Dalam Islam, pernikahan merupakan suatu ikatan yang amat sakral (mitsaqan ghalidha). Tak heran bila syariat mengatur dengan begitu jelas dan apik hal ihwal pernikahan, mulai dari hal-hal yang bersifat teknis hingga yang bersifat praksis. Salah satunya adalah dengan disyariatkannya khitbah (peminangan) sebelum akad nikah dilaksanakan.
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), peminangan adalah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Dalam kitab Hasyiyah Rad al-Mukhtar (3/8), Imam Ibnu Abidin, ulama hanafiyah, menyebutkan bahwa khitbah adalah sebuah permintaan untuk menikah. Menurut Imam asy-Syaribini (1958), ulama syafi’iyah, khitbah adalah permintaan seorang laki-laki untuk menikahi perempuan yang akan dipinang.
Jika kita perhatikan dengan saksama, selain mempunyai kesemaan, ada perbedaan mendasar antara fuqaha dan Kompilasi Hukum Islam di dalam mendefinisikan khitbah. Definisi Kompilasi Hukum Islam lebih umum mencakup pihak pria dan wanita. Artinya, yang mengajukan peminangan tidak melulu dari pihak pria, tapi pihak wanita pun berhak mengajukan peminangan terlebih dahulu–seperti tradisi di Minangkabau. Berbeda dengan definisi para fuqaha yang berindikasi hanya pihak pria yang berhak melakukan peminangan terlebih dahulu.
Pada realitanya, dalam Islam sendiri tidak ada larangan perempuan yang mengajukan pinangan terlebih dahulu. Bahkan, bisa jadi sangat dianjurkan bila pria yang hendak dipinang adalah orang yang saleh, seperti dalam Surah al-Qashsh: 27 yang menceritakan seorang ayah yang meminang Nabi Musa as. untuk menikahi salah satu putrinya. Yang galib di masyarakat adalah pihak pria yang meminang terlebih dahulu bukan wanita.
Definisi di atas sama-sama menegaskan bahwa peminangan bukanlah akad, ia hanya sekadar sebuah komitmen (wa’d) atas kesungguhan untuk membangun sebuah keluarga bersama. Oleh sebab itu, peminangan tidak mengubah serta mengandung konsekuensi hukum apa pun dan juga tidak mengikat. Dalam arti, kedua belah pihak sewaktu-waktu boleh dan bebas memilih melanjutkan ke jenjang pernikahan atau membatalkannya.
Hukum dan Legislasi Peminangan
Legislasi peminangan dalam Islam diekstrak pada dalil al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijmak. Dalam al-Qur’an, Allah Swt. menegaskan:
وَلَا جُنَاحَ عَلَیۡكُمۡ فِیمَا عَرَّضۡتُم بِهِۦ مِنۡ خِطۡبَةِ ٱلنِّسَاۤءِ أَوۡ أَكۡنَنتُمۡ فِیۤ أَنفُسِكُمۡۚ
“Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati.”
(QS al-Baqarah [2]: 235)
Dalam hadis, Rasulullah bersabda:
اذا خطب أحدكم المرأة فإن استطاع أن ينظر إلى ما يدعوه إلى نكاحها فليفعل
“Jika kalian meminang seorang perempuan, jika mampu melihat sesuatu yang dapat membuat termotivasi menikahinya maka lakukanlah.”
(HR Abu Dawud)
Selanjutnya, mengenai hukum peminangan, fuqaha berbeda pendapat. Menurut Mazhab Maliki, hukum peminangan adalah sunah (sangat dianjurkan). Menurut sebagian ulama syafi’iyah, hukum peminangan adalah mubah (Imam Nawawi, Raudhah al-Thalibin: 6/24). Menurut pendapat ketiga, hukum peminangan mengikuti hukum pernikahan. Dalam arti, ketika pernikahannya berhukum wajib maka peminangan hukumnya wajib; jika pernikahannya sunah, peminagannya juga sunah; dan seterusnya (Al-Bujairami ala al-Khathib: 4/155).
Dari ketiga pendapat di atas, menurut Nayib Mahmud al-Rajub (2008), pendapat yang kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukum peminangan adalah sunah. Hal itu karena dua alasan berikut. Pertama, karena Rasulullah Saw. sendiri melakukannya dan dilestarikan oleh para generasi salaf yang saleh di mana mereka selalu melakukan peminangan sebelum melaksanakan pernikahan. Kedua, karena peminangan mengandung banyak kegunaan dan hikmah, sebagaimana akan dijelaskan di bawah ini.
Pertama, memberi kesempatan kepada pihak mempelai laki-laki dan perempuan untuk saling mengenal satu sama lain. Dengan begitu, nantinya kedua belah pihak dapat menentukan pilihan terbaik, baik melanjutkan ke jenjang pernikahan maupun membatalkannya. Sebab, pernikahan merupakan ikatan sakral dan mempunyai pengaruh yang amat besar. Oleh sebab itu, pernikahan harus dibangun di atas pondasi cinta dan keridaan. Hal itu, di antaranya, bisa didapat melalui khitbah. Pada saat itu, laki-laki dan perempuan diperbolehkan saling memandang dalam rangka taaruf.
Mengenal pasangan sebelum menikah adalah amat penting. Tersebab, ketika ikatan pernikahan telah terjadi maka ada hal-hal yang tidak dapat kita ubah dengan mudah. Terlebih pernikahan tidak hanya berhubungan dengan para mempelai saja, tetapi juga dengan keluarga besar mereka. Di samping itu, perceraian bukanlah suatu yang dapat dengan mudah diputuskan dan dilakukan, apalagi sudah memiliki anak. Karena itulah, dalam hadis riwayat Imam Tirmidzi, Rasulullah menekankan untuk mengenal calon pasangan agar hubungan bisa langgeng dan membahagiakan.
Kedua, dalam kaitannya dengan pernikahan, seorang perempuan tidak dapat memutuskan seorang diri, mesti melibatkan para walinya. Nah, syariat peminangan memberikan kesempatan kepada para wali pihak perempuan untuk menilai kualitas calon menantunya. Toh, seorang wali memiliki tanggung jawab untuk memilih calon terbaik bagi anaknya, utamanya dalam aspek agamanya.
Ketiga, pada galibnya, setelah menikah seorang perempuan akan mengikuti dan tinggal bersama suaminya. Nah, hal tersebut merupakan suatu yang amat sulit dan tidak mudah dilakukan oleh semua perempuan, apalagi secara tiba-tiba. Karena itu, dengan adanya syariat peminangan maka perempuan mempunyai waktu cukup untuk mempersiapkan diri, baik secara fisik maupun mental.
Metode Peminangan
Ada dua metode dalam peminangan, yaitu
- dengan ungkapan yang terus terang. Seperti, “Saya ingin menikahi kamu”. Dan
- dengan sendiran. Misalnya, “Aku mencari calon istri yang seperti dirimu”.
Kedua metode di atas sama-sama dapat digunakan terhadap perempuan yang masih belum pernah menikah dan tidak sedang dalam menjalani masa idah bila pernah menikah. Jika dalam keadaan masa idah maka ada pengklasifikasian. Bila dalam masa idah wafat (suaminya meninggal) maka peminangan dengan metode pertama tidak boleh dan boleh dengan metode kedua. Jika dalam masa idah talak (diceraikan) maka bila berupa talak raj’i (talak satu atau dua), tidak boleh meminangnya sama sekali, baik dengan ungkapan terus terang maupun dengan sendiran. Namun, jika berupa talak ba’in (talak tiga), menurut mayoritas ulama, boleh meminangnya, baik dengan ungkapan terus terang maupun dengan sendiran.
Peminangan juga tidak boleh (haram) dilakukan kepada perempuan yang sudah menerima pinangan orang lain, baik dengan cara terus terang maupun melalui sindiran. Boleh meminangnya bila peminangan dengan sebelumnya sudah dibatalkan.
Rasulullah Saw. menegaskan:
لا يخطب احدكم على خطبة أخيه حتى ينكح أو يترك
“Janganlah kalian meminang pinangan saudara kalian sehingga ia menikahinya atau meninggalkannya.”
(HR Bukhari)
Peminangan dalam Tradisi
Seperti telah dijelaskan di muka bahwa peminangan adalah kegiatan pranikah guna mencari calon yang tepat. Ia bukan akad melainkan sekadar komitmen atas kesungguhan dan keseriusan membangun rumah tangga bersama. Oleh sebab itu, peminangan sama sekali tidak mengubah hukum yang telah ada dan juga tidak mengandung hukum yang mengikat. Dalam arti, kedua calon mempelai belum boleh melakukan hal-hal yang boleh dilakukan suami istri dan keduanya juga bebas untuk memilih meneruskan atau membatalkan peminangan (Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah: 2/20).
Sementara itu, dalam praktiknya di masyarakat, peminangan telah banyak mengalami akulturasi dengan tradisi dan budaya lokal. Tradisi tersebut ada yang sesuai dengan syariat Islam dan ada yang tidak sesuai. Di antaranya adalah tradisi memberikan mahar ketika melakukan peminangan, baik sebagian maupun seluruhnya. Tradisi ini tidak menyalahi syariat Islam. Dalam Islam kita boleh memberikan mahar terlebih dahulu (ta’jîl) sebelum akad nikah dilangsungkan (Al-Jaziri, Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah: 4/215).
Hanya saja, ketika peminangan tersebut batal, bagaimana dengan status mahar yang diberikan ketika peminangan? Boleh diambil kembali atau menjadi hak perempuan?
Menurut Wahbah az-Zuhaili (1985), fuqaha telah sepakat bahwa mahar yang diserahkan terlebih dahulu saat peminangan boleh diminta kembali, baik pembatalan tersebut dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan. Kalau maharnya sudah habis atau digunakan maka dapat dikembalikan dalam bentuk nominal atau dengan barang yang serupa. Demikian itu karena peminangan bukan akad. Selama tidak terjadi akad maka mahar yang diserahkan saat peminangan murni hak pihak laki-laki, sehingga harus dikembalikan. Berbeda dengan pemberian berupa hadiyah maka ia tidak boleh diambil kembali karena sudah menjadi hak pihak perempuan.
Artikel Peminangan: Antara Syariah dan Tradisi ditulis oleh: