Menulis dan Kebahagiaan
Menulis dan Kebahagiaan
Oleh: M. Husnaini
Apa hubungan menulis dengan kebahagiaan? Menulis saban hari jelas bukan aktivitas mudah. Yang susah bukan tentang apa yang ditulis. Orang yang membaca (dalam arti luas) tidak sulit menemukan inspirasi setiap hari. Segala yang ditangkap pancaindra, misalnya, dapat melahirkan pengetahuan, dan itulah yang memantik ide untuk dikemas menjadi tulisan.
Yang teramat susah adalah menjaga mood. Suasana hati atau keadaan jiwa kerap berubah-ubah. Kadang riang, tetapi tidak jarang juga geram. Terutama bagi yang tidak pandai mengelola irama hati, tentu hari-hari lebih sering terliput gundah ketimbang bahagia. Dalam kondisi demikian, mana mungkin dapat menulis.
Menulis itu aktivitas berbagi. Berbagi meniscayakan kepemilikan untuk dibagi. Dari situ, penulis yang bagus haruslah pembaca yang tekun, kendati banyaknya bacaan belum menjamin bagusnya tulisan. Buktinya, tidak sedikit kutu buku yang buruk tulisannya. Kutu buku tanpa mampu menulis malah lebih banyak lagi.
Katanya, menulis adalah perjuangan melawan diam. Ini juga hanya dapat dilakukan oleh orang berpengetahuan. Yang tidak punya bahan dan wawasan, lantas apa yang disuarakan untuk melawan diam?
Ada pula yang bilang, menulis adalah suatu cara untuk berkata, berbicara, dan menyapa orang lain yang entah di mana. Jelas pula aktivitas-aktivitas ini membutuhkan hati yang selesai. Tidak mungkin dapat berkata dan menyapa orang lain apabila diri sendiri masih dililit aneka masalah.
Benar kata seorang bestari, kebahagiaan tidak terletak pada kaya atau miskin, berharta atau tak berpunya, dijunjung atau dibuang, melainkan pada kecerdasan kita memaknai setiap keadaan dan pengalaman kita. Jadi, bahagia bukan karena segala sesuatu baik, melainkan karena kita mampu melihat hal-hal baik dari segala sesuatu.
Karena itu, saya kagum dan hormat pada orang-orang yang rutin menulis saban hari. Di samping soal keilmuan mereka, kekaguman saya terutama pada kemampuan mereka mengelola perasaan, sehingga mampu melakukan kebaikan secara istikamah.
Sesuatu akan menjadi kebiasaan jika terus-menerus dilakukan hingga menemukan enaknya. Kata Nabi, adwamuha wain qalla. Bahasa Indonesianya kira-kira, biar sedikit asal ajek. Demikian nasihat beliau ketika ditanya amalan (sunah) apakah yang paling bagus dan dicintai Allah.
Teringat kata seorang teman penghafal Al-Qur’an. Katanya, kita baru akan merasakan nikmatnya Al-Qur’an ketika sanggup terus membacanya, kendati kita telah atau sedang merasa lelah dan bosan. Merokok, menurut perokok, juga begitu. Baru menemukan atau kecanduan merokok setelah pernah teler akibat rokok. Dalam bahasa Jawa disebut mendem. Tetapi contoh terakhir ini jangan dilakukan.
Kembali ke topik bahasan. Menulis menjadi aktivitas yang nyaman dan menyenangkan ketika telah dilakukan secara rutin setiap hari, apalagi sampai berjalan tahunan. Kalau hanya hangat-hangat tahi ayam, aktivitas apa saja akan terasa berat dan menyiksa. Hangat-hangat tahi ayam itu istilah orang Jawa untuk menggambarkan apa saja yang kadang dilakukan, tetapi sering ditinggalkan. Istilah lainnya adalah “rok-rok wit asem”. Kalau lagi senang, semangat bukan kepalang. Tetapi kalau kumat gilanya, mandi saja ogah.
Akhirnya, menulis rutin setiap hari, menurut saya, hanya dilakukan oleh orang-orang yang bahagia. Setidaknya, mereka adalah orang-orang yang mampu berdamai dengan suasana batin pribadi, sehingga tidak bermasalah dengan diri mereka sendiri.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!