Menikmati (Sebuah Refleksi)
Bagaimana jika suatu ketika kita harus terjebak dalam kemacetan panjang? Sementara jadwal keberangkatan pesawat atau kereta sudah semakin dekat. Atau kalau tidak, kita ingin segera sampai ke tempat tujuan lalu merebahkan badan untuk beristirahat. Namun sayangnya, kondisi jalan sama sekali tidak bersahabat. Mungkin, dalam kondisi demikian banyak diantara kita yang kemudian mengumpat. Itu dilakukan sebagai pelampiasan dari akumulai kejenuhan menyaksikan kerumunan ‘besi berjalan’ dengan sangat lambat.
Suatu malam, penulis (saya) menaiki taksi dari Ciputat (Ponpes Darussunnah) menuju Stasiun Pasar Senin, Jakarta. Perbincangan ringan antara penulis dan sopir taksi malam itu, berlangsung hangat. Kondisi Jakarta yang luar biasa macet membuat penulis berkomentar. “Kalau begini kondisinya pasti banyak yang stres ya, Pak?” komentar penulis dengan nada bertanya. “Iya, Dik. Tapi kalau saya –yang penting– menikmati saja,” balasnya, sekaligus menjawab kegundahan penulis. Iya, memang benar pak sopir yang mengaku berasal dari Banjarnegara tadi. Bagaimanapun kondisinya kalau dinikmati akan mengusir segenap kejenuhan. Bagaimana dengan sahabat pembaca?
Jawaban dari pak sopir di atas menjadi pelajaran berharga: betapa “menghargai” keadaan itu amatlah penting. Menghargai keadaan adalah yang penulis maksudkan dengan “menikmati” kehidupan yang sebenarnya adalah anugerah dari Tuhan. Persis, seperti yang dilakukan oleh pak sopir. Ketika ia mencoba menikmati kemacetan maka kejenuhan yang seharusnya bercokol dalam benaknya hilang begitu saja. Ia berubah menjadi –paling tidak– keadaan normal. Bahkan boleh jadi kondisi yang tak normal tersebut menjadi kebahagiaan tersendiri. Hal yang demikian mungkin terjadi ketika kita mampu mengubah mind set yaitu dengan menganggap kemacetan sebagai proses yang semestinya dinikmati (saja).
Penulis teringat dengan nasihat salah seorang Guru Sufi, yang berkomentar tentang bagaimana cara menikmati kehidupan. Menurutnya, kita harus sadar bahwa kehidupan adalah panggung/kontestasi pertunjukan. Segala yang hadir di depan mata pantas untuk ditonton laiknya kita menonton pertunjukan (show). Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika dalam kondisi tertentu kita tertawa sejadi-jadinya. Itu adalah karena kita melihat kejenakaan yang ditampilkan oleh sandiwara kehidupan tersebut. Dan tidak menutup kemungkinan di saat lain kita memejamkan kelopak kemudian menitikkan air mata kasedihan. Pasalnya, kita begitu menikmati kehidupan dengan segala lika-likunya.
Kembali ke kisah penulis di atas. Malam itu penulis bermalam di Stasiun Pasar Senin. Penulis mencoba merebahkan badan sembari menjaga barang bawaan penulis. Ada koper ukuran sedang, tas yang berisi komputer jinjing, dan satu kardus besar berisi buku/jurnal. Sebelum berangkat penulis sudah diingatkan oleh teman penulis. “Pasar Senin itu rawan lho, Akh,” begitu kira-kira nasihatnya. Namun penulis tetap kekeuh berangkat malam itu. Sebab, jika penulis berangkat pagi harinya, tidak menutup kemungkinan penulis akan ketinggalan kereta. Bagaimana kalau penulis bangun kesiangan? Pun katanya di pagi hari Jakarta luar biasa macetnya. Kekhawatiran penulis tersebut yang ‘memaksa’ penulis –mau tidak mau- harus berangkat ke stasiun malam itu.
Kereta yang akan penulis tumpangi –menuju Yogyakarta– sedianya akan berangkat pukul 7 pagi. Sementara tiket penulis, dipesan di salah satu minimarket. Itu masih tiket sementara yang harus ditukar dengan tiket asli keluaran PT. Kereta Api Indonesia (Persero). Jadwal penukaran tiket jam 6 pagi. Itu pula yang semakin menguatkan tekad penulis berangkat di malam harinya. Malam itu, sepenuhnya penulis berserah diri pada Allāh. Semoga penulis dan semua barang bawaan penulis baik-baik saja. Beruntung, sampai tempat tujuan, keselamatan dan kelancaran menjadi bagian utama perjalanan penulis. Alhamdulillāh.
Jujur, kata-kata pak sopir masih mengiang ketika penulis berada dalam kereta. Iya, menikmati, menikmati, dan menikmati. Penulis mencoba menghitung berapa lama perjalanan penulis dari Pasar Senin sampai Yogyakarta. Di tiket tertulis jam keberangkatan, pukul 07.10-15.04 WIB. Kurang lebih penulis akan berada dalam kereta selama 8 jam. Penulis kemudian berfikir, jika perjalanan ini tidak penulis nikmati pasti akan sangat membosankan. Apalagi penulis seorang diri, tanpa kawan yang menemani. Akhirnya, penulis bertekad untuk menikmati perjalanan tersebut.
Sebelum kereta berangkat penulis membeli Harian Jawa Pos. Membaca koran sendiri memang hobi penulis, yang sudah mendarah daging. Penulis putuskan membeli koran ketika itu sebagai teman setia penulis di kereta. Kata pepatah Arab, “Sebaik-baik teman duduk sepanjang zaman adalah buku.” Nah, ketika itu penulis anggap saja koran yang penulis baca adalah buku, yang penulis jadikan sebaik-baik teman. Sembari menikmati panorama sepanjang perjalanan, penulis membaca koran dengan khidmat. Penulis menikmati pula setiap baris tulisan yang penulis baca.
Ketika rasa jenuh sudah mulai datang, penulis mencoba merebahkan badan. Apalagi kantuk memang sudah menyerang. Itu menjadi terapi pula untuk mengusir kejenuhan. Ketika terbangun, mood sudah on kembali. Kadang penulis jamah koran yang belum terbaca. Di saat yang lain penulis merenung dan sering pula menoleh ke samping, menyantap panorama alam. Mungkin tidak beragam yang bisa penulis lakukan di dalam kereta itu. Tapi, penulis mencoba menghargai keadaan. Betapa banyak orang lain yang tidak seberuntung penulis. Bagaimana dengan mereka yang ketinggalan kereta? Betapa kecewanya. Sementara penulis atas rahmat-Nya dapat menumpangi kereta tanpa kendala apapun. Betapa bahagianya penulis, sebenarnya.
Impian
Penulis –dan mungkin para sahabat pembaca– pasti memiliki sebuah impian besar dalam hidup di kemudian hari. Penulis berangan-angan mungkin penulis akan bahagia jika sudah mencapai ini dan itu. Namun kemudian penulis mencoba merenungkannya kembali. Apakah ada jaminan bahwa ketika penulis sudah mencapai impian tersebut, penulis berhenti untuk mengangankan yang lebih? Lalu, penulis justru kembali kepada kehidupan dan kenyataan yang penulis hadapi sekarang. Bukankah lebih indah dan pasti ketika penulis selalu merasa bahagia dengan apa yang penulis jalani dan terus menikmatinya. Bagaimana dengan sahabat pembaca?
Penulis pernah bercita-cita kuliah di luar negeri –tepatnya di Mesir. Sampai sekarang cita-cita tersebut belum kesampaian. Pernah suatu ketika penulis berfikir, “Mungkin memang lebih enak dan aman kuliah di sana.” Lagi-lagi penulis harus berfikir ulang. Betapa banyak pemuda yang tidak seberuntung penulis. Mereka tidak berkesempatan mengenyam bangku kuliah sama sekali. Artinya, penulis yang mungkin hanya kuliah di dalam negeri sudah jauh lebih beruntung. Kalau begitu, masihkah ada cukup alasan yang membuat penulis tidak menikmati semua ini? Rasa-rasanya kok aneh kalau penulis justru menginginkan sesuatu yang tidak penulis miliki. Bukankah hidup menjadi bahagia ketika kita justru mengingini apa yang kita miliki dan mungkin kita jangkau?
The last, sebenarnya apa tujuan penciptaan manusia? Bukankah tugas manusia –termasuk bangsa jin– hanyalah satu: yaitu mengabdi kepada Ilahi. Itu artinya, lika-liku kehidupan harus dimaknai sebagai upaya untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada-Nya. Caranya dengan menikmati setiap proses yang berjalan. Ketika kebaikan yang kita lakukan, kita syukuri dan tingkatkan. Namun, jika yang terjadi sebaliknya, maka berusaha untuk dikikis tuntas sampai kalis (habis). Dan itu semua akan berkesan jika kita menganggapnya sebagai sebuah kenikmatan yang luar biasa. Ringkasnya, menikmati setiap kejadian yang terjadi.
Hakikat Menikmati
Penting untuk menancapkan keyakinan dalam jiwa bahwa hakikatnya semua kenikmatan berasal dari Allat ta’āla. Dalam kehidupan ini, sungguh betapa banyak kenikmatan yang telah diberikan Allāh. Seandainya kita harus menghitungnya niscaya tiada pernah mampu. Itulah mengapa dalam surat ar-Rahmān, Allāh mengulangi pertanyaan sebagai penegasan sebanyak 31 kali. “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” Jika kita merenungi kehidupan maka insya Allāh tidak ada ruang dalam jiwa yang terisi keingkaran terhadap nikmat-Nya. Sesungguhnya, semua yang berasal dari Allāh adalah kenikmatan dan karenanya kita harus mencoba “menikmatinya”.
Menikmati adalah proses penyadaran diri bahwa kehidupan dengan segala pernak-perniknya adalah kenikmatan dari Tuhan. Dalam prosesnya, mungkin “rekayasa” ikut andil sebagai tim suksesnya. Jika berhasil, maka tidak ada bedanya antara “kesenangan” dan “ketidaksenangan”. Semuanya bercampur dalam satu keranjang kebahagiaan personal yang muaranya adalah Sang Maha. Bukankah dalam kata “menikmati” ada kata “nikmat”? Tiada satupun nikmat yang tidak berasal dari Allāh Ta’âlâ. Simpulannya, menikmati kehidupan adalah bagian dari nikmat hidup itu sendiri. Mari bersyukur. Bagaimana, setuju? Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb. []
Samsul Zakaria, Mahasiswa Syarī’ah FIAI.
Tulisan ini dimuat pada Buletin Al-Rasikh terbitan Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam (DPPAI) Universitas Islam Indonesia (UII) Edisi 6 Juli 2012. Tulisan ini juga dapat diakses pada .
Unduh Artikel
- Menikmati (Sebuah Refleksi) oleh Samsul Zakaria format PDF
- Menikmati (Sebuah Refleksi) oleh Samsul Zakaria format Word
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!