يَـأَيُّهَاالَّذِيْنَ ءَامَنُوْكُوْنُوْ قَوَّامِيْنَ لِلّهِ شُهَدَآءَ بِالْقِسْطِ وَلاَيَجْرِمَنَّكُمْ شَنَئَانُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُوْا اعْدِلُوْا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَالتَّقُوْا اللهِ إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allāh, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil-lah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allāh, sungguh, Allāh Maha Teliti apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Mâidah [5]: 8)

Golongan pertama, sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam, yang akan mendapat pertolongan Allâh adalah pemimpin yang adil (imâmun ‘âdilun). Tidak main-main. Pertolongan yang dimaksudkan diberikan langsung oleh Allâh. Dimana pertolongan tersebut datang di saat tidak ada lagi pertolongan kecuali pertolongan dari-Nya. Hal ini mengingatkan kita betapa susahnya mencari pemimpin yang adil (dan merakyat) di negeri ini.

Dari sabda Nabi tersebut kita dapat mengambil pelajaran. Pertama, bahwa kepemimpinan adalah perkara penting dalam kehidupan manusia. Dalam bepergian (safar) misalnya, sebagaimana nasihat Nabi, harus diangkat salah satu dari rombongan sebagai ketua. Apalagi dalam konteks kehidupan yang lebih universal. Dalam sebuah negara misalnya. Hadirnya pemimpin adalah sebuah keniscayaan untuk mengatur negara tersebut.

Kedua, dalam konteks memilih pemimpin, poin pentingnya adalah keadilan. Sebab, jika pemimpinnya adalah orang yang adil, maka pasti ia akan menerapkan nilai-nilai religiusitas secara keseluruhan. Jika ia adil, maka ia juga akan berlaku jujur. Sebab, bagi orang yang memiliki jiwa adil berkata dusta (tidak jujur) menyalahi kesucian keadilan itu sendiri. Bukankah adil itu berarti memposisikan sesuatu pada tempatnya. Sementara dusta tidak masuk dalam kategori tersebut.

Ketiga, menjadi pemimpin yang adil, mampu menyamaratakan rakyatnya bukanlah perkara sederhana. Terbukti, siapa yang mampu melakukannya akan mendapat reward khusus nun istimewa dari Allâh Ta’âlâ. Godaan plus ujian untuk bersikap yang sebaliknya bagi seorang pemimpin bagai badai di tengah padang sahara yang kencang menerpa. Wajar, jika pemimpin mampu menaklukannya adalah menjadi pemenang dengan predikat, pemimpin yang adil.

Adil adalah Proses

Masalah keadilan juga menjadi bagian integral dari dirkursus poligami. Masalah poligami baru dianggap clear ketika pelakunya (laki-laki) mampu berlaku adil dalam memperlakukan istrinya yang lebih dari satu. Jika tidak mampu bersikap adil maka memperistri seorang wanita saja jauh lebih mulia dan bermartabat. Dalam konteks poligami pula, Allâh mengingatkan bahwa manusia tidak pernah mampu berlaku adil (QS al-Nisâ’ [4]: 129).

Jika manusia memang tidak akan mampu berlaku adil, bukan berarti bahwa poligami itu tidak boleh sama sekali. Boleh jadi bahwa keadilan yang tidak mampu dihadirkan oleh manusia adalah keadilan yang substansial. Dimana wilayah ini hanya menjadi otoritas Ilahiyah –yang mustahil dijamah oleh manusia. Dalam konteks keadilan poligami, di terusan ayat dijelaskan bahwa pelaku poligami tidak boleh condong ke salah satu istri, hingga mengabaikan lainnya.

Keadilan dalam masalah poligami tentu tidak dapat digeneralisir secara radikal dalam kehidupan secara makro. Namun, paling tidak berangkat dari pemahaman di atas, dapat ditarik simpulan bahwa yang namanya adil bukanlah hasil (it’s not the result). Adil adalah sebuah proses, dimana manusia diperintahkan untuk terus menuju kepadanya. Sebab, adil yang sesungguhnya memang tidak akan pernah mampu diterapkan oleh manusia.

Logika yang demikian erat kaitannya dengan masalah kesucian diri. Teman saya memberikan sebuah pernyataan menarik dalam suatu forum. Menurutnya, merujuk ke salah satu ayat suci al-Qur’ân (QS al-A’lâ [87]: 14), bahwa orang yang beruntung adalah orang yang menyucikan diri (tazakka). Artinya, yang beruntung itu bukanlah orang yang sejak awalnya memang suci. Mereka yang beruntung adalah yang selalu berusaha menyucikan dirinya.

Orang yang terus menyucikan dirinya berarti sadar bahwa ia tidak pernah luput dari kesalahan. Karena kesadarannya itulah, kemudian ia merasa rendah di hadapan Allâh. Pada akhirnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk menghapus noda dengan memohon ampun kepada-Nya. Tentu disertai dengan usaha untuk tidak mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan. Saya sepakat bahwa inilah yang dimaksud dengan keberuntungan orang yang menyucikan diri.

Begitu juga dengan keadilan, memiliki relasi yang erat dengan masalah kesucian diri. Keadilan harus terus diupayakan dengan sekuat tenaga. Ketika keadilan tersebut menjadi ruh kehidupan maka kenyamanan yang akan dirasakan. Sebaliknya, ketika manusia justru beranjak menjauh dari titik keadilan yang sesungguhnya maka akan terjadi kekacauan dalam kehidupan. Di titik inilah, walaupun adil itu tidak mudah, tetap harus diusahakan.

Memahahi Keadilan

Allâh adalah Dzat Yang Maha Adil. Dalam masalah keadilan, teladan yang paling tinggi pastinya adalah Allâh Ta’âlâ. Selain itu, Rasûlullâh tentu menjadi presiden selanjutnya setelah Sang Esa. Keadilan itu bukanlah sebuah entitas yang berdiri sendiri alias merdeka. Ia selalu bertautan dengan elemen lain. Berbicara tentang keadilan berarti harus bersedia membincangkan pula segenap elemen yang berkaitan dengannya.

Konsepsi keadilan menjadi sangat absurd ketika dihadapkan dengan keadilan Ilahiyah. Dalam hal ini, pertama-pertama kita harus mengalasinya dengan keimanan yang murni. Jika tidak, kita selalu bertanya, bagaimana mungkin hal “ini dan itu” bisa terjadi dalam kesadaran dunia yang serba logis dan realistis. Contoh sederhana, orang yang bekerja keras hasilnya minimal. Sementara banyak yang bekerja ala kadarnya tapi hasilnya luar biasa.

Dalam konteks ini, memahami keadilan Ilahi dapat dilakukan dengan kesadaran bahwa logika ketuhanan seringkali berkebalikan dengan logika (ke)manusia(an). Apa yang menurut manusia baik, terkadang tidak demikian menurut Allâh. Dalam masalah keadilan pun mungkin saja terjadi. Keadilan menurut Allâh, bisa jadi dalam pandangan kasat mata manusia adalah sebuah kezhaliman.

Saya harus berfikir ulang setelah mendapat 2 curhatan tentang keadilan orang tua. Dua orang yang berbeda dalam konteks yang berbeda pula menanyakan hal yang –secara substansial– sama. Orang pertama mengadu tentang perasaannya, bahwa orang tuanya terkesan membeda-bedakan dalam hal kasih sayang. Orang kedua bertanya bagaimana mengingatkan orang tua yang bersikap tidak adil terhadap anak-anaknya.

Dalam kasus di atas, saya boleh berasumsi bahwa apa yang menurut mereka tidak adil, bisa jadi itulah keadilan yang sesungguhnya. Bukankah keadilan itu tidak selamanya bermakna sama. Justru ketika semua di(per)samakan disanalah terjadi yang namanya ketidakadilan. Maksud saya, orang tua sudah berusaha bersikap adil namun sang anak menangkap yang sebaliknya. Jika memang tidak adil, tentu sebagai orang yang faham harus pandai memakluminya.

Mengenai keadilan memang sangat kompleks. Perlu pembahasan panjang dan pendiskusian ulang yang tidak harus menemui titik finish. Saya ingat nasihat Cak Nun, terkait dengan keadilan. Berbicara tentang hidung jangan melupakan muka alias wajah agar kita dapat berfikir secara konfrehensif. Begitu juga dengan keadilan yang harus disandingkan dengan banyak hal supaya tidak diklaim secara sepihak demi kepentingan pragmatis.

Closing: Adil dalam Perbuatan

Rasûlullâh mengingatkan kepada umatnya untuk mengiringi perbuatan tercela dengan perbuatan terpuji. Niscaya, perbuatan yang terpuji tersebut akan menghapus yang sebaliknya. Inilah yang menjadi renungan kita bersama. Ketika kita sadar bahwa kesalahan kita sungguh tidak terhitung lagi maka hanyalah Allâh sebaik-baik tempat kembali. Kepada-Nya semata kita memohon keridhaan agar berkenan mengampuni segenap dosa kita.

Jika siang hari kita disibukkan dengan aktivitas dunia yang melenakan maka malam hari adalah waktu dimana kita harus menyiapkan diri untuk kehidupan yang abadi. Dengan demikian kita tidak akan pernah merasakan kegersangan jiwa. Jika manusia terdiri dari dua unsur, yaitu unsur jasmaniah dan ruhiah, maka tidaklah pantas andai kita hanya memenuhi kebutuhan salah satunya. Keduanya harus diperlakukan secara seimbang sesuai dengan konsep keadilan.

Benar adanya bahwa dunia tiada lain adalah tempat menanam bekal untuk akhirat kelak. Tugas kita adalah memaksimalkan kehidupan dunia untuk meraih kebahagiaan yang hakiki di alam keabadian. Dunia memang harus digenggam. Sebab, kita adalah manusia yang membutuhkan bumi untuk memperlancar langkah kehidupan. Namun, itu kita lakukan guna memperoleh keselamatan ketika harus menghadap kehadirat-Nya.
Demikianlah, tema keadilan saya hadirkan kepada sidang pembaca. Harapannya, ini menjadi introspeksi kita bersama. Sabda Rasûlullâh, setiap kita adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban. Semoga kita bisa menjadi pemimpin yang adil, paling tidak bagi diri kita pribadi. Apalagi –sesuai ayat di atas– adil itu dekat dengan ketaqwaan. Berlaku adil berarti sebuah penegasan akan posisi kita sebagai insan bertaqwa, setelah menjalankan ibadah puasa. Wallâhu a’lamu bi al-shawwâb. []

Samsul Zakaria, Mahasiswa Hukum Islam, ’09 Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI)

Artikel ini dimuat dalam Buletin Jumat Al-Rasikh terbita Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam (DPPAI) Universitas Islam Indonesia (UII) Edisi 21 September 2012. Artikel ini dapat diakses pada link ini.

Unduh Artikel