Tag Archive for: Program Studi Ekonomi Islam

Borong Emas Saat Krisis: Menyelamatkan Diri atau Menyelamatkan Negeri

 

Belakangan ini, publik ramai membicarakan fenomena masyarakat Indonesia yang mulai mem-borong emas secara besar-besaran. Ketidakstabilan ekonomi, kekhawatiran terhadap inflasi, serta kondisi global yang tak menentu membuat logam mulia ini kembali menjadi primadona sebagai aset pelindung nilai.

Namun, menariknya, fenomena ini justru sangat berbeda dengan apa yang pernah terjadi di Korea Selatan saat dilanda krisis besar pada tahun 1997. Alih-alih menyimpan emas untuk diri sendiri, rakyat Korea saat itu justru berlomba-lomba mengumpulkan dan menyumbangkan emas mereka kepada pemerintah. Kalung, cincin, bahkan medali emas diserahkan sukarela demi membantu negara keluar dari krisis.

Tidak butuh waktu lama, hanya dalam dua bulan, krisis ekonomi Korea berhasil dipulihkan. Lalu, apa sebenarnya peran emas di tengah krisis? Sekadar pelindung harta atau pendorong kebangkitan bangsa?

Emas, Pelindung Diri atau Penyelamat Negeri

Dalam kondisi krisis, emas selalu menjadi “pelarian aman” (safe haven) setiap individu, saat nilai uang kertas anjlok, emas tetap punya nilai intrinsik yang stabil. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia yang cemas terhadap inflasi atau kegagalan sistemik akhirnya memilih mengonversi uangnya ke bentuk emas. Ini adalah tindakan defensif, yang secara logika sangat masuk akal untuk menyelamatkan diri dari ketidakpastian.

Namun, berbeda dengan sikap kolektif rakyat Korea Selatan. Mereka memandang emas bukan semata sebagai alat pelindung kekayaan pribadi, tetapi juga sebagai alat perjuangan nasional. Saat negara krisis, mereka percaya bahwa menyumbangkan emas akan membantu pemulihan ekonomi. Respons masyarakat terhadap krisis tidak hanya bergantung pada tingkat kepercayaan mereka terhadap negara, tetapi juga pada seberapa besar rasa keterikatan dan nasionalisme yang tertanam dalam diri mereka.

Seperti yang disampaikan oleh Bapak Rizqi Anfanni Fahmi, SEI., MSI, Dosen Program Studi Ekonomi Islam UII, bahwa meskipun pada dekade 1990-an Korea Selatan masih termasuk negara dengan korupsi tinggi sebagaimana terlihat dalam berbagai laporan (Link Data) namun rasa patriotisme mereka sangat tinggi.

“Tradisi wajib militer, serta budaya kolektif untuk membela negara, mendorong masyarakat untuk menyumbangkan emas sebagai bentuk perjuangan bersama, bukan semata karena keyakinan penuh pada kebersihan pemerintah” Tegas Pak Rizqi

Peran Emas dalam Sejarah Peradaban Islam

Dalam sejarah Islam, emas tidak hanya digunakan sebagai alat tukar atau alat simpan nilai, tapi juga sebagai alat pemersatu dan pembangunan peradaban. Di masa Rasulullah SAW, kita mengenal kisah infak besar-besaran saat Perang Tabuk, di mana para sahabat seperti Utsman bin Affan menyumbangkan harta termasuk emas untuk mendanai perjuangan umat.

Pada masa Bani Umayyah dan Abbasiyah, emas menjadi instrumen penting dalam pengelolaan keuangan negara. Sistem moneter berbasis dinar dan dirham memungkinkan stabilitas ekonomi yang tahan terhadap inflasi dan manipulasi. Tak hanya itu, kekuatan baitul maal (perbendaharaan negara) dibangun atas dasar amanah dan keadilan, sehingga rakyat merasa terlibat dan percaya. Begitu juga pada masa kekhalifahan Islam, maupun dinasti lainnya.

Sistem ekonomi yang kokoh tidak hanya bergantung pada penggunaan dinar-dirham atau sebagai system instrument moneter saja, tetapi juga pada peran pemerintah yang menerapkan kebijakan berdasarkan science-based evidence (keputusan yang dibuat berdasarkan ilmu dan bukti ilmiah) pada keputusan kebijakannya.

Maka, apakah emas akan menjadi alat pertahanan diri atau alat kebangkitan bersama, sangat tergantung pada seberapa kuat hubungan antara rakyat dan negara yang dibangun, baik melalui kepercayaan, semangat patriotisme, maupun kebijakan yang berpijak pada keilmuan dan keadilan. Kita mungkin belum sampai pada tahap menyumbangkan emas seperti rakyat Korea, atau sahabat Nabi. Tapi kita bisa mulai membangun kembali nilai-nilai amanah, solidaritas, dan sains sebagai pijakan kebijakan publik.

Sekuat apapun logam mulia, peradaban tetap dibangun dari nilai-nilai mulia.
Jadilah bagian dari Program Studi Ekonomi Islam UII untuk menggali ilmu ilmunya.
Kunjungi dan segera daftar DISINI

Temukan informasi dan wawasan lainnya di https://fis.uii.ac.id/ekis/

IHSG Anjlok, Apa Perlu Kita Cemas??

“Pangan paling utama, harga saham boleh naik turun. Pangan aman, negara aman.” Begitulah ujar Presiden Republik Indonesia, Bapak Prabowo Subianto, dalam sidang kabinet di Istana Jakarta, Jumat (21/3/2025). Pernyataan ini terdengar menenangkan, seakan-akan fluktuasi harga saham hanya menjadi urusan investor dan pebisnis besar.

Namun, apakah benar demikian? Kenyataannya, gejolak pasar saham memiliki efek domino yang jauh lebih kompleks, termasuk pada sektor pangan yang disebut-sebut sebagai prioritas utama. Misalnya, ketika IHSG anjlok, dampaknya bisa terasa hingga ke harga bahan pokok yang kita konsumsi setiap hari. Jadi, benarkah kita tidak perlu cemas?

Mengapa IHSG Berarti bagi Sektor Riil?

IHSG yang anjlok bukan hanya urusan investor. Sebaliknya, Efek domino dari kejatuhan indeks ini bisa kita rasakan secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Secara sederhana, IHSG merupakan indikator yang mencerminkan kepercayaan investor terhadap kondisi ekonomi suatu negara. Ketika indeks ini naik, itu menandakan optimisme pasar terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, ketika IHSG turun drastis, ada kemungkinan ekonomi sedang dalam kondisi tidak stabil.

Dampak IHSG terhadap sektor riil meliputi:

  1. Harga Barang Naik

    Saat IHSG turun drastis, investor asing sering menarik modalnya dari Indonesia, menyebabkan rupiah melemah. Akibatnya, barang impor seperti bahan pangan, elektronik, hingga bahan bakar yang menjadi lebih mahal. Sehingga, ketika harga BBM naik, ongkos distribusi juga ikut naik, dan akhirnya harga kebutuhan pokok melonjak. Dengan demikian, daya beli masyarakat pun melemah, dan perputaran ekonomi pun melambat.

  2. Lapangan Pekerjaan Terancam 

    Anjloknya IHSG sering kali menandakan bahwa banyak perusahaan mengalami kesulitan keuangan. Akibatnya, mereka bisa menunda perekrutan, memangkas bonus, bahkan melakukan PHK. Lebih dari itu, jika kamu bukan karyawan tapi seorang pengusaha kecil, pelangganmu mungkin berkurang karena masyarakat mulai mengurangi pengeluaran akibat ketidakpastian ekonomi. Dengan kata lain, sektor informal bisa terkena dampaknya, seperti pedagang kecil yang omzetnya menurun karena harga bahan pokok naik.

  3. Tabungan dan Dana Pensiun Ikut Terguncang

    Kamu mungkin berpikir, “Aku kan nggak main saham, jadi nggak terpengaruh dong?” Salah besar!. Banyak bank, asuransi, dan dana pensiun berinvestasi di pasar modal. Ketika IHSG turun, nilai aset mereka ikut menyusut. Ini bisa berarti keuntungan tabungan jangka panjang ikut berkurang, nilai reksa dana turun, dan uang pensiun yang diharapkan mungkin tidak sebesar yang diperkirakan.

  4. Ekonomi Melambat, Peluang Mengecil 

    Saat pasar saham lesu, investor akan lebih berhati-hati dalam menanamkan modal. Proyek proyek besar bisa tertunda, usaha rintisan kesulitan mendapatkan pendanaan, dan inovasi terhambat. Pada akhirnya, peluang kerja semakin terbatas dan pertumbuhan ekonomi melambat. Jadi, jelas bahwa fluktuasi IHSG bukan sekadar urusan para investor kaya, melainkan juga berdampak pada kehidupan kita sehari-hari, mulai dari harga pangan, pekerjaan, tabungan, hingga peluang ekonomi ke depan.

Haruskah Kita Khawatir?

Penurunan IHSG memang perlu dicermati, tetapi pertanyaan yang penting adalah “apakah ini disebabkan oleh faktor internal atau eksternal?”

1.Faktor Internal

• Fundamental ekonomi yang lemah, jika perekonomian domestik mengalami perlambatan, misalnya karena defisit perdagangan atau kebijakan fiskal yang kurang efektif, maka IHSG bisa mengalami tekanan lebih besar.
• Ketidakpastian kebijakan pemerintah, investor sangat memperhatikan kebijakan moneter dan fiskal pemerintah. Jika kebijakan yang diambil tidak memberikan kepastian bagi pasar, maka risiko capital outflow (keluarnya modal asing) meningkat.
• Krisis sektor tertentu, sektor keuangan atau properti yang melemah dapat memicu efek domino ke sektor lainnya. Misalnya, jika banyak perusahaan mengalami gagal bayar, kepercayaan investor bisa merosot.

2. Faktor Eksternal

• Gejolak ekonomi global, perang dagang, kenaikan suku bunga bank sentral AS (The Fed), atau resesi global bisa berdampak pada pasar saham Indonesia. Investor asing cenderung menarik dananya dari pasar negara berkembang saat terjadi ketidakpastian global.
• Fluktuasi harga komoditas, Indonesia sebagai negara berbasis ekspor sangat bergantung pada harga komoditas seperti minyak, batu bara, dan kelapa sawit. Jika harga komoditas turun drastis, pendapatan negara dan perusahaan berbasis ekspor ikut terpukul.
• Perubahan tren investasi global, Saat investor global mengalihkan dana mereka ke aset yang lebih aman seperti emas atau obligasi negara maju, pasar saham negara berkembang bisa terdampak negatif.

Secara umum, penurunan IHSG yang dipengaruhi faktor eksternal, dampaknya cenderung lebih bersifat sementara. Sevalikya, jika penyebabnya adalah faktor internal, maka hal ini bisa menjadi indikasi bahwa ada masalah mendasar yang perlu segera diselesaikan. Sayangnya, seperti yang kita ketahui penurunan IHSG di Indonesia saat ini disebabkan oleh faktor Internal. Oleh karena itu, Jika tidak ingin Indonesia cemas dipercepat tahun ini, pemerintah perlu memikirkan cara mengatasinya.

Saat ini, tantangan utama bukan hanya menjaga stabilitas IHSG, tetapi juga memastikan bahwa kebijakan ekonomi yang diterapkan benar-benar melindungi kesejahteraan masyarakat luas. Sebab, jika ekonomi riil terganggu, maka dampaknya akan jauh lebih besar dibanding sekadar angka yang turun di pasar saham. Namun apakah mereka benar benar sadar? Kalaupun sadar, apakah pemerintah akan mengaku salah kemudian bertaubat melalui tindakan yang konkret ??

Bagaimana menurutmu Sob ? Apakah kita masih bisa merasa tenang? Atau sudah saatnya menuntut kebijakan yang lebih berpihak pada rakyat?

Temukan wawasan dan Informasi lainnya di https://fis.uii.ac.id/ekis
Jadilah bagian dari Program Studi Ekonomi Islam dengan mendaftar di pmb.uii.ac.id

Korupsi di Indonesia, Kebiasaan atau Penyakit yang Bisa Disembuhkan?

Seperti yang sudah dibahas pada artikel sebelumnya, korupsi di Indonesia bukan lagi sekadar praktik ilegal yang tersembunyi, tetapi sudah menjelma menjadi penyakit kronis yang menggerogoti fondasi ekonomi. Bahkan, istilah “Liga Korupsi Indonesia” semakin mempertegas bahwa korupsi di negeri ini bukan lagi sekadar kejahatan, melainkan sistem yang terus berulang dengan pola dan “aturan mainnya” sendiri.

Kasus-kasus korupsi di perusahaan BUMN terus bergulir. Salah satu yang paling mencolok baru-baru ini adalah skandal di Pertamina, di mana kebocoran anggaran mencapai triliunan rupiah. Bukan hanya merugikan negara, dampaknya langsung terasa oleh masyarakat dalam bentuk harga kebutuhan yang semakin tinggi akibat inefisiensi. Korupsi di BUMN bukan sekadar perbuatan individu, melainkan sistemik, penggelembungan harga proyek, suap dalam tender, hingga manipulasi laporan keuangan. Hasilnya? Investor asing ragu menanamkan modal, pembangunan nasional tersendat, dan rakyat yang harus menanggung akibatnya. Tidak heran jika anak muda semakin frustrasi, hingga muncul fenomena baru: #KaburAjaDulu sebagai bentuk respons terhadap sistem yang dirasa semakin buruk.

Lari dari Masalah atau Strategi untuk Masa Depan?

Fenomena #KaburAjaDulu bukan sekadar tren media sosial, tetapi cerminan dari kekecewaan anak muda terhadap kondisi ekonomi dan politik yang stagnan. Banyak yang merasa bahwa bekerja dengan jujur di Indonesia hanya akan membawa kesulitan dan keterbatasan. Namun, apakah mereka benar-benar menyerah? Tidak semua yang memilih pergi berarti lari dari masalah. Ada juga yang menjadikannya sebagai strategi: menimba ilmu, memperluas jaringan, dan mencari peluang di luar negeri dengan harapan bisa kembali membawa perubahan.

Di sisi lain, upaya untuk memperbaiki sistem dari dalam tetap harus berjalan. Jika ekonomi Islam diterapkan secara luas, bukan tidak mungkin korupsi bisa ditekan dan kepercayaan terhadap sistem pun kembali tumbuh. Islam menekankan nilai-nilai kejujuran (ash-shidq), amanah, dan keadilan (al-adl) dalam setiap aspek ekonomi. Bukan hanya soal menghindari suap, tetapi juga membangun ekosistem bisnis yang sehat dan berorientasi pada maslahat.

Dosen Program Studi Ekonomi Islam UII, Bapak Sofwan Hadikusuma, Lc, M.E, berpendapat bahwa pencegahan korupsi bisa dilakukan dengan dua sistem pengawasan: eksternal dan internal. Pengawasan eksternal dilakukan melalui penegakan regulasi anti korupsi, sementara pengawasan internal dibangun dengan kesadaran diri bahwa perilaku korupsi merupakan hal terlarang yang bisa merugikan banyak pihak.

Sebagai sebuah sistem, ekonomi Islam memiliki aturan ilahi yang melarang perbuatan koruptif. Penegakan aturan anti korupsi dalam sistem ekonomi Islam sesungguhnya bisa menjadi solusi dalam mencegah dan memberantas korupsi. Dengan adanya aturan, seseorang akan dibatasi gerak-geriknya agar tidak bisa melakukan korupsi. Di sisi lain, seseorang yang sadar dan bisa menahan diri akan mendapat reward dari Allah SWT sebagai imbalan atas penghambaan (ibadah) kepada-Nya, yaitu dalam hal meninggalkan larangan korupsi.

Solusi konkret seperti audit syariah, transparansi keuangan berbasis syariah, dan penerapan zakat perusahaan bisa menjadi langkah awal menciptakan lingkungan ekonomi yang lebih bersih dan terpercaya. Sistem ini bukan sekadar teori, tetapi bisa menjadi alternatif nyata dalam membangun ekonomi yang lebih adil.

Indonesia tidak bisa terus-menerus terjebak dalam lingkaran korupsi. Saatnya membangun sistem yang lebih transparan dan berintegritas. Bukan hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk generasi yang akan datang. Karena kejujuran bukan sekadar pilihan, melainkan kewajiban.

Gimana menurutmu Sob ?
Temukan wawasan dan Informasi menarik lainnya di https://fis.uii.ac.id/ekis

Jadilah bagian dari Program Studi Ekonomi Islam dengan mendaftar di pmb.uii.ac.id