Hukum Investasi Simpanan Dana Haji
(Dosen Tetap Ahwal Al-Syakhshiyah FIAI dan Pakar Maqashid Syari’ah)
Pertanyaan:
Salah satu isu penting yang berkembang saat ini adalah tentang investasi dana haji. Banyak yang setuju karena pertimbangan kemaslahatan (maqashid syari’ah) namun tidak sedikit yang menolak karena ketidakjelasan akad dari sejak awal. Bahkan ada yang secara tegas menyatakan tidak rela (ikhlas) bila ONH (Ongkos Naik Haji) yang telah disetorkannya digunakan untuk keperluan lain termasuk urusan pembangunan infrastruktur negara. Bagaimana cara menyikapi kontroversi tersebut dan pandangan fikih terhadap hal dimaksud?
Kafa Billah Syahida, Yogyakarta
Jawaban:
Untuk memahami pro-kontra investasi dana haji, ada baiknya kita beranjak dari asumsi ekonomi politik. Sebaliknya, bukan mengedepankan logika fikih atau pun hukum positif. Sebab, kedua logika ini bertemu pada satu kesimpulan bahwa penggunaan dana haji oleh pemerintah merupakan persoalan yang sah secara hukum. Undang-undang (UU) No. 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, pasal 2 telah mengatur hal tersebut secara jelas.
Janji politik yang dilontarkan oleh rezim sekarang ini—diakui atau tidak—sesungguhnya menyisakan banyak kekecewaan, sebagai efek lanjut dari ketegangan pilpres 2014. Tiga tahun berlalu, proyek-proyek infrastruktur yang dijanjikan banyak terbengkalai. Pada saat yang sama, terjadi peningkatan jumlah utang negara, serta kebijakan lain yang dinilai mempersulit rakyat, seperti kenaikan tarif dasar listrik, penarikan subsidi minyak, dan lain sebagainya.
Adapun sejumlah proyek infrastruktur yang sedang dibangun justru dikuasai oleh pihak asing, terutama kontraktor dari China. Akumulasi dari masalah ini, berujung pada sikap tidak percaya (mistrust) rakyat terhadap pemerintah. Lebih dari itu, tidak dapat dipungkiri bahwa rentetan kasus yang dinilai mendeskreditkan umat Islam memperkuat stigma masyarakat terhadap rezim yang berkuasa. Oleh sebab itu, adalah wajar jika kebijakan pengelolaan dana haji untuk pembangunan proyek infrastruktur—secara langsung—menuai kritik dan kecaman.
Mari sejenak kita melihat beberapa hal. Pertama, bahwa sumber dana haji seperti disebutkan oleh UU No. 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji adalah dari umat Islam. Seperti halnya karakteristik keuangan publik Islam, dana haji dapat kita ilhaq-kan dari sisi karakternya yaitu untuk kesejahteraan para jamaah haji (tujuan primernya) dan selanjutnya untuk kesejahteraan umat Islam (tujuan sekundernya). Maka dengan demikian, seluruh manfaat yang terlahir dari dana haji harus digunakan dalam konteks solidaritas internal umat Islam (al-tadhamun al-dakhili), bukan untuk solidaritas eksternal antar umat (al-tadhamun al-khariji) yang hidup dalam suatu negara seperti halnya pajak.
Kedua, mengapa derasnya keinginan untuk menggunakan dana haji mencuat pada saat proyek-proyek infrastruktur yang sedang digiatkan pemerintah mengalami kekurangan dana? Di sini kita harus melihat dari aspek niat. Niat akan berpengaruh pada status hukum karena hadis innamal a’malu bi al-niyyat (semua perbuatan tergantung pada niat) mengandung teori motif sebagaimana yang lazim dikaji dalam menentukan berbagai status hukum termasuk hukum akad yang berkaitan dengan investasi.
Memang tidak dapat disangkal bahwa tujuan atau motif pemerintah pasti baik. Tetapi tujuan pemerintah bahwa dana haji untuk menutupi kekurangan dana proyek-proyek investasi infrastruktur juga tidak bisa dibantah. Maka disini antara penggunaan dan maqashid belum dikaji secara mendalam. Dengan kata lain hubungan antara wasilah (sarana) dan al-ghayah (tujuan) masih bersifat asumtif (al-wahm). Setidaknya belum sampai pada level asumsi dominan (ghalabatu al-dzan) yang lazim dijadikan titik tolak oleh para fuqaha’ dalam menetapkan hukum.
Mengacu kepada UU yang berlaku, maka solusi terhadap persoalan tersebut bertumpu pada Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). BPKH diharapkan mampu melakukan studi kelayakan terhadap instrumen investasi yang akan digunakan. Tentunya, kita berharap BPKH berani melakukan terobosan dengan mengelola dana haji untuk kepentingan umat Islam. Misalnya, sangat mungkin umat Islam mendirikan lembaga keuangan yang berbasis syariah tapi dengan ketentuan margin yang lebih ringan. Pembangunan hotel di tanah suci, yang sekalipun proses dan pengelolaannya tidak cukup sulit, namun nilai manfaatnya dapat dihitung secara pasti. Atau bisa juga dengan mendirikan rumah sakit haji, sehingga seluruh calon jamaah haji bisa dirawat secara intensif sebelum keberangkatan.
Semua rencana ini tentu tidak bertentangan dengan syariah. Tetapi yang lebih penting lagi adalah pengelolaan dana haji dilakukan dengan cara hati-hati dan lebih antisifatif. Sehingga dapat mendatangkan imbal balik yang lebih pasti dengan risiko yang minimal setelah kajian mendalam dan kesiapan sumber daya manusia yang baik. Prinsip kehati-hatian dan kesesuaian dengan nilai-nali syariah masuk dalam bingkai istihsanul mashlahat (mencari kemaslahatan yang terbaik dan lebih realistis dengan risiko yang minimal) sebagai upaya mewujudkan tujuan syariah secara bertahap. []
Note: Pernah dimuat di UII News, Edisi 172 Th. XIV, Agustus 2017, Rubrik Konsultasi, Hal. 13.
Drs. Asmuni Mth, MA.