Kalimat judul di atas saya kutip dari judul salah satu buku karya Hernowo. Diksi tersebut, ditinjau dari segi mana saja, adalah benar belaka. Membaca adalah gerbang menuju ilmu, dan ilmulah yang menyebabkan kita mulia.
Sekitar seribu lima ratus tahun lalu, wahyu Tuhan turun, menandai bermulanya syariat Islam secara lengkap. Kepada pribadi mulia bernama Muhammad SAW, titah pertama yang dibawa oleh Jibril adalah perintah membaca atau iqra’. Belum ada perintah aneka ibadah, Tuhan sudah mengirimkan kepada umat ini perintah membaca.
Perintah membaca tersebut tidak menyebutkan objek bacaan, tetapi menjelaskan motivasi dan tujuan membaca, yaitu dengan atau demi karena Tuhanmu. Para ahli tafsir kemudian memahami bahwa perintah membaca dalam surah Al-Alaq itu mencakup makna menyimak, menganalisis, meneliti, dan semisalnya. Membaca di situ bukan sekadar tilawah, tetapi juga qiraah, tadarus, dan tadabur.
Dalam bahasa ringkas, membaca itu gerbang menuju ilmu. Siapa tidak membaca, pasti terjebak dalam sindrom expired knowledge.
Membaca terdiri dari qaf, ra’, dan hamzah (qa-ra-a). Ketiga huruf itu menakjubkan. Menurut M Quraish Shihab, betapa pun kita utak-atik susunan tiga huruf itu, ia tetap punya makna. Dibaca ariqa, maknanya gelisah atau sulit tidur. Kalau kita baca aqarra, artinya mantap atau tenang. Semua itu mengisyaratkan bahwa kalau kita tidak membaca, kita akan gelisah, dan ketika gelisah dan tidak dapat tidur, kita tidak akan merasa tenang. Sebaliknya, jika kita membaca, kita akan memperoleh pengetahuan, dan dengan demikian, hidup kita menjadi tenang.
Sejarah mencatat, kemampuan manusia bertahan hidup juga ditentukan dari kemampuannya membaca. Manusia purba kuat secara fisik. Tetapi, karena tidak mampu membaca, dalam makna apa saja, mereka kalah berhadapan dengan alam, lalu musnah. Kalau kita gagal membaca pasti mengalami nasib serupa.
Karena itu, mukjizat utama Nabi Muhammad adalah Al-Qur’an, bukan kedigdayaan dan kesaktian fisik seperti mukjizat nabi-nabi terdahulu. Al-Qur’an merupakan kitab bacaan berisi panduan dan tuntunan.
Tidak ada peradaban terbangun bukan dari tradisi membaca. Umat manusia mampu memasuki keajaiban demi keajaiban ilmu pengetahuan bukan dengan kekuatan fisik.
يٰمَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِ اِنِ اسْتَطَعْتُمْ اَنْ تَنْفُذُوْا مِنْ اَقْطَارِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ فَانْفُذُوْاۗ لَا تَنْفُذُوْنَ اِلَّا بِسُلْطٰنٍۚ
“Wahai jemaah jin dan manusia, sekiranya kamu sanggup menembus langit dan bumi, maka tembuslah,” seru Tuhan dalam QS Ar-Rahman/55: 33. “Kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.”
Kata “kekuatan” atau sulthan bisa dimaknai dengan ilmu dan teknologi. Sekiranya manusia menggunakan hasil bacaan (iqra’) dalam kerangka bismi rabbikalladzi khalaq, berarti manusia telah mempersembahkan ilmu dan teknologi untuk menciptakan tata hidup untuk beribadah kepada Tuhan. Dari situlah peradaban bersinar.
Ada ungkapan bahwa yang berbahaya dari menurunnya minat membaca adalah meningkatnya hasrat berkomentar. Komentar yang tidak dibarengi bacaan kerap menjerumuskan pemiliknya pada ungkapan atau tindakan tidak mulia, bahkan menjurus kepada fitnah. Kurang membaca menyebabkan kita menganggap segala yang muncul di benak sebagai ide yang wah dan cemerlang.
Problem lebih serius ialah seorang penulis yang malas membaca. Padahal, aktivitas menulis tidak boleh dipisahkan dari aktivitas membaca. Tulisan penulis yang tidak membaca biasanya hampa dan bahaya. Kekeliruan berpendapat dapat dimaklumi selama masih bersedia membaca. Tetapi ketika orang, apalagi penulis, sudah ogah membaca, segera dia dihinggapi sindrom merasa paling benar, ngeyelan, dan sukar dipahamkan.
Jika membaca menjadi starting point, langkah berikutnya adalah bergerak menuju kemajuan. Pengetahuan yang diperoleh dari aktivitas membaca baru menjadi ilmu yang bermanfaat setelah dipraktikkan. Al-Qur’an memakai istilah yang halus, “Wahai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan!” Berselimut simbol perilaku tidak produktif, kemalasan, dan ketidakmampuan mengatasi keadaan.
Setelah melakukan iqra’, Tuhan menyerukan qum, yaitu berdirilah, tegaklah, mandirilah. Setelah mengasup pengetahuan melalui aktivitas membaca, umat Islam harus mampu keluar dari selimut, melepaskan diri dari segala ketergantungan dan ketertindihan. Firman berikutnya adalah fa-andzir, yaitu berilah peringatan, lontarkan kritik, teguran, saran, dan anjuran untuk mengontrol segala sesuatu yang wajib dikontrol.
Semoga kita menjadi umat yang berilmu dan bermanfaat dengan karya-karya positif yang mencerahkan.