Membayar Fidyah sebagai Pengganti Puasa: Panduan bagi Umat Islam

Inilah ketentuan membayar fidyah sebagai pengganti puasa yang tidak dilakukan.

Umat Islam di seluruh dunia merayakan Bulan Ramadhan sebagai bulan yang sangat spesial. Selama satu bulan penuh, mereka berpuasa sebagai bagian dari kewajiban agama. Namun, tidak semua orang berkewajiban untuk berpuasa. Hal tersebut karena ada beberapa kriteria yang harus terpenuhi terlebih dahulu seperti beragama Islam, dewasa, dan tidak dalam kondisi sakit atau ada hambatan lain (udzur syar’i).

Wanita memiliki beberapa udzur syar’i khusus, seperti ketika sedang haid, wiladah atau proses melahirkan, dan nifas atau usai melahirkan. Namun, secara umum, orang yang sedang sakit, berpergian jauh, atau lemah juga tidak memiliki kewajiban untuk berpuasa. Meskipun begitu, mereka tetap harus mengganti puasa nanti setelah Bulan Ramadhan berakhir.

Orang yang sedang sakit parah dan menahun, tua renta, hamil atau menyusui, atau pekerjaan ma’isyahnya sangat berat dan melelahkan, juga dapat membayar fidyah sebagai ganti dari tidak berpuasa. Fidyah adalah pembayaran pengganti dari puasa yang tidak dilakukan. Jika seseorang harus membayar fidyah, maka mereka harus memberi makan satu orang miskin sebagai pengganti satu hari tidak berpuasa. Jika mereka tidak berpuasa selama 30 hari, maka harus memberi makan orang miskin sebanyak 30 kali.

Orang yang sedang sakit tetap harus mencoba untuk berpuasa jika mereka bisa. Namun, jika mereka merasa tidak kuat untuk berpuasa, mereka harus mengganti puasanya nanti setelah Bulan Ramadhan berakhir.

Baca juga : Pentingnya Berada dalam Lingkungan yang Baik

Membayar fidyah

Berpuasa di Bulan Ramadhan adalah salah satu bentuk ibadah yang sangat penting bagi umat Islam. Namun, tidak semua orang berkewajiba untuk melakukannya. Jika seseorang tidak dapat berpuasa karena sakit atau hambatan lainnya, mereka masih dapat memenuhi kewajiban mereka dengan membayar fidyah atau mengganti puasanya nanti setelah Bulan Ramadhan berakhir. Umat Islam melakukan hal ini sebagai bentuk penghormatan kepada agama dan sebagai bentuk pengorbanan bagi diri sendiri.

Selain berpuasa, sebaiknya umat Islam juga meningkatkan amalan lainnya selama Bulan Ramadhan. Beberapa di antaranya adalah membaca Al-Quran, bersedekah, dan berdoa. Banyak anggapan bahwa bulan Ramadhan bagaikan waktu yang penuh berkah dan kebaikan, sehingga umat Islam berusaha untuk memperbanyak amal ibadahnya selama bulan tersebut.

Selain itu, Bulan Ramadhan juga merupakan waktu yang cocok untuk memperkuat hubungan antar sesama umat Islam. Berbagai kegiatan seperti buka puasa bersama, saling memberikan hadiah, dan memberikan santunan kepada sesama umat Islam dapat mempererat tali persaudaraan di antara mereka.

Dalam kesimpulannya, Bulan Ramadhan adalah waktu yang penuh berkah dan kebaikan bagi umat Islam. Walaupun tidak semua orang diwajibkan untuk berpuasa, mereka tetap dapat memperbanyak amal ibadah dan meningkatkan hubungan persaudaraan di antara sesama umat Islam selama bulan tersebut. Semoga umat Islam di seluruh dunia dapat menjalankan ibadahnya dengan baik dan meraih keberkahan selama Bulan Ramadhan.

dia tidak mengambil manfaat apapun dari keluarga dan harta benda miliknya kecuali doa keluarga

Foto oleh Ali Arapoğlu

Rasulullah s.a.w., bersabda:

يتْبعُ الميْتَ ثلاثَةٌ: أهلُهُ ومالُه وعمَلُه، فيرْجِع اثنانِ ويبْقَى واحِدٌ: يرجعُ أهلُهُ ومالُهُ، ويبقَى عملُهُ

Artinya:
“Mengikuti kepada seseorang mayit itu tiga hal, yaitu keluarganya, hartanya serta amalnya. Kemudian kembalilah yang dua macam dan tertinggallah yang satu. Kembalilah keluarga serta hartanya dan tertinggallah amalnya.”

Pelajaran yang dapat kita ambil

Pelajaran yang dapat kita ambil dari hadits tersebut adalah

  1. Semua anak cucu Adam sudah pasti memiliki keluarga yang selalu bersamanya dan harta sebagai bekal hidupnya. Kedua “sahabat” ini selalu ada menemani selama hidupnya dan suatu saat nanti akan berpisah dengannya.
  2. Maka orang yang masuk dalam golongan orang-orang yang beruntung selama hidupnya adalah orang yang menjadikan harta bendanya sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Menafkahkan hartanya untuk kepentingan akhirat dan dia mengambil sebagian harta itu sebatas kebutuhan yang bisa menyampaikannya untuk kehidupan di akherat kelak. Serta mencari istri yang shalehah, istri yang bisa menjaga keimanannya.
  3. Orang yang masuk dalam golongan orang-orang yang merugi adalah orang yang menyibukkan diri dengan harta benda dan keluarganya sehingga menjadikannya lalai kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
  4. Adapun “sahabat” yang ketiga adalah amal perbuatan selama hidup di dunia yang akan terus mengikuti hingga ke dalam kubur dan akan selalu bersamanya. Sahabat yang ketiga ini akan bersamanya hingga pada saat dibangkitkan untuk menghadap Allah subhanahu wa ta’ala. Amal itu akan menyertainya pada saat Allah subhanahu wa ta’ala mengumpulkannya di padang mahsyar, di atas shiroth(titian), pada saat ditimbang. Dengan amal itu pula seseorang akan memperoleh tingkat kedudukannya di surga atau di neraka.

Tema hadits yang berkaitan dengan Al-Quran

  1. Adapun orang yang menjadikan harta dan keluarga yang menyibukkannya sehingga melalaikan Allah subhanahu wa ta’ala maka dia temasuk orang yang merugi.

    شَغَلَتْنَآ اَمْوَالُنَا وَاَهْلُوْنَا فَاسْتَغْفِرْ لَنَا

    Artinya:
    Kami telah disibukkan oleh harta dan keluarga kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami.” (QS. Al-Fath: 11)

    Baca juga: Pentingnya Berada dalam Lingkungan yang Baik

  2. Harta dan keluarga tidak boleh menjadikan lalai kepada Allah

    يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُلْهِكُمْ اَمْوَالُكُمْ وَلَآ اَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ ۚوَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْخٰسِرُوْنَ

    Artinya:
    Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta bendamu dan anak-anakmu membuatmu lalai dari mengingat Allah. Siapa yang berbuat demikian, mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Munafiqun: 9)

  3. Maka apabila anak Adam mati, dan meninggalkan dunia ini maka dia tidak mengambil manfaat apapun dari keluarga dan harta benda miliknya kecuali doa keluarga baginya. Permohonan ampun mereka untuk dirinya dan perbuatan-perbuatan yang dijelaskan oleh syara’ yang bisa mendatangkan manfaat untuk dirinya serta apa yang dikeluarkan dari hartanya untuk kebutuhan dirinya.

    يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَّلَا بَنُوْنَ ۙ اِلَّا مَنْ اَتَى اللّٰهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ ۗ

    Artinya:
    (Yaitu) pada hari ketika tidak berguna (lagi) harta dan anak-anak. Kecuali, orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Al-Asyu’ara: 88-89)

  4. Hati-hati!, dalam anggota keluarga itu ada yang menjadi musuh bagimu

    يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّ مِنْ اَزْوَاجِكُمْ وَاَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوْهُمْۚ

    Artinya:
    Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu*).” (QS. At-Taghabun: 14)

    *) Kadang-kadang istri atau anak dapat menjerumuskan suami atau bapaknya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan oleh agama.

    Baca juga: Manusia yang Terbaik Sayangi Pasangan Hidup

 

Pentingnya seseorang yang shalih Berada dalam Lingkungan yang Baik

Pentingnya seseorang yang shalih Berada dalam Lingkungan yang Baik | Foto oleh Thirdman

 

وعن أمِّ المؤمِنينَ أمِّ عبدِ اللهِ عائشةَ رضي الله عنها قالت: قالَ رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((يَغْزُو جَيْشٌ الْكَعْبَةَ فإِذَا كَانُوا بِبَيْدَاءَ مِنَ الأَرضِ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وآخِرِهِمْ)). قَالَتْ: قلتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، كَيْفَ يُخْسَفُ بأوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ وَفِيهمْ أسْوَاقُهُمْ وَمَنْ لَيْسَ مِنْهُمْ؟! قَالَ: ((يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ ثُمَّ يُبْعَثُونَ عَلَى نِيّاتِهمْ)). مُتَّفَقٌ عَلَيهِ. هذَا لَفْظُ الْبُخَارِيِّ.

Dari Ummul mu’minin yaitu ibunya (sebenarnya adalah bibinya) Abdullah yakni Aisyah radhiallahu ‘anha, berkata: Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: “Ada sepasukan tentera yang hendak memerangi – menghancurkan – Ka’bah, kemudian setelah mereka berada di suatu padang dari tanah lapang lalu dibenamkan dalam tanah tadi dari yang pertama sampai yang terakhir dari mereka semuanya.

Aisyah bertanya: “Saya berkata, wahai Rasulullah, bagaimanakah semuanya dibenamkan dari yang pertama sampai yang terakhir, sedang di antara mereka itu ada yang ahli pasaran – maksudnya para pedagang – serta ada pula orang yang tidak termasuk golongan mereka tadi – yakni tidak berniat ikut menggempur Ka’bah?

Rasulullah s.a.w. menjawab: “Ya, semuanya dibenamkan dari yang pertama sampai yang terakhir, kemudian nantinya mereka itu akan diba’ats – dibangkitkan dari masing-masing kuburnya – sesuai niat-niatnya sendiri – untuk diterapi dosa atau tidaknya.” (Muttafaq ‘alaih) – yakni disepakati keshahihannya oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim – Lafaz di atas adalah menurut Imam Bukhari.

Hikmah yang dapat kita petik dari Hadits tersebut:

Sayyidah Aisyah sudah sepatutnya menerima gelar Ummul mu’minin. Gelar tersebut artinya ibunya sekalian orang mu’min sebab beliau adalah isteri dari Rasulullah s.a.w. Beliau juga menerima nama ibu Abdullah oleh Nabi s.a.w., sebenarnya Abdullah itu bukanlah puteranya sendiri, tetapi putera dari saudarinya yang bernama Asma’. Jadi Abdullah itu adalah anak tiri Sayidah Aisyah. Adapun beliau ini sendiri tidak mempunyai seorang putera pun.

Dari hadits tersebut kita dapat simpulkan bahwa seseorang yang shalih, apabila berada dalam lingkungan suatu golongan yang selalu berbuat kemaksiatan dan kemungkaran, apabila Allah Ta’ala mendatangkan azab atau siksa kepada kaum tersebut, maka orang shalih itu pasti juga akan ikut terkena siksa atau azab dari Allah.

Hadis ini mengingatkan kepada kita semua agar jangan pernah sekali-kali bergaul dengan kaum yang ahli dalam kemaksiatan, kemungkaran dan kezaliman.

Akan tetapi mengenai amal perbuatannya sudah tentu Allah menilai sesuai dengan niat yang terkandung dalam hati orang yang melakukannya itu.

Mengenai gelar Ummul mu’minin tidak hanya Sayidah Aisyah radhiallahu ‘anha saja yang secara khusus menerimanya . Para isteri Rasulullah s.a.w. yang lain juga meneerima gelar Ummul mu’minin juga.

Baca Juga: Manusia yang Terbaik Sayangi Pasangan Hidup

Kaitannya dengan Al-Qur’an

Niat Ikhlas

وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِۗ ٥

Artinya:

Mereka tidak diperintah, kecuali untuk menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya lagi hanif (istikamah), melaksanakan salat, dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus (benar). [Surat Al-Bayyinah : 5]

Pengetahuan Allah SWT yang maha luas

قُلْ اِنْ تُخْفُوْا مَا فِيْ صُدُوْرِكُمْ اَوْ تُبْدُوْهُ يَعْلَمْهُ اللّٰهُ ۗوَيَعْلَمُ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ وَاللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ٢٩

Artinya:

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu menampakkannya, Allah pasti mengetahuinya.” Dia mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. [Surat Ali Imran : 29]

Manusia yang Terbaik Sayangi Pasangan Hidup

Manusia yang Terbaik Sayangi Pasangan Hidup. Foto oleh Thirdman

عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى. رواه الترمذى

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: Rasulullah shallallau ‘alaihi wasallam berasabda: “Sebaik-baik kalian adalah (suami) yang paling baik terhadap keluarganya dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” Hadits riwayat Tirmidzi dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Ash Shahihah (no. 285).

Pelajaran yang terdapat di dalam hadits

Hadits tersebut adalah hadits yang sangat mulia. Sebuah hadits yang menunjukkan agar kita sebagai manusia ciptaan Allah selalu bersikap mulia dan berperilaku jujur kepada setiap orang. Begitu juga bagi seorang suami yang bertugas menjadi seorang pemimpin dan juga sudah seharusnya bertanggung jawab dalam memimpin keluarga. Maka menjadi sebuah keharusan bagi kita semua untuk mencerna tingkat urgensinya.

Mencintai istri, menyayangi dan tidak menyakiti atau menyia-nyiakan adalah sebuah keharusan. Allah menciptakan seorang wanita sebagai makhluk yang lemah. Allah telah menakdirkan bagi seorang laki-laki dengan memberikan segala kelebihan bagi laki-laki untuk memimpin dan membimbing wanita.

Sifat seorang wanita yang dominan, selalu ingin mengatur, berkuasa akan terlihat ketika berinteraksi dengan anggota keluarga, terlebih lagi sang istri; seorang wanita asing yang masuk ke dalam kehidupan barunya.

Tindak-tanduk dan tingkah laku seorang istri akan sangat menguji kesabaran bagi laki-laki. Seorang laki-laki yang buruk sifat dan perangainya, akan terdorong untuk berbuat aniaya kepada istrinya. Kekerasan dalam rumah tangga yang sering terjadi dari seorang suami terhadap istri. Hal tersebut menunjukkan bahwa sang suami juga tergolong  orang yang lemah juga. Hal tersebut akan berbeda apabila seorang suami adalah sosok yang mempunyai kepribadian yang kuat, tegar dan kokoh, maka hatinya tidak akan keras dalam menghadapi istrinya. Dia tidak akan tega untuk berbuat aniaya terhadap kaum yang lemah.

Barang siapa yang mampu untuk menguasai diri ketika berhadapan dengan wanita, sungguh kebaikan telah muncul pada dirinya.

Hak bagi Keluarga

Seseorang yang paling tinggi derajatnya dalam kebaikan dan juga paling berhak meraih sifat tersebut ialah, orang-orang yang paling baik perilakunya kepada anggota keluarganya. Hal tersebut disebabkan karena keluarga merupakan orang-orang yang paling dan berhak mendapatkan wajah yang manis dan cara bergaul yang baik, mendapatkan curahan kebaikan, mendapatkan manfaat atasnya, dilindungi dari mara bahaya. Apabila ada laki-laki yang seperti itu, niscaya ia akan mendapat predikat sebagai manusia yang terbaik. Namun apabila ia bersikap sebaliknya, maka ia berada dalam keburukan. Dan dalam kasus ini, banyak orang yang terjerumus dalam kelalaian ini.

Apabila seorang laki-laki ketika dia menemui keluarganya dengan menjadi sosok yang akhlaknya buruk, sangat pelit dan sedikit sekali berbuat baik kepada mereka. Akan tetapi, apabila dia sedang bersama orang lain, orang lain tersebut begitu dihormati, akhlaknya melunak, sifatnya berubah menjadi dermawan, ringan tangan. Maka hal tersebut tidak diragukan lagi bahwa laki-laki semacam itu adalah manusia yang terhalang dari taufik Allah, menyimpang dari jalan yang lurus.

Semoga Allah memberikan keselamatan bagi kita dari hal tersebut.

Kaitannya dengan Al qur’an

Berinteraksi dan berkomunikasi dengan wanita yang dalam konteks ini adalah seorang istri, haruslah dengan cara yang baik. Berinteraksilah dengan perbuatan maupun perkataan yang terpuji sehingga sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Syekh Muhammad Sayyid Tanthowi mengutip perkataan dari Imam Ghazali (dalam tafsirnya Al-Wasith) bahwa tafsir dari ayat ini adalah berakhlak yang baik kepada istri dengan tidak menyakitinya perasaan maupun fisiknya, bersabar atas perilaku ceroboh istri dan bersabar atas kemarahan istri sambil menasehatinya. Sebagaimana Rasulullah saw telah mencontohkan hal seperti itu.

Oleh karenanya, istri juga memiliki hak yang sama dengan suami. Menyayangi, memanjakan dan menafkahi baik lahir maupun batin adalah hak bagi seorang istri atas suami. Suami tidak berhak mempermainkan istri dengan semaunya atau seenaknya sendiri karena istri bukanlah sebuah boneka. Seorang istri adalah MITRA YANG SETIA bagi suami untuk sama-sama dalam membangun sebuah keluarga. Keluarga yang harmonis dan bahagia di dunia bahkan hingga di akhirat kelak.

وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ۚ فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا

Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. [An Nisa :19]

Hendaknya Suami memperbagus ucapan, perkataan, perbuatan dan tingkah laku kepada istri sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Jika istri menyukainya, maka berbuatlah sesuai apa yang disukainya.

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِۖ

Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang baik (ma’ruf) [Al baqoroh :228].