Kenapa Harus dengan Lapar dan Haus?

Ramadhan Puasa dan Haus FIAI UII

Kenapa Harus dengan Lapar dan Haus?

Oleh: M. Husnaini

Kita sudah memasuki puasa hari ke-6 di bulan Ramadan tahun ini. Puasa, menurut Emha Ainun Nadjib, adalah pilihan untuk “tidak” atas sesuatu yang sewajarnya “ya”, atau keputusan untuk “ya” terhadap sesuatu yang halal untuk “tidak”. Pahala besar dijanjikan untuk yang berpuasa.

Namun, tidak mudah mengaplikasikan nilai puasa. Sekadar menahan diri dari makan, minum, dan seks sepanjang siang, banyak orang mampu. Bagaimana dengan mengendalikan diri untuk tidak marah, tidak galau, tidak jorok, dan tidak berbuat jahat sejak terbit fajar hingga petang hari.

“Betapa banyak orang berpuasa, namun tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga,” kata Nabi. Mengacu pada hadis itu, hampir pesimis bahwa puasa kita benar-benar berbuah pahala. Puasa perut mungkin berhasil, tetapi belum tentu puasa badan, puasa pikiran, apalagi puasa hati.

Sepanjang umur, kita harus berjuang untuk mencapai hakikat puasa, yaitu pengendalian. Jangan memasuki suatu sistem yang membuat kita melampiaskan. Islam itu sesungguhnya mengendalikan, bukan melampiaskan. Hidup, kata bijak bestari, harus mampu ngegas dan ngerem.

Kebiasaan sebar hoaks, postingan atau komentar bernada kebencian dan fitnah, mulai sekarang dan seterusnya, harus kita setop. Ayo manfaatkan media sosial untuk silaturahmi dan saling tebar manfaat antarsesama. Kendalikan diri untuk tidak gemar mengunggah sampah di dunia maya.

Kenapa kita diperintahkan berpuasa dari makanan dan minuman? Saya ingin berbagi kisah yang saya simak dari kultum seorang mubalig. Bagi yang sudah pernah mendengar atau membaca, supaya tidak lupa. Yang baru membaca di sini, semoga mendapat inspirasi.

Tujuan puasa, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran, adalah supaya kita menjadi orang bertakwa. Lalu kenapa membentuk takwa harus dengan puasa?

Mubalig kita kemudian berkisah. Di zaman azali, ketika Allah hendak menciptakan manusia, Dia memberikan dua peranti canggih. Yang pertama bernama akal. Akal itu ibarat software. Tidak terlihat dan tidak terdeteksi secara kasat mata, namun ter-install dalam otak.

Ketika hendak dipasang ke otak manusia, akal ditanya oleh Allah, “Siapa aku dan siapa kamu?” Akal menjawab tegas, “Engkau adalah Tuhanku, sementara hamba ini kawula-Mu.”

Tidak heran, ketika manusia hidup selalu berpedoman kepada akal, hidup manusia niscaya berada dalam kebenaran. Akal mampu memilah antara benar dan salah.

Software kedua yang diberikan Allah kepada kita adalah nafsu. Nafsu itu sumber segala rasa. Ketika hendak disematkan ke jiwa manusia, nafsu ditanya oleh Allah sebagaimana pertanyaan yang diajukan ke akal. Tiba-tiba nafsu menjawab, “Kamu ya kamu, sementara aku adalah aku.”

Allah kemudian memasukkan nafsu ke dalam neraka. Setelah disiksa beberapa lama, kembali nafsu ditanya oleh Allah. Jawabannya tetap sama. Segera nafsu dibawa balik ke neraka, dan dibakar ulang sampai gosong. Ketika ditanya lagi dengan pertanyaan yang sama, eh jawaban nasfu tetap sama.

Belum juga mau mengakui kebesaran Allah, lagi-lagi nafsu dilemparkan ke neraka. Tetapi, kali ini dengan jenis siksaan berupa lapar dan haus. Jadi, siksaan yang diberikan sekarang adalah tidak diberikan makan dan minum. Apa yang terjadi?

Ternyata nafsu menyerah, luruh. Dengan kata lain, ketika dientaskan dari neraka lapar dan haus itu, lantas ditanya ulang oleh Allah dengan pertanyaan yang masih sama, barulah nafsu tunduk dan menjawab, “Engkau adalah Tuhanku, sementara aku adalah kawula-Mu.”

Terjawab sudah kenapa membentuk takwa harus dengan puasa. Semoga setiap puasa kita benar-benar mampu membekuk jalangnya nafsu, dan berhasil menjadikannya bersedia sujud dan patuh di hadapan kedigdayaan Allah.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *