Oposisi Biner: Relasi Mutualistis Linier

وَمِن كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Dan segala sesuatu Kami Ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah).” (Q.S. al-Dzariyât [51]: 49)

Realitas sosial selalu menghadirkan keberadaan (eksistensi) yang terdiri dari dua hal yang berbeda. Misalnya, kemiskinan yang selalu saja dihadapkan dengan kekayaan. Hal ini karena secara literal-kebahasaan lawan dari kata miskin, yang paling tepat, adalah kaya. Oleh karena itu, miskin dan kaya adalah sebuah “oposisi”, yang secara struktural sebenarnya berhubungan erat. Dalam hal ini, eksistensi sesuatu menjadi semakin jelas manakala eksistensi sesuatu yang lain tidak menampakkan dirinya. Kemiskinan menjadi sebuah pembicaraan yang hangat dan fenomenal karena dirasa sangat menyentuh realitas kehidupan. Namun, sebenarnya aspek lain yang mengakibatkan perbincangan ini adalah inferioritas kekayaan yang tidak begitu menonjol, atau memang sengaja tidak ditampakkan.

Makna Oposisi Biner

Oposisi biner (binary opposition) sebenarnya, secara sederhana, dapat diartikan sebagai sebuah sistem yang berusaha membagi dunia dalam dua klasifikasi yang berhubungan secara struktural. Contoh yang sederhana, hubungan antara guru (yang memberikan pelajaran) dengan murid (yang menerima pelajaran). Guru dengan murid secara terminologi sosial memang berlawanan fungsi namun secara struktural, dalam dunia pendidikan, 2 eleman ini mutlak ada. Seorang guru membutuhkan murid untuk mentranformasikan ilmunya dalam sebuah pembelajaran. Di lain pihak, seorang murid membutuhkan hadirnya seorang guru sebagai tempat bertanya dan pembimbing yang mengarahkan studinya. Begitulah realitas kehidupan yang pasti ada dua hal yang berbeda, baik keduanya positif atau negatif, atau kontradiksi (opisisi) antara positif dan negatif.

Hubungan Tali-kelindan

Al-Quran, secara eksplisit (malfûdh) dan implisit (malhûdh), mengedepankan sisi kontradiksi yang seimbang dan setara. Di satu sisi, hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara 2 hal yang berbeda merupakan sebuah keniscayaan. Di sisi lain, yang tidak kalah pentingnya adalah sebuah isyarat bahwa 2 hal yang berbeda itu sebenarnya memiliki keterkaitan yang erat dan berdampak positif. Misalnya, al-Quran mengabarkan bahwa Allah yang memasukkan malam atas siang dan siang atas malam (al-Zumar [39]: 5). Hal ini menunjukan bahwa siang dan malam adalah 2 hal yang tidak mungkin terpisahkan. Keduanya saling tarik ulur, datang bergantian (silih berganti). Ketika malam datang maka esok hari pasti datanglah siang dan ketika siang tiba maka pertanda bahwa malam pun akan segera menyapa.

Keberadaan siang dan malam adalah sebuah pertanda bahwa alam menghendaki keteraturan. Ketika datang musim kemarau maka suatu saat akan datang musim penghujan. Implikasinya, keseimbangan ekosistem di jagad raya menjadi stabil dan berimbang. Secara psikologis tubuh manusia (mikro-kosmos) juga selalu mencari keseimbangan. Ketika tubuh merasakan panas yang menyengat maka akan secara naluriah mencari kesejukan demi menjaga keseimbangan tubuh (Yudi, 2011). Begitulah seterusnya hingga kita semakin menyadari bahwa alam dan kehidupan merupakan maha karya Tuhan yang tiada tandingnya.

Di dalam al-Quran disebutkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk berbuat keba(j)ikan. Keduanya memiliki peran masing-masing yang terkadang juga saling melengkapi. Hal ini semakin menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan yang berlainan jenis itu saling membutuhkan. Rasanya menjadi janggal kalau dunia hanya berisi satu jenis manusia saja. Interaksi yang terjalin menjadi tidak berwarna dan tidak berdinamika. Dengan adanya 2 jenis insan yang berbeda manusia berkesempatan untu saling mengasihi dan menyayangi. Kalau hubungan yang sinergis antara laki-laki dan perempuan dapat terjalin maka kehidupan pun menjadi lebih baik dan seimbang.

“Enak” atau “Tak Enak”?

Kehidupan manusia kalau kita cermati (mari kita merenung sejenak!), sebenarnya terbatas kepada dua hal. Dua hal tersebut merupakan sebuah fakta yang secara sadar atau tidak selalu menghiasi kehidupan manusia. Coba kita merenung bersama, sebenarnya apa motif dibalik pekerjaan yang kita lakukan. Orang yang selalu tersenyum misalnya, mengaku bahwa dia melakukan hal itu karena merasa nyaman dan “enak” dengan yang namanya senyum. Di sisi lain kita juga terkadang mendapati orang yang tersenyum namun dengan kesan terpaksa. Ketika kita mencoba bertanya kepadanya boleh jadi dia akan menjawab, “Saya merasa “tidak enak” kalau orang menganggap saya sebagai orang yang tidak ramah kalau saya tidak tersenyum.”

Perihal di atas menunjukan bahwa hidup manusia sebenarnya sangatlah simpel alias sederhana. Mengapa saya katakan demikian, karena kehidupan yang katanya rumit dan kompleks ini menjadi terbatas pada dua hal yaitu “enak” dan “tidak enak”. Simpel sekali bukan?. Leonardo da Vinci saja pernah mengatakan, “Simplisity is the ultimate sophistication.” Kesederhanaan adalah kecanggihan yang tertinggi. Boleh jadi dengan hal simpel itu manusia (ter)bi(a)sa menemukan kecanggihan hidup yang bermanfaat bagi umat manusia. Lalu, sebagai seorang Muslim tentu motivasi tindakan (“enak” dan “tidak enak”) di atas tidak lah cukup. Niatan yang ikhlas dan karena mengharap ridha Allah harus lah selalu diletakkan pada awal sebuah perbuatan. Dengan demikian tindakan tidak hanya “enak” yang berefek temporal juga diterima di sisi Allah sebagai sebuah kebaikan yang berefek futuristik dan permanen.

Tentu ada hal yang menarik yang dapat kita pelajari dari contoh “enak” dan “tidak enak” di atas. Hal ini adalah bahwa realitas kehidupan yang selalu menghendaki dua sisi yang berbeda. Ketika manusia merasa nyaman (comfortable) alias “enak” tadi maka ia akan konsisten (istiqâmah) dalam menjalankan aktivitas, karena menurutnya “enak”. Namun sebaliknya, ketika ke”tidak-enak”an yang ia temukan maka ia akan segera beralih kepada hal-hal yang lebih memberikan kenyamanan dan berujung kepada ketenangan dan kebahagian. Kontradiksi antara “enak” dan “tidak enak” sebenarnya akan menjalin hubungan yang bertali-kelindan dan terus mengitari kehidupan. Sebagai tambahan, manusia tidak akan merasakan suatu yang “enak” kalau tidak pernah merasakan suatu yang “tidak enak” dan sebaliknya. Maknanya, semakin lama dia merasakan ke”tidak-enak”an maka akan semakin nikmat pula rasanya ketika dia menjumpai ke”enak”an.

Berbeda=Saling Menghargai!

Di tengah kehidupan bangsa yang serba plural, sadar atau tidak, kita akan selalu berhadapan dengan perkara yang serba kompleks pula. Tarik ulur antara yang (dianggap) baik dan yang (dianggap) benar menjadi tontonan hidup yang tidak pernah terlewatkan. Bahkan dalam hal yang “sama-sama baik” sekalipun sering kali terjadi pecah kongsi untuk sekadar mengatakan bahwa kelompok tertentu adalah yang paling baik, sedangkan yang lain tidak begitu baik. Dalam hal ini klaim kebenaran (claim of truth) lagi-lagi menjadi keniscayaan karena spirit bahwa beda adalah juga niscaya tidak menjadi pijakan utama. Kalau secara fitrah, Tuhan telah menciptakan kehidupan serba berpasangan; ada yang berjenis laki-laki dan perempuan, langit dan bumi, matahari dan bulan, kemudahan dan kesulitan, musim panas dan dingin, manis dan pahit, terang dan gelap (Tafsîr Jalâlain), rasa-rasanya sangat “lucu” andaikata manusia masih terjebak dalam superioritas identitas.

Perbedaan yang banyak terjadi menjadi sebuah spirit untuk saling merangkul dalam dekapan hangat dan saling melengkapi dalam simbiotik yang mutualistis. Sedemikian hingga kita sadar bahwa Allah SWT dengan kemurahan dan kecanggihan-Nya menciptakan kehidupan yang serba berpasang-pasangan. Ketika ada kelompok yang begitu keras menyuarakan dakwahnya maka pasti akan ada golongan yang cenderung menggunakan kearifan dan kelemahlembutan untuk melakukan hal yang sama. Dan yang paling diharapkan dari kondisi ini adalah kedewasaan sikap hingga tercipta iklim untuk saling menghargai. Bukankah pelangi itu menjadi indah karena konstruksi warna yang berbeda? Tidakkah sebuah musik menjadi merdu karena berasal dari komponen alat yang berbeda pula? Oleh karena itu, masih pentingkah kita berbeda, seperti jargon sentral film Tanda Tanda (?) itu? Rasa-rasanya tidak, Saudaraku! Semoga mulai saat ini kita menjadi insan yang arif dan selalu mengingat betapa agung dan besar kekuasaan Allah. Âmîn. Wallâhu a’lamu bi ash-shawâb.[]

Samsul Zakaria, Mahasiswa Prodi Syarî’ah FIAI dan Alumni MAN 1 Model, Lampung. Tulisan ini pernah dimuat pada Lembar Jumat Al-Rasikh terbitan DPPAI UII pada 13 Mei 2011. Tulisan ini dapat juga diakses langsung dari link ini.

Unduh Artikel