Ketika Ketaatan Berujung pada Kemaksiatan
Maksiat yang membawa pelakunya pada perasaan hina dan butuh (mendekatkan diri) pada Allah lebih baik daripada ketaatan yang menimbulkan rasa keagungan diri dan disertai kesombongan. (Ibn Athaillâh)
Kuncinya adalah Hati
Semestinya merupakan hal yang wajar bila seorang Muslim merasakan ketenangan saat telah menunaikan ketaatan dan merasakan ketakutan setelah melakukan kemaksiatan. Dalam ranah dhahir, secara kasat mata, ketaatan adalah mutlak sebuah kabaikan. Sementara kemaksiatan –sekecil apapun bentuknya- tetaplah kesalahan. Namun, struktur bangunan amal seseorang tidaklah terjadi berkat kontribusi aktivitas jasmani saja. Amal tidaklah terwujud tanpa ada campur tangan rohani yang biasa dikenal dan diwakili oleh hati. Dalam hadits Nabi unsur terakhir justru disebut sebagai tolak ukur baik buruknya aktivitas jasmani seseorang. “Ingatlah bahwa dalam jasad itu ada sekerat daging, jika ia baik, baiklah jasad seluruhnya, dan jika ia rusak, maka rusaklah jasadnya seluruhnya. Ingatlah, ia adalah hati (al-qalbu)“. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dua orang Muslim yang melakukan shalat empat rakaat sama persis bisa memiliki nilai yang berbeda, bila orang yang pertama meniatkannya untuk shalat sunat, sementara orang yang lain berniat shalat zhuhur. Pembedanya terletak dalam niat. Atau sama-sama melakukan shalat shubuh, tapi yang pertama melakukannya ikhlas karena Allah, sementara yang lain karena riya’ di hadapan manusia. Sudah tentu yang pertama menuju “surga” karena keikhlasan hatinya, sementara yang kedua menuju “neraka” karena penyakit hati yang menghinggapinya.
Ibnu Athaillâh dalam kitab al-Hikam, untuk menunjukkan pentingnya kebersihan hati, bahkan memilih jalan kemaksiatan daripada ketaatan, saat kemaksiatan mampu berujung pada kehinaan diri dan perasaan butuh pada Allah, sementara ketaatan hanya melahirkan kesombongan dan perasaan ujub. Sifat ujub adalah jurang luas dan dalam yang mampu memisahkan hamba dari Allah. Sedangkan perasaan hina dan butuh pada rahmat ampunan Allah adalah magnet yang dapat mendekatkan hamba dengan Allah. Oleh karenanya, bagi Ibnu Athaillâh tidak ada kemaksiatan yang besar bila mampu mendekatkan diri kita kepada Allah, dan tidak ada ibadah yang paling merugi bila ujungnya hanya bertemu dengan murka Allah. Kuncinya ada pada ke mana hati kita menuntun dan membawa perbuatan yang jasmani kita lakukan. Sekali lagi pembedanya hanya satu, hati.
Senada dengan keterangan di atas, Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ juga memberikan paparan tentang tingkatan kesucian diri (thaharah) dari tingkatan yang paling rendah ke tingkatan yang lebih tinggi, Pertama, thaharat al-abdan ‘anil hawadits (kesucian badan dari hadas). Kedua, thaharat al-ajsam ‘anil atsam (kesucian jisim dari perbuatan dosa). Ketiga, thaharat al-qalbi ‘anil akhlaq al-madzmumah (kesucian hati dari akhlak yang tercela). Keempat, thaharat al-sirri ‘amma siwallah (kesucian inti hati dari selain Allah). Tampak Ghazali memberikan porsi yang besar terhadap peran hati dalam tingkatan kesucian diri. Bersih kotornya hati menentukan tinggi rendahnya derajat seseorang di mata Allah. Karena sejatinya, tampilan luar memang tidaklah menunjukkan nilai yang sebenarnya.
Mungkin sulit menjaga lisan untuk tidak mengumpat, mencibir, atau melakukan ghibah pada orang lain. Mungkin tidak mudah menahan menjaga lidah untuk tidak membuka aib orang, tapi sejatinya jauh lebih sulit dan jauh lebih tidak mudah untuk menjaga hati untuk tidak berdetak melakukan umpatan, cibiran, ghibah, atau mengingat-ingat aib orang lain. Menjaga badan untuk melakukan ibadah atau untuk meninggalkan kemaksiatan cukup dan selesai pada waktu-waktu tertentu. Kewajiban sholat dianggap selesai setelah ritualnya telah dilaksanakan, namun menjaga hati untuk memastikan sholat tersebut diperuntukkan dengan ikhlas kepada Allah melampaui batas-batas waktu ritual sholat. Hati harus tetap dipastikan ikhlas pada saat shalat, setelah shalat, bahkan sepanjang hati tersebut berdetak.
“(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih“. (Q.S. al-Syura [26]: 88-99).
Penyakit Amal
Memang lebih mudah menghindari kemaksiatan yang secara kasat mata tampak dan bersemayam dalam kemaksiatan. Perbuatan zina atau meminum minuman keras sebagian besar Muslim pasti tidak terlalu sulit menghindarinya. Tapi, bagaimana bila kemaksiatan itu bersemayam dalam bentuk ketaatan? Dampaknya memang akan banyak ahli ibadah yang justru tidak secara sadar melakukan dosa besar bersamaan dengan besarnya ibadah yang mereka lakukan. Alasannya adalah karena amal-amal ibadah tersebut berpenyakit. Penyakit-penyakit inilah yang justru menjadikan ibadahnya tidak bernilai di depan Allah, bahkan justru mengundang murka-Nya.
Di antara penyakit-penyakit tersebut pertama adalah penyakit ujub, bangga akan diri sendiri yang telah berhasil melakukan ibadah. Sifat ini seringkali tanpa kita sadari terlintas dalam hati kita setelah kita melakukan ibadah. Ada rasa puas, bahagia, dan bangga atas kemampuan melaksanakan sejumlah ritual ibadah. Tampak sangat sepele, namun ujub adalah sifat yang memisahkan sangat jauh jarak antara hamba dengan Tuhannya. Sifat ini mengindikasikan tiadanya keikhlasan dan keyakinan bahwa seluruh perbuatan bersumber dari Allah dan sudah seharusnya diperuntukkan murni bagi-Nya.
Logikanya, bagaimana mungkin ritual ibadah tersebut bisa kita lakukan kalau nikmat kesehatan tidak Allah berikan, kalau tidak Allah membiarkan badan kita bergerak, dan hati kita berdetak untuk beribadah kepada-Nya? Lalu atas dasar apa kita layak ujub, bangga akan peribadatan yang kita lakukan, sementara kita tidak punya peran apa-apa di dalamnya?
Penyakit amal yang kedua adalah keyakinan bahwa kita mampu selamat dan berhasil mencapai tujuan disebabkan amal ibadah yang kita lakukan (i’timad ‘alal ‘amal). Padahal keberhasilan seseorang dalam mencapai tujuan bukanlah berkat ibadah yang telah ia dirikan, bukan karena doa-doa yang tak henti-hentinya ia panjatkan. Semuanya hanyalah berkat rahmat Allah, kasih sayang-Nya kepada umat manusia. Doa kita tidak lain dan tidak bukan hanyalah ditujukan untuk membuktikan kehambaan kita kepada-Nya. Kalau tidak karena rahmat-Nya, maka tingginya pahala dari semua ibadah tidak akan berarti apa-apa.
Penyakit ketiga adalah menghina orang yang tidak melakukan ibadah sebagaimana ibadah yang kita lakukan. Seringkali kita merasa lebih baik, lebih suci, dan lebih bersih, selepas mendirikan shalat saat berpapasan dengan orang yang tidak shalat. Sayangnya, perasaan itu seolah merupakan kebenaran dan kewajaran yang lumrah kita rasakan. Ini bukan tentang amar makruf nahi munkar, tapi ini tentang memposisikan diri kita di hadapan orang lain. Kita sedikitpun tidak diperkenankan memiliki perasaan lebih baik daripada orang lain sehebat apapun ibadah yang kita lakukan. Demikian pula kita tidak boleh memiliki perasaan orang lain lebih hina, lebih berdosa daripada kita sebesar apapun dosa yang telah dilakukannya.
Suatu saat, ada seseorang yang tidak beriman pada Allah bertamu dan hendak menginap di rumah Nabi Musa a.s. Musa menolaknya karena berasalan ia belum beriman kepada Allah, sehingga Musa merasa orang tersebut hidup dalam dosa. Lalu Allah menurunkan wahyu seraya menegur Musa, “Bagaimana engkau (Musa) tidak memberikan tumpangan satu malam pada orang yang tidak beriman pada-Ku, sementara aku tetap memberikan rizqi sepanjang hidupnya, meski ia durhaka pada-Ku”. Musa kemudian mengejar orang tadi dan menceritakan perihal teguran dan wahyu yang Allah turunkan padanya. Orang tersebut lalu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mati dengan membawa imannya.
Kita tidak dihalalkan menghina pelaku dosa dan kemaksiatan, karena bisa jadi mereka mati dalam keadaan husnul khatimah (happy ending), sementara besar kemungkinan kita justru bisa mati dalam keadaan su’ul khotimah (sad ending). Di samping itu, menghina pelaku dosa atau orang yang tidak melakukan ibadah kebaikan berarti menghadirkan kesombongan atas kesucian diri sendiri, padahal “tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat sebesar semut hitam dari kesombongan”. Kami berlindung pada-Mu.
Ikhtitam
Orang yang berpikiran sempit tentu berpikir tidak ada gunanya melakukan ibadah, bila seolah-olah ibadah tersebut tampak sia-sia dan bisa-bisa justru menjerumuskan ke dalam api neraka. Memang ibadah sepenuhnya menjadi preogratif Allah untuk menerima atau menolaknya. Ibadah sejatinya hanyalah tanda-tanda bahwa kita ini orang baik dan mencintai Allah, namun hakikatnya tetaplah Allah yang Maha Mengetahui dan menentukan nilai dari ibadah kita. Namun, pilihannya tetap berada pada diri kita, apakah akan menjadi orang yang setidaknya menunjukkan tanda-tanda mencintai-Nya atau akan menjadi orang yang tidak memiliki cukup bukti bahwa kita mencintai-Nya. Wallâhu a’lam bi al-shawâb.[]
Subhanallah sy yg dangkal sekali ttg ilmu agama dgn mmbaca ini pikiran sy seolah terbuka,alhamdulillah semoga aku bisa terus belajar dan mndalami ilmu agama,aamiin…