ISLAMIC PARENTING: MENGAPA PENDIDIKAN HARUS BERBASIS KEPADA FITRAH?

oleh: Burhan Nudin, S.Pd.I., M.Pd.I.

(Dosen Program Studi Pendidikan Agama Islam)

Krisis Peradaban dan Pendidikan

Peradaban manusia kini dihadapkan pada berbagai krisis, seperti krisis kemanusiaan, krisis alam, krisis kesejahteraan, krisis kesehatan dan krisis sistem hidup.

Hilangnya potensi, bakat dan akhlak, punahnya keunggulan dan keanekaragaman hayati, tergerusnya kearifan dan kemuliaan bangsa-bangsa serta krisis agama beserta maraknya kekosongan spiritual dan moral, jelas mendorong manusia mempercepat ‘kiamatnya’ sendiri sebelum waktunya.

Akar dari semua krisis global ini diawali dari cara pandang terhadap manusia, bumi, waktu dan sistem nilai ‘world view’ yang salah baik disengaja maupun tidak.

Kesalahan tersebut kemudian merusak fitrah sehingga merendahkan derajat manusia. Rusaknya fitrah ini tampak pada penyimpangan peran-peran sejati manusia, peran alam, peran kehidupan, dan peran sebntral nilai agama. Seakan tidak lagi memberi rahmat dan manfaat, tidak lagi mengayomi dan melindungi apalagi membahagiakan.

Berawal krisis dan disorientasi peradaban manusia inilah mulailah muncul problematika pendidikan.

Pertama, bahwa pendidikan saat ini tampak usang, kurang adaptif dengan perubahan zaman.

Kedua, sistem birokrasi gemuk dan resisten pada ide perubahan sehingga mengabaikan kompetensi unggulan para guru.

Ketiga, pendidikan dalam bingkai kolonial yang dicirikan top-down, sentralistis, dan dualitas (dikotomi).

Keempat, pendidikan yang cenderung merusak fitrah demi orientasi perlombaan atau sekedar mengejar kebutuhan pragmatis sesaat. Sebagai contoh, ketika peserta didik mati-matian ikut kursus atau les intensif agar meraih nilai Ujian Nasional memuaskan, namun tidak tahu hakikat belajar sejatinya untuk apa.

Kelima, kurang menghargai kearifan lokal dan sosial dan indikator ‘kesuksesan’ yang absurd.

Konsep Fitrah

Allah SWT memberikan keistimewaan kepada manusia dengan potensi bawaan yang dikenal sebagai fitrah, sebuah konsep yang menunjukkan keadaan alami manusia sejak penciptaan.

Secara etimologis, fitrah berasal dari bahasa Arab fithrah (فطرة) yang bermakna al-khilqah (naluri, pembawaan, ciptaan asal, kesucian, kodrat, atau keadaan asli) dan abīʿah (tabiat, watak, karakter, perangai) sejak lahir yang diciptakan Allah kepada manusia. Menurut Quraish Shihab, kata ini berasal dari akar kata al-fithr yang berarti “belahan”. Dari makna ini lahir makna-makna lain yang terkait dengan penciptaan, yakni proses penciptaan awal atau kejadian.

Dalam gramatika bahasa Arab, kata fitrah memiliki pola yang sama dengan kata (wazannya) fi’lah, yang berarti menciptakan sesuatu tanpa contoh atau tanpa meniru sebelumnya (al-ibtida’). Makna tersebut menegaskan bahwa Allah SWT menciptakan manusia sebagai ‘mahakarya’ yang unik dan tidak ada contoh sebelumnya dalam proses penciptaan.

Pandangan ini juga didukung oleh penjelasan dari kitab-kitab klasik, seperti Nahjul Balaghah dan al-Maarif al-Islamiyah, yang menyatakan bahwa dalam penciptaan manusia, Allah tidak mencontoh apa pun. Penciptaan manusia oleh Allah bersifat orisinal, menegaskan keunikan fitrah manusia.

Menurut Ibn al-Qayyim dan Ibnu Katsir, fithir bermakna penciptaan, sehingga fitrah dipahami sebagai keadaan yang merupakan hasil dari proses penciptaan itu sendiri. Dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu ‘Abbas, fitrah merujuk pada kondisi asli manusia sejak penciptaan, yang selalu dihubungkan dengan sifat dasar manusia dalam pengakuan terhadap Tuhan dan penciptaan manusia secara alami oleh Allah SWT (Pahero dkk., 2023).

Berbagi interpretasi tentang makna fitrah yaitu (Pransiska, 2017):

  1. Fitrah mempunyai arti Suci (thuhr). Menurut Al-Auza’iy, fitrah merupakan kesucian, dalam jasmani dan rohani. Namun, dalam konteks pendidikan, kesucian adalah kesucian manusia dari dosa waris, atau dosa asal.
  2. Fitrah mempunyai arti Islam (dienul Islam). Abu Hurairah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan fitrah adalah agama. Oleh karenanya, anak kecil yang meninggal dunia akan masuk surga, karena dilahirkan dengan dienul Islam walaupun terlahir dari keluarga nonmuslim.
  3. Fitrah mempunyai arti mengakui ke-Esa-an Allah (at-tauhid). Manusia lahir dengan membawa konsep tauhid, atau paling tidak berkecenderugan untuk meng-Esa-kan Tuhannya dan berusaha terus mencari untuk mencapai ketauhidan tersebut.
  4. Fitrah mempunyai arti murni (al-ikhlash). Manusia dilahirkan dengan berbagai sifat, salah satunya adalah kemurnian (keikhlasan) dalam menjalankan suatu aktivitas.
  5. Fitrah mempunyai arti kondisi penciptaan manusia yang memiliki kecenderungan untuk menerima kebenaran.
  6. Fitrah mempunyai arti potensi dasar manusia sebagai alat utuk mengabdi dan ma’rifatullah.
  7. Fitrah mempunyai arti ketetapan atau kejadian asal manusia berkaitan dengan kebahagiaan dan kesesatannya.
  8. Fitrah mempunyai arti tabiat alami yang dimiliki oleh manusia (human nature).
  9. Fitrah mempunyai arti al-Ghorizah (insting) dan al-Munazzalah (wahyu dari Allah).

Ibnu Taimiyah mengklasifikasikan fitrah manusia menjadi dua macam, yaitu:

Pertama, Fitrah al-Munazzalah. Fitrah luar yang masuk dalam diri manusia, fitrah ini berupa petunjuk Al Quran dan As-Sunnah, yang digunakan sebagai kendali dan pembimbing bagi fitrah al-Gharizah.

Kedua, Fitrah al-Gharizah. Fitrah inheren dalam diri manusia yang memberi daya akal (quwwah al-‘aqal), yang digunakan untuk mengembangkan potensi dasar manusia.

Fitrah identik juga dengan Idul Fitri sebagai momen “kembali ke keadaan suci tanpa dosa.” Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), fitrah diartikan sebagai sifat asli, bakat, atau pembawaan perasaan keagamaan.

Secara religius, fitrah manusia adalah beriman kepada Allah Swt. Pada dasarnya, jiwa manusia secara alami mengakui ketuhanan Allah (QS. Al-A’raf: 172) dan siap mengikuti syariat Islam. Hanya hawa nafsu dan ketidaktahuan yang bisa menghalangi seseorang untuk beriman atau mengamalkan ajaran Islam.

Kesimpulannya, fitrah dalam konteks Islam adalah konsep penciptaan awal yang membawa manusia pada sifat bawaan alami mereka, yang mencakup kesucian, kebaikan, serta potensi untuk mengenali dan menyembah Allah SWT.

Pendidikan berbasis Fitrah

Sebagai khalifah di bumi, manusia diciptakan secara alami dalam keadaan fitrah (disposition of nature)sifat alami atau bawaan alami. Dalam pengertian lain, fitrah disebut dengan innate goodness (bawaan baik) dan orangtua tidak diperbolehkan mengubahnya, baik disengaja karena obsesi, maupun tidak sengaja karena lalai.

Diantara bawaan baik (innate goodness) adalah Tauhid atau Islam sejak dilahirkan. Sejak dilahirkan manusia sudah memegang tauhid atau berIslam sebagaimana (QS Al-Araf (7):172). Maka, orangtua tidak dianjurkan menyimpangkannya. Hal ini bermakna bahwa mendidik anak menjadi shalih (Islam atau bertauhid) seharusnya lebih mudah daripada mendidik anak menjadi tidak shalih (selain islam atau tidak bertauhid).

Mendidik berbasis fitrah secara otomatis adalah mendidik anak berbasis kepada Aqidah Islam atau Tauhid. Banyak ulama mendefinisikan fitrah sebagai Islam atau bertauhid atau juga kesiapan untuk menerima Dienul Islam.

Dalam buku yang berjudul “Baby born Believer” karya Prof. Justin Barret, menyatakan bahwa apabila ada anak sejak lahir ditempatkan dalam sebuah pulau, tanpa ada intervensi apapun dari orangtua maupun lingkungan, maka dipastikan menjadi orang yang beriman (percaya kepada Tuhan).

وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْٓ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْۚ اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَا ۛاَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِيْنَۙ

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.” – (QS. Al-Araf (7):172).

Fitrah, sebagaimana dituliskan oleh Prof. Dr. Muhammad Yasien, adalah the Islamic concept of human nature. Kata fitrah ataupun istilah yang serupa belum pernah dikenal oleh agama sebelumnya.

Penyebab rusaknya agama agama sebelum adanya Islam dikarenakan menganggap ada sifat Tuhan dalam diri manusia atau menitisnya Tuhan dalam diri manusia (manunggaling kawulo gusti). Begitupun penyebab rusaknya sistem pendidikan modern dikarenakan menolak adanya fitrah dalam diri manusia, dan menganggap manusia kertas kosong (blank slate atau tabula rasa versi pendapat John Locke).

Pada era post modernisme, konsep “blank slate” sudah ditolak dan digantikan dengan “otak atik otak” dan diversifikasi kecerdasan, namun esensinya masih menolak fitrah atau jiwa manusia. Penolakan bahwa manusia mempunyai jiwa, menyebabkan rancangan konsep dan praktik pendidikan tidak pernah menyentuh jiwa manusia, maka lahirlah orang-orang cerdas yang tidak mempunyai jiwa, mereka bergerak mekanistik dan robotik tanpa adanya ruh.

Saat ini, dunia menyesali bahwa sistem pendidikan yang telah diterapkan selama ini yang hanya melahirkan “human thinking” dan “human doing” bukan “human being”. Penelitian yang telah dilakukan  selama 15 tahun terhadap 19 orang alumni terbaik angkatan 90an di Harvard membuktikan bahwa manusia cerdas tanpa jiwa hanya memberikan kesengsaraan manusia termasuk dirinya sendiri serta alam semesta.

Penyebab tragedi kemanusiaan adalah ketika manusia menjadi penyebab krisis alam dan krisis kehidupan. Human Being atau manusia seutuhnya (insan kamil) hanya dapat dilahirkan melalui pendidikan dari Human Nature. Penolakan atas adanya human nature (fitrah) dapat memicu lahirnya pendidikan yang tidak melahirkan manusia seutuhnya (insan kamil atau human being atau perfect man).

Menurut al-Quran, kata “fitrah” dalam bentuk “fi’lah” hanya disebutkan satu kali di QS Ar-Ruum (30):30, padahal fitrah ini sangat penting apabila dikaitkan dengan fungsi dan misi penciptaan manusia. Ini sekaligus membuktikan bahwa pembahasan fitrah merupakan bahasan yang “urgent & important”.

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. – (Q.S. Ar-Ruum (30): 30).

Manusia diciptakan bukan sebuah kebetulan, namun dengan maksud penciptaan (the purpose of life), yaitu untuk beribadah kepada Allah semata dan untuk menjadi Khalifah Allah di muka bumi.

Maksud penciptaan merupakan alasan Allah menghadirkan manusia, namun tujuan manusia diciptakan di muka bumi ini pasti memiliki tugas masing-masing dan mempunyai perbedaan satu sama lain. Tugas tersebut disebut dengan the mission of life, yaitu peran spesifik manusia selama di dunia.

Hal tersebut merupakan panggilan hidup manusia yang senantiasa dilalui dengan ikhlas dan jujur. Darimana kita mengetahui tugas spesifik yang merupakan panggilan hidup kita? Jangan khawatir, semua tugas itu secara konsepsi dan potensi telah diinstal dalam diri kita, itulah yang disebut Fitrah (Santosa, 2023).

Fitrah dalam arti lain disebut dengan “al-ibtida” yaitu ciptaan unik yang belum pernah dibuat sebelumnya. Keunikan inilah yang seharusnya diterapkan dan harus dibina agar esok menjadi peran unik dalam peradaban (Asrimandari, 2024). Pendidikan yang tidak berangkat dari fitrah manusia akan mengalami kegagalan dalam melahirkan generasi yang memiliki peran spesifik terbaik dalam peradaban.

Menurut Prof Sir Ken Robinson, bahwa hanya 2 dari 10 orang di dunia yang jujur pada peran yang sesuai panggilan hidupnya. Hal tersebut menyebabkan banyak orang bekerja tidak bahagia dan tidak berkinerja baik. Depresi, bunuh diri, narkoba, LGBT dan lainnya disebabkan karena faktor kegalauan manusia yang tidak dididik untuk dapat mencapai peran peradaban sesuai fitrahnya.

Klasifikasi Fitrah Manusia

  1. Fitrah Keimanan, setiap anak dilahirkan telah dianugerahi potensi fitrah keimanan. Ruh (manusia) telah mengakui rububiyah Allah sebelum kehadirannya di dunia. Tidak ada anak yang tanpa mencintai Tuhannya dan Kebenaran kecuali disimpangkan oleh pendidikan yang tidak bernar.
  2. Fitrah Bakat dan Kepemimpinan, setiap anak memiliki potensi unik produktif yang merupakan panggilan hidupnya, yang akan membawanya kepada peran spesifik peradaban.
  3. Fitrah Belajar dan Bernalar, setiap anak adalah pembelajar tangguh dan hebat nan sejati. Tidak ada anak yang tanpa gemar belajar kecuali fitrahnya telah disimpangkan.
  4. Fitrah Individualitas dan Sosialitas, umur kurang dari 7 tahun anak belum punya tanggung jawab moral dan sosial. Jiwa individualitas anak tumbuh pada umur kurang dari 7 tahun dan jiwa sosialitas akan berkembang baik mulai usia 7 tahun.
  5. Fitrah Jasmani (Fisik dan Sehat), sejak lahir anak membawa potensi fisik yang cenderung bergerak dan aktif serta panca indera yang yang suka berinteraksi dengan bumi dan kehidupan. Suka asupan dan pola makan yang sehat, namun kita sebagai orang tua malah membiasakan membelikan jajanan kemasan atau makanan cepat saji.
  6. Fitrah Seksualitas dan Cinta, bagi laki-laki akan menjadi peran kelelakiannya dan keayahan sejati. Bagi perempuan akan menjadi peran keperempuannya dan kebundaan sejati.
  7. Fitrah Estetika dan Bahasa, setiap anak memiliki “sense of aesthetics” yaitu merasakan akan keindahan dan menyukai keindahan serta keharmonian.
  8. Fitrah Perkembangan, perkembangan manusia memiliki sunnatullah, ada tahapan, ada masa emas bagi fitrah tertentu. Tidak berlaku kaidah makin cepat makin baik.

Problem pengasuhan anak khususnya usia 0-7 tahun

  1. Mengutamakan akademik atau kognitif (seperti calistung) – ciptakan suasana cinta sehingga kelak dengan sendirinya anak akan bertanya.
  2. Menggegas hafalan al-Qur’an tanpa memerhatikan cara dan kemampuan serta ketertarikan anak yang beragam. Metode talaqi dapat dijadikan pilihan bukan formal menghafal teks. Diperdengarkan al-Qur’an setiap hari (reciting) saja sudah cukup baik. Pada pendidikan fitrah, cinta kepada Allah, kepada kebenaran (haq) dan kepada Islam jauh lebih utama dibangkitkan pada usia ini daripada pengajaran agama.
  3. Mengajarkan bahasa kedua sebelum bahasa ibu Anak-anak yang belum tuntas bahasa ibunya akan mengalami mental block. Jika diajarkan bahasa asing, yaitu kesulitan mengekspresikan gagasan dan perasaan secara lisan atau tulisan. Bahasa asing sebaiknya diberikan setidaknya setelah usia 9 tahun atau ketika bahasa ibu sudah tuntas dengan indikasi mampu menyampaikan perasaan dan gagasan dengan baik, tepat dan jelas.
  4. Mendahulukan mengajarkan syariat dan tata cara ibadah daripada membangkitkan fitrah keimanan atau akidah (keimanan, kecintaan, dan keridhaan kepada Allah SWT). Anak mungkin bisa saja terlihat pandai beribadah, namun belum tentu akan berlanjut sampai dewasa jika fitrah keimanannya tidak dibangkitkan.
  5. Berkata, bersikap atau berwajah yang tidak ramah apalagi kasar.
  6. Berobsesi menjdikan anak sesuai dengan profesi tertentu tanpa memertimbangkan keunikan anak

Pendidikan yang sedang kita lakukan adalah pendidikan peradaban. Maka tujuan pendidikan peradaban ini adalah mengantarkan anak-anak didik kita sampai pada peran peradabannya, baik yang bersifat personal maupun komunal.

  1. Peran personal bermakna bahwa mereka adalah pribadi yang unik dengan misi peciptaanya, yang dengannya mereka mampu mengemban misi sebagai pengelola bumi.
  2. Komunal bermakna bahwa mereka adalah ummatan wasathan, siap menjadi umat pilihan terbaik.

Dengan begitu, tujuan pendidikan yang dilakukan sudah selaras dengan tujuan penciptaan oleh Allah yakni selaras dengan fitrah insaniyah.

Berikut adalah tips singkat bagi ayah dan bunda dalam mendidik anak berbasis fitrah di era digital:

  1. Jadilah Teladan: Tunjukkan penggunaan teknologi yang bijak dan etis dalam kehidupan sehari-hari.
  2. Batasan Waktu: Tetapkan waktu penggunaan perangkat digital dan pastikan ada keseimbangan dengan aktivitas fisik.
  3. Diskusi Aktif: Ajak anak berdiskusi tentang konten yang mereka lihat, termasuk nilai-nilai moral dan etika.
  4. Pilih Konten Edukatif: Berikan akses ke aplikasi dan video yang mendukung pengembangan karakter dan keterampilan.
  5. Aktivitas Bersama: Luangkan waktu untuk kegiatan keluarga yang melibatkan teknologi secara positif, seperti belajar atau bermain bersama.
  6. Perhatikan Kesehatan Mental: Diskusikan perasaan anak terkait penggunaan teknologi dan ajarkan teknik relaksasi.
  7. Kolaborasi dengan Sekolah: Dukung pendekatan pendidikan berbasis fitrah di sekolah dan ikuti kegiatan yang relevan.

Dengan langkah-langkah ini, ayah dan bunda dapat membantu anak tumbuh dengan baik dalam menghadapi tantangan dunia digital.

Sumber:

Asrimandari, S. (2024). The Relevance of the Concept of Fitrah-Based Islamic Education to the Mindset of Teenagers in the Digital Era. International Conference of Bunga Bangsa, 2(1), Article 1. https://doi.org/10.47453

Pahero, U., Ahmad, A., & Palengkey, R. D. (2023). Fitrah Manusia (Peserta Didik) Dalam Perspektif Hadis. AL-URWATUL WUTSQA: Kajian Pendidikan Islam, 3(1), Article 1.

Pransiska, T. (2017). Konsepsi Fitrah Manusia Dalam Perspektif Islam Dan Implikasinya Dalam Pendidikan Islam Kontemporer. Jurnal Ilmiah Didaktika, 17(1), 1. https://doi.org/10.22373/jid.v17i1.1586

Santosa, H. (2023). Fitah Based Education (4.6). Yayasan Fitrah Wirabumi Madani.