Mendaki Gunung, Tadabbur Ciptaan Allah
Tidak semua orang bisa memaknai proses spiritual ketika mendaki gunung. Namun yang bisa menangkap perjuangan hingga ke puncak gunung, akan menjadikan itu sebagai pengalaman mendalam. Mengenal ciptaan Allah berbagai bentuk. Mungkin seakan remeh bagi sebagian orang, tapi tidak bagi pelaku pendaki gunung. Semua akan bernilai, yang awalnya kegiatan mendaki ini hanya untuk melepas penat karena kesibukan saat bekerja. Nyatanya justru memberikan nilai tambah berupa tingginya rasa syukur. Ya, tadabbur alam.
Tadabbur berasal dari bahasa Arab dari kata “dabbara” yang berarti belakang. Tadabbur bisa diartikan memikirkan, merenungkan, atau memperhatikan sesuatu di belakang atau di balik yang terlihat. Sehingga dapat dimaknai proses merenungkan sesuatu di balik keberadaan alam ini. Memperhatikan ciptaan Allah nan agung, merenung penciptaan langit, terbentuknya bintang, proses adanya gunung, dan sebagainya yang kesemuanya mustahil manusia bisa menciptakannya. Tingginya rasa syukur akan menimbulkan kebaikan-kebaikan dalam diri manusia.
Pernah mengasah daya juang dengan mendaki beberapa gunung bersama beberapa teman, Gunung Arjuno dengan ketinggian 3.339 mdpl, Gunung Welirang 3.156 mdpl yang berlokasi di Jawa Timur. Persiapan menuju keberanian pendakian menjadi hal yang harus dipertimbangkan saat seseorang sudah berkomitmen untuk mendaki. Mulai dari mencari informasi jalur transportasi dari tempat tinggal menuju basecamp gunung, mencari informasi tentang jalur pendakian, pertimbangan waktu tempuh, medan, cuaca, manajemen logistik dan kelengkapan perlengkapan hingga memahami unsur budaya setempat sebagai rasa hormat terhadap wilayah yang akan dikunjungi dikarenakan. Akhirnya melihatkan doa, memohon kelancaran dalam perjalanan dan pendakian. Melupakan beban pekerjaan, bisa lebih fokus mengenal Allah dan ciptaanNYA. Ada juga, sebagian besar gunung di Indonesia dianggap sebagai wilayah suci dan sakral dalam pemahaman masyarakat lokal, ini menjadi pelajaran memilah mana itu ajaran agama dan mana ajaran adat istiadaat setempat.
Adapun kesan spiritual yang yang didapat salah satunya saat mendaki gunung yaitu perasaan nikmat dan tenang, terutama saat sayup angin menjelang Subuh hingga menunggu matahari berangkat dari ufuk timur. Firman Allah Q.S Al Furqan [25]: 61 menyebutkan Mahasuci Allah yang menjadikan di langit gugusan bintang-bintang dan Dia juga menjadikan padanya matahari dan bulan yang bersinar. Dengan berdzikir dan melihat kebesaran Allah SWT sampai di puncak kedua gunung tersebut. Q.S An-Naml [27] : 88 menyebutkan Dan engkau melihat gunung-gunung yang engkau kira tetap di tempatnya, padahal ia berjalan (seperti) awan berjalan. (Itulah) ciptaan Allah yang mencipta dengan sempurna segala sesuatu. Sungguh, Dia Mahateliti apa yang kamu kerjakan. Mendaki gunung akan bisa membuktikan firman Allah di atas. Fenomena alam. Beribadah di alam. Memang beribadah pun tidak dilupakan dalam proses pendakian, termasuk bagaimana harus tayamum saat jauh dari sumber air. Semua kondisi dalam situasi alam yang menantang. Setiap waktu shalat menjadi lebih takjub dengan rasa syukur diberi nikmat sehat, nikmat iman, nikmat bersama teman.
Meskipun telah berupaya dalam persiapan mendaki yang sudah dirasa matang, pendakipun tidak akan mengetahui apa yang akan terjadi saat perjalanan menuju puncak gunung di sinilah peran doa memohon kemudahan dari Allah. Maka yang bisa dilakukan hanyalah bergantung pada kehendak Allah SWT berharap bisa kembali dalam kondisi selamat dan sehat sampai rumah. Dalam diri kami bertawakkal. Ada yang jelas nampak dari perjalanan menelusuri gunung dengan kondisi fisik dan mental yang terus diasah. Pendakian akan memperliatkan karakter setiap pendaki, makin terlihat seberapa kuat ego, sosial, interaksi antar pendaki berbagai kondisi. Di saat itulah secara tidak sadar seseorang akan diuji bagaimana dia membina hubungan baik, kerjasama, mufakat, kesabaran dan solidaritas meski lelah, penat atau dalam situasi panik. Dengan saling terbuka bercerita tanpa handphone dan bekerjasama sesama pendaki yang mungkin sebelumnya tidak dikenal, maka setelah usai pendakian akan terjalin silaturrahim yang baik. Tidak peduli dari mana asal usul, agama atau gaya hidup sekalipun.
Saat melewati jalan setapak nan sepi jauh dari bising perkotaan sembari melihat berbagai macam tumbuhan, dapat merasakan kedekatan dengan alam sehingga memberi kesadaran untuk menjaga kelestarian lingkungan dengan tidak merusak alam. Perjalanan berhari-hari melibatkan alam dan Allah, jauh dari rumah dan kantor memberi suasana berbeda tentang ciptaan Allah. Juga rasa rindu yang berat pada sosok keluarga saat proses turun gunung menjadikan semangat syukur makin kuat. Keseharian yang dijalani berkumpul dengan keluarga, sahabat, bekerja mencari nafkah terisi dengan hikmah di setiap jejak kaki melangkah sampai menikmati matahari di puncak kebanggaan setiap pendaki.
Di luar lingkup berbagai macam olahraga, hobi, penelitian tentang ilmu, kegiatan mendaki gunung dapat memberi pelajaran pada kita tentang pencipta seluruh alam, Illahi Rabbi. Seperti tujuan Allah menciptakan gunung seperti dalam firman Allah, “Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan, agar kamu dapat pergi kian kemari di jalan-jalan yang luas.” (Q.S Nuh [71] : 19-20).
Penulis : Ary Purnama, Tendik FIAI UII
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!