Prof. Dr. Mounir Tlili pada Seminar Membangun Moderasi dalam Beragama
Islam hakikatnya terbangun di atas asas moderasi (moderat). Namun seringkali ada beberapa kelompok yang membawa Islam yang moderat tersebut dalam wilayah ekstrimisme (tatharruf). Akhirnya Islam menjadi dibenci oleh kelompok tertentu. Dalam kasus tersebut tentu saja yang salah bukan Islamnya tetapi “oknum” yang membawa Islam dengan model/pola yang kurang tepat.
Hal itulah yang mengemuka dalam an-Nadwah al-‘Ilmiyyah al-‘Aalamiyyah (International Seminar) Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII). Bertempat di Ruang Sidang FIAI, Kamis, 05 Muharram 1438 H/06 Oktober 2016. Hadir sebagai pembicara Guru Besar Zaytunah University dan Mantan Menteri Agama (2014-2015) Tunisia, Prof. Dr. Mounir Tlili. Seminar dibuka secara resmi oleh Dekan FIAI Dr. Tamyiz Mukharrom, MA.
Dalam seminar bertajuk Binaa-u al-I’tidaal fi ad-Diin (Membangun Moderasi dalam Beragama) tersebut, Mounir mengawali materinya dengan sejarah masuknya Islam di Indonesia. Islam diterima dengan baik di Indonesia dan akhirnya menjadi agama mayoritas penduduknya. Bagi Mounir, agama Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia.
Salah satu karakteristik muslim yang baik, menurut pemaparannya, adalah tidak menyukai kebaikan untuk diri sendiri. Tetapi bagaimana agar kebaikan itu dirasakan oleh orang lain. “Tidak beriman salah seorang diantara kalian sampai mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri,” tuturnya menyitir hadits dalam seminar yang dimoderatori oleh Samsul Zakaria, S.Sy.
Bagi Mounir, manusia yang ada di dunia ini bagaikan berada dalam satu bahtera besar (safiinah). Apapun kelompoknya dan agamanya harus saling bekerjasama menjaga bahtera tersebut. Sebab kalau ada satu pihak yang melubangi bahtera tersebut maka yang celaka adalah semua penumpang bila bahtera lantas tenggelam. Oleh karena itu berbeda pemikiran dan keyakinan bukan alasan untuk saling menjatuhkan dan bertikai hingga menyebatkan rusaknya kapal.
Dalam konteks membangun moderasi dalam beragama Mounir mengingatkan untuk memahami agama dengan benar dan sempurna. Sebab Islam pada dasarnya sudah moderat. “Ironis sekali ada anak yang mengkafirkan orang tuanya hanya karena berbeda pemahaman dalam hal yang memang diperselisihkan ulama’ (khilaafiyyah),” tuturnya. Oleh karena itu diperlukan pemahaman Islam yang moderat dan toleran untuk kehidupan yang lebih baik.
Terakhir Mounir juga menyampaikan bahwa seringkali Islam dikesankan sebagai agama yang keras karena adanya huduud (seperti hukuman potong tangan, rajam, dan sebagainya). Sementara yang demikian itu sebenarnya bukan asal (waton) potong tangan, bukan asal rajam, namun ada syarat-syarat yang harus dipenuhi sampai diterapkannya hukuman tersebut. Dan tujuan inti dari hukuman tersebut bukan potong tangan atau rajamnya namun supaya tidak terjadi lagi hal sama di kemudian hari (efek jera).
Mounir mengisahkan di masa Khalifah Umar bin Khaththab dimana ada seorang yang dilaporkan mencuri. Pelapor menginginkan agar pencuri tersebut dipotong tangannya sebagaimana aturan syari’at. Namun ternyata Umar urung melakukannya karena pertimbangan bahwa pencurian tersebut terjadi di masa paceklik. Ditambah lagi pencuri tersebut mencuri untuk mencukup kebutuhan pokoknya saja. (Samsul Zakaria/Syari’ah)