Syukur Itu Mudah Tapi Susah

I was blues, Because I had no shoes, Until off on the street, I meet man without feet.

Ketika penulis memaparkan materi tentang “Syukur Tiada Akhir” di sebuah stasiun radio, datang sebuah pertanyaan yang menarik untuk dibahas. Pertanyaan via SMS itu bertutur tentang betapa mudahnya bersyukur dengan mengucapkan hamdalah (alhamdulillâh). Namun sayangnya, hal itu menjadi terasa sulit ketika harus diterapkan dalam kehidupan nyata. Penulis sadar dan memahami kegelisahan yang diutarakan sang penanya. Dan itu pula yang masih sering kita, termasuk penulis, rasakan.

Menanggapi pertanyaan tersebut, penulis mencoba untuk bersikap diplomatis. Tidak terburu-buru menghakiminya, dengan menganggapnya sebagai kesalahan, karena hanya bisa bersyukur dengan ucapan saja. Tetapi juga tidak semata-mata membenarkannya. Pasalnya, mengucapkan perkataan yang baik itu sebenarnya akan berpengaruh terhadap kinerja anggota tubuh. Ketika ucapan “hamdalah” itu muncul, maka tubuh akan merespon positif. Selanjutnya, jika yang bersangkutan mencoba untuk merenunginya, akan sangat mudah diikuti dengan tindakan nyata.

Paling ektrim penulis katakan bahwa, mengucapkan hamdalah ketika mendapatkan kenikmatan, walaupun tidak sembari diikuti oleh aksi nyata, jauh lebih baik daripada “mengumpat nikmat” karena merasa tidak puas. Artinya, dengan mengucapkan syukur “alhamdulillâh”, kita sebenarnya sedang menapaki tangga pertama menuju syukur yang sesungguhnya. Sebab, memang benar adanya bahwa masih ada yang lebih penting dari sekadar ucapan tersebut. Hal itu adalah bagaimana kita mampu menggunakan kenikmatan yang dikaruniakan Allâh dengan sebaik-baiknya (untuk berbuat kebaikan).

Konsepsi “Syukur Tiada Akhir” berangkat dari judul sebuah buku yang diluncurkan saat ulang tahun (Pak) Jakob Oetama yang ke-80. Buku tersebut berkisah tentang perjalanan Jakob, sebagai “bos” harian nasional, Kompas. Setiap pencapaian hidup haruslah selalu disyukuri. Pasalnya, semua yang kita lalui adalah nikmat dari Allâh Azza wa Jalla. Dengan senantiasa bersyukur, tiada henti, terus-menerus, menjadikan hidup nyaman dan puas. Tidak pernah merasa sedih ketika orang lain mendapatkan kebahagiaan yang lebih dibanding yang kita dapatkan. Justru, kita juga semakin bersyukur dengan kenyataan tersebut. Ketika orang lain senang, kita merasa senang pula. Bukan justru sebaliknya: 2(SMS), Senang Melihat (orang lain) Susah, dan Susah Melihat (orang lain) Senang. Na’udzubillāh min dzālika.

Syukur=Iman?

Perbincangan tentang pentingnya bersyukur memang tidak pernah ada habisnya. Dalam setiap kesempatan, seorang da’i/khatib/orator, di awal kalām-nya selalu mengajak untuk memanjatkan puji syukur kehadirat Allâh. Hal ini menunjukkan bahwa syukur seolah menjadi bagian yang urgen (penting) dan substansial dalam agama Islam itu sendiri. Dan sebenarnya memang haruslah demikian. Dengan bersyukur maka pada saat itulah kita mencoba mengaktifkan koneksi dengan Sang Pencipta. Bukankah dengan bersyukur berarti kita ingat (dzikir) bahwa Allâh lah yang mengaruniakan segenap nikmat yang kita rasa dan dapatkan.

Syukur memang tidak cukup diucapkan dengan lisan. Ia harus juga dirasakan dengan segenap ketulusan dalam hati. Selanjutnya diwujudkan dalam tindakan nyata, dengan menggunakannya untuk berbuat kebaikan. Dalam konteks ini, syukur dapat disamakan dengan iman. Keduanya harus seimbang antara ucapan, hati, dan tindakan. Ketika ketiganya dapat bersinergi dengan baik, maka pada saat itulah syukur yang sesungguhnya itu hadir dalam nafas kehidupan. Kombinasi antara keimanan dan rasa syukur menambah motivasi dan spirit untuk memenuhi perintah Allâh: mengabdi kepada-Nya.

Sudah maklum bahwa iman itu fluktuatif, naik turun laksana ombak di lautan. Di satu saat membumbung tinggi menghantam daratan. Namun di saat lain tidak mustahil surut menuju dasar lautan. Nah, rasa syukur, menurut penulis, penting untuk diimplementasikan sebagai penyeimbang keimanan kita. Setiap detik yang terlewatkan kita hikmati dan kita syukuri. Dengan demikian maka kadar keimanan kita akan terus stabil, bahkan sangat mungkin terus bertambah. Pasalnya, dengan bersyukur, tambatan cinta menuju Sang Pencipta semakin lekat dan bertambah dekat.

Syukur=Berkaca!

Rasûlullâh sudah sejak lama mengingatkan tentang konsepsi keduniaan yang ideal. Dalam hal dunia, agar kita senantiasa bersyukur, seyogianya “memandang ke bawah”. Ketika kita merasa kekurangan, ternyata masih banyak orang lain yang lebih kekurangan. Sementara jika sebaliknya yang kita lakukan, maka sangat berbahaya. Kita menjadi tidak pernah bersyukur, hiduppun selalu diliputi kegelisahan. (Almarhum) KH. Zainuddin MZ, mengingatkan dalam ceramahnya. Mereka yang punya pesawat hendaknya melihat yang punya mobil. Mereka yang punya mobil kepada yang punya motor. Dikaruniai motor, lihatlah yang punya sepeda. Dan seterusnya, hingga mereka yang sakit, tak emb beraktivitas, hendaknya berkaca kepada orang yang meninggal dunia.

Jika demikian adanya, maka hidup menjadi tenang dan nyaman. Pasalnya, tidak ada ember untuk tidak bersyukur. Apalagi, segala kesulitan itu bukan tidak memiliki kandungan makna dan hikmah. Semua itu memang sudah disiapkan Allâh untuk meninggikan derajat keimanan. Semakin mampu menganggap kesulitan sebagai tantangan maka kita menjadi semakin tangguh. Selanjutnya kita akan optimistis dalam mengarungi kehidupan, ber-husnu adh-dhan kepada Allâh Yang Maha Adil. Penulis sering bertutur kepada beberapa teman terkait masalah ini. “Hidup ini akan nikmat ketika kita merasa bahwa apa yang telah kita lalui adalah yang terindah. Dan apa yang sedang kita jalani (miliki) adalah yang terbaik yang disediakan Allâh.”

Berangkat dari puisi, yang berdasarkan sumber yang penulis baca ditulis oleh Dale Carnegie, di atas memberikan titik tekan akan pentingnya mensyukuri segala yang kita miliki. “Dahulu, aku pernah bersedih. Karena aku tidak memiliki sepatu. Hingga pada suatu ketika, di tepi jalan. Aku bertemu seorang yang tidak memiliki kaki.” (Terjemah bebas puisi berbahasa Inggris di atas). Sungguh sangat mencengangkan! Puisi tersebut berkisah tentang kesedihan penulisnya karena pernah tidak memiliki sepatu. Ia mungkin merasa bahwa itu menjadi aib dan kekurangan baginya. Namun, ia tidak emb berkata-kata ketika ternyata ia bertemu dengan orang yang tidak memiliki kaki sama sekali.

Seringkali kita merasa bahwa Allâh tidak adil dalam hal pemberiaan nikmat. Sementara kita tidak mencoba berfikir bagaimana dengan orang lain yang kadar kesusahannya jauh di atas kita. Masihkah kita merasakan ketidakadilan dengan sedikit kesusahan yang kita rasakan jika masih begitu banyak yang lebih susah embering kita? Tentulah tidak. Semua kesusahan hendaknya menjadi pemantik semangat untuk keluar darinya menuju kebaikan. Bukankah Allâh menjanjikan bahwa “bersama” (ma’iyyah), bukan setelah, kesusahan itu ada kemudahan. “Inna ma’a al-‘usri yusrā.” (QS. Al-Insyirāh [83]: 6). Ringkasnya, dalam setiap kesusahan pasti akan disertai dengan kemudahan jika disikapi dengan bijak.

Dalam konteks puisi di atas, seorang yang tidak memiliki kaki memang tidak membutuhkan sepatu. Namun, betapa sedihnya saat ia melihat rekannya berjalan dengan kedua kakinya yang normal? Tidak terbayangkan. Lalu, masihkah wajar seorang yang belum dikaruniai sepatu “menghujat” keadilan Tuhan, sementara ia masih lebih beruntung, yaitu memiliki dua kaki yang normal? Bisa jadi kita menangis karena tidak memiliki sepatu. Namun setelah melihat orang yang tak berkaki dan berempati kepadanya, kita justru semakin menangis. Bukan karena apa, karena kita menangisi kemalangannya. Dan karenanya kita merasa bahwa ternyata kita jauh lebih beruntung. Subhanallāh…

Syukur: Mudah atau Susah?

“Syukur memang mudah diucapkan namun susah diimplementasikan.” Statemen tersebut sudah sangat sering diungkapkan dalam berbagai kesempatan. Namun yang jelas, sebuah ucapan itu dapat menghantarkan kepada “kesejatian”. Tidak heran ketika seorang motivator mengajak audiens berkata, “Pasti emb!”, untuk ember sugesti bahwa sebenarnya tidak ada yang tidak mungkin. Ini bukan perkara sugesti saja sebenarnya, karena sudah maklum bahwa perkataan adalah setengah dari doa. “Al-kalāmu nishfu al-du’ā,” kata pepatah Arab. Ketika kita merasa sukar untuk bersyukur dengan sebenar-benar syukur maka tips-nya adalah dengan banyak-banyak mengucapkan hamdalah. Dengan begitu, insyā Allâh, akan dimudahkan menuju syukur yang sesungguhnya.

Sebenarnya mengapa harus ada orang yang pandai dan tidak pandai bersyukur? Orang yang pandai bersyukur adalah mereka yang merasakan kenikmatan dalam setiap hembusan nafas. Tidak peduli perihal apa yang menyertai hembusan nafas tersebut. Sebab, tarikan nafas itu sendiri merupakan bagian dari nikmat terbesar Allâh. Lalu, masihkah kita mengingkarinya? Dengan terus bersyukur, maka hidup menjadi tenang dan terus berpacu untuk berkompetisi dalam hal kebaikan. Jika nafas yang berhembus saja tidak didampingi dengan perasaan puas karena Allâh, maka rasanya susah untuk bersyukur yang sesungguhnya. Karenanya, mari seiring dengan tarikan nafas ini, kita berucap, “alhamdulillāhi rabbil ‘ālamīn.” Allâhumma ij’alnā min ‘ibādika asy-syakūr. Āmīn. Wallāhu a’lamu bi al-shawwāb.[]

Samsul Zakaria, Pemimpin Redaksi (Pimred) LPM Pilar Demokrasi FIAI UII

Artikel ini dipublikasikan dalam Buletin Jumat Al-Rasikh terbita Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama Islam (DPPAI) Universitas Islam Indonesia (UII) Edisi 9 Maret 2012. Artikel ini dapat diakses pada link ini.

Unduh Artikel

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *