Program Studi Ahwal Syakhshiyah Sukses Adakan Studium Generale Dengan Tema “Bekali Diri, Menjadi Mahasiswa Sejati”

Bekali Diri, Menjadi Mahasiswa Sejati

Selain harus menguasai keterampilan bahasa yang baik, mahasiswa juga harus pandai berbicara di depan umum dengan menarik dan terampil menuangkan buah pikirannya dalam wujud tulisan. Sehingga, mereka menjadi generasi yang disebut dengan fashiihul kalaam wa fashiihul qalam (fasih dalam berbicara dan fasih menulis). Demikian seperti disampaikan oleh Robitul Firdaus, SHI., MSI., Ph.D., pada Studium Generale (SG) Program Studi Ahwal Syakhshiyah (PSAS) Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII).

Narasumber dan moderator Studium Generale (SG) PSAS FIAI dengan tema

Narasumber dan moderator Studium Generale (SG) PSAS FIAI dengan tema “Bekali Diri, Menjadi Mahasiswa Sejati”. (Photo: Samsul)

Bekali Diri, Menjadi Mahasiswa Sejati

SG dengan tema “Bekali Diri, Menjadi Mahasiswa Sejati” tersebut diadakan di Auditorium Lt. 3 Gedung KH. Mas Mansur, Kamis, 09 Dzulhijjah 1438 H/31 Agustus 2017. Acara dibuka secara resmi oleh Ketua PSAS, Prof. Dr. Amir Mu’allim, MIS. Dalam sambutannya Amir Mu’allim meminta mahasiswa baru untuk aktif berkonsultasi akademik dengan para dosen. Tidak hanya mengandalkan kuliah di kelas. Dia juga menambahkan bahwa gelar Sarjana Hukum (SH) bagi lulusan PSAS menjadi peluang untuk berkiprah di banyak sektor.

Sosok yang juga mengemban amanah sebagai komisaris Baitul Maal wat Tamwiil (BMT) Beringharjo tersebut mengenalkan para dosen dan staf PSAS. Hal itu dimaksudkan agar mahasiswa baru tahu profil para pengajar yang akan mereka kenal dan jumpai lebih lanjut di kelas-kelas kuliah nantinya. Lebih lanjut, dia menceritakan bahwa sebagai dosen UII, dirinya banyak berkiprah di masyarakat. Cerita tersebut dimaksudkan sebagai penyemangat mahasiswa untuk belajar maksimal agar nantinya dapat berkontribusi lebih bagi masyarakat.

Baca juga: Studium Generale Pendidikan Agama Islam Tahun Akademik 2017/2018

Sementara itu, Robitul Firdaus yang merupakan alumnus PSAS angkatan 2004 mengatakan bahwa kesuksesannya juga berawal dari doa dan bimbingan para dosen PSAS. “Saya percaya adanya berkah. Apa yang saya raih saat ini mungkin hanya 25% yang merupakan ikhtiar pribadi saya. Itupun atas izin Allah. Selebihnya adalah berkat peran pada guru dan dosen,” tutur Dosen IAIN Jember, Jawa Timur dan alumnus doktoral IIUM yang pernah dinobatkan sebagai peneliti muda terbaik bidang sosial oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Bekali Diri, Menjadi Mahasiswa Sejati

Salah satu narasumber, Robitul Firdaus, SHI., MSI., Ph.D., sedang menyampaikan materinya di hadapan mahasiswa baru PSAS angkatan 2017. (Photo: Samsul)

UII Harum di Lingkungan Mahkamah Agung

Narasumber SG berikutnya adalah Achmad Fauzi, SHI., yang saat ini menjabat sebagai Hakim Pengadilan Agama (PA) Tarakan, Kalimantan Utara. Di hadapan mahasiswa, sosok kelahiran Semenep, Madura tersebut menyampaikan bahwa nama UII harum di lingkungan Mahkamah Agung (MA). Pasalnya, banyak alumni UII termasuk PSAS yang berkiprah baik di peradilan. Nama baik tersebut, menurut Achmad Fauzi, kedepannya harus dilestarikan oleh mahasiswa PSAS, khususnya mahasiswa baru.

Alumnus PSAS angkatan 1999 tersebut menceritakan pengalaman spiritualnya hingga diterima sebagai hakim. Salah satunya adalah doa dari orang tua, khususnya ibu. “Ibu saya cerita kalau mimpi melihat beringin yang tinggi dan saya bisa meraihnya,” kisah sosok yang aktif menulis opini di media masa lokal dan nasional tersebut. Mimpi ibunya tersebut ternyata menjadi isyarat baik dan akhirnya dia dinyatakan lulus sebagai calon hakim (cakim). Fauzi—sapaan akrabnya—sebelumnya pernah bertugas di PA Kotabaru, Kalimantan Selatan.

Baca juga: Menjadi Hakim: Sebuah Panggilan Dedikasi di Bidang Hukum

Selain aktif menulis opini di media massa, Fauzi juga sudah menerbitkan 3 buah buku. Pertama, dengan judul Pergulatan Hukum di Negeri Wani Piro yang terbit tahun 2012. Kedua, Anasir Kejahatan Peradilan yang terbit tahun 2014. Ketiga, Korupsi dan Penguatan Daulat Hukum yang terbit tahun 2016 lalu. Fauzi mengaku bahwa aktivitas menulisnya dimulai sejak menjadi mahasiswa. “Saya orang miskin, Dulu motif menulis supaya bisa makan. Akhirnya berkembang sebagai perjuangan idealisme,” kenangnya. (Samsul)