Begini Seharusnya Bersikap

“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi. Maka, jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan/posisi itu. Dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.”

(Q.S. Al Hajj [22]: 11)

Dua tahun terakhir berturut-turut aneka bencana menyambangi negeri ini. Datang silih berganti, seakan tak akan pernah usai. Diawali gempa bumi beriring tsunami melanda Aceh, meletusnya gunung Merapi, gempa bumi Yogya. Lalu semburan lumpur Lapindo, angin putting beliung, dan kemudian kecelakaan beragam alat transportasi di darat, laut dan udara. Terakhir, seolah melengkapi semua musibah yang terjadi, adalah terbakar dan meledaknya pesawat Garuda di Bandara Adisucipto, Yogya, dengan korban 21 orang meninggal.

Segala macam bencana dengan segala dampak turunannya, tentu akan menimbulkan beragam sikap dalam diri manusia. Syaikh Utsaimin mengklasifikasikan reaksi manusia yang tertimpa bencana ke dalam tiga kelompok. Pertama, berkeluh kesah, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan. Sikap pertama ini sangat merugikan pelakunya. Satu sisi ia akan merugi karena keluh kesahnya sama sekali tidak akan membawa manfaat dan tidak akan menjawab persoalan, selain hanya memperkusut pikiran dan memperdalam kesusahan. Lebih berbahaya lagi jika keluh kesah itu mencerminkan ketidakridhaannya pada takdir Allah SWT.

Kedua, adalah kelompok orang yang bersabar. Orang yang tabah ketika tertimpa bencana, hakikatnya tidak menyukai musibah yang sedang menimpanya, namun demikian ia tidak melampiaskannya. Ia menahan diri dari keluh kesah, semata-mata karena meyakini bahwa semua musibah terjadi lebih disebabkan oleh kehendak Allah SWT. Mereka sadar bahwa di belakang setiap bencana, sesungguhnya tesimpan mutiara hikmah yang tak ternilai harganya.

Ketiga, kelompok orang yang memiliki sikap ridha. Tingkatan ini lebih tinggi dari sekadar sabar. Pada tingkatan ridha ini, seseorang melihat antara musibah dan kenikmatan seakan tak ada bedanya. Sebab, keduanya merupakan takdir Allah subhanahu wa ta’ala yang sarat dengan hikmah dan kebaikan. Sehingga wajar bila ulama sekaliber Zainal Abidin (cucu Rasulullah) kadang kebingungan ketika harus memilih dan menetapkan, mana yang harus disyukuri antara musibah dan kenikmatan.

Yang keempat –yang paling spektakuler– adalah orang yang bersyukur ketika mendapat musibah. Orang yang berada pada tingkatan ini melihat setiap musibah sebagai sebagai anugerah. Ketika musibah menyambanginya, ia merasa mendapat kenikmatan luar biasa. Mengapa demikian? Alur logikanya adalah karena melalui musibah itulah ia merasa memiliki peluang untuk menghapus dosa seraya mengais pahala. Rasululah SAW bersabda: “Tidaklah seorang mukmin ditimpa musibah dengan kesusahan dan kesulitan kecuali Allah mengiringi dengan menghapus dosanya melalui musibah itu sampai pada duri yang menusuknya (HR Bukhari dan Muslim).

Inilah sebenarnya kenikmatan puncak dalam hidup, yaitu tatkala kita berkesempatan menghapus dosa dan mengumpulkan pahala atas dasar keridhaan dan keikhlasan. Tentu saja, sejauh kita mampu menerima dan memaknai musibah dengan sikap lila legawa sebagai bagian dari ujian yang memang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala kepada kita.

Ujian Hidup

Dalam menjalani kehidupan di dunia ini, manusia selalu berhadapan dengan dua keadaan kontradiktif yang silih berganti. Suatu saat perasaan suka, senang atau bahagia menyerta. Sebaliknya pada kesempatan berbeda, perasaan duka, nestapa dan gundah gulana mendera. Sesekali kita happy, tapi kadang kita juga dirundung kesulitan dan kesumpekan hidup. Saat duka menyapa, seringkali manusia berkeluh kesah. Tapi kala kenikmatan datang atau rezeki mengalir, kita malah cenderung lupa untuk bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Sifat asli kita (kikir) justru muncul dan memuncak hingga ke ubun-ubun.

Bagi hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang beriman, hidup adalah ujian. Selagi hayat di kandung badan, maka selama itu pula manusia diuji oleh Allah subhanahu wa ta’ala. “Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun.” (Q.S. Al Mulk [67]: 2).

Tujuh Ujian

Sedikitnya ada tujuh macam ujian yang disiapkan oleh Allah sebagai wahana menguji iman manusia. Pertama, ujian berupa perintah dari Allah, seperti instruksi melalui mimpi yang disampaikan kepada Nabi Ibrahim a.s. agar ia menyembelih putra tercintanya, Ismail a.s. Kedua, ujian berupa larangan yang telah digariskan kemutlakannya oleh Allah subhanahu wa ta’ala, seperti larangan berzina, larangan korupsi, larangan merampok, mencuri, minum-minuman keras dan larangan melakukan kedzaliman.

Ketiga, ujian berupa musibah. Allah berfirman: “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta benda, kekurangan buah-buahan hingga kehilangan jiwa.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 155). Keempat, ujian berupa nikmat. Sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala jelaskan dalam surah Al Kahfi ayat 7, “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami uji mereka, siapakah di antaranya yang terbaik perbuatannya.”

Kelima, ujian dari orang-orang berperilaku dzalim, baik orang kafir (orang yang tidak beragama Islam), kelompok musyrik (mereka yang menyekutukan Allah), munafiq, jahil (bodoh), fasiq (menentang syari’ah Allah), maupun hasid (pendengki dan orang yang berpembawaan iri hati). Keenam, ujian keluarga, suami, isteri, anak dan orang-orang terdekat. Keluarga yang kita cintai bisa juga sekali waktu menjadi musuh kita karena kedurhakaannya kepada Allah, na’udzubillah min dzalik. Dan ketujuh, ujian lingkungan, tetangga, pergaulan, tempat tinggal dan suasana kerja, termasuk dalam sistem pemerintahan/negara.

Subhanallah, tanpa kita sadari, bahwa sesungguhnya Allah amat sangat sayang kepada kita. Terbukti, di samping menguji, Dia juga menyiapkan kunci jawaban, bagaimana agar dalam menghadapi ujian itu, kita bisa lulus dan kelak menghadapNya dengan menyandang predikat husnul khatimah.

Sengaja penulis meinjam sebuah ikon iklan popular: “Begini Seharusnya Bersikap.” Sehingga, tak ada alasan untuk berlarut-larut dalam berkeluh kesah. “Dan minta pertolonganlah kamu dengan kesabaran dan dengan shalat, dan sesungguhnya shalat amatlah berat, kecuali bagi orang-orang yang khusuk tunduk jiwanya.” (Q.S. Al Baqarah [2]: 45). (Disarikan dari beberapa rubrik Hikmah, Harian Republika).

Muhanam, Kepala Divisi Akademik & SIM, FIAI UII

Artikel ini dipublikasikan di Al-Rasikh Lembar Jumat Masjid Ulil Albab terbitan terbitan Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam (DPPAI) Universitas Islam Indonesia (UII) Edisi 9 Maret 2007. Artikel ini dapat diakses dari http://alrasikh.uii.ac.id/2007/03/09/begini-seharusnya-bersikap/.

Unduh Artikel