Masihkah Kita Kufur atas Nikmat-Nya?

(Seri “Amal yang Menyelamatkan”)

MASIHKAH KITA KUFUR ATAS NIKMAT-NYA?

Sebut saja Ahmad. Orang-orang lebih akrab memanggilnya Pak Ahmad. Seorang pengusaha jahitan kecil-kecilan yang tekun dan terampil. Suatu hari Pak Ahmad ditawari oleh Pak Ghani untuk dikursuskan di Amerika menjadi penjahit profesional. Sesuai dengan namanya, Pak Ghani (nama lengkap _’Abdul Ghani_) adalah seorang yang sangat kaya. Ramai orang menyebutnya milyarder.

Pak Ghani memang dikenal amat dermawan. Untuk Pak Ahmad, selain memberikan seluruh biaya kursus juga membelikan tiket pulang pergi _(return ticket)_ Jogja-Amerika. Pak Ahmad juga mendapat uang harian selama berada di Amerika dan tidak kalah menariknya, Pak Ahmad diinapkan di hotel bintang lima (*5). Selama 2 bulan, akhirnya selesai juga kursus Pak Ahmad di Amerika sana.

Tak disangka-sangka, selama Pak Ahmad menjalani kursus di Amerika, Pak Ghani telah merombak tempat usaha Pak Ahmad menjadi konveksi yang _lux_ bertingkat tiga. Disamping itu, Pak Ghani juga menyerahkan uang sebesar 1 milyar kepada Pak Ahmad untuk mengembangkan usahanya. Terang saja, berbekal ilmu yang diraihnya di Amerika, Pak Ahmad juga merekrut sekira 20 karyawan yang profesional pula.

Usaha Pak Ahmad terus berkembang. Pelanggan semakin banyak. Meskipun demikian ia tetap komitmen menjaga kualitas produksinya. Hampir-hampir semua orang Jogja tahu usaha konveksinya. Bahkan, beberapa orang menyebut sebagai: konveksi Jogja yang mendunia. Hal ini mengingat pelanggan Pak Ahmad bukan saja dari lokal Jogja tetapi juga dari kota-kota besar di Indonesia dan bahkan mancanegara.

Sekira pukul 2 siang. Di tengah kesibukan Pak Ahmad. Datanglah Pak Ghani ke kediaman Pak Ahmad. Mengetahui Pak Ghani yang datang, kira-kira Pak Ahmad akan segera menemuinya atau meneruskan urusannya melayani pelanggan lain? Kita sepakat, pasti Pak Ahmad akan meninggalkan pelanggan lain dan buru-buru menyambut Pak Ghani dengan hangat.

Mengapa demikian? Tiada lain, tiada bukan, karena Pak Ghani sudah terlanjur berjasa besar bagi suksesnya usaha Pak Ahmad. Rasa-rasanya, segera menemui Pak Ghani dan meninggalkan urusan penting dengan pelanggan lain tetaplah tidak bisa membalas kebaikan Pak Ghani. Apalagi kalau sampai Pak Ahmad membiarkan Pak Ghani menunggu lama dirinya di ruang tamu.

Ditemuilah Pak Ghani, dipeluk erat, dan disuguhkan minuman serta hidangan yang istimewa. Singkat cerita, bertanyalah Pak Ahmad kepada Pak Ghani. “Ada apa gerangan Pak Ghani yang mulia datang ke rumah kami?” tanya Pak Ahmad penuh hormat. Pak Ghani menceritakan maksud kedatangannya. Pak Ghani ingin menjahitkan pakaian yang akan dipakai esok sore untuk kondangan.

Sebenarnya, pelanggan lain yang minta dicepatkan jahitannya amat banyak. Ditambah dengan Pak Ahmad sudah janji akan menyegerakan proyek besar pengadaan seragam sekolah sejumlah seribu potong. Namun, apakah Pak Ahmad berani menolak bahan baju yang dibawa Pak Ghani? Tentu, kita sepakat bahwa bahan baju itu diterima. Dan Pak Ahmad janji akan menyelesaikannya sebaik dan secepat mungkin.

Mengapa demikian? Hal ini tiada lain karena bagi Pak Ahmad, Pak Ghani adalah pahlawan, yang telah mengangkat taraf hidupnya. Kesediaan Pak Ahmad untuk menerima jahitan Pak Ghani dan mengerjakannya dengan sempurna tidaklah cukup untuk membalas budi baik Pak Ghani. Apalagi, kalau Pak Ahmad sampai menolaknya dengan alasan masih banyak pelanggan lain yang harus diutamakan.

Baca juga: Pentingnya Pendidikan Keluarga

Kira-kira, Pak Ahmad akan menyelesaikan baju Pak Ghani dengan ala kadarnya, asal jadi, atau sebaik dan secermat mungkin? Tentu akan dikerjakan sebaik yang ia mampu. Dan untuk kali itu, dikerjakannya sendiri, tidak meminta karyawannya untuk menyelesaikannya. Dan _finally_, pukul 11 siang baju Pak Ghani telah dituntaskan dengan sempurna oleh Pak Ahmad.

Sekitar pukul 13.00 WIB, datanglah Pak Ghani untuk mengambil jahitannya. “Terima kasih telah diselesaikan sebelum waktunya. Berapa ini ongkos jahitnya, Pak Ahmad?” tutur Pak Ghani. Akankah Pak Ahmad menyebut nominal tertentu? Tentu tidak, dan bahkan Pak Ahmad sampaikan, “Sudah, Pak Ghani. Ini _free_. Pak Ghani bawa saja dan mudah-mudahan Pak Ghani puas dengan jahitan saya.”

Itulah hubungan baik antara Pak Ahmad dan Pak Ghani. Atas kebaikan Pak Ghani yang luar biasa, Pak Ahmad rela melakukan apapun untuk Pak Ghani. Ia tinggalkan hajatnya dengan siapapun untuk melayani kepentingan Pak Ghani. Meskipun demikian, Pak Ahmad sadar bahwa apa yang dilakukannya tidaklah pantas untuk membalas lipatan kebaikan Pak Ghani padanya.

Pak Ahmad sebenarnya adalah kita sebagai manusia. Dan Pak Ghani adalah Allah Yang Maha Segalanya. Allah telah berikan modal hidup yang rasanya tak mungkin lagi kita menghitungnya. Kalau kita berbuat baik (amal shalih) untuk dan atas nama Allah itu karena Allah _al-Ghaniyyu_ (Maha Kaya) sudah ‘terlanjur’ berbuat baik kepada kita. Tidakkah kita sadar untuk taat atas perintah-Nya sebagai wujud syukur pada-Nya?

Baca juga: Sejuta Alasan Bersyukur

Meskipun kita paham bahwa seluruh jiwa raga yang kita persembahkan pada Allah tiadalah sepadan dengan rahmat, hidayah, dan nikmat-Nya yang sudah diamanahkan kepada kita. Namun bukan berarti kita berhenti untuk terus mendekati-Nya, bersimpuh di hadapan-Nya, mempersembahkan sebaik-baik amal kepada-Nya. Senyampang masih diberi umur dan nikmat sempat agar kita tidak terhitung kufur.

Demikianlah kisah ini memberikan pelajaran berharga bagi kita. Terima kasih teruntuk _al-Ustadz Drs. H. Syatori Abdurrauf_ yang telah menceritakannya di majelis kami. Kami tulis wejangan tersebut dengan sedikit penyesuaian. _Akhiran_, kami tidak sedang menasihati siapapun kecuali diri kami sendiri yang sering lupa dan kufur. Semoga nasihat ini menjadi pengingat kami dan kita semua untuk terus bersyukur. _Aamiin…_

Tak Ada yang Sia-sia | Samsul Zakaria (MJ KR)

Samsul Zakaria, S.Sy.

*Samsul Zakaria, S.Sy.,*
Tenaga Kependidikan PSAS FIAI UII,
Calon Hakim Agama Mahkamah Agung RI

#Seputih Banyak, Lampung Tengah
19 Desember 2017, Pukul 17.42 WIB