin menyempurnakan keikhlasannya.
Demikian Emha Ainun Nadjib ketika menggambarkan apa itu ikhlas. Kalau tangan kanan kita berbuat baik, jangan sampai tangan kiri kita tahu, begitu kata Rasulullah. Ikhlas itu letaknya di dalam hati. Intinya, perbuatan baik itu jangan ditakaburkan. Tidak boleh dipamerkan.
Ikhlas juga tidak ada hubungannya dengan menerima atau menolak imbalan. Kalau kita sudah bekerja secara baik dan benar, misalnya, berarti imbalan yang kita terima adalah konsekuensi. Itu profesional, namanya.
Makna ikhlas dapat pula kita pelajari dari kisah Imam Malik. Salah satu kebiasaan beliau adalah membawa sapu tangan ke mana-mana. Sapu tangan itu digunakan sebagai alas sujud. Rupanya beliau sangat khawatir sekiranya muncul bekas hitam di dahi sehingga menimbulkan penilaian sebagai ahli sujud dari manusia.
Bukankah bekas hitam di dahi itu berarti “min atsaris sujud”, seperti dinyatakan Al-Qur’an? Yang dimaksud “min atsaris sujud” adalah semakin dekatnya kita dengan Allah. Tanda itu sifatnya rohani. Kualitas sebenarnya, yang tahu hanya Allah. Jadi, sama sekali bukan tanda hitam di dahi yang kasat mata disaksikan oleh manusia.
Puasa adalah salah satu ibadah untuk membentuk pribadi kita menjadi ikhlas. Sebab, berbeda dengan ibadah-ibadah lain dalam rukun Islam, puasa sifatnya sangat intim, dan tidak ada yang tahu apakah kita benar-benar puasa atau pura-pura puasa, kecuali diri kita sendiri dan Tuhan saja.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!