Menjadi Hakim: Sebuah Panggilan Dedikasi di Bidang Hukum

Menjadi Hakim
Sebuah Panggilan Dedikasi di Bidang Hukum
1.

MENJADI HAKIM: SEBUAH PANGGILAN DEDIKASI DI BIDANG HUKUM

Oleh: Achmad Fauzi, SHI.
(Hakim Pratama Madya di Pengadilan Agama (PA) Tarakan, Kalimantan Utara)

 

Belakangan ini bangsa kita mengalami defisit kepeloporan hukum. Pamor penegak hukum kian terpuruk karena beberapa hakim, jaksa, polisi, dan pengacara ditangkap KPK tersebab skandal suap. Spirit ketegasan dan antisuap aparat hukum sekaliber Bismar Siregar (hakim), Baharuddin Lopa (jaksa), Hoegeng Imam Santoso (polisi), Adnan Buyung Nasution (advokat) tak mampu dijelmakan kembali dalam ruang kekinian.

Kekosongan patron dalam ruang generasi hukum acap menimbulkan situasi rentan. Idealisme penegak hukum gampang dirasuki roh materialisme yang mengusung kuasa uang di atas supremasi hukum. Akibatnya, hukum sebagai instrumen penegakan keadilan kerap membegal terwujudnya keadilan. Ketika mimbar hukum tergelar dan dikendalikan oleh kelas pemilik modal (Karl Marx) dan diintervensi kuasa politik (Ralf Dahrendorf), maka hukum sebagai sarana keadilan (Plato) dan tatanan kebajikan (Socrates) hanya akan melahirkan kecurangan. Hukum yang idealnya berporos pada nilai keadilan justru menjadi arena transaksi kepentingan para mafioso.

Ironisnya, mafia hukum justru dilakukan aparat hukum yang notabene berasal dari kaum terpelajar. Mereka kaum intelektual, memiliki akses pengetahuan memadai, mengerti agama, namun tak memiliki integritas yang luhur. Sejak awal Bung Hatta menitipkan kepingan harapan kepada kaum terpelajar. Di hadapan civitas akademika Universitas Indonesia pada 1956 ia berorasi bahwa tugas kaum intelektual ialah menjadi pemimpin bertanggungjawab di masyarakat. Jika karakter tanggungjawab tersebut luntur, maka tunggulah saatnya zaman korupsi dan demoralisasi merajalela.

Tampaknya hari-hari ini pidato Bung Hatta teruji kebenarannya. Semua mata terbelalak menyaksikan sepak terjang generasi bangsa yang beramai-ramai tak punya malu melakukan korupsi. Seyogyanya mereka jadi teladan dan tulang punggung pembangunan. Tapi, defisit moral menggiringnya ke dalam barisan gelap generasi korup.

Kasus korupsi teranyar yang melibatkan kaum terpelajar ialah kasus suap yang menyeret panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Praktik busuk tersebut dikemas dengan bahasa sandi. Sandi kambing dan sapi sengaja digunakan untuk menyamarkan muatan transaksi, karena sebentar lagi memasuki momentum idul qurban. Sehingga lalulintas percakapan telpon banyak disesaki soal harga sapi dan kambing.

Keterlibatan kaum terpelajar dalam kubangan korupsi memang bukan isapan jempol belaka. Menurut data KPK dari 600 tersangka korupsi sebagian besar berpendidikan tinggi. Bahkan sebanyak 40 tersangka bergelar S3 dan 200 tersangka lulusan S2. Data tersebut seolah menegaskan semakin tinggi pendidikan maka tingkat kemungkinan korupsi juga tinggi. Jabatan yang disandang dan keputusan yang diambil rawan penyelewengan. Semua orang mafhum gurita korupsi jadi musuh bersama. Namun, fakta bahwa sebagian pelakunya adalah kaum terpelajar menggiring nalar untuk bertanya: ada apa gerangan dengan generasi saat ini? Inikah yang oleh Bung Hatta dinamai demoralisasi? Benarkah kejujuran telah menjadi barang langka?

Ya, saat ini orang jujur justru tersingkir dari sistem yang bobrok karena dianggap menghambat keberlangsungan tradisi praktik kotor. Orang tak punya malu menggadaikan harga diri dan kejujurannya untuk mengeruk materi. Penegak hukum acap menukar mutiara kejujuran dengan gemerlap duniawi yang sifatnya sesaat. Akibatnya praktik suap dan jual beli perkara selalu menghiasi wajah hukum kita. Padahal kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yang kuat dan membangkitkan kesadaran mengenai hakikat yang haq dan batil.

Peran Lembaga Pendidikan

Di sinilah kita berbicara peran lembaga pendidikan dalam menanamkan idealisme dan membekali keilmuan kepada mahasiswa yang linear dengan kebutuhan di lapangan. Program Studi Ahwal Syakhshiyah (PSAS) Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) harus mampu membentuk karakter mahasiswanya, sehingga kelak ketika menjadi aparat penegak hukum benar-benar komit terhadap kemaslahatan bangsa dan negara.

Karena itu, perlu desain pendidikan integritas yang mengajarkan idealisme, nilai keutamaan, dan pembentukan karakter. Pendidikan watak tersebut patut ditingkatkan porsinya supaya sepadan dengan spirit dan cita-cita pendidikan nasional. Sebab, tantangan sistem pendidikan selama ini lebih menekankan transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) ketimbang transformasi nilai luhur yang membimbing manusia Indonesia berkepribadian kuat dan berakhlak mulia. Proses pendidikan lebih banyak mengandalkan porsi “pengajaran” yang bermuara pada peningkatan akal, jasmani, dan keterampilan.

Koento Wibisono Siswomihardjo dalam “Supremasi Hukum dalam Negara-negara Demokrasi Menuju Indonesia Baru (Kajian Filosofis)” (2000), dalam kumpulan karya ilmiah menyambut 70 tahun Prof. Dr. Satjipto Rahardjo yang berjudul Hukum di Era Reformasi, mengatakan bahwa pendidikan harus mengarah kepada dua aspek. Pertama, pendidikan untuk membekali pengetahuan akademis, keterampilan profesional, kepatuhan pada kaidah ilmu. Kedua, pendidikan membentuk watak menjadi sarjana yang komitmen terhadap kepentingan publik.

PSAS sebagai lembaga penyelenggara pendidikan tinggi terikat oleh tri dharma2. pendidikan tinggi, yakni menyelenggarakan proses pembelajaran yang bersifat keilmuan, melakukan penelitian, dan pengabdian terhadap masyarakat. Dharma pengajaran memiliki implikasi terhadap kualitas alumni (out put). Seberapa baik out put yang dihasilkan, seperti itulah gambaran mengenai pelaksanaan dharma pengajaran. Ada banyak faktor yang turut mendukung peningkatan kadar keluaran pendidikan hukum, yakni kurikulum (struktur pengajaran, metode pengajaran, substansi pengajaran, dan administrasi pengajaran), kompetensi pengajar (dosen), sarana dan prasarana, mahasiswa, dan lingkungan sosial yang mengitarinya.

Sistem kurikulum yang disoriented, tenaga pengajar yang kurang kompeten, sarana yang kurang memadai, serta kondisi sosial yang tidak mendukung akan melahirkan keluaran pendidikan hukum yang pas-pasan. Di sini tergambar bahwa cita-cita ideal untuk membangun negara hukum (rechtaats) dengan putusan-putusan yang bermartabat dan berkeadilan harus berangkat dari hulu persoalan, yakni revitalisasi pendidikan hukum yang linear dan menunjang pelaksanaan tugas pokok hakim. Pengajaran bukannya bersifat tekstual dan doktriner, melainkan menekankan aspek-aspek riil yang terjadi di dunia peradilan.

Sangat dipahami bahwa hakim dalam mengadili tidak semata-mata mempertemukan suatu peristiwa hukum dengan aturan hukum tertentu. Hakim wajib menggali dan menemukan hukum baru yang hidup dan berkembang serta memperhatikan kemajemukan sosial, budaya dan pendidikan, sehingga lebih menjamin kemaslahatan bagi masyarakat pencari keadilan. Dengan kata lain, setiap pengambilan keputusan, hakim memadukan peristiwa hukum, aturan hukum, dan realitas sosial yang dihadapi masyarakat.

Dharma penelitian adalah mesin bagi perguruan tinggi untuk melakukan perubahan. Penelitian meliputi penelitian murni dan terapan. Dalam masyarakat ilmiah, penelitian murni selalu diidentikkan dengan upaya pengembangan ilmu semata. Asumsi ini tidak tepat karena peran penelitian murni tidak kalah dengan penelitian terapan. Filsafat adalah hasil penelitian murni, namun hasil penelitian filsafat banyak memberikan perubahan bagi tatanan peradaban dunia.

Dalam konteks ini, PSAS punya peluang melakukan penelitian atas produk pengadilan. Namun semangat ini harus nihil dari upaya revisi dan intervensi putusan hakim. Karena upaya otoritas kelompok ilmiah merivisi produk yudisial bisa mengancam imunitas dan kebebasan hakim dalam memutus perkara yang dalam jangka panjang akan melemahkan tingkat keberdayaan lembaga peradilan sebagai kekuasaan yang merdeka. Penelitian itu hanya sebagai materi pembelajaran internal agar para mahasiswa punya bekal memadai dan terlatih menghadapi suatu kasus.

Dissenting opinion atau pendapat hakim yang berbeda dalam putusan juga menjadi hal menarik bagi PSAS untuk dijadikan objek penelitian. Perbedaan pendapat dalam mempertimbangkan putusan dapat ditarik ke meja kajian ilmiah guna pengembangan pendidikan hukum, sehingga dirasakan manfaatnya, khususnya bagi mahasiswa yang akan menekuni pendidikan profesi hakim.

Dharma pengabdian kepada masyarakat harus diwujudkan dalam bentuk kegiatan yang punya relevansi dengan pengembangan hukum. Selama ini pengabdian perguruan tinggi lebih condong kepada kegiatan sosial, seperti sunatan massal, gotong royong membangun tempat ibadah, pasar murah, turut membantu menangani korban bencana alam. Kegiatan tersebut sejatinya tergolong baik, hanya saja tidak sinambung dengan bidang garap dan tugas-tugas peradilan. Karena itu, sudah saatnya PSAS melakukan dekonstruski bentuk pengabdian terhadap masyarakat. Bukan lagi dalam bentuk kegiatan sosial an sich, melainkan kegiatan sosial bersifat keilmuan yang berkelindan dengan tugas-tugas pokok profesi hakim.

Tantangan Mahasiswa

Di antara penegak hukum lainnya, hakim merupakan profesi yang menduduki peran sentral karena memiliki otoritas yudisial yang besar dan merdeka namun risikonya sangat berat. Jika ditilik dalam teks-tes kitab suci, profesi hakim mungkin satu-satunya yang dilukiskan dengan amat mengerikan. Dalam sebuah hadis diterangkan barang siapa menjadi hakim di antara manusia maka sungguh ia telah disembelih dengan tiada memakai pisau. Disebutkan pula bahwa hakim separo kakinya telah menjulur di kobaran neraka, separo lainnya bergantung pada amalnya.

Demikian ketatnya kriteria yang harus dimiliki hakim, banyak sahabat Rasulullah yang menolak menjadi hakim. Ibnu Umar menolak dinobatkan menjadi hakim ketika diminta oleh Utsman bin Affan. Imam Abu Hanifah enggan menjadi juru pengadil ketika diminta oleh khalifah Al Mansyur. Mereka menyadari banyak ulama-ulama yang lebih patut menyandang jabatan itu.

Namun demikian, menjadi sebuah tantangan bagi mahasiswa untuk menyiapkan dan memantaskan diri menjadi hakim. Menjadi hakim di masa mendatang harus dirancang dari awal melalui latihan bersikap jujur, adil, tegas, bertanggungjawab, rendah hati, dan profesional. Jika demikian, menjadi tugas mahasiswa itu sendiri untuk terus belajar mengasah kepekaan sosial, meneliti, berorganisasi, berdiskusi seputar hukum, membaca dan menulis. Sebab, semua itu kelak akan menjadi bekal ketika menjadi hakim. Mahasiswa harus banyak membaca. Buku dan mahasiswa ibarat kemelekatan ruh dengan jasad. Jika buku telah ditahbiskan sebagai kebutuhan intelektualnya, maka ia akan memiliki pengetahuan luas dan cakrawala berfikir yang matang. Kerja keilmuan tersebut nantinya juga jadi kebiasaan ketika sudah menjadi hakim.

Sekadar diketahui, hakim tanpa (membaca) buku menyebabkan putusannya gersang dari ratio decidendi. Istilah ratio decidendi dalam dunia peradilan acap dimaknai sebagai alasan hakim dalam menjatuhkan putusan. Maksudnya, sebelum menjatuhkan putusan ada pertimbangan hakim yang mengandung argumentasi dan nalar ilmiah yang berpijak kepada sebuah fakta. Pudjosewojo (1976) mendefinisikan ratio decidendi sebagai faktor esensial yang harus dipenuhi karena menjadi ruh dari putusan hakim. Berarti perumusan ratio decidendi itu penting sekali keberadaannya karena menentukan kualitas putusan hakim. Basuki Rekso Wibowo (2011) bahkan menyatakan hakim dalam merumuskan putusannya hendaknya jangan sekadar berkutat pada silogisme formal dan menafsir secara mekanis saja. Putusan hakim sebagai pekerjaan intelektual membutuhkan analisis dan penafsiran secara komprehensif, argumentatif dan dilengkapi penalaran hukum (legal reasoning) yang memadai sehingga tergambar tingkat kecermatan dan intelektualitasnya.

Di negara-negara yang menganut sistem common law hakim terikat kepada putusan hakim yang terdahulu (precedent). Sehingga ratio decidendi yang terdapat dalam putusan sifatnya mengikat untuk kasus serupa yang terjadi di masa mendatang. Namun demikian, bukan berarti putusan hakim di negara yang menganut tradisi civil law system seperti Indonesia tidak memerlukan ratio decidendi. Di negara manapun putusan hakim idealnya mengandung argumentasi yang memadai dengan merujuk kepada prinsip hukum, moral, filsafat, politik dan sosial sehingga masyarakat memahami secara komprehensif alasan hakim dalam memutus perkara.

Urgensi ratio decidendi dalam putusan erat kaitannya dengan pemaknaan sosiologis asas res judicata pro varitate habetur (setiap putusan hakim harus dianggap benar dan dihormati). Mustahil putusan hakim sekonyong-konyong dihormati begitu saja sebagai sebuah kebenaran jika di dalamnya tidak memiliki pertimbangan yang kokoh dan meyakinkan. Karena itu, supaya asas res judicata pro varitate habetur sepenuhnya memiliki legitimasi kuat di tengah masyarakat, pertimbangan hakim yang berorientasi kepada kemaslahatan masyarakat luas sebagai entitas dari suatu peradaban harus terus dipelihara di dalam laboratorium nalarnya. Bukankah salah satu fungsi dari hukum sebagai instrumen untuk melindungi kepentingan manusia? Sebagai pertanggungjawaban peradilan (judicial accountability) upaya yang dilakukan untuk melindungi kepentingan manusia adalah hukum harus ditegakkan secara layak.

Dalam kasus pemerkosaan, misalnya, perlu memuat pertimbangan yang pengaruh hukumnya memiliki daya jangkau melindungi segenap kaum perempuan secara keseluruhan yang notabene masih ditindas kultur patriarki. Jadi perlindungannya bukan sebatas kasus perkasus saja. Sensitivitas putusan hakim harus memiliki pantulan ke depan dan mampu mengobati dahaga keadilan kaum perempuan. Sehingga putusan yang demikian dalam tataran fenomenologis nantinya akan berperan ganda: menyelesaikan kasus dan mengubah peradaban.

Di era tahun 80-an almarhum Bismar Siregar seorang hakim yang dikenal berjiwa keadilan pernah menghukum seorang laki-laki yang tebar janji akan menikahi gadis. Ceritanya ada seorang laki-laki yang berpaling dari tanggungjawabnya setelah berhasil merenggut keperawanan pacarnya. Merasa keberatan sang gadis mengajukan tuntutan ke pengadilan. Meski ketika itu tidak ada hukum yang mengatur tentang perzinahan namun bagi Bismar hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukumnya belum jelas atau tidak ada. Bismar tetap memvonis laki-laki tersebut dengan delik penipuan. Bismar menafsirkan vagina perempuan dengan unsur barang. Sehingga seorang pria yang ingkar janji menikahi pasangannya namun telah digauli dapat dianggap telah menipu “barang” milik orang lain (Pasal 378 KUHP). Meski ditentang oleh beberapa kalangan namun Bismar berhasil menjalankan tugasnya sebagai hakim dalam mengisi kekosongan undang-undang. Dan yang lebih penting lagi, ia telah menorehkan sejarah perlindungan terhadap kaum perempuan dari penindasan seksualitas kaum lak-laki melalui mahkota putusannya.

Putusan hendaknya memenuhi dua unsur tujuan hukum, yakni etis (memberikan rasa keadilan kepada yang berhak) dan utilities (memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat luas). Jika putusan hakim telah memenuhi dua unsur tersebut maka dengan sendirinya asas res judicata pro varitate habetur di dalam masyarakat menjadi realitas yang niscaya. Masyarakat tidak lagi karena terpaksa meyakini putusan hakim sebagai sebuah kebenaran hukum yang wajib dihormati karena di dalamnya telah nyata terhampar nilai-nilai keadilan yang diidamkan.

Agar putusan hakim memiliki kedalaman pertimbangan dan dihormati masyarakat, maka mengasah kepekaan intelektualitas dalam menafsir dan keterampilan menerapkan undang-undang perlu terus dilakukan dalam kerja yudisial. Alat asahnya tentu adalah buku yang notabene menjadi nutrisi intelektual.

Pengembangan cakrawala melalui membaca buku menjadi keharusan profesi karena keilmuan hakim dituntut selalu linear dengan dinamika perubahan masyarakat. Buku mengasah nalar hakim untuk melakukan pembaruan hukum, menyimpangi aturan yang jumud (contra legem), dan melakukan judicial activism sehingga tercipta suatu keadilan. Buku memiliki tuah mengubah pola pikir hakim agar tak sekadar sebagai cerobong undang-undang (la bouche de la loi). Tapi senantiasa menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim dianggap tahu semua hukum (ius curia novit). Ketidaktahuan akan hukum mencelakakan (ignorantia iuris nocet).

Selamat belajar para mahasiswa baru. Gantungkan cita-cita sebagai penegak hukum yang berintegritas dan berwawasan luas dari sekarang. Jangan menyerah sebelum profesi hakim direngkuh. Saya tunggu anda di Mahkamah Agung.

1. Artikel ini disarikan dari beberapa opini penulis yang tersebar di berbagai media massa. Disampaikan kembali dalam acara Studium Generale Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah (PSAS) FIAI UII, Yogyakarta, Kamis, 31 Agustus 2017.
2. Dalam konteks UII sebagai perguruan tinggi Islam, sebagaimana sudah jamak diketahui, tri dharma dimaksud ditambah lagi dengan dakwah islamiyah sehingga dikenal dengan istilah catur dharma (empat dharma).