Menghalalkan hubungan seks dengan pernikahan, lalu membangun bahtera keluarga, hingga membesarkan anak-anak agar menjadi kebanggaan dunia akhirat merupakan sebuah keniscayaan, setidaknya bagi sebagian besar umat Islam.
Entah alasan mana yang paling utama, atau mungkin ada motif lain seperti agama, harta, ekonomi, strata sosial atau apapun itu. Pada akhirnya, menikah menjadi bagian penting dalam roda kehidupan manusia.
Bahkan, walau disepakati bahwa hukum nikah dalam Islam bervariasi, tergantung kondisi, mulai dari haram hingga wajib, namun slogan yang lebih terpatri di pikiran umat adalah “nikah itu sunnah“.
Ini bukti, bahwa hasrat menikah, secara logis maupun psikis, adalah manusiawi dan alami.
Berat agaknya, bagi umat Islam untuk mengikuti jejak Imam Ibn Jarir al-Thabari (pakar tafsir bi al-ma’sur ), Imam Zamakhsyari (ulama Muktazilah yang -karena keahliannya di bidang tafsir dan bahasa- masih diterima keilmuannya oleh Ahl Sunnah wa al-Jamaah), Imam Nawawi al-Dimasyqi (beliau dan Imam Rafi’i adalah 2 ulama paling otoritatif dalam fikih Syafi’i), ataupun Ibn Taymiyyah (ulama besar dan terkemuka, multidisipliner, mejadi inspirasi dan rujukan umat, terkhusus madzhab Salafi).
Mereka, bersama sebagian kecil ulama lain menyibukkan diri dengan ilmu pengetahuan hingga akhirnya, menikah bukan lagi menjadi kebutuhan. Bahkan sampai Izrail menghampiri, mereka tercatat belum pernah melakukan pernikahan.
Sebaliknya, Muslim sekarang, terlebih di Indonesia, sadar tidak sadar bukan hanya mengikuti madzhab fikihnya Imam Syafii, Imam Hanbali, Imam Hanafi, dan Imam Maliki, tapi juga menapaktilasi kehidupan asmara mereka.
Keempat pemilik madzhab fikih yang paling diakui di Indonesia itu tercatat pernah menikah, sebagaimana umumnya orang.
Akhirnya, menikah jadi krusial, bahkan sakral.
Begitu pentingnya, hingga ketika pandemi Covid-19 melanda, pernikahan menjadi salah satu anomali.
Ketika PSBB diaktifkan, kerja dan belajar diharuskan tanpa tatap muka, tanggal 10 Juni 2020, justru Kementrian Agama (Kemenag) melalu Dirjen Bimas Islamnya, mengeluarkan Surat Edaran tentang pemberian izin pelaksanaan akad nikah di luar KUA.
Memang, beberapa saat sebelumnya, tepatnya 23 April 2020, Dirjen ini mengeluarkan Surat Edaran yang hanya mengizinkan akad pernikahan untuk dilakukan di KUA, tidak di tempat lain. Pun dengan penerapan protokol kesehatan yang cukup ketat dan penyesuaian lain.
Walhasil, pemberian izin menikah di luar KUA, dengan tetap menerapkan protokol kesehatan, dapat dianggap sebagai solusi adaptatif di masa pandemi.
Saya yakin, ada banyak pertimbangan syar’i sehingga Kemenag akhirnya “melonggarkan” proses akad nikah di masa pandemi.
Mungkin ada pertanyaan mendasar yang perlu dijawab di sini. Mengapa diperbolehkan menikah di luar KUA?
Bukankah hifz al-nafs (menjaga jiwa/nyawa) adalah wajib? Bukankah pernikahan di luar KUA, yang pastinya akan menimbulkan kerumunan jelas melanggar protokol kesehatan?
Pada dasarnya, pernikahan akan dianggap sah dalam Islam jika memenuhi seluruh rukun dan syarat di masing-masing rukunnya.
Setidaknya ada 5 rukun nikah yang umum disepakati di Indonesia:
- calon mempelai laki-laki,
- calon mempelai perempuan,
- wali perempuan,
- ijab-qabul,
- saksi.
Asalkan syarat masing-masing rukun tersebut dipenuhi, maka pernikahan dapat dikatakan sah.
Bisa jadi, pemenuhan minimalis terhadap syarat rukun nikah tersebut yang menjadi salah satu pertimbangan diperbolehkannya pernikahan di KUA, tidak di luar KUA, ketika awal masa pandemi.
Dalih menjaga keselamatan jiwa dengan memutus rantai penyebaran virus Corona mestinya cukup bisa dipahami pada larangan ini.
Sebagaimana disebut di atas, muncul kemudian Surat Edaran baru yang mengizinkan pelaksanaan akad nikah di luar KUA dengan menerapkan protokol kesehatan yang cukup ketat.
Ada beberapa alasan yang penulis suguhkan untuk berpikir positif terhadap aturan baru ini.
Walimah al-’ursy.
Pertama, walimah al-’ursy. Kewajibannya memang diperdebatkan. Bahkan, madzhab yang lebih diikuti di Indonesia kebanyakan hanya memandang resepsi pernikahan sebagai sebuah kesunatan.
NU, yang dominan Madzhab Syafii-nya jelas hanya menganjurkan adanya pesta pernikahan ini. Setidaknya secara teoretis, karena faktanya, resepsi pernikahan amatlah mengakar dalam tradisi nahdliyin.
Kritik pada kuatnya tradisi resepsi pernikahan di NU ini bahkan muncul dalam film Sang Pencerah ketika pemeran Kyai Ahmad Dahlan membolehkan hingga memotivasi calon pengantin untuk segera menikah tanpa mengadakan resepsi karena minimnya kekuatan ekonomi calon pengantin tersebut.
Film ini mengaskan pula bahwa resepsi pernikahan juga hanya disunatkan menurut madzhab yang digunakan oleh Muhammadiyah.
Sayangnya, kesunatan yang telah mentradisi ini seakan-seakan menjadi wajib dan ketiadaannya akan amat berdampak secara sosial. Shalat Tarawih pun seperti itu.
Tak ayal, beberapa lebih merasa bersalah ketika meninggalkan jamaah shalat Tarawih daripada meninggalkan shalat Subuh.
Faktanya, selama pandemi, banyak yang tetap menggelar resepsi pernikahan tanpa mengantongi izin, dan tak jarang berakhir dengan dibubarkannya resepsi tersebut oleh aparat.
Insiden di Mojokerto, Ngawi, Bojonegoro, Tasikmalaya, Banjar, Jakarta Timur, Jakarta Utara, hingga Makassar Sulawesi serta lainnya adalah lebih dari cukup untuk menegaskan fakta ini.
Nah, daripada menghalangi sesuatu yang amat mengakar dalam tradisi umat, yang beresiko memunculkan resistensi serta konfrontasi, pemerintah – bisa jadi – memilih cara yang lebih efektif dengan mempersilahkan pelaksanaan resepsi pernikahan asal mampu menerapkan protokol kesehatan yang disyaratkan.
Saya sendiri pernah menghadiri sebuah resepsi pernikahan di masa pandemi, lalu sedikit usil mempertanyakan tentang koordinasi dengan pihak berwajib terkait acara tersebut.
Dengan santainya, seakan berkelakar namun serius, ayah mempelai wanita menegaskan bahwa sempat mengancam akan marah kepada polisi jika acara dibubarkan.
Anjuran mengumumkan pernikahan
Kedua, anjuran mengumumkan pernikahan. Senada dengan resepsi, syariat ini pun masih diperdebatkan hukumnya. Berawal dari sabda Nabi yang berbunyi:
اعلنوا النكاح
Kata kerja perintah pada hadis tersebut seharusnya bermakna wajib, sebagaimana aturan dalam ushul fikih bahwa al-amr li al-wujub. Namun pemahaman para ulama terkait kewajiban mengumumkan pernikahan ini berbeda-beda.
Sebagian, seperti Syafii, mencukupkan hanya pada kehadiran saksi. Sebagian, seperti Maliki, mewajibkan pengumuman yang lebih dari sekedar kehadiran saksi hingga sering mengkaitkannya dengan resepsi pernikahan yang meriah.
Madzhab ini juga melarang pernikahan sirri yang dirahasiakan, termasuk melarang untuk memerintahkan para saksi agar tidak menyebarluaskan informasi pernikahan tersebut.
Setidaknya, ajaran untuk mengumumkan pernikahan ini menguatkan urgensi dilaksanakannya resepsi pernikahan dan tidak dicukupkan hanya dengan pencatatan di KUA.
Kepuasan batin
Ketiga, kepuasan batin. Bagi shaḥib al-ḥajah, resepsi pernikahan putra-putrinya adalah puncak tanggung jawab orang tua kepada anaknya.
Paska pernikahan, anak-anak tersebut tak lagi menjadi asuhannya, namun akan membangun bahtera kehidupan keluarganya sendiri-sendiri.
Oleh karenanya, melepas kepergian putra-putrinya dengan acara pernikahan yang meriah menjadi kebanggaan dan kepuasan tersendiri.
Setidaknya, dengan alasan-alasan itu, ditambah alasan lain yang penulis yakin dipertimbangkan oleh pemerintah, wajar jika akhirnya pemerintah mengizinkan pelaksanaan akad pernikahan di luar KUA lengkap dengan resepsi pernikahannya.
Akan tetapi, diizinkannya hal ini hanya akan tidak bermasalah jika ada kerja sama dari segala pihak untuk patuh pada protokol kesehatan sebagai upaya mitigasi virus Corona. Termasuk dari yang empunya gawe.
Dalam Islam, segala upaya untuk melindungi nyawa adalah wajib, secara mutlak, hampir tanpa pengecualian, dan bahkan dapat menghalalkan hal-hal haram demi tercapainya tujuan ini.
Ḥifz al-nafs adalah satu dari 5 kemaslahatan inti yang menjadi pokok pertimbangan maqasid al-syari’ah, kata para pakar Ushul Fikih.
Ditambah, Rasul pun bersabda, dan diabadikan sebagai salah satu kaidah pokok ilmu fikih, “لا ضرر ولا ضرار”, yang secara umum berarti tidak boleh ada ketidakbaikan pada kehidupan, terlebih terkait dengan nyawa dan jiwa manusia.
Di sisi lain, sebagai umat Islam, ada kewajiban taat kepada pemerintah yang diakui, selama tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah, sebagaimana firman Allah Swt. pada surat Al-Nisa’ ayat 59.
Oleh karenanya, wajib bagi umat Islam yang ingin melangsungkan hajatan pernikahan di masa pandemi ini untuk bekerja sama dan mendukung pemerintah dalam upaya memutus rantai penyebaran Covid-19.
Lalu, bagaimana hukum akad pernikahan yang dilakukan di masa pandemi tanpa menjaga protokol kesehatan yang digariskan pemerintah? Tentu pernikahan tersebut tetap sah secara hukum, baik hukum Islam, maupun hukum negara, selama tercatat di KUA.
Keabsahan akad pernikahan hanya dilihat dari terpenuhinya syarat dan rukun pernikahan yang termaktub di buku-buku fikih, atau di panduang KUA.
Akan tetapi, pernikahan yang sah tersebut bukan berarti tidak bermasalah.
Dengan melakukan akad serta resepsi pernikahan tanpa mengindahkan protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah, masyarakat berarti telah melanggar kewajiban untuk taat pada pemerintah di satu sisi, dan kewajiban untuk menjagai keselamatan diri di sisi lain.
Oleh karenanya, pernikahan ini masuk kategori ibadah yang sah namun berdosa.
Sampel sederhana yang sering dicontohkan ulama adalah melakukan shalat dengan menggunakan pakaian hasil mencuri, atau melakukan pernikahan sirri tanpa dilaporkan ke KUA. Keduanya sah, tapi berdosa.
Akhirnya, saya hanya ingin menegaskan bahwa pemerintah telah memfasilitasi kepentingan masyarakat termasuk pelaksanaan pernikahan di era pandemi dengan pola new normal.
Sebaliknya, masyarakat sudah seharusnya merespon kebijakan tersebut dengan tanggung jawab sebagai bentuk ikhtiar melindungi diri dan pertanggungjawaban sebagai rakyat kepada pemerintahannya. Ini wajib.
Wallahu a’lam.