Fikih Nafkah
Oleh:
Dzulkifli Hadi Imawan, Lc.,M.Kom.,I.,Ph.D.
Dosen • Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyah) • Fakultas Ilmu Agama Islam
Oleh:
Dzulkifli Hadi Imawan, Lc.,M.Kom.,I.,Ph.D.
Dosen • Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyah) • Fakultas Ilmu Agama Islam
Secara Bahasa, kata nafkah berasal dari Bahasa arab ( نفقة ) yang berasal dari kata nafaqa dan berimbuhan hamzah anfaqa yunfiqu infak atau nafaqah. Dalam Taj al-‘Arus min Jawahir al-Qamus, Murtadla al-Zabidi mendifinisikan nafkah adalah harta yang diberikan kepada diri sendiri atau keluarga. nafkah juga diucapkan dengan infak yang diambil dari kata yang sama nafaqa.
Dan dalam Lisanu al-‘Arab, Ibnu Manzhur menjelaskan bahwa kata nafkah atau infak merupakan sinonim kata shadaqah dan ith’am (memberi makan). Infak dinamakan shadaqah jika seseorang yang mengeluarkan hartanya dengan kejujuran (keikhlasan) dari hatinya.
Syaikh Muhammad Ali Ibnu Allan dalam kitab Dalil al-Falihin li Thuruqi Riyadi al-Shahilin (penjelasan syarah kitab riyadu al-Shalihin karya Imam Nawawi dalam bab al-Nafaqah), menjelaskan nafkah sebagai segala pemberian baik berupa pakaian, harta, dan tempat tinggal kepada keluarga yang menjadi tanggungannya baik istri, anak, dan juga pembantu. menariknya dalam penjelasan Ibnu Allan yang mengutip Ibnu al-Nahwiy, bahwa nafkah atau infak itu artinya mengeluarkan. Sebab harta hakikatnya akan habis dikeluarkan atau juga harta akan hilang karena kematian seseorang (keluar dari kepemilikan orang tersebut setelah ia mati).
Adapun perintah memberi nafkah kepada keluarga berdasarkan dari firman Allah swt berikut:
Pertama, Surat al-Baqarah ayat 233
وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَاۤرَّ وَالِدَةٌ ۢبِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَ
Ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani, kecuali sesuai dengan kemampuannya. Janganlah seorang ibu dibuat menderita karena anaknya dan jangan pula ayahnya dibuat menderita karena anaknya. Ahli warispun seperti itu. (QS. Al-Baqarah: 233)
Kedua, Surat at-Talaq ayat 7
لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهٖۗ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهٗ فَلْيُنْفِقْ مِمَّآ اٰتٰىهُ اللّٰهُ ۗ لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا مَآ اٰتٰىهَاۗ سَيَجْعَلُ اللّٰهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُّسْرًا ࣖ – ٧
Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan. (QS. At-Talaq: 7)
Ketiga, Surat Saba’ ayat 39
قُلْ اِنَّ رَبِّيْ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ مِنْ عِبَادِهٖ وَيَقْدِرُ لَهٗ ۗوَمَآ اَنْفَقْتُمْ مِّنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهٗ ۚوَهُوَ خَيْرُ الرّٰزِقِيْنَ – ٣٩
“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya.” Suatu apa pun yang kamu infakkan pasti Dia akan menggantinya. Dialah sebaik-baik pemberi rezeki.” (QS. Saba’: 39)
Ketiga ayat al-Qur’an tersebut menjelaskan kewajiban seorang suami untuk memberi nafkah; mencukupi kebutuhan keluarganya. Dijelaskan menarik oleh Syaikh Wahbah al-Zuhaili dalam tafsirnya Al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj, memberi nafkah adalah kewajiban bagi seroang suami tetapi itu disesuaikan dengan kemampuan dan kadar rizkinya. Jika ia kaya maka ia menafkahi keluarganya sesuai dengan kekayaannya, tetapi jika ia miskin ia menafkahi keluarganya sesuai dengan rizkinya. Dan nafkah disesuaikan dengan kondisi yang ada yang berlaku di masyarakat setempat. Dan tidak ada yang mengetahui kadar kemampuan seseorang dalam memberi nafkah kecuali dirinya, karena itulah ia sendiri yang bisa menyesuaikan dengan kondisinya dalam memberi nafkah kepada keluarganya.
Meski memberi nafkah merupakan sebuah kewajiban, tetapi hal itu tidak perlu ditakutkan dan dirisaukan oleh seorang suami yang menjadi kepada rumah tangga. Sebab sebagaimana dijelaskan Allah swt dalam al-Qur’an surat Saba ayat 39 diatas bahwa rizki itu sudah ditentukan Allah swt; lapang dan sempitnya. Dan menariknya, Allah telah berjanji bahwa segala nafkah atau infak yang dikeluarkan akan mendapat ganti yang lebih baik dari Allah swt yang maha pemberi rezeki.
Tidak hanya itu, memberi nafkah kepada keluarga merupakan infak terbaik yang dikeluarkan seseorang dari pada infak yang dikeluarkan untuk berjihad di jalan Allah. Hal ini sebagaimana dijelaskan Rasulullah saw dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan Abdurrahman Tsauban berikut.
عن أبي هريرة -رضي الله عنه- قال: قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: «دينار أنفقته في سبيل الله، ودينار أنفقته في رقبة، ودينار تصدقت به على مسكين، ودينار أنفقته على أهلك، أعظمها أجرًا الذي أنفقته على أهلك».
Abu Hurairah meriwayatkan, Rasulullah saw bersabda,: “Dinar yang kamu infakkan di jalan Allah, dan dinar yang kamu infakkan untuk memerdekan budak, dan dinar yang kamu shadaqahkan kepada orang miskin, dan dinar yang yang kamu infakkan untuk keluargamu, yang paling besar pahalanya adalah dinar yang kamu infakkan kepada keluargamu”. (Shahih Muslim, Kitab al-Zakat Bab Fadl al-Nafaqah ‘ala al-‘Iyal, no. 995)
عن ثوبان – رضي الله عنه- مولى رسول الله -صلى الله عليه وسلم- قَالَ: قَالَ رسولُ اللَّه -صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم-: «َأفضل دينار ينُفِقُهُ الرجل: دينار ينفقه على عياله، ودينار ينفقه على دَابَّتِهِ في سبيل الله، ودينار ينفقه على أصحابه في سبيل الله».
Abu Abdurrahman Tsauban bin Bujdud, maula (santri dalem) Rasulullah saw meriwatkan, Rasulullah saw bersabda,: “Sebaik-baik dinar yang diinfakkan seseorang adalah dinar yang diinfakkan kepada keluarganya, dinar yang ia infakkan untuk berjuang di jalan Allah, dan dinar yang ia infakkan untuk kawan-kawan seperjuangannya di jalan Allah”. (HR. Muslim, Kitab al-Zakat Bab Fadl al-Nafaqah ‘ala al-‘Iyal, no. 994)
Adapun orang yang mampu memberi nafkah, atau orang yang tidak memberi nafkah kepada keluarganya merupakan hal yang dilarang dan mendapat dosa. Hal ini sebagaimana dijelaskan Rauslullah saw dalam hadisnya:
Khaitsamah meriwayatkan, Ketika kami sedang duduk Bersama Abdullah bin Amru, datang kepadanya seorang wakilnya. Ia pun lalu masuk dan berkata,: “apakah kamu sudah memberi makan budak kalian?”. Orang yang ditanyai menjawab,: “Belum”. Abdullah bin Amru lalu berkata kepadanya,: “kembalilah dan beri mereka makanan!”. Rasulullah saw telah bersabda,: “Cukuplah seseorang berdosa jika seseorang menahan makanan (tidak memberi makanan) kepada orang yang menjadi tanggungannya”.
Intinya, menafkahi keluarga merupakan perintah dari Allah yang menjadi kewajiban seorang suami atau kepala rumah tangga, dan dinilai sebagai infak terbaik yang akan mendapat pahala yang besar dari Allah serta menjadi jalan dilapangkan rezeki. Dan pastinya pemberian nafkah disesuaikan dengan kondisi yang ada.
Al-Qur’an al-Karim
Al-Naisaburi, Muslim bin Hajjaj. Shahih Muslim; al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar. Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, n.d.
Ibnu ’Allan, Muhammad. Dalil Al-Falihin Li Thuruq Riyadl al-Shalihin. III. Beirut: Dar Kutub Ilmiyah, 2009.
Ibnu Manzhur, Muhammad. Lisan Al-‘Arab. I. Beirut: Dar Shadir, n.d.
Nawawi, Muhyiddin Yahya bin Syaraf. Riyadlu Al-Shalihin. Beirut: al-Risalah, 1998.
Zabidi, Muhammad Murtadla. Taj Al-’Arus Min Jawahir al-Qamus. Beirut: Dar Hidayah,1431.
Zuhayliy, Wahbah bin Musthafa. Al-Tafsir al-Munir Fi al-’Aqidah Wa al-Syariah Wa al-Manhaj. Damaskus: Dar Fikr Arabi, 1418.