Fikih Nafkah Keluarga

Oleh Fuat Hasanudin, Lc., M.A

Nafkah dari kata infaq berarti al-mashruf wa al-infaq, biaya belanja, pengeluaran uang, dan biaya hidup. Nafkah kemudian digunakan untuk merujuk kepada sesuatu yang diberikan kepada orang yang menjadi tanggungannya.  Dalam Fikih, Nafkah adalah kecukupan yang diberikan seseorang dalam hal makanan, pakaian dan tempat tinggal kepada keuarganya. Tidak hanya tiga hal pokok tersebut, melainkan segala hal pokok yang menjadi kelaziman dalam menopang kehidupan seseorang, seperti pengobatan, perawatan dan pendukung kehidupan lainnya.

Penyebab adanya Kewajiban Nafkah

Ada 3 hal yang menyebabkan adanya kwajiban nafkah:

Pertama, hubungan pernikahan, yaitu pernikahan yang sah antara dua mempelai dengan tidak ada nusuz di antara keduanya. Kwajiban ini terus melekat bagi suami untuk menafkahi istri sahnya sampai ikatan pernikahan itu terlepas thalak bain. Apabila masih dalam dalam hubungan talak raj’I, kwajiban nafkah belum hilang. Begitu juga talak bain dalam keadaan hamil, sampai mantan istrinya melahirkan.

Kedua, hubungan kekerabatan atau hubungan darah. Para ulama berbeda pendapat terkait siapa saja yang wajib dinafkahi dalam hubungan kekerabatannya. Menurut madzhab Maliki, orang yang wajib menerima nafkah tersebab kekerabatan adalah ayah, ibu, dan anak. Menurut madzhab Syafi’i, mereka adalah orang tua ke atas dan anak ke bawah. Sedangkan menurut madzhab Hanafi, lebih luas lagi, yakni kerabat yang memiliki hubungan mahram. Ada pun menurut madzhab Hanbali, mereka adalah kerabat yang berhak mendapatkan warisan. Urutan dalam hal prioritas nafkah keluarga: Ibu, anak, ayah, cucu, kakek dst….

Ketiga, hubungan hak kepemilikan. Baik berupa manusia atau hewan. Ia berkwajiban menafkahi kehiduapan dan kelangsungan keberadaannya.

Dalil Wajibnya Nafkah

Memberi nafkah kepada istri hukumnya wajib menurut Al-Qur’an, hadits, dan ijma’. Ada pun dalilnya dari Al-Qur’an antara lain sebagai berikut:

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf ….  (QS. Al-Baqarah: 233)

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ

Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka ….  (QS. At-Thalaq: 6)

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.  (QS. At-Thalaq: 7)

Dalil dari hadits, di antaranya sebagai berikut:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى

Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku orang yang paling baik bagi keluargaku.  (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah; shahih)

فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita. Sesungguhnya kalian telah mengambil mereka sebagai amanat Allah dan menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah, dan mereka wajib menjaga untukmu supaya tidak ada seorang lelaki pun yang kamu benci memasuki kamarmu. Apabila mereka melakukan itu, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai. Dan kalian wajib memberi makan dan pakaian kepada mereka secara ma’ruf. (HR. Muslim)

عَنْ مُعَاوِيَةَ الْقُشَيْرِىِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ – أَوِ اكْتَسَبْتَ – وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ

Dari Muawiyah al-Qusyairi, ia berkata, aku bertanya, “Ya Rasulullah, apa hak istri kami?” Beliau bersabda, “Engkau memberinya makan apa yang engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian. Janganlah engkau pukul mukanya, janganlah engkau menjelekannya, dan janganlah engkau meninggalkannya melainkan masih dalam satu rumah.”  (HR. Abu Dawud; hasan)

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ ، وَلَيْسَ يُعْطِينِى مَا يَكْفِينِى وَوَلَدِى ، إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهْوَ لاَ يَعْلَمُ فَقَالَ خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ

Dari Aisyah bahwa Hindun binti Utbah pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang kikir. Ia tidak mau memberi nafkah kepadaku dan anakku sehingga aku mesti mengambil darinya tanpa sepengetahuannya.” Maka Rasulullah bersabda, “Ambillah apa yang mencukupi untuk keperluan kamu dan anakmu dengan cara yang baik.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sedangkan dalil dari ijma’, Ibnu Qudamah mengatakan, “Para ulama sepakat tentang kewajiban suami memberikan nafkah kepada istri-istrinya jika suami sudah berusia baligh kecuali kalau istrinya itu berbuat durhaka.”

 

Berapa besaran nafkah?

Berapakah besar nafkah yang wajib suami berikan kepada istri? Dalam Al-Qur’an dan Sunnah, tidak ada ketentuan besarannya secara rinci. Namun, Al-Qur’an menggunakan istilah ma’ruf. Bahwa nafkah itu harus cukup, layak, dan pantas. Kedua, sesuai uaikan dengan kemampuan, sebagaimana dalam Surat Ath Talaq ayat 6 dan 7. Ketentuan umum seperti ini sebenarnya memberikan kemudahan dan kebaikan untuk seluruh keluarga muslim. Di satu sisi ia tidak memberatkan suami, di sisi yang lain tidak menzalimi istri.

Lalu bagaimana menentukan kadar ma’ruf nafkah suami kepada istri, berapa besaran minimalnya? Di sinilah para ulama berijtihad.

Prinsip dalam menentukan besaran nafkah:

  1. Kelayakan, kecukupan dan kepantasan (ma’ruf)
  2. Sesuai kemapuan pemberi nafkah
  3. Didasari kesyukuran dan ibadah

Referensi

  1. Al fiqh wa adillatuhu, Wahbah azZuhaily
  2. Al fiqh ala al madzahib al arba’ah, Abdurahman al Jaziry