Belajar dari Qatar
Belajar dari Qatar
Kabar bahwa Qatar sedang “bermasalah” dengan beberapa negara Timur Tengah (asy-syarqu al-ausath) lain memompa semangat saya untuk mengingat betapa baiknya Qatar kepada saya. Pasalnya, Januari 2017 lalu Qatar (melalui Qatar Foundation) mengundang saya selaku Trainer Debat Arab Universitas Islam Indonesia (UII) untuk mengikuti Training of Arabic Debate selama 1 minggu. Luar biasanya, Qatar membiayai seluruh keperluan saya untuk acara tersebut, mulai tiket (PP), visa, akomodasi (hotel berbintang), dan souvenir.
Belum lagi bila saya harus mengkalkulasikan ilmu, pengalaman, wawasan, dan segenap hal baik lain yang saya dapatkan selama di sana. Tentu semakin banyak nilai kebaikan yang saya dapatkan dari negara yang pendapatan per kapitanya tertinggi di dunia tersebut. Sebuah negara yang bandaranya salah satu yang terbaik di dunia. Telah resmi ditunjuk FIFA sebagai tuan rumah piala dunia (mustadhīfu ka’sil ‘ālam) tahun 2022. Januari 2017 lalu saya diinapkan di hotel yang bersebelahan dengan stadion utama World Cup 5 tahun mendatang.
Kebaikan Qatar tersebut akhirnya tidak hanya saya rasakan sendiri. April 2017 lalu, saya kembali ke Qatar bersama Tim Debat Arab UII yang terdiri dari 4 mahasiswa. Bersama UIN Malang, kami datang ke Qatar mewakili Indonesia untuk pertama kalinya. Menjelang even di Qatar tersebut, kami mengikuti lomba Debat Arab ASEAN di Malaysia. Seorang sahabat, pelatih debat dari Malaysia berkata kepada saya. “Juara di Malaysia hadiahnya masih kalah dibanding fasilitas yang diberikan Qatar,” ujarnya. “Inilah surga yang diawalkan kepada kita,” tuturnya.
Berangkat dari hal tersebut saya tidak bermaksud untuk membincangkan situasi politik Qatar saat ini. Namun yang lebih menarik adalah bagaimana mengambil i’tibār dari Qatar, sebuah negara yang berbatasan darat dengan Tanah Suci tersebut. Sebuah negara yang jumlah ekspatriatnya lebih dari 50 persen penduduk asli. Namun tetap saja Qatar akan membayar pekerja luar Qatar tidak lebih tinggi dari yang mereka bayarkan kepada pribumi. Namun karena standar “penghargaannya” tinggi, banyak yang tetap ingin berkarir di sana.
“Majelis” Qatar
Bersyukur rasanya dapat berkenalan dengan para pengajar dan/atau pelatih Debat Bahasa Arab dari penjuru dunia. Salah satunya dengan Ustadz Usman Sadiq asal Pakistan. Berkat pertemanan itu, saya berkesempatan mengunjungi rumah penduduk asli Qatar. Ceritanya malam itu, Ustadz Usman Sadiq diajak temannya jalan-jalan dan jadilah saya ikut bersama mereka. Awalnya kami diajak shalat berjamaah di masjid. Dilanjutkan dengan silaturahim ke salah satu rumah penduduk Qatar. Disitulah saya saksikan satu “adegan” yang tidak biasa.
Ketika kami berada di rumah tersebut, datang seorang tamu yang nampaknya juga orang Qatar asli. Terlihat, dia adalah teman dekat sang pemilik rumah. Ketika bertatap muka, mereka bersalaman dan dilanjutkan dengan mempertemukan kedua hidung mereka. Setelah kejadian itu saya bertanya-tanya. Hatta saya dapati jawaban bahwa hal itu adalah kebiasaan (sebagian) orang Arab dan simbol keakraban. Dan tentu tidak tepat “dilestarikan” di Indonesia. Sebab hidung kita tidak semancung hidung mereka. Kalau dipaksanakan akan bermasalah jadinya, bukan?
Sekitar pukul 13.25 waktu Doha (Ibukota Qatar), Qatar Airways yang membawa saya mendarat di Hamad International Airport. Dari bandara ke hotel saya sudah mulai bertanya-tanya. Mengapa banyak mobil yang hanya diparkir di luar rumah. Malam hari juga masih sama. Akhirnya malam itu saya temukan jawabannya. Seorang Qatari (sebutan untuk pribumi Qatar) mengatakan bahwa mereka memang rata-rata memiliki mobil lebih dari satu. Ditambah lagi Qatar adalah negara aman (low crime country) sehingga tidak masalah mobil diparkir di luar rumah.
Baca juga: Sejuta Alasan Bersyukur
Meskipun saya orang baru di ruangan tersebut namun tidak mengurangi hangatnya obrolan malam itu ditemani minuman khas dan buah-buahan segar. Pasalnya, saya memang turut berkomunikasi menggunakan bahasa Arab dengan mereka. Meskipun beberapa bahasa pasaran (‘āmiyah) harus saya klarifikasi maknanya. Di tengah obrolan itu, saya ditanya berapa penduduk Indonesia. Jawaban saya membuat mereka tercengang. Pasalnya penduduk asli Qatar hanya kurang lebih 2,5 juta. Belum lagi saat saya sampaikan total pulau di Indonesia.
Tempat dimana kami bercengkrama-ria tersebut disebut dengan majelis. Majelis (مَجْلِسٌ), dalam konteks Qatar, maknanya sebuah tempat di depan rumah khusus untuk menerima tamu. Tempat tersebut tidak connecting dengan ruangan lain di dalam rumah sebagaimana di Indonesia. Andaikata tamu berkunjung hatta pagi hari tidak mengganggu privasi penghuni rumah. Majelis inilah yang kemudian menjadi pembeda antara rumah penduduk asli Qatar dan yang bukan. “Rumah penduduk asli Qatar cirinya ada majelis di depan rumahnya,” tutur rekan saya.
Komitmen Keilmuan
Banyak yang bertanya bagaimana UII mendapat kepercayaan untuk mengikuti even internasional di Doha-Qatar? Ceritanya bermula dari tahun 2015 lalu dimana UII mengikuti Debat Bahasa Arab tahunan di Universiti Sains Islam Malaysia (USIM). Ketika itu tim debat USIM bercerita bahwa mereka baru pulang dari Qatar mengikuti 3rd International Arabic Debate. Mereka ceritakan segenap fasilitas yang diberikan Qatar kepada para peserta. Dari situlah, kami memulai komunikasi dengan Qatar Debate (member of Qatar Foundation).
Ternyata Qatar Debate memang fokus mengajarkan skill debat yang baik—khususnya bahasa Arab dan Inggris—kepada mahasiswa dan pelajar di seluruh dunia. Hal itu dilakukan dengan memberikan pelatihan kepada trainer debat di masing-masing universitas dan sekolah dan kemudian melalui ajang lomba. Tentu saja hal tersebut dilakukan secara bertahap. Sebagaimana Indonesia yang baru dilibatkan—kategori universitas—di penyelenggaraan yang ke-4 tahun 2017 ini.
Saya bertanya kepada salah satu panitia apakah untuk bahasa Inggris, Qatar juga mengadakan even internasional serupa. Ternyata tidak, pasalnya sudah banyak lembaga/negara lain yang mengadakan. Even yang diadakan Qatar hanya bersifat regional dan road show ke beberapa negara. Sementara untuk bahasa Arab belum ada lomba resmi yang mempertemukan debaters/mutanādhirūn (para pendebat) sedunia. Di titik itulah Qatar—melalui Qatar Debate—memainkan perannya. Saya sempat berpikir, mengapa bukan Arab Saudi yang menginisiasinya.
Hal tersebut menunjukkan kuatnya komitmen Qatar dalam menjaga, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu tentang bahasa surga (bahasa Arab). Sebuah bahasa yang—dalam ujaran Gus Mus—unik dan istimewa. Untuk menyatakan “Zaid berdiri” bisa menggunakan ragam pola: Zaidun qāimun, qāma Zaidun, yaqūmu Zaidun, qad qāma Zaidun, Zaidun qāma, Zaidun yaqūmu, laqāma Zaidun, dan seterusnya. Masing-masing memiliki makna spesifik, arena yang berbeda, dan karenanya harus hati-hati dalam menerjemahkan teks Arab—apalagi Al-Quran.
Bahasa Arab Mempersatukan
Bagi saya, setiap wilayah dan negara memiliki bahasa sendiri memanglah penting. Itulah identitas, kekhasan, khushūshiyyah, dan simbol yang menjadi pembeda dengan lainnya. Namun adanya bahasa pemersatu sehingga menjadi pemudah untuk bertukar ilmu, pikiran, dan rasa tidak kalah pentingnya. Di Doha-Qatar saya merasa bahwa—atas kuasa Allah—Bahasa Arab memperjumpakan kami, mengeratkan ukhuwah kami, dan menjadikan kami saling belajar. Tidak hanya perkara serius, joke-joke berbahasa Arab pun kami rangkum sebagai bumbunya.
Saya pernah sampaikan bahwa ciri seseorang sudah (mulai) bisa berbahasa asing adalah manakala dia bisa membuat candaan secara lisan dengan bahasa tersebut. Bersyukur, saya pun berhasil membuat sebagian peserta training tertawa (tersenyum lebar) dengan cerita berbahasa Arab yang saya konversi dari cerita versi Indonesia. Bila benar Bahasa Arab adalah adalah bahasa penduduk surga nanti maka menjadi shahih ujaran sahabat saya. “Inilah (suasana) surga yang diawalkan kepada kita,” tuturnya.
Kisah saya menjadi pelajaran betapa pentingnya mempelajari Bahasa Arab. Apalagi dalam konteks keilmuan Islam dimana Bahasa Arab adalah media utamanya. Jangan sampai ketika pergi ke negeri Arab lantas tersesat hanya mampu berucap, “Ihdinash shirāthal mustaqīm!” Meskipun itu lebih baik dan bernilai ibadah karena telah melafalkan salah satu ayat suci-Nya. Tidak ada kata terlambat untuk belajar dan paling tidak masing-masing kita punya komitmen. Anak-anak dan cucu-cucu kita nanti adalah mereka yang akrab dan pandai berbahasa Arab.
Matahari mulai meninggi, tanda dimulainya Dhuha. Dalam munajat Dhuha, kita inginkan rezeki melimpah dan barakah. Rezeki tidak selalu berupa rupiah, riyal, dan dolar. Kesempatan pergi ke Doha adalah juga rezeki dan kenikmatan yang tiada terkira. Banyak yang bertanya, mengapa tidak lanjut ke Tanah Haram? Antara kata Dhuha dan Doha ada kemiripan. Insya Allah ada saatnya. Ini memang sepenggalahan naiknya sang surya. Matahari terus meninggi, dari Qatar kita belajar bahwa belajar itu sendiri tidak boleh lantas terhenti. Allāhul musta’ān.
Samsul Zakaria, S.Sy.,
Trainer Debat Bahasa Arab UII,
Pemateri “Mata Hati” Radio Q 88.3 FM