Pesantren UII adakan Diskusi Ahmadiyah

Menanggapi polemik Ahmadiyah di Indonesia yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan berbagai elemen masyarakat, Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia (PPUII) melalui Organisasi Pondok Pesantren (OSPP) menggelar Diskusi Publik bertema “Menalaah Kasus Ahmadiyah dari Multiperspektif”, Sabtu (26/2) di Aula PP UII. Dalam sambutan sekaligus membuka acara, Dr. Muhammad Roy, M.Ag, selaku pengasuh pesantren mengingatkan bahwa kekerasan antar agama sudah berlangsung lama bahkan jika tidak diselesaikan akan berakibat perpecahan diantara masyarakat dan menjadikan negara Indonesia dilanda krisis iman dan moral karena mengedepankan kekerasan bukan fikiran.

Diskusi yang digelar untuk umum ini menghadirkan Simon Ali Yaser, Petinggi Ahmadiyah Lahore dan Drs. Yusdani, M.Ag, peneliti dan akademisi UII serta Irfan S. Awwas, Sekjen Majelis Mujahidin Indonesia sebagai narasumber dengan moderator Ari Wibowo, S.H.I., S.H. Simon Ali Yaser menegaskan keberadaan Ahmadiyah di Indonesia terbagi menjadi dua yaitu Lahore dan Qodliyan. Untuk Lahore, lajut Simon tidak menganggap bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, melainkan mujadid. Sedangan Qodliyan menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi yang tidak membawa syariat.

 

Moderator Ari Wibowo (kiri) bersama Narasumber Simon Ali Yaser, Yusdani, dan Irfan S. Awwas

Sementara, Yusdani dalam pengamatannya kasus Ahmadiyah sebenarnya sudah lama muncul. Menurutnya, kekerasan  terhadap jemaat Ahmadiyah ini muncul karena negara absen dalam mengayomi masyarakatnya. Lebih lanjut ia menerangkan  kejadian tersebut merupakan fakta bentuk kegagalan negara dalam dua hal, melindungi kelompok mayoritas karena telah terusik  dengan adanya Ahmadiyah dan gagal melindungi kelompok minoritas untuk menjalankan keyakinan masing-masing.

Sedangkan pendapat berbeda dikemukakan oleh Irfan. Ia menganggap  kasus Ahmdiyah ini bukan persoalan absennya negara dalam melindungi warganya karena pengikut Ahmadiyah mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi terkhir setelah Nabi Muhammad SAW yang   umat Islam tersinggung dan merupakan bentuk penistaan agama namanya. Meskipun demikian, antusiasme peserta terlihat dari jumlah peserta yang melebihi target seperti dikatakan Jauhar, Ketua Panitia Penyelenggara.